"Hng?"Entah kenapa Lova sulit bergerak. Seperti ada yang merengkuhnya. Setelah mendapatkan kesadaran, Lova menoleh. Dalam remang-remang, Lova menemukan wajah seseorang."Astagfirullah." Lova lekas berusaha melepaskan diri dari pelukan Ardhan."Seperti ini saja, Lova," gumam Ardhan."Kenapa Mas Ardhan di sini?""Memangnya kenapa?""Jangan bercanda, Mas. Bagaimana kalau Mbak Tami ke sini?""Tami sudah tidur. Semua orang sudah tidur.""Tetap saja."Ardhan akhirnya membuka mata. "Saya ingin berdekatan dengan calon anak saya," ucap Ardhan sambil mengelus perut Lova. Jari-jarinya menari di atas kulit Lova."Mas, geli." Lova berusaha menyingkirkan tangan Ardhan.Ardhan berhenti. "Dia sudah satu bulan ada di sini.""Dihitung sejak aku selesai menstruasi.""Ah, berarti saat kita melakukannya yang kedua kali. Saat kamu memakai lingerie hitam itu."Wajah Lova memanas. "Tidak perlu diingatkan.""Sayangnya saya teringat malam itu terus.""Sudah ah. Aku mau tidur. Mas kembali ke kamar sana."Ardha
"Jangan berpikiran buruk," tutur Ardhan."Aku tidak bermaksud berpikirkan buruk, Mas. Aku hanya ingin memastikan. Karena jika Mbak Tami dan Mas Ardhan tidak menyayanginya, aku yang akan merawatnya."Ardhan menunduk untuk mencium perut Lova. "Dia darah daging saya. Selamanya akan tetap seperti itu."Lova tersenyum lega. "Syukurlah."Ponsel Ardhan bergetar. Ada satu panggilan masuk dari Khatami. Ardhan ingin mengabaikannya. Namun, tatapan Lova menusuk. Seolah-olah menyuruh Ardhan mengangkat telepon itu."Iya. Ada apa?" tanya Ardhan datar.[Kamu bawa Lova ke mana?]"Ke tempat yang aman."[Di mana?]Ardhan malas menjelaskan. "Pokoknya aman dari keributan yang kamu dan Mama ciptakan."Khatami belum tahu soal penyewa apartemen yang sudah pindah. Ardhan belum mengatakannya. Belum sempat. Atau mungkin, Ardhan memang tidak ingin memberi tahunya. Lumayan. Unit ini bisa Ardhan jadikan tempat bersembunyi.[Mama tidak mau pulang tuh.]"Ya sudah. Biarkan saja," jawab Ardhan cuek.[Kok begitu sih, M
"Ya ampun, Tami. Kamu menyedihkan sekali," ucap Sekar. "Kamu membohongi semua orang soal kehamilan palsumu itu."Khatami menoleh Sekar. Perempuan tua itu belum pulang juga. Kehadirannya di sini memang ingin mencari gara-gara."Terus kenapa Mama tadi diam saja? Kenapa Mama tidak memberi tahu teman-temanku kebenarannya?" Khatami menantang.Dia melanjutkan, "Itu karena Mama takut Mas Ardhan jadi gunjingan kan? Mama khawatir rumor tersebar di perusahaan kan? Ya sudah. Diam saja kenapa! Apa Mama tidak capek nyinyir terus?"Sekar berdecak. "Kamu itu memang paling pintar kalau mendebat Mama."Khatami menghela napas lelah. "Mama kenapa sih tidak pulang-pulang? Mas Ardhan jadi harus mengungsikan Lova.""Kamu berani mengusir Mama?" Sekar melotot.Khatami tertawa. "Kenapa tidak?""Sudah. Sudah."Indira, adik perempuan Ardhan datang bersama Theo dan Bella. Kedua bocah itu langsung menyerbu neneknya. Mereka mengajak Sekar melihat ikan di belakang."Apa kabar, Mbak Tami?" Indira menyapa ramah."Aku
"Dari mana kamu tahu kita ada di sini?" Ardhan yang sedang bad mood bertanya ketus. Dia meminta Bu Mar merahasiakan keberadaannya."Ada deh," jawab Khatami."Kamu masih pincang seperti itu. Seharusnya istirahat saja."Khatami tersenyum mengejek. "Perhatian, atau ingin mengusirku karena tidak ingin diganggu?"Drama dimulai. Ardhan membatin."Saya membawa Lova ke sini karena ingin menyelamatkannya dari keributan. Sekarang kamu menyusul, dan ingin menciptakan keributan itu.""Ya itu karena kamu tidak langsung membawa Lova pulang padahal Mama sudah tidak ada di rumah. Dan, satu lagi. Tadi kamu ke mana saja? Keliling tidak jelas."Ardhan mengernyit. "Kamu menyuruh orang lain membuntuti saya, atau melacak saya?""Tidak penting yang mana.""Kamu tidak menghargai privasi saya.""Privasi apa? Kita sudah menikah. Tidak ada itu istilah privasi. Terus, ke mana penyewa unit ini? Kenapa kalian ada di sini?"Lova menghela napas. "Mbak, Mas. Sudah ya. Kita pulang saja sekarang.""Sebentar, Lova. Urus
