"Biar saya saja," ucap Ardhan yang merebut sapu dari tangan Lova.
"Ya sudah, aku yang mengepel."
"Tidak. Kamu istirahat saja. Kamu masih kesakitan kan?"
Lova menurut. Dia memperhatikan gerakan Ardhan yang sangat kaku. Pria itu terlalu bertenaga mengayunkan sapunya sehingga debu justru bertebaran ke mana-mana.
"Maaf, Mas. Aku malah merepotkan," ucap Lova tulus. Ardhan pasti tidak terbiasa dengan pekerjaan seperti ini, sekarang dia justru melakukannya untuk Lova.
"Bukannya saya yang merepotkan kamu?" Ardhan mengatakan itu sambil mengepel, tanpa memeras kainnya lebih dulu. Pria itu seketika terkesiap. OB di kantor saat mengepel sepertinya tidak sebanjir ini.
"Diperas dulu kainnya, Mas." Lova memeragakan bagaimana caranya memeras kain, kalau-kalau Ardhan tidak tahu.
"Oh." Ardhan segera mengikuti instruksi Lova. "Sebaiknya kamu pekerjakan asisten rumah tangga saja," katanya setelah mengerjakan tugasnya yang tidak bersih.
"Aku tidak sanggup membayarnya, Mas."
Ardhan mengernyit. "Sekarang kan kamu istri saya. Saya memiliki kewajiban menafkahi kamu."
Oh. Lova kira Ardhan tidak akan menganggapnya sebagai istri. "Terserah Mas saja, asal tidak memberatkan."
"Kamu memang terlalu penurut." Ardhan menggeleng pelan. "Pantas Tami sangat memercayai kamu."
"Seorang istri memang harus menurut kepada suaminya selama tidak melanggar perintah agama."
Ardhan tersenyum. "Nah, sekarang kamu mau sarapan apa?" tanya pria itu setelah menyimpan peralatan bersih-bersih ke tempatnya semula.
"Terserah Mas saja." Lova tidak berani merekomendasikan makanan apa pun karena khawatir Ardhan tidak akan menyukainya. Selera mereka pasti berbeda.
"Terserah lagi? Sebagian laki-laki itu membenci kata 'terserah'-nya perempuan."
"Aku benar-benar menyerahkan keputusannya kepada Mas Ardhan. Aku ikut saja."
"Ya. Baiklah." Ardhan menghela napas. "Tunggu saja di sana," ucap Ardhan sambil menunjuk kursi yang biasa Lova gunakan saat menjahit.
Lova memandangi punggung Ardhan sampai dirinya menghilang setelah melewati partisi. Apa Ardhan akan memasak? tanya Lova di dalam hatinya. Dia semakin tidak enak kepada Ardhan. Seharusnya tidak seperti ini.
Beberapa saat kemudian, dua porsi omelette terhidang di hadapan Lova. Aromanya menggugah selera.
"Makanlah. Atau, perlu saya suapi?"
Lova lekas menggeleng dan mengambil bagiannya. Seharusnya Ardhan tidak perlu sebaik ini. Lova lebih suka Ardhan hanya memanfaatkannya sebagai mesin pembuat anak.
"Bagaimana?" tanya Ardhan.
"Enak." Sebenarnya terasa hambar.
Ardhan tersenyum senang mendapat pujian.
"Mas sampai kapan ada di sini?"
Khatami pasti sedang menunggu kepulangan suaminya. Lova tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Khatami menyambut sang suami yang baru bermalam dengan perempuan lain.
"Kamu mau saya tinggal lebih lama, atau sedang mengusir saya secara halus?"
"Mengusir secara halus," jawabnya jujur.
"Bagaimana saya bisa pergi begitu saja setelah apa yang saya lakukan kepada kamu?"
"Aku baik-baik saja, Mas. Lagi pula ...." Wajah Lova memanas. "Aku menerimanya tanpa paksaan," ucap Lova pelan.
"Obat itu adalah bukti jika kamu tidak menginginkannya. Jujur saja, Lova."
