"Hai, Lova. Apa kabar?"
Lova menelan saliva. "Ba-baik, Mas. Mari masuk." Perempuan itu mundur beberapa langkah agar Ardhan bisa masuk.
Pria berpenampilan kasual itu melangkahkan kakinya. Tidak ada yang berubah dari dalam apartemen ini. Semuanya tertata persis seperti terakhir kali Ardhan melihatnya. Dia jadi penasaran apa saja yang Lova lakukan selama di sini.
"Kamu betah?" Pertanyaan itu bukan sekadar basa-basi.
"Betah, Mas." Sejujurnya Lova bosan karena tidak banyak hal yang bisa dia lakukan selain membaca buku.
"Jika kamu butuh sesuatu, katakan saja. Jangan ragu," ucap Ardhan sambil mendudukkan dirinya di sofa bed yang menghadap ke layar tv besar.
"Iya, Mas. Mbak Tami sudah mencukupi kebutuhan aku selama di sini."
Ardhan manggut-manggut. Syukurlah. Khatami harus memperlakukan Lova dengan sangat baik. Ardhan tidak bisa memastikan keadaan Lova secara langsung. Dia hanya mengetahuinya dari Bu Mar.
Ardhan melirik Lova yang mematung di depan pintu. Jari jemari perempuan itu terjalin. Situasinya masih secanggung waktu itu. "Apa kamu tidak pegal, Lova? Duduklah." Ardhan menepuk ruang kosong di sampingnya.
Seperti biasa, Lova tidak akan banyak berkomentar dan langsung menurut. "Mas mau minum sesuatu?" tanyanya lembut.
"Tidak usah. Nanti saya ambil sendiri."
"Makan sesuatu?"
"Saya sudah kenyang. Sebelum ke sini saya sudah makan malam. Kamu sendiri?"
"Sudah."
Khatami menyuruh Ardhan memakan makanan yang mengandung aphrodisiac. "Pokoknya kali ini harus berhasil, Mas. Waktunya semakin menipis," ucap Khatami sebelum Ardhan pergi.
"Bukan saya yang menentukan akan berhasil atau tidak," jawab Ardhan.
"Ya kamu harus berusaha keras. Atau kamu memang mau bercerai dariku? Kamu sudah tidak mencintaiku?" tanyanya menuduh. Mata Khatami seketika memanas. Hanya butuh beberapa detik sampai dia menangis.
Ardhan menghela napas lelah karena Khatami selalu memulai drama. Namun, dia sendiri tidak tahu harus menjawab apa. Yang ada di kepalanya justru pertanyaan serupa.
Apa Ardhan sudah tidak mencintai Khatami?
Atau, lebih tepatnya, apa Ardhan pernah mencintai Khatami?
Ardhan tidak tahu. Dulu dia menikahi Khatami karena desakkan Freya sahabatnya. Freya bilang, tidak ada perempuan yang bisa mencintai Ardhan seperti Khatami. Selain Sekar tentunya.
Khatami sudah naksir Ardhan sejak SMA. Namun, Ardhan jatuh hati kepada Freya. Sahabatnya dari kecil itu ternyata tidak memiliki perasaan yang sama. Dan karena itu jugalah Ardhan menerima Khatami. Hanya untuk pelarian dari patah hatinya ditinggal menikah oleh perempuan yang dia suka.
"Mas, aku mau mempersiapkan diri dulu."
Suara Lova yang lemah lembut berhasil menarik Ardhan dari lamunannya. Ardhan menoleh. "Apa kamu masih membutuhkan obat?"
Ardhan sudah menyiapkannya meskipun dia harus mengkhianati hati nuraninya yang berteriak melarang.
"Kita coba dulu tanpa obat. Kalau aku tidak bisa ... baru aku akan meminumnya lagi."
Setelah itu Lova pergi ke kamar. Ardhan mengernyit heran karena kamar yang Lova tuju bukan kamar utama. Beberapa menit kemudian, Lova keluar lagi. Ardhan seketika terpana.
