"Di mana Maira?" tanya Xavier.
"Untuk apa kamu mencari istri orang?"Keduanya sama-sama melemparkan tatapan permusuhan."Mama dan Papa memintaku memastikan keadaannya.""Aku ini suaminya. Mereka sudah tidak punya hak, apalagi sampai mengutus orang lain.""Terserah apa katamu. Tapi aku tidak akan pergi sebelum memastikan Almaira baik-baik saja.""Aku bisa memanggil warga untuk mengusirmu."Xavier berdecak. "Sial. Aku sudah tidak bisa bersabar." Pria itu meringsek masuk. "Maira! Mai!" panggilnya berteriak.Shaka tentu tidak diam saja. Dia membalik badan Xavier, lalu melayangkan tinju ke pipinya.Xavier terhuyung. Dia segera menegakkan tubuh dan membalas pukulan Shaka."Keluar dari rumahku!" bentak Shaka."Di mana Maira?"Suara benda jatuh terdengar dari atas. Xavier segera menaiki tangga. Namun, Shaka tidak membiarkannya begitu saja. Shaka menarik Xavier, lalu mengempaskannya ke"Mengapa Anda menusuk suami Anda sendiri sebanyak tiga kali?" tanya hakim ketua."Mungkin ada cara lain untuk menghentikan Kak Shaka yang ingin membunuh Kak Xavier. Namun, yang ada di pikiran saya hanya itu karena ada gunting berada di dekat kaki saya," jawab Almaira."Kenapa Anda harus menusuk sebanyak tiga kali?"Almaira menghela napas. "Saya emosi karena sebelumnya Kak Shaka memaksa saya meminum obat penggugur kandungan. Saya marah karena Kak Shaka mengancam akan membunuh keluarga saya satu per satu. Saya sangat kecewa karena ...."Almaira menjeda ucapannya. Dia malu mengatakan hal itu. Namun, Almaira tetap harus mengungkap semua yang terjadi hari itu. "Saya kecewa dan malu karena Kak Shaka melakukan hal menjijikan dan serendah itu. Dia ... menggauli saya di depan Kak Xavier.""Apa Anda tahu motif Saudara Arshaka Lesmana melakukan hal itu.""Kak Shaka cemburu. Dia berpikir saya dan Kak Xavier masih saling mencintai. Kak Shaka
"Menikahlah dengan suamiku, Lov." Lova yang sedang minum langsung tersedak. Perempuan itu segera meraih tisu untuk membersihkan air yang menyembur. "Maksud Mbak Tami?" tanyanya setelah batuk-batuknya reda. Siang ini Khatami tiba-tiba mengunjungi kediaman Lova dengan wajah murung. Setelah berbasa-basi menanyakan kabar, Khatami justru mengatakan sesuatu yang Lova harap jika dia hanya salah mendengar. Khatami menghela napas. "Seperti yang kamu tahu. Aku sudah menikah selama 5 tahun, tapi belum juga punya anak. Berbagai usaha sudah aku lakukan, termasuk bayi tabung yang berakhir dua kali gagal." Tatapan Khatami menerawang menembus jendela kamar. Program bayi tabung memerlukan biaya yang tidak sedikit. Meskipun Khatami dan Ardhan tergolong mampu, mengeluarkan uang yang cukup banyak untuk hasil yang mengecewakan tentu berakhir sia-sia. Ardhan mungkin tidak mempermasalahkannya. Namun, tidak dengan Sekar ibu mertua Khatami. Sekar sudah nyinyir sejak dua tahun pernikahan Khatami yang tidak
"Mbak yakin?" tanya Lova. Dia khawatir Khatami berubah pikiran di detik-detik terakhir menuju ijab kabul. Masih ada waktu sebelum semuanya terlambat.Lova hanya menikah siri dengan Ardhan. Toh, pernikahan sementara. Jadi, buat apa mendaftar ke KUA? Lova juga akan pergi setelah melahirkan dua anak sesuai permintaan Khatami. Lova yakin dia bisa melakukannya, meskipun sebagian dirinya memberontak, tidak menginginkan hal ini. Jika bukan sekarang, kapan lagi Lova akan membalas budi? Jika Khatami benar-benar dicampakkan suaminya, Lova akan menghabiskan sisa hidupnya dalam perasaan bersalah. Namun, apa Khatami benar-benar baik-baik saja dengan semua ini? Khatami memasangkan tudung berbahan organza berwarna putih yang melapisi khimar sepinggang yang dikenakan Lova. "Jangan pikirkan perasaanku, Lov." Lova memutar tubuhnya menghadap Khatami. "Bagaimana mungkin aku tidak memikirkan perasaan Mbak Tami?" Khatami tersenyum, lalu menjawil hidung mungil Lova. "Terima kasih sudah memikirkan perasa