Lova menelan susah payah suapan terakhirnya. Dia meraih air minum. Tenggorokannya tiba-tiba serat.
"Tempat Mas Ardhan bukan di sini. Mas harus kembali kepada Mbak Tami."
Ardhan tahu itu. Dia hanya ingin bertanggung jawab. Namun, jika Lova tidak menginginkan kehadirannya, dia bisa apa? Mungkin Lova tidak nyaman. Mungkin, jauh di lubuk hatinya, perempuan itu membenci Ardhan.
"Baiklah, kalau itu keinginan kamu. Saya akan mengirim seseorang untuk membantu pekerjaan kamu."
Sebenarnya Lova tidak memerlukan hal itu. Lova masih bisa mengerjakan pekerjaan rumah di sela kesibukannya. Kontrakan ini juga kecil. Hanya ada empat ruangan. Ruang tamu, kamar tidur, dapur, dan kamar mandi.
Ruang tamu Lova gunakan sebagai tempat kerjanya. Lova tidak terlalu sering merapikannya karena selalu berantakan oleh potongan kain. Lova juga jarang menerima tamu kecuali pelanggan yang tidak lain masih tetangganya juga. Jadi hal itu bukan masalah.
Ardhan sedang bersiap pergi saat seseorang mengunjungi kontrakan Lova.
🍼🍼🍼"Aku mau mengambil CV milik Albi, Lov," ucap seorang perempuan yang usianya hanya terpaut tiga tahun dengan Lova. Dia adalah Alya, kakak perempuan Albi.Lova terperanjat. Pasalnya saat Lova memberi tahu Albi jika dia akan membatalkan ta'aruf mereka, Albi menyuruh Lova membuang saja CV miliknya.
Namun, Lova tidak banyak bertanya. Lova segera mengambil map merah itu. Lova bersyukur belum sempat membuangnya karena sibuk.
"Ini, Kak. Aku tidak mengembalikannya karena Albi meminta untuk membuangnya saja."
Alya mendengkus. "Dasar anak itu! Sayang kalau dibuang. Repot dua kali kalau bikin yang baru."
Lova tidak menanggapi karena sepertinya Alya berbicara kepada dirinya sendiri.
"Omong-omong, Lov. Betul kamu membatalkan ta'aruf dengan Albi demi menikah dengan pria kaya beristri?"
Lova spontan menahan napas. Beritanya ternyata menyebar sangat cepat. Lova tidak berniat merahasiakan pernikahannya, tetapi tidak juga memberi tahu semua tetangganya. Hanya yang terdekat saja agar tidak terjadi salah paham yang berujung penggerebekan.
Lova tidak menyangka Alya yang tinggal di paling ujung gang sudah mengetahui hal ini.
"Benar, Mbak."
Alya menghela napas panjang. "Kamu ini, Lov. Albi mau menjadikan kamu satu-satunya, kamu malah memilih menjadi yang kedua. Menikah siri pula."
Ucapan Alya seperti anak panah yang melesat tepat mengenai sasaran.
"Aku dan Albi mungkin memang tidak berjodoh, Mbak."
"Syukurlah. Albi tidak jadi menikahi perempuan matre kayak kamu."
Lova berusaha tetap sabar. Dia tahu dia akan mendapat berbagai respons dari tetangganya, termasuk komentar negatif.
"Urusan Kak Alya sudah selesai kan? Bukannya bermaksud mengusir, tapi aku masih ada kesibukan lain."
Alya memandang Lova dengan tatapan merendahkan. "Sibuk memuaskan suami orang?"
Lova menggumamkan istigfar. "Suamiku juga, Mbak."
Alya tersenyum mengejek. "Aku tidak menyangka ternyata Lova yang katanya perempuan salihah itu aslinya begini."
"Begini bagaimana?" Ardhan yang sudah tidak tahan dengan ocehan perempuan itu segera bergabung. Ardhan menarik Lova sehingga Lova berdiri di belakangnya.
Alya membelalak, lalu mengibaskan tangannya. "Sudahlah. Aku mau pergi saja," ucapnya, lalu buru-buru meninggalkan kediaman Lova.
