"Saya akan mencarinya," ucap Ardhan.Lova segera menutup pintu kulkas. "Tidak usah, Mas. Sudah malam. Dan lagi, Mas Ardhan belum tidur. Aku takut Mas Ardhan pusing atau bagaimana.""Tapi kamu sangat menginginkannya kan?"Lova menggeleng. "Tidak juga. Tidak selamanya ngidam harus selalu dituruti, apalagi yang memberatkan. Tidak akan berpengaruh juga ke bayinya.""Kamu yakin?" tanya Ardhan memastikan.Ardhan memang sudah mengantuk. Jika Lova sangat menginginkan tahu sumedang itu, Ardhan harus mencarinya sendiri. Sangat tidak bijak kalau dia membangunkan Pak Agus sopirnya.Lova tersenyum meyakinkan. Namun, ini bukan soal bayi yang akan ngeces jika ngidamnya tidak dituruti. Saat Lova naik ke tempat tidur dan mulai memejamkan mata, Lova bisa melihat tahu-tahu itu. Rasa gurihnya bahkan menyentuh lidah Lova.Semakin kuat Lova menolak, keinginannya makan tahu justru semakin kuat. "Kenapa aku seperti ini?" Lova berguling ke kiri dan kanan ranjang. Dia frustrasi. "Jangan tahu sumedang! Aku haru
"Non Lova jadi lebih banyak diam sejak pulang dari Sumedang," ucap Bu Mar sambil menyuguhkan sup ayam."Aku kan memang jarang bicara, Bu.""Bedalah, Non. Sekarang itu seperti ada yang Non pikirkan."Lova menuangkan sup ayam ke mangkuk. "Manusia kan setiap hari memang berpikir.""Ah, Non Lova ini. Bisa saja jawabnya."Lova tertawa pelan. "Mbak Ika mana? Waktunya makan siang.""Ada di atas sedang angkat jemuran.""Bu Mar juga makan." Lova menyerahkan mangkuk yang sudah terisi sup itu kepada Bu Mar.Memang benar setelah pulang dari Sumedang satu minggu yang lalu, Lova terus kepikiran ucapan Ardhan. Anaknya nanti mungkin akan menganggap Khatami sebagai ibu terbaiknya. Sedangkan Lova, baginya mungkin tidak pernah ada.Lova sudah tahu sejak awal akan seperti ini. Namun, kenapa sekarang rasanya sakit sekali?"Hasil pemeriksaan bagaimana, Non?"Lova kembali tersadar dari lamunan. "Alhamdulillah tidak ada masalah, Bu. Semoga lancar sampai aku lahiran nanti."Tidak lama, Mbak Ika bergabung di me
"Rafael?"Lova langsung bangkit berdiri dan bersiap berlari."Tidak usah menatapku seolah aku ini hantu."Faktanya, bagi Lova, Rafael lebih menyeramkan dari hantu."Mas Ardhan ada di dalam, jadi jangan macam-macam!" Lova mengancam."Ooh ... jadi, kalau Mas Ardhan tidak ada, aku boleh macam-macam?" Rafael menyeringai.Menanggapi orang gila seperti Rafael hanya akan membuat Lova tertular gilanya. Lova bersiap pergi. "Hai, Lova. Aku harus membayarmu berapa biar kamu mau sama aku?"Lova mengepalkan tangan. "Aku sudah bilang kalau aku bukan perempuan panggilan!""Kamu menikahi Mas Ardhan yang sebelas tahun lebih tua dari kamu. Aku yang hanya terpaut satu tahun kamu tolak.""Keluarga kamu yang lainnya sedang berduka. Tapi, kamu justru meributkan hal itu?"Rafael bersedekap. "Terus kenapa? Selama ini Papa tidak pernah menyayangiku. Di mata Papa, anaknya cuma Mas Ardhan dan Mbak Indi. Aku cuma figuran.""Pak Heru menasihati kamu juga kemarin. Artinya beliau peduli."Rafael mengerling malas.