Khatami pulang tidak lama setelah Sekar meninggalkan kontrakan. Sekarang hanya ada Lova dan Ardhan. Sejak Khatami pergi, Lova langsung panas dingin. Khatami berpesan agar Lova memakai pakaian yang sudah Khatami siapkan. Namun, alangkah terkejutnya Lova menemukan isi kotak yang ditinggalkan Khatami."Li-lingerie?" Wajah Lova langsung menghangat. Memakainya tanpa ada yang melihat saja bisa membuatnya malu setengah mati, apalagi di hadapan Ardhan nanti.Lova menggigiti kuku jarinya yang sudah pendek. "Mbak Tami pasti bercanda." Lova ingin menghilang saja."Ekhem."Lova terlonjak. Lingerie hitam terlepas dari genggaman. Dengan gerakan yang sangat kaku, Lova memutar tubuhnya. Dia menemukan Ardhan yang sedang berdiri di ambang pintu kamar. Lova menatapnya ngeri seolah Ardhan adalah pengeksekusi hukuman mati."Ma-mas Ardhan," ucap Lova lirih, nyaris tidak terdengar."Sudah siap?" tanya Ardhan.Jantung Lova semakin berdebar tidak keruan. Dia ingin mengatakan tidak. Namun, Lova harus segera me
"Biar saya saja," ucap Ardhan yang merebut sapu dari tangan Lova."Ya sudah, aku yang mengepel.""Tidak. Kamu istirahat saja. Kamu masih kesakitan kan?"Lova menurut. Dia memperhatikan gerakan Ardhan yang sangat kaku. Pria itu terlalu bertenaga mengayunkan sapunya sehingga debu justru bertebaran ke mana-mana."Maaf, Mas. Aku malah merepotkan," ucap Lova tulus. Ardhan pasti tidak terbiasa dengan pekerjaan seperti ini, sekarang dia justru melakukannya untuk Lova."Bukannya saya yang merepotkan kamu?" Ardhan mengatakan itu sambil mengepel, tanpa memeras kainnya lebih dulu. Pria itu seketika terkesiap. OB di kantor saat mengepel sepertinya tidak sebanjir ini."Diperas dulu kainnya, Mas." Lova memeragakan bagaimana caranya memeras kain, kalau-kalau Ardhan tidak tahu."Oh." Ardhan segera mengikuti instruksi Lova. "Sebaiknya kamu pekerjakan asisten rumah tangga saja," katanya setelah mengerjakan tugasnya yang tidak bersih."Aku tidak sanggup membayarnya, Mas."Ardhan mengernyit. "Sekarang ka
"Aku kangen," Khatami berjalan cepat menghampiri suaminya. Dia langsung memeluk Ardhan erat. Lova segera menarik tangannya dari genggaman Ardhan. Dia menelan saliva. Semoga Khatami tidak salah paham. Lova tahu dia tidak seharusnya ada di sana. Oleh karena itu Lova memilih ke dapur. Perasaan bersalah itu muncul lagi. Khatami pasti tersiksa semalaman. "Apa kamu bersenang-senang?" tanya Khatami sambil menelisik Ardhan. "Bagaimana menurut kamu? Apa saya bersenang-senang?" Ardhan justru balik bertanya. Percuma juga menjawab karena Khatami akan memercayai prasangkanya saja. Khatami mengedik. "Seharusnya tidak karena Lova bukan tipe kamu." Oh, jadi karena itu juga Khatami memilih Lova. Ardhan pikir Khatami hanya ingin memanfaatkan utang budi dan keluguan Lova saja. "Kenapa kamu ke sini? Saya baru saja mau pulang." "Aku cuma mau memastikan sesuatu. Kalau kamu mau pulang, duluan saja. Aku masih ada urusan dengan Lova." "Apa?" Jangan bilang Khatami ingin meminta sesuatu yang merepotka