Wajah Lova memanas karena malu saat Ardhan tidak melepaskan tatapan darinya. Lova sudah latihan memakai lingerie ini berkali-kali. Namun, mendapati Ardhan melihatnya secara langsung membuat Lova ingin kembali ke kamar dan mengunci pintu.
"A-aku ... sudah siap, Mas," ucap Lova, lalu membuang pandangan.
Ardhan menelan ludah. "Cantik." Dia memuji tanpa sadar.
Lova segera mengingatkan kepada dirinya sendiri jika yang Ardhan puji itu pasti lingerie-nya.
"Mas wudu dulu," ucap Lova.
Ardhan langsung berdeham. Dia bangkit berdiri. Pria itu berbelok ke kamar mandi. Setengah benaknya terus membayangkan tubuh indah Lova, membuat dorongan besar itu hampir tidak bisa Ardhan tahan.
Dia cepat-cepat menyelesaikan urusannya, lalu menemui Lova yang sudah berada di kamar. Harum dari lilin aromaterapi langsung menyerbak memenuhi penciuman. Suhu tubuh Ardhan semakin meningkat. Matanya berkilat.
Lova beringsut mundur. Bulu kuduknya meremang. Dia tidak pernah melihat pria kelaparan seperti ini. Rasanya waktu itu Ardhan tidak begini. Atau mungkin Lova yang tidak sadar karena terpengaruh obat.
"Katakan kalau kamu tidak menginginkannya, Lova," ucap Ardhan dengan suara baritonnya sambil melangkah mendekati Lova. "Selagi kewarasan saya masih ada."
"Aku bersedia, Mas." Jantung Lova berdebar kencang.
"Bukan bersedia, tapi ingin atau tidak."
Lova menggigit bibir bawahnya. Dia tidak bisa menjawab Ardhan dengan ucapan. Lova lantas mengangguk.
Keduanya jatuh bersama ke tempat tidur.
"Jangan lupa baca doa, Mas." Lova mengingatkan. Waktu itu Lova tidak tahu Ardhan membaca doa dulu atau tidak.
Ardhan mengiyakan, lantas membaca doa sebelum mereka benar-benar bersatu.
Lova berusaha terus mengingat Khatami. Lova tidak boleh terbuai oleh sentuhan Ardhan yang membangunkan hasrat primitifnya.
Setengah dirinya berjuang mempertahankan kesadaran. Sadar jika apa yang sedang dia lakukan tidak lebih dari sekadar pekerjaan. Namun, setengah dirinya yang lain sudah terlena. Lova merasa terbang tinggi ke angkasa, meninggalkan semua masalah yang ada. Hanya tersisa kesenangan.
Lova terus berperang dengan dirinya sendiri, hingga ledakan kepuasan itu tidak bisa dia cegah. Lova terengah.
Ardhan tersenyum sambil merapikan beberapa helai rambut Lova yang menempel di wajah perempuan itu. Ardhan menyelipkannya ke belakang telinga Lova. Dia lalu berbisik, "Saya belum selesai, Lova."
🍼🍼🍼"Ya Rabbi ... buatlah hamba segera mengandung agar apa yang hamba lakukan tidak sia-sia. Dan berikanlah ketenteraman serta kebahagiaan untuk pernikahan Mbak Tami dan Mas Ardhan. Aamiin."Ardhan tidak mengalihkan matanya dari Lova sejak perempuan itu menggelar sajadah dan melakukan salat malam. Ardhan sebenarnya sudah bangun saat Lova turun dari tempat tidur dan keluar kamar. Namun, Ardhan memilih pura-pura masih terlelap.
Ardhan tidak menyangka Lova akan meminta kebaikan untuk pernikahannya dan Khatami di dalam doanya. Perempuan itu bahkan tidak berdoa untuk urusan dirinya sendiri selain memohon hidayah dan ampunan.