"Aku pengin hamil." Khatami mengulangi ucapannya sambil memukuli perut.Ardhan yang melihat itu tidak tinggal diam. Dia menahan kedua tangan Khatami. "Kehamilan itu bukan kehendak kita, Tami."Khatami memberontak. "Terus kenapa harus aku? Di luar sana yang tidak mau punya anak justru punya anak.""Itulah ujiannya. Dan di setiap ujian, pasti mengandung hikmah.""Aku maunya mengandung anak! Bukan hikmah!"Ardhan menarik Khatami agar duduk. Pria itu lantas memeluk istrinya. Dia tidak mengatakan apa-apa lagi. Ardhan membiarkan Khatami menangis sampai tenang, meskipun harus mengikhlaskan kemejanya basah oleh ingus dan air mata.Ardhan jadi merasa bersalah karena sempat berburuk sangka kepada Khatami. Khatami ternyata sama terlukanya."Mas," panggil Khatami dengan suara parau."Ya?""Tetap seperti ini. Jangan lepaskan aku."Ardhan mengernyit. Dasar modus! Mencari kesempatan dalam kesempitan. Tapi ya sudahlah. Daripada Khatami menangis lagi. Meskipun Ardhan tidak mencintainya, Ardhan tetap t
"ARDHAN! HENTIKAN! KAMU APA-APAAN!"Sekar langsung berteriak saat melihat putra pertamanya sedang membuat putra bungsunya babak belur. Perempuan paruh baya itu berlari dan menjadi pemisah di antara keduanya. Lebih tepatnya, menjadi tameng Rafael."Rafael yang apa-apaan, Ma. Dia pergi ke rumah saya hanya untuk menganggu Lova.""Aku cuma mau kenalan. Apa salahnya?"Ardhan mencengkeram kaus yang dipakai Rafael. "Kamu masih bertanya di mana letak kesalahan kamu setelah kamu mengatakan hal semenjijikan itu? Mau saya laporkan ke polisi kamu?""ARDHAN!" Sekar melepas cekalan Ardhan. "Apa sih yang kamu bicarakan? Hal menjijikan apa yang dikatakan Ael?""Dia bertanya berapa Lova dibayar dan bersedia membayar Lova pakai dollar. Dia juga memojokkan Lova ke pilar. Dia mengatakan ingin berduaan dengan Lova."Ardhan menjeda ucapannya. Dia menatap tajam Rafael tepat di matanya karena tinggi mereka sama. "Dia bilang kalau dia jago di ra
"Mbak Tami marah ya ke aku? Aku ada salah?" tanya Lova.Akhir-akhir ini Khatami seperti menghindari Lova. Dia lebih banyak menghabiskan waktunya di lantai atas."Tidak." Khatami menangkup sebelah pipi Lova. "Aku kan tidak boleh membuat keributan. Jadi aku di kamar saja.""Apa harus sampai seperti itu, Mbak?"Khatami tertawa. "Kayaknya iya. Para pekerja di sini juga setuju kalau aku yang sering bikin masalah lebih dulu.""Terus sekarang Mbak mau ke mana? Mbak belum sembuh benar."Khatami menyerahkan tasnya kepada Weni untuk dia simpan di dalam mobil. "Aku mau ke florist. Aku mau mengambil alih lagi kepengurusannya. Daridapa diam saja.""Oh.""Aku pergi dulu ya."Lova mengangguk. Dia tetap merasa ada yang janggal. Senyum Khatami tidak lepas lagi. Seperti ada beban besar yang dia pikirkan. Apa pun itu, Lova berdoa semoga urusan Khatami selalu dimudahkan.Sorenya, Lova tiba-tiba ingin makan martabak manis. Di dalam benaknya, makanan berbahan tepung terigu itu terus berputar-putar. Lova ba
"Mas, aku baik-baik saja," ucap Lova sambil menarik kakinya. "Sebaiknya Mas Ardhan menyusul Mbak Tami."Ardhan menghela napas. "Untuk apa, Lova? Dia sendiri yang memilih bertahan dengan laki-laki yang tidak mencintainya."Lova berusaha berdiri. Ardhan hendak membantunya, tetapi Lova menolak. "Aku saja yang menyusul Mbak Tami.""Kaki kamu terluka.""Kaki Mbak Tami juga terluka. Lagi pula, sakit karena goresan beling ini tidak seberapa daripada sakit hatinya Mbak Tami."Ardhan berdecak. "Dia yang mencari penyakitnya sendiri."Lova mengikuti Khatami ke taman bunga melati mentomori. Perempuan itu duduk di salah satu bangku semen yang dibentuk seperti batang pohon. Khatami menangis."Mbak," panggil Lova. "Aku ... minta maaf.""Maaf untuk apa?" Khatami bertanya dengan suara serak."Karena ... sudah ceroboh menjatuhkan gelas. Mungkin hal ini tidak akan terjadi. Mbak tidak akan menangis."Khatami tertawa sumbang. "Sudahlah, Lova. Lebih baik kamu istirahat saja. Biarkan aku sendiri.""Apa Mbak