"Hai, Lova. Apa kabar?"Lova menelan saliva. "Ba-baik, Mas. Mari masuk." Perempuan itu mundur beberapa langkah agar Ardhan bisa masuk.Pria berpenampilan kasual itu melangkahkan kakinya. Tidak ada yang berubah dari dalam apartemen ini. Semuanya tertata persis seperti terakhir kali Ardhan melihatnya. Dia jadi penasaran apa saja yang Lova lakukan selama di sini."Kamu betah?" Pertanyaan itu bukan sekadar basa-basi."Betah, Mas." Sejujurnya Lova bosan karena tidak banyak hal yang bisa dia lakukan selain membaca buku."Jika kamu butuh sesuatu, katakan saja. Jangan ragu," ucap Ardhan sambil mendudukkan dirinya di sofa bed yang menghadap ke layar tv besar."Iya, Mas. Mbak Tami sudah mencukupi kebutuhan aku selama di sini."Ardhan manggut-manggut. Syukurlah. Khatami harus memperlakukan Lova dengan sangat baik. Ardhan tidak bisa memastikan keadaan Lova secara langsung. Dia hanya mengetahuinya dari Bu Mar.Ardhan melirik Lova yang mematung di depan pintu. Jari jemari perempuan itu terjalin. Si
"Mas?"Lova melangkahkan kakinya memasuki kamar utama. Ardhan tiba-tiba saja berlari meninggalkannya. Lova yang khawatir langsung mengikuti Ardhan. Pria itu tidak ada. Hanya suara guyuran shower dari kamar mandi."Mas baik-baik saja?" tanya Lova.Ardhan yang membasahi seluruh badannya tanpa melepaskan pakaian seketika terkesiap. Dia tidak berpikir Lova akan mengikutinya. "I-iya," jawabnya."Kenapa showernya menyala?""Ah ... kepencet."Lova mengernyit, tetapi dia memilih tidak ambil pusing. "Aku mau menyiapkan sarapan dulu.""Iya. Silakan."Sementara Lova keluar dan berjibaku di kitchen island, Ardhan kembali menyalakan shower sampai dorongan primitifnya berhenti. Dia segera berganti pakaian dan mengeringkan rambut.Lova sudah membuatkan sandwich roti gandum isi telur, selada, tomat, mentimun, dan keju slice. Pria itu langsung menyantapnya."Mas Ardhan langsung ke kantor?"Ardhan mengangguk dengan mulut penuh. "Besok saya mau ke Wakatobi untuk pembukaan resort," ucapnya setelah berhasi
"Mengapa Anda menusuk suami Anda sendiri sebanyak tiga kali?" tanya hakim ketua."Mungkin ada cara lain untuk menghentikan Kak Shaka yang ingin membunuh Kak Xavier. Namun, yang ada di pikiran saya hanya itu karena ada gunting berada di dekat kaki saya," jawab Almaira."Kenapa Anda harus menusuk sebanyak tiga kali?"Almaira menghela napas. "Saya emosi karena sebelumnya Kak Shaka memaksa saya meminum obat penggugur kandungan. Saya marah karena Kak Shaka mengancam akan membunuh keluarga saya satu per satu. Saya sangat kecewa karena ...."Almaira menjeda ucapannya. Dia malu mengatakan hal itu. Namun, Almaira tetap harus mengungkap semua yang terjadi hari itu. "Saya kecewa dan malu karena Kak Shaka melakukan hal menjijikan dan serendah itu. Dia ... menggauli saya di depan Kak Xavier.""Apa Anda tahu motif Saudara Arshaka Lesmana melakukan hal itu.""Kak Shaka cemburu. Dia berpikir saya dan Kak Xavier masih saling mencintai. Kak Shaka
"Di mana Maira?" tanya Xavier."Untuk apa kamu mencari istri orang?"Keduanya sama-sama melemparkan tatapan permusuhan."Mama dan Papa memintaku memastikan keadaannya.""Aku ini suaminya. Mereka sudah tidak punya hak, apalagi sampai mengutus orang lain.""Terserah apa katamu. Tapi aku tidak akan pergi sebelum memastikan Almaira baik-baik saja.""Aku bisa memanggil warga untuk mengusirmu."Xavier berdecak. "Sial. Aku sudah tidak bisa bersabar." Pria itu meringsek masuk. "Maira! Mai!" panggilnya berteriak.Shaka tentu tidak diam saja. Dia membalik badan Xavier, lalu melayangkan tinju ke pipinya.Xavier terhuyung. Dia segera menegakkan tubuh dan membalas pukulan Shaka."Keluar dari rumahku!" bentak Shaka."Di mana Maira?"Suara benda jatuh terdengar dari atas. Xavier segera menaiki tangga. Namun, Shaka tidak membiarkannya begitu saja. Shaka menarik Xavier, lalu mengempaskannya ke