Sedang asyik memperhatikan Lova, perempuan itu tiba-tiba menoleh. Ardhan segera menutup matanya.
"Mas," panggil Lova setelah berada di samping Ardhan. "Sebentar lagi subuh." Lova menggoyangkan tubuh Ardhan pelan.
Ardhan pura-pura mengerjap, lalu menguap. "Lova?" tanyanya seperti baru menyadari keberadaan Lova.
Perempuan itu tersenyum. "Bangun, Mas. Salat subuh."
"Ah, iya." Ardhan bangkit ke posisi duduk.
Saat bersama Lova, dia harus membiasakan diri bangun pagi-pagi sekali dan sembahyang. Pria itu segera beranjak ke kamar mandi.
Ketika Ardhan kembali, Lova sudah menyiapkan pakaian ganti untuknya. Sebuah kemeja lengan panjang warna navy dan celana bahan. Tidak ada baju koko apalagi sarung. Beruntung masih ada pakaian Ardhan yang ditinggal di sini.
"Kalau Mas Ardhan tidak suka dengan pilihan aku, ganti saja, Mas. Masih ada beberapa setel."
"Suka. Terima kasih sudah repot-repot. Omong-omong, Lova. Kenapa kamu tidur di sini, tidak di kamar yang satunya? Di sana lebih luas dan ada kamar mandi di dalam."
"Itu kan kamar Mas Ardhan dan Mbak Tami."
"Apartemen ini sudah jadi milik kamu."
"Di sini saja, Mas. Aku sudah nyaman di sini."
"Baiklah. Saya pergi ke masjid dulu."
Lova mengangguk. "Fii amanillah," ucapnya.
Langkah kaki Ardhan terasa ringan. Hatinya juga lebih tenang sepulang dari rumah ibadah yang selama bertahun-tahun tidak pernah Ardhan datangi. Sebenarnya Ardhan juga malu karena dia melakukan ini karena Lova.
Saat Ardhan tiba, Lova sedang mengganti seprai. "Kenapa tidak Bu Mar saja yang melakukannya?" tanya Ardhan.
Wajah Lova justru memerah. "Tidak mungkin, Mas."
Ardhan memiringkan kepalanya tidak mengerti. Dia baru paham setelah melihat noda hasil semalam di seprai bermotif bunga sakura itu. Dan karenanya Ardhan kembali teringat Lova yang memanggil Ardhan saat perempuan itu berada di puncak kepuasaannya.
Ini gawat. Mengingatnya membuat Ardhan ingin mendengar suara Lova lagi. Ardhan menelan ludah. Celananya terasa sempit.
"Mas?"Lova melangkahkan kakinya memasuki kamar utama. Ardhan tiba-tiba saja berlari meninggalkannya. Lova yang khawatir langsung mengikuti Ardhan. Pria itu tidak ada. Hanya suara guyuran shower dari kamar mandi."Mas baik-baik saja?" tanya Lova.Ardhan yang membasahi seluruh badannya tanpa melepaskan pakaian seketika terkesiap. Dia tidak berpikir Lova akan mengikutinya. "I-iya," jawabnya."Kenapa showernya menyala?""Ah ... kepencet."Lova mengernyit, tetapi dia memilih tidak ambil pusing. "Aku mau menyiapkan sarapan dulu.""Iya. Silakan."Sementara Lova keluar dan berjibaku di kitchen island, Ardhan kembali menyalakan shower sampai dorongan primitifnya berhenti. Dia segera berganti pakaian dan mengeringkan rambut.Lova sudah membuatkan sandwich roti gandum isi telur, selada, tomat, mentimun, dan keju slice. Pria itu langsung menyantapnya."Mas Ardhan langsung ke kantor?"Ardhan mengangguk dengan mulut penuh. "Besok saya mau ke Wakatobi untuk pembukaan resort," ucapnya setelah berhasi