80% saham milik Heru di PT Nuraga Group diwariskan kepada anak-anaknya. Setelah melalui kesepakatan, Ardhan ditunjuk sebagai wakil pemegang saham. Indira sejak awal tidak tertarik melibatkan diri dengan perusahaan, begitu juga suaminya yang menjadi Chef Eksekutif di sebuah restoran bintang lima.Sedangkan Rafael, dia bersikeras ingin membuka usahanya sendiri meskipun Sekar sempat menentangnya."Kamu akan membuka bisnis apa, Rafael?" tanya Ardhan. "Perlu modal berapa?" Meskipun kesal bukan main kepada Rafael, tetapi dia tetaplah adiknya. Heru bahkan secara langsung menitipkan Rafael kepada Ardhan.Rafael kontan tertawa sinis. "Bisnis ilegal. Jual beli organ, misalnya. Dan tidak! Aku tidak butuh modal dari Mas!"Ardhan mengepalkan tangannya. "Sepertinya saya harus mendengarkan saran Tami untuk mengirim kamu ke Sentienel."Khatami bersorak menyetujuinya di dalam hati.Rafael tersenyum mencurigakan. "Kalau sama Lova, aku mau. Di manapun pasti terasa seperti liburan bulan madu."Ucapan Raf
"Bayinya perempuan," ucap dokter Farhana sambil menunjuk gambar di layar.Lova seketika melirik Ardhan karena ingin tahu bagaimana reaksinya. Namun, Ardhan justru sedang berpandangan dengan Khatami. Keduanya melemparkan senyuman untuk satu sama lain.Lova segera membuang muka. Dadanya terasa perih. Lova tahu seharusnya dia tidak memiliki perasaan itu. Lova juga sedang berusaha menyingkirkan perasaan itu, tetapi melakukannya ternyata tidak semudah mengedipkan mata."Kita akan punya tuan putri," ucap Khatami setelah mereka di mobil. "Sekarang aku sudah bisa beli barang-barang yang sesuai.""Jangan terlalu berlebihan." Ardhan menimpali."Iya, Papaaaa." Khatami menirukan suara anak kecil.Ardhan tertawa pelan sambil menggeleng sebelum akhirnya dia fokus lagi memonitor pekerjaan dari jauh.Usia kandungan Lova sudah menginjak di bulan keenam. Perutnya tentu sudah menonjol, menandakan bahwa benar-benar ada kehidupan di dalamnya. Lova tidak sabar melihat wajahnya secara langsung.Namun, di si
Ardhan hanya bisa menggeleng karena kelakuan Lova yang aneh. Setelah Ardhan setuju akan tinggal di rumah ini sampai tengah hari nanti, Lova tidak beranjak dari sisi Ardhan. Bahkan saat Ardhan ke kamar mandi, Lova mengikutinya."Saya hanya ingin buang air, Lova." Ardhan benar-benar gemas.Wajah Lova tiba-tiba murung. "Iya, maaf sudah berlebihan," ucapnya dengan nada merajuk.Perempuan itu langsung pergi dari hadapan Ardhan ke kamarnya. Lova merasa ditolak. Rasanya sangat sakit. Lova tidak bisa menahan air matanya turun."Maaf, saya tidak bermaksud seperti itu." Ardhan yang sudah selesai dengan urusannya segera menemui Lova. Dia memeluk perempuan hamil itu dari belakang."Aku hanya ingin melihat Mas Ardhan," ucap Lova di sela isak tangisnya."Melihat saya buang air?""Bukan!" Lova melepaskan dirinya dari dekapan Ardhan. Wajahnya ditekuk masam. "Mas Ardhan pulang ke Mbak Tami saja.""Jangan marah. Jangan marah." Ardhan meraih kedua tangan Lova, lalu mencium punggungnya bergantian. "Saya
"Non Lova, ada Bu Tami," ucap Mbak Ika pada Lova yang sedang menikmati es krim di taman belakang.Lova mencabut sendok kayu dari mulutnya. Dia mengecek ponsel yang tergeletak di meja. Tidak ada pemberitahuan dari Khatami kalau dia akan ke sini."Aku akan menem--""Tidak usah!" Khatami sudah lebih dulu muncul, menggeser pintu kaca."Ada apa, Mbak?" tanya Lova ramah seperti biasa."Kamu sudah tahu rencana Mas Ardhan?" Berbeda dengan Lova, Khatami justru bertanya dingin.Lova sampai merinding. Perempuan yang sedang tidak memakai kerudung itu menggeleng. "Rencana apa? Soal perusahaan?"Dada Khatami naik turun menahan emosi. Tangannya mengepal. "Kamu tidak tahu atau pura-pura tidak tahu?"Lova mengernyit. "Aku tidak tahu, Mbak.""Mas Ardhan akan mendaftarkan pernikahan kalian ke KUA.""Apa?"Ardhan memang menyuruh Lova berhenti khawatir. Lova tidak menyangka jika tindakan seperti ini yang akan Ardhan pilih."Kamu bisa membujuk Mas Ardhan untuk membatalkannya kan?"Lova tidak menjawab. Lebi
"Jadi Lova itu istri Ardhan?"Freya benar-benar tidak menyangka. Dia memang sudah mencium keanehan di antara Lova dan Ardhan sejak bertemu pria itu di depan lift apartemen. Namun, Freya sama sekali tidak berpikir jika mereka sudah menikah."Jadi waktu itu Lova betulan ngidam? Dia hamil anak Ardhan?"Pantas saja Ardhan sangat panik dan marah saat perut Lova terkena bola.Freya tertawa pahit. Selama berbulan-bulan dia berusaha merebut hati Ardhan lagi yang belum juga ada kemajuan. Ternyata Ardhan sudah memiliki dua istri."Astaga! Argh!" Freya memukul-mukul setir dan menjerit frustrasi.Sekarang musuh Freya ada dua. Yang mana dulu yang harus disingkirkan? Benar-benar merepotkan. Dan baik Khatami atau Lova, keduanya sama menyebalkan.Freya justru lebih sebal kepada Lova. Meskipun terlihat lugu, Lova tidak bodoh. Perempuan itu punya kemampuan mendebat lawan bicaranya dan menyerang langsung ke titik lemah. Freya dua kali dibuat tidak bisa berkata-kata."Aku harus menyusun rencana lagi. Ren