Ardhan berdecak. "Orang nyinyir tidak ada habisnya." Pria itu kemudian berbalik menghadap Lova. "Dia siapa?"
"Kakaknya Albi."
Sebelah alis Ardhan terangkat. "Laki-laki yang ingin menikahi kamu?"
"Masih proses perkenalan. Albi belum sempat melamar."
"Kamu menyukai laki-laki itu?"
Albi pria yang baik. Dia sering membantu warga sekitar yang sedang kesusahan. Albi juga sopan kepada semua orang tanpa memandang usia dan kasta. Bagaimana mungkin Lova tidak menyukainya?
"Maaf kamu jadi terlibat masalah kami. Seandainya saya mencari tahu dulu soal kamu lebih dalam lagi, saya tidak akan mengambil keputusan ini," ucap Ardhan benar-benar merasa bersalah.
Ardhan setuju menikahi Lova memang karena ingin membuat Khatami berhenti curiga berlebihan kepadanya. Namun, tidak bisa dipungkiri, Ardhan juga menginginkan buah hati.
"Yang harus terjadi akan tetap terjadi, Mas. Mas tidak perlu meminta maaf."
Tidak. Ardhan akan selalu dihantui rasa bersalah.
Ardhan meraih tangan Lova ke dalam genggamannya. "Setelah tugas kamu selesai nanti, saya berjanji akan menjamin hidup kamu. Saya tidak akan membiarkan kamu kekurangan apa pun. Saya tahu ini terkesan sombong karena saya hanya melihatnya dari segi materi. Tapi, hanya ini yang bisa saya lakukan."
Lova tersenyum, lantas mengangguk. Di dalam hati dia menjawab, "Tapi aku berencana pergi sejauh-jauhnya dari hidup Mas Ardhan, Mbak Tami, dan anak-anakku nanti."
"Sayang!"
Ardhan dan Lova segera menoleh ke sumber suara, dan mereka menemukan Khatami di sana.
"Aku kangen," Khatami berjalan cepat menghampiri suaminya. Dia langsung memeluk Ardhan erat. Lova segera menarik tangannya dari genggaman Ardhan. Dia menelan saliva. Semoga Khatami tidak salah paham. Lova tahu dia tidak seharusnya ada di sana. Oleh karena itu Lova memilih ke dapur. Perasaan bersalah itu muncul lagi. Khatami pasti tersiksa semalaman. "Apa kamu bersenang-senang?" tanya Khatami sambil menelisik Ardhan. "Bagaimana menurut kamu? Apa saya bersenang-senang?" Ardhan justru balik bertanya. Percuma juga menjawab karena Khatami akan memercayai prasangkanya saja. Khatami mengedik. "Seharusnya tidak karena Lova bukan tipe kamu." Oh, jadi karena itu juga Khatami memilih Lova. Ardhan pikir Khatami hanya ingin memanfaatkan utang budi dan keluguan Lova saja. "Kenapa kamu ke sini? Saya baru saja mau pulang." "Aku cuma mau memastikan sesuatu. Kalau kamu mau pulang, duluan saja. Aku masih ada urusan dengan Lova." "Apa?" Jangan bilang Khatami ingin meminta sesuatu yang merepotka
"Hai, Lova. Apa kabar?"Lova menelan saliva. "Ba-baik, Mas. Mari masuk." Perempuan itu mundur beberapa langkah agar Ardhan bisa masuk.Pria berpenampilan kasual itu melangkahkan kakinya. Tidak ada yang berubah dari dalam apartemen ini. Semuanya tertata persis seperti terakhir kali Ardhan melihatnya. Dia jadi penasaran apa saja yang Lova lakukan selama di sini."Kamu betah?" Pertanyaan itu bukan sekadar basa-basi."Betah, Mas." Sejujurnya Lova bosan karena tidak banyak hal yang bisa dia lakukan selain membaca buku."Jika kamu butuh sesuatu, katakan saja. Jangan ragu," ucap Ardhan sambil mendudukkan dirinya di sofa bed yang menghadap ke layar tv besar."Iya, Mas. Mbak Tami sudah mencukupi kebutuhan aku selama di sini."Ardhan manggut-manggut. Syukurlah. Khatami harus memperlakukan Lova dengan sangat baik. Ardhan tidak bisa memastikan keadaan Lova secara langsung. Dia hanya mengetahuinya dari Bu Mar.Ardhan melirik Lova yang mematung di depan pintu. Jari jemari perempuan itu terjalin. Si