"Freya?" Khatami bergumam.Dia membelalak. Reaksinya berbeda dengan perempuan berambut bob yang barusan memanggilnya."Ya ampun, aku tidak menyangka kita bisa ketemu di sini. Sudah lama ya?"Perempuan bernama Freya itu memeluk Khatami dan cipika-cipiki. Dia lalu menoleh Lova. "Eh, kamu tidak datang sendiri. Ini siapa?" Freya mengulurkan tangan.Lova menerima uluran tangannya. "Lova, Mbak.""Oh salam kenal, Lova. Aku Freya, teman lama Tami dan Ardhan." Freya tersenyum ramah. Dia lantas menarik lembut bocah laki-laki yang bersamanya. "Ini anakku. Ayo kenalan, Nak."Bocah berusia sekitar 4 tahun itu mengulurkan tangannya kepada Khatami dan Lova bergantian. "Nama aku Sapiel (Xavier), Tante."Lova tersenyum. Xavier sangat lucu dengan pipi cubbhy dan mata bulat besarnya. Wajahnya sangat mirip dengan Freya. Berbeda dengan Lova, Khatami justru merasa sesak. Dia iri."Kalian pergi berdua?" tanya Khatami, mengalihkan fokusnya dari Xavier."Iya.""Suamimu ke mana?"Freya menggeleng pelan. "Kami
"Ini untuk kamu."Lova menerima paper bag kecil dari Ardhan, lalu membukanya. Isinya ternyata sebuah bros perak berbentuk bunga."Terima kasih, Mas. Mbak Tami dikasih juga?"Ardhan mengernyit. "Tami tidak suka memakai bros.""Maksud aku ... Mbak Tami dibawakan oleh-oleh juga?"Ardhan tersenyum lebar, lalu menggeleng. "Saat melihat bros ini, saya langsung teringat kamu karena kamu memakai kerudung. Sedangkan Khatami tidak, jadi saya tidak ingat membelikannya yang lain."Lova menghela napas. Dia menaruh bros itu dimeja. "Kalau seperti itu, artinya Mas Ardhan harus memberikan Mbak Tami sesuatu yang seharga dengan bros ini.""Kenapa?""Mas Ardhan kan harus berbuat adil. Aku takut Mas Ardhan nanti di akhirat jalannya miring."Ardhan menaruh tangannya di sandaran sofa, sebelah kakinya diangkat. Dia tertarik. "Kenapa bisa miring?""Itu kan balasan untuk seorang suami yang poligami tapi tidak berbuat adil ke salah satu istri, dan lebih condong ke istri yang lain."Ardhan seketika merinding. "M
[Lov, Mas Ardhan pergi. Katanya dia mau cari perempuan lain.]Tidak lama setelah kedatangan Ardhan yang tiba-tiba yang tidak tahu apa alasannya. Lova mendapati pesan dari Khatami.[Kalian bertengkar?] tanya Lova.[Iya. Semua ini gara-gara si janda itu. Ternyata Mas Ardhan sudah setengah tahun berhubungan dengannya. Dan kamu tahu yang lebih mengejutkan lagi, Lov. Kamu dan Freya satu apartemen. Tapi Mas Ardhan tidak pernah mengatakannya.][Lov, aku minta tolong. Cek unitnya Freya. Awas saja kalau Mas Ardhan ke sana. Aku sedang on the way.]Lova menghela napas.[Mbak Tami tenang saja. Mas Ardhan ada di sini, Mbak. Dia langsung ke kamar begitu sampai. Sepertinya Mas Ardhan sedang menenangkan diri.][Kamu serius?][Iya. Mbak Tami menuju ke sini, kan? Mbak bisa memastikannya sendiri. Aku tidak berani menganggu Mas Ardhan.][Syukurlah.]Lova berdoa semoga tidak terjadi perang besar di sini."Non, saya pulang dulu ya," ucap Bu Mar. Beliau memang hanya setengah hari menemani Lova."Iya, Bu. Fi
