"Aku pengin hamil." Khatami mengulangi ucapannya sambil memukuli perut.Ardhan yang melihat itu tidak tinggal diam. Dia menahan kedua tangan Khatami. "Kehamilan itu bukan kehendak kita, Tami."Khatami memberontak. "Terus kenapa harus aku? Di luar sana yang tidak mau punya anak justru punya anak.""Itulah ujiannya. Dan di setiap ujian, pasti mengandung hikmah.""Aku maunya mengandung anak! Bukan hikmah!"Ardhan menarik Khatami agar duduk. Pria itu lantas memeluk istrinya. Dia tidak mengatakan apa-apa lagi. Ardhan membiarkan Khatami menangis sampai tenang, meskipun harus mengikhlaskan kemejanya basah oleh ingus dan air mata.Ardhan jadi merasa bersalah karena sempat berburuk sangka kepada Khatami. Khatami ternyata sama terlukanya."Mas," panggil Khatami dengan suara parau."Ya?""Tetap seperti ini. Jangan lepaskan aku."Ardhan mengernyit. Dasar modus! Mencari kesempatan dalam kesempitan. Tapi ya sudahlah. Daripada Khatami menangis lagi. Meskipun Ardhan tidak mencintainya, Ardhan tetap t
"ARDHAN! HENTIKAN! KAMU APA-APAAN!"Sekar langsung berteriak saat melihat putra pertamanya sedang membuat putra bungsunya babak belur. Perempuan paruh baya itu berlari dan menjadi pemisah di antara keduanya. Lebih tepatnya, menjadi tameng Rafael."Rafael yang apa-apaan, Ma. Dia pergi ke rumah saya hanya untuk menganggu Lova.""Aku cuma mau kenalan. Apa salahnya?"Ardhan mencengkeram kaus yang dipakai Rafael. "Kamu masih bertanya di mana letak kesalahan kamu setelah kamu mengatakan hal semenjijikan itu? Mau saya laporkan ke polisi kamu?""ARDHAN!" Sekar melepas cekalan Ardhan. "Apa sih yang kamu bicarakan? Hal menjijikan apa yang dikatakan Ael?""Dia bertanya berapa Lova dibayar dan bersedia membayar Lova pakai dollar. Dia juga memojokkan Lova ke pilar. Dia mengatakan ingin berduaan dengan Lova."Ardhan menjeda ucapannya. Dia menatap tajam Rafael tepat di matanya karena tinggi mereka sama. "Dia bilang kalau dia jago di ra
"Mbak Tami marah ya ke aku? Aku ada salah?" tanya Lova.Akhir-akhir ini Khatami seperti menghindari Lova. Dia lebih banyak menghabiskan waktunya di lantai atas."Tidak." Khatami menangkup sebelah pipi Lova. "Aku kan tidak boleh membuat keributan. Jadi aku di kamar saja.""Apa harus sampai seperti itu, Mbak?"Khatami tertawa. "Kayaknya iya. Para pekerja di sini juga setuju kalau aku yang sering bikin masalah lebih dulu.""Terus sekarang Mbak mau ke mana? Mbak belum sembuh benar."Khatami menyerahkan tasnya kepada Weni untuk dia simpan di dalam mobil. "Aku mau ke florist. Aku mau mengambil alih lagi kepengurusannya. Daridapa diam saja.""Oh.""Aku pergi dulu ya."Lova mengangguk. Dia tetap merasa ada yang janggal. Senyum Khatami tidak lepas lagi. Seperti ada beban besar yang dia pikirkan. Apa pun itu, Lova berdoa semoga urusan Khatami selalu dimudahkan.Sorenya, Lova tiba-tiba ingin makan martabak manis. Di dalam benaknya, makanan berbahan tepung terigu itu terus berputar-putar. Lova ba
"Mas, aku baik-baik saja," ucap Lova sambil menarik kakinya. "Sebaiknya Mas Ardhan menyusul Mbak Tami."Ardhan menghela napas. "Untuk apa, Lova? Dia sendiri yang memilih bertahan dengan laki-laki yang tidak mencintainya."Lova berusaha berdiri. Ardhan hendak membantunya, tetapi Lova menolak. "Aku saja yang menyusul Mbak Tami.""Kaki kamu terluka.""Kaki Mbak Tami juga terluka. Lagi pula, sakit karena goresan beling ini tidak seberapa daripada sakit hatinya Mbak Tami."Ardhan berdecak. "Dia yang mencari penyakitnya sendiri."Lova mengikuti Khatami ke taman bunga melati mentomori. Perempuan itu duduk di salah satu bangku semen yang dibentuk seperti batang pohon. Khatami menangis."Mbak," panggil Lova. "Aku ... minta maaf.""Maaf untuk apa?" Khatami bertanya dengan suara serak."Karena ... sudah ceroboh menjatuhkan gelas. Mungkin hal ini tidak akan terjadi. Mbak tidak akan menangis."Khatami tertawa sumbang. "Sudahlah, Lova. Lebih baik kamu istirahat saja. Biarkan aku sendiri.""Apa Mbak