"Mas?"Lova melangkahkan kakinya memasuki kamar utama. Ardhan tiba-tiba saja berlari meninggalkannya. Lova yang khawatir langsung mengikuti Ardhan. Pria itu tidak ada. Hanya suara guyuran shower dari kamar mandi."Mas baik-baik saja?" tanya Lova.Ardhan yang membasahi seluruh badannya tanpa melepaskan pakaian seketika terkesiap. Dia tidak berpikir Lova akan mengikutinya. "I-iya," jawabnya."Kenapa showernya menyala?""Ah ... kepencet."Lova mengernyit, tetapi dia memilih tidak ambil pusing. "Aku mau menyiapkan sarapan dulu.""Iya. Silakan."Sementara Lova keluar dan berjibaku di kitchen island, Ardhan kembali menyalakan shower sampai dorongan primitifnya berhenti. Dia segera berganti pakaian dan mengeringkan rambut.Lova sudah membuatkan sandwich roti gandum isi telur, selada, tomat, mentimun, dan keju slice. Pria itu langsung menyantapnya."Mas Ardhan langsung ke kantor?"Ardhan mengangguk dengan mulut penuh. "Besok saya mau ke Wakatobi untuk pembukaan resort," ucapnya setelah berhasi
"Freya?" Khatami bergumam.Dia membelalak. Reaksinya berbeda dengan perempuan berambut bob yang barusan memanggilnya."Ya ampun, aku tidak menyangka kita bisa ketemu di sini. Sudah lama ya?"Perempuan bernama Freya itu memeluk Khatami dan cipika-cipiki. Dia lalu menoleh Lova. "Eh, kamu tidak datang sendiri. Ini siapa?" Freya mengulurkan tangan.Lova menerima uluran tangannya. "Lova, Mbak.""Oh salam kenal, Lova. Aku Freya, teman lama Tami dan Ardhan." Freya tersenyum ramah. Dia lantas menarik lembut bocah laki-laki yang bersamanya. "Ini anakku. Ayo kenalan, Nak."Bocah berusia sekitar 4 tahun itu mengulurkan tangannya kepada Khatami dan Lova bergantian. "Nama aku Sapiel (Xavier), Tante."Lova tersenyum. Xavier sangat lucu dengan pipi cubbhy dan mata bulat besarnya. Wajahnya sangat mirip dengan Freya. Berbeda dengan Lova, Khatami justru merasa sesak. Dia iri."Kalian pergi berdua?" tanya Khatami, mengalihkan fokusnya dari Xavier."Iya.""Suamimu ke mana?"Freya menggeleng pelan. "Kami
"Ini untuk kamu."Lova menerima paper bag kecil dari Ardhan, lalu membukanya. Isinya ternyata sebuah bros perak berbentuk bunga."Terima kasih, Mas. Mbak Tami dikasih juga?"Ardhan mengernyit. "Tami tidak suka memakai bros.""Maksud aku ... Mbak Tami dibawakan oleh-oleh juga?"Ardhan tersenyum lebar, lalu menggeleng. "Saat melihat bros ini, saya langsung teringat kamu karena kamu memakai kerudung. Sedangkan Khatami tidak, jadi saya tidak ingat membelikannya yang lain."Lova menghela napas. Dia menaruh bros itu dimeja. "Kalau seperti itu, artinya Mas Ardhan harus memberikan Mbak Tami sesuatu yang seharga dengan bros ini.""Kenapa?""Mas Ardhan kan harus berbuat adil. Aku takut Mas Ardhan nanti di akhirat jalannya miring."Ardhan menaruh tangannya di sandaran sofa, sebelah kakinya diangkat. Dia tertarik. "Kenapa bisa miring?""Itu kan balasan untuk seorang suami yang poligami tapi tidak berbuat adil ke salah satu istri, dan lebih condong ke istri yang lain."Ardhan seketika merinding. "M