"Saya bercanda, Lova. Muka kamu tegang sekali." Tawa Ardhan meledak. "Berengsek sekali jika saya mengambil kesempatan dalam kesempitan."Lova menghela napas lega. Bagaimana pun juga, Lova tidak menikah dengan Ardhan untuk berperan sebagai seorang istri pada umumnya. Beruntung Ardhan orang yang baik dan pengertian."Lalu Mas mau ke mana?""Pulang. Kamu yang mendorong saya untuk membuat keputusan.""Jadi Mas mau menceraikan Mbak Tami?"Ardhan tersenyum. Lova benar. Baik dia dan Khatami tidak akan ada yang bahagia. Namun, Ardhan kasihan pada Lova. Dia terjebak di tempat yang tidak seharusnya dia berada.Ardhan mengusap lembut kepala Lova sebelum benar-benar pergi. "Semoga suatu hari nanti pernikahan kamu dilimpahi kebahagiaan, Lov."Pria itu sampai di rumah yang sudah dia huni selama tiga tahun belakangan. Entah sejak kapan atau mungkin Ardhan memang tidak pernah merasa pulang saat menginjakkan kaki di rumah ini. Sekarang dia justru lebih betah di apartemen.Pekerjanya yang membukakan pin
"Saya tidak ingin identitas istri saya yang kecelakaan dimuat di media mana pun.""Baik, Pak," ucap sekretaris Ardhan di seberang telepon.Ardhan khawatir kecelakaan Khatami bisa membawa pengaruh buruk untuk Nuraga Grup yang baru tersandung masalah serupa.Saat Ardhan sedang memasukkan ponsel ke celana yang belum sempat dia ganti sejak semalam, sudut matanya menemukan Lova dan sang mertua yang sudah kembali.Salma langsung ke ruang perawatan Khatami tanpa menegur atau menatapnya. Ardhan maklum."Dari mana?""Dari kantin, Mas. Mas Ardhan sudah sarapan?"Seingatnya belum. Namun, itu tidak penting."Apa Mama mengatakan sesuatu?"Lova mengangguk, lalu duduk."Boleh saya tahu apa saja yang Mama katakan?""Bu Salma ingin Mas Ardhan bertanggung jawab." Lova tidak mungkin mengatakan permintaan Salma."Saya di sini adalah bentuk pertanggungjawaban.""Bukan hanya soal kecelakaan Mbak Tami. Tapi, soal Mas Ardhan yang sudah menikahi Mbak Tami. Bu Salma tidak ingin Mas Ardhan mencampakkan Mbak Tami
"Mas, sudah!"Ardhan tidak berhenti menggelitik Lova sampai tubuhnya menggelinjang. Jeritan bercampur tawa memenuhi kamar ini.Ardhan baru menyudahi aksinya saat dia sadar jarak wajahnya dengan Lova terlampau dekat. Keduanya bahkan bisa merasakan embusan napas satu sama lain.Jeda yang Ardhan beri justru menciptakan keheningan. Netra cokelat madunya bertemu dengan milik Lova."Saya suka mata kamu," ucapnya sambil mengusap perlahan pelupuk mata Lova. Ardhan menilik setiap inci wajah Lova. Dia ingin merekam semua hal yang dia lihat dari perempuan di hadapannya.Tangan itu kemudian turun ke hidung, lalu berlabuh di bibir penuh Lova. Ardhan kembali mengusapnya. Hal itu membangunkan desir familiar dari dalam tubuh Ardhan. Padahal sejak tadi dia berusaha menahan diri. Namun, jarak sedekat ini membuat perasaan itu kian meledak-ledak."Saya juga suka ini."Didorong gelora yang tidak terbendung, Ardhan menyatukan bibir keduanya. Ardhan berharap Lova mendorongnya menjauh. Menampar jika bisa. Na