"Gugurkan kandungan itu!" ucap Shaka tegas.Almaira membelalak. Dia refleks melindungi perutnya menggunakan kedua tangan. "Tidak.""Aku tidak menginginkannya!""Tapi aku menginginkannya. Dia anakku. Anak kita."Shaka mengetatkan rahang. Padahal dia sudah vasektomi. Vasektomi memang tidak 100% mencegah kehamilan. Tahu begini Shaka akan tetap memakai pengaman."Kamu harus menggugurkannya, Sayang." Shaka mendekati sang istri.Almaira langsung mundur beberapa langkah sambil terus melindungi perutnya. "Tidak! Aku bukan pembunuh. Aku tidak mau membunuh anakku sendiri.""Al, mengertilah."Almaira menggeleng. Air mata berkejaran jatuh ke pipinya. "Kak Shaka yang seharusnya mengerti.""Aku tidak ingin ada orang ketiga di antara kita.""Dia darah daging Kak Shaka!" Almaira menjerit."Aku tidak peduli, Sayang. Aku hanya mencintai kamu."Pria itu kembali melangkah mengikis jarak. Almaira
"Aku tidak membawa keycard saat menyusul Kak Shaka. Aku tidak bisa masuk, lalu Kak Tamara memaksaku menunggu di sana." Almaira berusaha menjelaskan kepada suaminya yang tampak sangat marah. Matanya bahkan memerah."Sejak kapan kamu tahu Xavier tinggal di sini?" tanya Shaka sinis."Tadi. Mereka juga pindah baru dua hari yang lalu.""Kita pergi dari sini," ujar Shaka sambil melangkahkan kakinya ke kamar, lalu ke walk in closet. Pria itu segera mengemasi pakaian dirinya dan Almaira.Almaira menghela napas. Dia sudah menebak akan seperti ini jadinya. "Aku bantu," ucap perempuan itu.Almaira tidak protes Shaka akan membawanya pindah. Dia sudah membuat keputusan akan mengikuti suaminya ke manapun. Shaka adalah rumahnya. Shaka adalah tempat Almaira pulang."Tidak bilang Mama dan Papa dulu, Kak?"Shaka membalas Almaira dengan tatapan tajam, membuat perempuan itu menutup mulutnya.Mereka kembali pindah ke rumah Shaka. Se
"Kak, geli!" Almaira berusaha menarik kakinya yang sedang dikelitiki oleh Shaka.Selama empat bulan tinggal di apartemen, Almaira dan Shaka tidak pernah sekali pun bertengkar. Mereka justru semakin romantis dari hari ke hari. Keduanya menjadi pasangan yang tidak bisa terpisahkan meski hanya sesaat.Siapa itu Xavier? Almaira bahkan melupakan eksistensinya. Hati dan pikiran perempuan itu selalu dipenuhi oleh Shaka. Almaira telah jatuh cinta kepada Shaka.Tempat terbaik bagi Almaira adalah di samping suaminya itu. Sekarang dia benar-benar malas keluar unit. Almaira sudah seperti tidak memiliki kehidupan di luar sana. Lovara saja dia bebankan kepada sang adik."Ini akibatnya karena kamu pura-pura tidur." Shaka tidak memedulikan jeritan Almaira. Dia terus menarikan jari-jarinya di telapak kaki sang istri.Setelah memperkerjakan otaknya untuk naskah, Shaka akan meminta jatah kepada Almaira. Almaira justru pura-pura terlelap. Bukan ingin menolak