"Aku dengar kamu hamil, Mi."Khatami memutar bola mata. Dari sekian banyak orang, kenapa Freya harus menjadi pelanggan toko bunganya? Khatami tidak masalah kehilangan satu pembeli. Apalagi jika itu Freya."Iya." Khatami menjawab malas. "Tapi, dari mana kamu tahu?""Tante Sekar."Khatami mencebik. Padahal waktu itu Sekar pernah menertawainya. Sekarang dia malah ikut bersandiwara."Selamat ya."Khatami memaksakan diri tersenyum. "Ya. Terima kasih.""Tante Sekar akhirnya punya cucu dari Ardhan. Soalnya ya, Mi. Tante Sekar itu sangat dekat dengan Xavier. Beliau bahkan menyuruh Xavier memanggilnya Oma.""Oh."Khatami lalu beralih pada pegawainya yang sedang membuat buket bunga daisy. "Bunga pesanan Freya sudah jadi belum? Jangan buat pelanggan saya kecewa karena keleletan kamu!"Padahal maksud Khatami adalah : Bunga pesanan Freya sudah jadi belum? Dia harus segera pergi. Aku muak melihatnya lama-lama."Se-sebentar, Bu." Pegawainya yang kena semprot buru-buru menyelasaikan tugasnya."Eh, ti
"Saya akan mencarinya," ucap Ardhan.Lova segera menutup pintu kulkas. "Tidak usah, Mas. Sudah malam. Dan lagi, Mas Ardhan belum tidur. Aku takut Mas Ardhan pusing atau bagaimana.""Tapi kamu sangat menginginkannya kan?"Lova menggeleng. "Tidak juga. Tidak selamanya ngidam harus selalu dituruti, apalagi yang memberatkan. Tidak akan berpengaruh juga ke bayinya.""Kamu yakin?" tanya Ardhan memastikan.Ardhan memang sudah mengantuk. Jika Lova sangat menginginkan tahu sumedang itu, Ardhan harus mencarinya sendiri. Sangat tidak bijak kalau dia membangunkan Pak Agus sopirnya.Lova tersenyum meyakinkan. Namun, ini bukan soal bayi yang akan ngeces jika ngidamnya tidak dituruti. Saat Lova naik ke tempat tidur dan mulai memejamkan mata, Lova bisa melihat tahu-tahu itu. Rasa gurihnya bahkan menyentuh lidah Lova.Semakin kuat Lova menolak, keinginannya makan tahu justru semakin kuat. "Kenapa aku seperti ini?" Lova berguling ke kiri dan kanan ranjang. Dia frustrasi. "Jangan tahu sumedang! Aku haru
"Non Lova jadi lebih banyak diam sejak pulang dari Sumedang," ucap Bu Mar sambil menyuguhkan sup ayam."Aku kan memang jarang bicara, Bu.""Bedalah, Non. Sekarang itu seperti ada yang Non pikirkan."Lova menuangkan sup ayam ke mangkuk. "Manusia kan setiap hari memang berpikir.""Ah, Non Lova ini. Bisa saja jawabnya."Lova tertawa pelan. "Mbak Ika mana? Waktunya makan siang.""Ada di atas sedang angkat jemuran.""Bu Mar juga makan." Lova menyerahkan mangkuk yang sudah terisi sup itu kepada Bu Mar.Memang benar setelah pulang dari Sumedang satu minggu yang lalu, Lova terus kepikiran ucapan Ardhan. Anaknya nanti mungkin akan menganggap Khatami sebagai ibu terbaiknya. Sedangkan Lova, baginya mungkin tidak pernah ada.Lova sudah tahu sejak awal akan seperti ini. Namun, kenapa sekarang rasanya sakit sekali?"Hasil pemeriksaan bagaimana, Non?"Lova kembali tersadar dari lamunan. "Alhamdulillah tidak ada masalah, Bu. Semoga lancar sampai aku lahiran nanti."Tidak lama, Mbak Ika bergabung di me
"Rafael?"Lova langsung bangkit berdiri dan bersiap berlari."Tidak usah menatapku seolah aku ini hantu."Faktanya, bagi Lova, Rafael lebih menyeramkan dari hantu."Mas Ardhan ada di dalam, jadi jangan macam-macam!" Lova mengancam."Ooh ... jadi, kalau Mas Ardhan tidak ada, aku boleh macam-macam?" Rafael menyeringai.Menanggapi orang gila seperti Rafael hanya akan membuat Lova tertular gilanya. Lova bersiap pergi. "Hai, Lova. Aku harus membayarmu berapa biar kamu mau sama aku?"Lova mengepalkan tangan. "Aku sudah bilang kalau aku bukan perempuan panggilan!""Kamu menikahi Mas Ardhan yang sebelas tahun lebih tua dari kamu. Aku yang hanya terpaut satu tahun kamu tolak.""Keluarga kamu yang lainnya sedang berduka. Tapi, kamu justru meributkan hal itu?"Rafael bersedekap. "Terus kenapa? Selama ini Papa tidak pernah menyayangiku. Di mata Papa, anaknya cuma Mas Ardhan dan Mbak Indi. Aku cuma figuran.""Pak Heru menasihati kamu juga kemarin. Artinya beliau peduli."Rafael mengerling malas.