"Lova."Sayup-sayup Lova mendengar namanya dipanggil. Dia mengerjap. Perlu waktu untuk beradaptasi dengan cahaya. Hal yang pertama kali Lova lihat adalah langit-langit ruangan berwarna putih."Lova!"Lova mengenali suara ini. Suara milik Khatami. Sosok itu akhirnya muncul. Pipinya basah karena air mata.Lova pikir, Khatami menangis karena pertengkarannya dengan Sekar. Lova masih mengingat ucapan Khatami yang meminta Sekar menyalahkan Tuhan."Mbak Tami," panggilnya pelan sambil mengangkat tangan. Hanya ujung jarinya yang bisa menyentuh pipi Khatami. "Allah tidak akan memberi ujian di luar batas kemampuan hamba-Nya."Khatami menggenggam tangan Lova erat. "Terima kasih," ucapnya.Lova tersenyum."Terima kasih banyak, Lov." Khatami mengulangi perkataannya."Iya, Mbak. Kita memang harus saling mengingatkan dalam kebaikan."Khatami menggeleng. Air matanya keluar semakin deras. Namun, dia tersenyum. "Kamu hamil, Lov.""Hng?" Lova berusaha mencerna ucapan Khatami."Iya, kamu hamil, Lova."Ham
"Mengapa Anda menusuk suami Anda sendiri sebanyak tiga kali?" tanya hakim ketua."Mungkin ada cara lain untuk menghentikan Kak Shaka yang ingin membunuh Kak Xavier. Namun, yang ada di pikiran saya hanya itu karena ada gunting berada di dekat kaki saya," jawab Almaira."Kenapa Anda harus menusuk sebanyak tiga kali?"Almaira menghela napas. "Saya emosi karena sebelumnya Kak Shaka memaksa saya meminum obat penggugur kandungan. Saya marah karena Kak Shaka mengancam akan membunuh keluarga saya satu per satu. Saya sangat kecewa karena ...."Almaira menjeda ucapannya. Dia malu mengatakan hal itu. Namun, Almaira tetap harus mengungkap semua yang terjadi hari itu. "Saya kecewa dan malu karena Kak Shaka melakukan hal menjijikan dan serendah itu. Dia ... menggauli saya di depan Kak Xavier.""Apa Anda tahu motif Saudara Arshaka Lesmana melakukan hal itu.""Kak Shaka cemburu. Dia berpikir saya dan Kak Xavier masih saling mencintai. Kak Shaka
"Di mana Maira?" tanya Xavier."Untuk apa kamu mencari istri orang?"Keduanya sama-sama melemparkan tatapan permusuhan."Mama dan Papa memintaku memastikan keadaannya.""Aku ini suaminya. Mereka sudah tidak punya hak, apalagi sampai mengutus orang lain.""Terserah apa katamu. Tapi aku tidak akan pergi sebelum memastikan Almaira baik-baik saja.""Aku bisa memanggil warga untuk mengusirmu."Xavier berdecak. "Sial. Aku sudah tidak bisa bersabar." Pria itu meringsek masuk. "Maira! Mai!" panggilnya berteriak.Shaka tentu tidak diam saja. Dia membalik badan Xavier, lalu melayangkan tinju ke pipinya.Xavier terhuyung. Dia segera menegakkan tubuh dan membalas pukulan Shaka."Keluar dari rumahku!" bentak Shaka."Di mana Maira?"Suara benda jatuh terdengar dari atas. Xavier segera menaiki tangga. Namun, Shaka tidak membiarkannya begitu saja. Shaka menarik Xavier, lalu mengempaskannya ke