"Pesawatnya masuk ke goa ... aaaaa." Almaira mengarahkan sendok ke mulut Shaka setelah memutarnya di udara.Shaka justru melengos. "Kamu tidak perlu seperti ini.""Kenapa? Selama ini Kak Shaka selalu merawatku padahal aku baik-baik saja. Sekarang giliran." Almaira kembali mengarahkan sendok.Namun, Shaka menggeleng pelan dengan mulut terkunci rapat."Kak Shaka." Almaira merengek. "Aku marah, nih. Adik-adikku bilang kalau aku lebih galak dari Mama."Shaka mengernyit. Ekspresinya seperti sedang meledek Almaira."Oke. Aku marah." Almaira menyimpan piring di nakas. Dia lalu bersedekap.Shaka mencubit pipi istrinya. "Aku merasa gagal menjadi suami kamu kalau kamu sampai menyuapiku seperti ini.""Loh, kenapa?""Karena aku ingin meratukan kamu.""Kalau aku ratu, Kak Shaka rajanya, kan?"Shaka tersenyum samar. "Apa aku pantas disebut raja? Status kita jelas berbeda."Almaira menghela
"Chy akan menikah dua hari lagi. Aku ingin menghadirinya," ucap Almaira kepada Shaka.Mereka sudah satu bulan berada di kota itu. Pada akhirnya Shaka membawa Almaira kembali ke rumahnya dengan alasan tidak ingin merepotkan sang bibi. Toh, masih satu kota. Setidaknya Shaka bisa langsung pergi menemui nenek seandainya terjadi sesuatu kepada beliau."Iya," jawab Shaka tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop. Tangannya sibuk mengetik.Beberapa hari terakhir Shaka lebih banyak menghabiskan waktu dengan menulis. Dia bisa sampai begadang. Almaira sangat khawatir dengan kondisi Shaka. Lingkaran hitam di bawah matanya terlihat jelas."Iya apa?" Almaira meminta penjelasan lebih."Kita akan menghadirinya."Perempuan itu langsung berbinar. "Serius?"Shaka menutup laptop. "Aku tidak setega itu, Sayang.""Terima kasih, Kak," ucap Almaira dengan senyum lebar.Pria itu menghampiri istrinya di tempat tidur. "Ha
"Sayang," panggil Shaka riang sambil membawa nampan berisi sarapan yang sudah telat.Almaira bangkit ke posisi duduk, lalu mengikat rambutnya yang acak-acakan.Shaka menaruh nampan di nakas."Terima kasih, Kak Shaka," ucap Almaira. Dia tersenyum, sebagai penghargaan untuk Shaka yang sudah membuatkannya makanan sementara dia hanya bermalas-malasan."Aku memiliki informasi yang penting," tutur Shaka sambil mengarahkan sendok berisi nasi dan lauknya kepada Almaira."Apa itu?" tanya Almaira sebelum menerima suapan dari suaminya."Aku sudah menemukan alamat keluarga Ibu.""Benarkah?" Almaira senang mendengarnya."Iya. Besok kita ke sana, ya."Besok seharusnya mereka kembali ke Jakarta.Almaira mengangguk. Dia tidak mungkin memaksa Shaka kembali ke Jakarta saat pria itu ingin pergi ke tempat keluarganya yang tidak pernah dia temui. Shaka sudah terlalu lama hidup sendiri. Dari ekspresinya saja sudah
"Kak Shaka mengancam?" Almaira mengangkat sebelah alisnya."Itu bukan ancaman, Sayang. Hanya peringatan kecil. Selama ini aku sudah bersabar menahan diri karena kamu belum bersamaku. Tapi, kali ini tidak. Kamu hanya milik Arshaka Lesmana."Shaka mengusap pipi lembut Almaira, yang langsung perempuan itu tepis. "Aku bukan barang yang bisa dimiliki siapapun, termasuk Kak Shaka. Kak Shaka hanya suamiku, imamku, bukan pemilik hidupku. Kita sangat bisa berpisah."Shaka mengetatkan rahang. Dia tidak suka mendengar kata 'berpisah' keluar dari mulut istrinya. "Aku tidak akan membiarkan hal itu," ucap Shaka tegas."Kalau Kak Shaka terlalu mengekang aku, aku akan pergi." Almaira balik mengancam.Shaka semakin emosi. Dia lantas mencekal kedua lengan Almaira. "Kamu tidak akan pergi ke mana pun. Aku tidak akan membiarkan kamu pergi dariku, Al." Tatapan pria itu menajam."Kalau aku betulan pergi, Kakak mau apa?" Almaira justru menantang dengan