[Lov, Mas Ardhan pergi. Katanya dia mau cari perempuan lain.]Tidak lama setelah kedatangan Ardhan yang tiba-tiba yang tidak tahu apa alasannya. Lova mendapati pesan dari Khatami.[Kalian bertengkar?] tanya Lova.[Iya. Semua ini gara-gara si janda itu. Ternyata Mas Ardhan sudah setengah tahun berhubungan dengannya. Dan kamu tahu yang lebih mengejutkan lagi, Lov. Kamu dan Freya satu apartemen. Tapi Mas Ardhan tidak pernah mengatakannya.][Lov, aku minta tolong. Cek unitnya Freya. Awas saja kalau Mas Ardhan ke sana. Aku sedang on the way.]Lova menghela napas.[Mbak Tami tenang saja. Mas Ardhan ada di sini, Mbak. Dia langsung ke kamar begitu sampai. Sepertinya Mas Ardhan sedang menenangkan diri.][Kamu serius?][Iya. Mbak Tami menuju ke sini, kan? Mbak bisa memastikannya sendiri. Aku tidak berani menganggu Mas Ardhan.][Syukurlah.]Lova berdoa semoga tidak terjadi perang besar di sini."Non, saya pulang dulu ya," ucap Bu Mar. Beliau memang hanya setengah hari menemani Lova."Iya, Bu. Fi
"Saya bercanda, Lova. Muka kamu tegang sekali." Tawa Ardhan meledak. "Berengsek sekali jika saya mengambil kesempatan dalam kesempitan."Lova menghela napas lega. Bagaimana pun juga, Lova tidak menikah dengan Ardhan untuk berperan sebagai seorang istri pada umumnya. Beruntung Ardhan orang yang baik dan pengertian."Lalu Mas mau ke mana?""Pulang. Kamu yang mendorong saya untuk membuat keputusan.""Jadi Mas mau menceraikan Mbak Tami?"Ardhan tersenyum. Lova benar. Baik dia dan Khatami tidak akan ada yang bahagia. Namun, Ardhan kasihan pada Lova. Dia terjebak di tempat yang tidak seharusnya dia berada.Ardhan mengusap lembut kepala Lova sebelum benar-benar pergi. "Semoga suatu hari nanti pernikahan kamu dilimpahi kebahagiaan, Lov."Pria itu sampai di rumah yang sudah dia huni selama tiga tahun belakangan. Entah sejak kapan atau mungkin Ardhan memang tidak pernah merasa pulang saat menginjakkan kaki di rumah ini. Sekarang dia justru lebih betah di apartemen.Pekerjanya yang membukakan pin
"Saya tidak ingin identitas istri saya yang kecelakaan dimuat di media mana pun.""Baik, Pak," ucap sekretaris Ardhan di seberang telepon.Ardhan khawatir kecelakaan Khatami bisa membawa pengaruh buruk untuk Nuraga Grup yang baru tersandung masalah serupa.Saat Ardhan sedang memasukkan ponsel ke celana yang belum sempat dia ganti sejak semalam, sudut matanya menemukan Lova dan sang mertua yang sudah kembali.Salma langsung ke ruang perawatan Khatami tanpa menegur atau menatapnya. Ardhan maklum."Dari mana?""Dari kantin, Mas. Mas Ardhan sudah sarapan?"Seingatnya belum. Namun, itu tidak penting."Apa Mama mengatakan sesuatu?"Lova mengangguk, lalu duduk."Boleh saya tahu apa saja yang Mama katakan?""Bu Salma ingin Mas Ardhan bertanggung jawab." Lova tidak mungkin mengatakan permintaan Salma."Saya di sini adalah bentuk pertanggungjawaban.""Bukan hanya soal kecelakaan Mbak Tami. Tapi, soal Mas Ardhan yang sudah menikahi Mbak Tami. Bu Salma tidak ingin Mas Ardhan mencampakkan Mbak Tami