"Gugurkan kandungan itu!" ucap Shaka tegas.Almaira membelalak. Dia refleks melindungi perutnya menggunakan kedua tangan. "Tidak.""Aku tidak menginginkannya!""Tapi aku menginginkannya. Dia anakku. Anak kita."Shaka mengetatkan rahang. Padahal dia sudah vasektomi. Vasektomi memang tidak 100% mencegah kehamilan. Tahu begini Shaka akan tetap memakai pengaman."Kamu harus menggugurkannya, Sayang." Shaka mendekati sang istri.Almaira langsung mundur beberapa langkah sambil terus melindungi perutnya. "Tidak! Aku bukan pembunuh. Aku tidak mau membunuh anakku sendiri.""Al, mengertilah."Almaira menggeleng. Air mata berkejaran jatuh ke pipinya. "Kak Shaka yang seharusnya mengerti.""Aku tidak ingin ada orang ketiga di antara kita.""Dia darah daging Kak Shaka!" Almaira menjerit."Aku tidak peduli, Sayang. Aku hanya mencintai kamu."Pria itu kembali melangkah mengikis jarak. Almaira
"Aku tidak membawa keycard saat menyusul Kak Shaka. Aku tidak bisa masuk, lalu Kak Tamara memaksaku menunggu di sana." Almaira berusaha menjelaskan kepada suaminya yang tampak sangat marah. Matanya bahkan memerah."Sejak kapan kamu tahu Xavier tinggal di sini?" tanya Shaka sinis."Tadi. Mereka juga pindah baru dua hari yang lalu.""Kita pergi dari sini," ujar Shaka sambil melangkahkan kakinya ke kamar, lalu ke walk in closet. Pria itu segera mengemasi pakaian dirinya dan Almaira.Almaira menghela napas. Dia sudah menebak akan seperti ini jadinya. "Aku bantu," ucap perempuan itu.Almaira tidak protes Shaka akan membawanya pindah. Dia sudah membuat keputusan akan mengikuti suaminya ke manapun. Shaka adalah rumahnya. Shaka adalah tempat Almaira pulang."Tidak bilang Mama dan Papa dulu, Kak?"Shaka membalas Almaira dengan tatapan tajam, membuat perempuan itu menutup mulutnya.Mereka kembali pindah ke rumah Shaka. Se
"Kak, geli!" Almaira berusaha menarik kakinya yang sedang dikelitiki oleh Shaka.Selama empat bulan tinggal di apartemen, Almaira dan Shaka tidak pernah sekali pun bertengkar. Mereka justru semakin romantis dari hari ke hari. Keduanya menjadi pasangan yang tidak bisa terpisahkan meski hanya sesaat.Siapa itu Xavier? Almaira bahkan melupakan eksistensinya. Hati dan pikiran perempuan itu selalu dipenuhi oleh Shaka. Almaira telah jatuh cinta kepada Shaka.Tempat terbaik bagi Almaira adalah di samping suaminya itu. Sekarang dia benar-benar malas keluar unit. Almaira sudah seperti tidak memiliki kehidupan di luar sana. Lovara saja dia bebankan kepada sang adik."Ini akibatnya karena kamu pura-pura tidur." Shaka tidak memedulikan jeritan Almaira. Dia terus menarikan jari-jarinya di telapak kaki sang istri.Setelah memperkerjakan otaknya untuk naskah, Shaka akan meminta jatah kepada Almaira. Almaira justru pura-pura terlelap. Bukan ingin menolak
"Pesawatnya masuk ke goa ... aaaaa." Almaira mengarahkan sendok ke mulut Shaka setelah memutarnya di udara.Shaka justru melengos. "Kamu tidak perlu seperti ini.""Kenapa? Selama ini Kak Shaka selalu merawatku padahal aku baik-baik saja. Sekarang giliran." Almaira kembali mengarahkan sendok.Namun, Shaka menggeleng pelan dengan mulut terkunci rapat."Kak Shaka." Almaira merengek. "Aku marah, nih. Adik-adikku bilang kalau aku lebih galak dari Mama."Shaka mengernyit. Ekspresinya seperti sedang meledek Almaira."Oke. Aku marah." Almaira menyimpan piring di nakas. Dia lalu bersedekap.Shaka mencubit pipi istrinya. "Aku merasa gagal menjadi suami kamu kalau kamu sampai menyuapiku seperti ini.""Loh, kenapa?""Karena aku ingin meratukan kamu.""Kalau aku ratu, Kak Shaka rajanya, kan?"Shaka tersenyum samar. "Apa aku pantas disebut raja? Status kita jelas berbeda."Almaira menghela
"Chy akan menikah dua hari lagi. Aku ingin menghadirinya," ucap Almaira kepada Shaka.Mereka sudah satu bulan berada di kota itu. Pada akhirnya Shaka membawa Almaira kembali ke rumahnya dengan alasan tidak ingin merepotkan sang bibi. Toh, masih satu kota. Setidaknya Shaka bisa langsung pergi menemui nenek seandainya terjadi sesuatu kepada beliau."Iya," jawab Shaka tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop. Tangannya sibuk mengetik.Beberapa hari terakhir Shaka lebih banyak menghabiskan waktu dengan menulis. Dia bisa sampai begadang. Almaira sangat khawatir dengan kondisi Shaka. Lingkaran hitam di bawah matanya terlihat jelas."Iya apa?" Almaira meminta penjelasan lebih."Kita akan menghadirinya."Perempuan itu langsung berbinar. "Serius?"Shaka menutup laptop. "Aku tidak setega itu, Sayang.""Terima kasih, Kak," ucap Almaira dengan senyum lebar.Pria itu menghampiri istrinya di tempat tidur. "Ha
"Sayang," panggil Shaka riang sambil membawa nampan berisi sarapan yang sudah telat.Almaira bangkit ke posisi duduk, lalu mengikat rambutnya yang acak-acakan.Shaka menaruh nampan di nakas."Terima kasih, Kak Shaka," ucap Almaira. Dia tersenyum, sebagai penghargaan untuk Shaka yang sudah membuatkannya makanan sementara dia hanya bermalas-malasan."Aku memiliki informasi yang penting," tutur Shaka sambil mengarahkan sendok berisi nasi dan lauknya kepada Almaira."Apa itu?" tanya Almaira sebelum menerima suapan dari suaminya."Aku sudah menemukan alamat keluarga Ibu.""Benarkah?" Almaira senang mendengarnya."Iya. Besok kita ke sana, ya."Besok seharusnya mereka kembali ke Jakarta.Almaira mengangguk. Dia tidak mungkin memaksa Shaka kembali ke Jakarta saat pria itu ingin pergi ke tempat keluarganya yang tidak pernah dia temui. Shaka sudah terlalu lama hidup sendiri. Dari ekspresinya saja sudah
"Kak Shaka mengancam?" Almaira mengangkat sebelah alisnya."Itu bukan ancaman, Sayang. Hanya peringatan kecil. Selama ini aku sudah bersabar menahan diri karena kamu belum bersamaku. Tapi, kali ini tidak. Kamu hanya milik Arshaka Lesmana."Shaka mengusap pipi lembut Almaira, yang langsung perempuan itu tepis. "Aku bukan barang yang bisa dimiliki siapapun, termasuk Kak Shaka. Kak Shaka hanya suamiku, imamku, bukan pemilik hidupku. Kita sangat bisa berpisah."Shaka mengetatkan rahang. Dia tidak suka mendengar kata 'berpisah' keluar dari mulut istrinya. "Aku tidak akan membiarkan hal itu," ucap Shaka tegas."Kalau Kak Shaka terlalu mengekang aku, aku akan pergi." Almaira balik mengancam.Shaka semakin emosi. Dia lantas mencekal kedua lengan Almaira. "Kamu tidak akan pergi ke mana pun. Aku tidak akan membiarkan kamu pergi dariku, Al." Tatapan pria itu menajam."Kalau aku betulan pergi, Kakak mau apa?" Almaira justru menantang dengan