"Saya tidak ingin identitas istri saya yang kecelakaan dimuat di media mana pun.""Baik, Pak," ucap sekretaris Ardhan di seberang telepon.Ardhan khawatir kecelakaan Khatami bisa membawa pengaruh buruk untuk Nuraga Grup yang baru tersandung masalah serupa.Saat Ardhan sedang memasukkan ponsel ke celana yang belum sempat dia ganti sejak semalam, sudut matanya menemukan Lova dan sang mertua yang sudah kembali.Salma langsung ke ruang perawatan Khatami tanpa menegur atau menatapnya. Ardhan maklum."Dari mana?""Dari kantin, Mas. Mas Ardhan sudah sarapan?"Seingatnya belum. Namun, itu tidak penting."Apa Mama mengatakan sesuatu?"Lova mengangguk, lalu duduk."Boleh saya tahu apa saja yang Mama katakan?""Bu Salma ingin Mas Ardhan bertanggung jawab." Lova tidak mungkin mengatakan permintaan Salma."Saya di sini adalah bentuk pertanggungjawaban.""Bukan hanya soal kecelakaan Mbak Tami. Tapi, soal Mas Ardhan yang sudah menikahi Mbak Tami. Bu Salma tidak ingin Mas Ardhan mencampakkan Mbak Tami
"Mas, sudah!"Ardhan tidak berhenti menggelitik Lova sampai tubuhnya menggelinjang. Jeritan bercampur tawa memenuhi kamar ini.Ardhan baru menyudahi aksinya saat dia sadar jarak wajahnya dengan Lova terlampau dekat. Keduanya bahkan bisa merasakan embusan napas satu sama lain.Jeda yang Ardhan beri justru menciptakan keheningan. Netra cokelat madunya bertemu dengan milik Lova."Saya suka mata kamu," ucapnya sambil mengusap perlahan pelupuk mata Lova. Ardhan menilik setiap inci wajah Lova. Dia ingin merekam semua hal yang dia lihat dari perempuan di hadapannya.Tangan itu kemudian turun ke hidung, lalu berlabuh di bibir penuh Lova. Ardhan kembali mengusapnya. Hal itu membangunkan desir familiar dari dalam tubuh Ardhan. Padahal sejak tadi dia berusaha menahan diri. Namun, jarak sedekat ini membuat perasaan itu kian meledak-ledak."Saya juga suka ini."Didorong gelora yang tidak terbendung, Ardhan menyatukan bibir keduanya. Ardhan berharap Lova mendorongnya menjauh. Menampar jika bisa. Na
"Lova."Sayup-sayup Lova mendengar namanya dipanggil. Dia mengerjap. Perlu waktu untuk beradaptasi dengan cahaya. Hal yang pertama kali Lova lihat adalah langit-langit ruangan berwarna putih."Lova!"Lova mengenali suara ini. Suara milik Khatami. Sosok itu akhirnya muncul. Pipinya basah karena air mata.Lova pikir, Khatami menangis karena pertengkarannya dengan Sekar. Lova masih mengingat ucapan Khatami yang meminta Sekar menyalahkan Tuhan."Mbak Tami," panggilnya pelan sambil mengangkat tangan. Hanya ujung jarinya yang bisa menyentuh pipi Khatami. "Allah tidak akan memberi ujian di luar batas kemampuan hamba-Nya."Khatami menggenggam tangan Lova erat. "Terima kasih," ucapnya.Lova tersenyum."Terima kasih banyak, Lov." Khatami mengulangi perkataannya."Iya, Mbak. Kita memang harus saling mengingatkan dalam kebaikan."Khatami menggeleng. Air matanya keluar semakin deras. Namun, dia tersenyum. "Kamu hamil, Lov.""Hng?" Lova berusaha mencerna ucapan Khatami."Iya, kamu hamil, Lova."Ham
"Hng?"Entah kenapa Lova sulit bergerak. Seperti ada yang merengkuhnya. Setelah mendapatkan kesadaran, Lova menoleh. Dalam remang-remang, Lova menemukan wajah seseorang."Astagfirullah." Lova lekas berusaha melepaskan diri dari pelukan Ardhan."Seperti ini saja, Lova," gumam Ardhan."Kenapa Mas Ardhan di sini?""Memangnya kenapa?""Jangan bercanda, Mas. Bagaimana kalau Mbak Tami ke sini?""Tami sudah tidur. Semua orang sudah tidur.""Tetap saja."Ardhan akhirnya membuka mata. "Saya ingin berdekatan dengan calon anak saya," ucap Ardhan sambil mengelus perut Lova. Jari-jarinya menari di atas kulit Lova."Mas, geli." Lova berusaha menyingkirkan tangan Ardhan.Ardhan berhenti. "Dia sudah satu bulan ada di sini.""Dihitung sejak aku selesai menstruasi.""Ah, berarti saat kita melakukannya yang kedua kali. Saat kamu memakai lingerie hitam itu."Wajah Lova memanas. "Tidak perlu diingatkan.""Sayangnya saya teringat malam itu terus.""Sudah ah. Aku mau tidur. Mas kembali ke kamar sana."Ardha
"Jangan berpikiran buruk," tutur Ardhan."Aku tidak bermaksud berpikirkan buruk, Mas. Aku hanya ingin memastikan. Karena jika Mbak Tami dan Mas Ardhan tidak menyayanginya, aku yang akan merawatnya."Ardhan menunduk untuk mencium perut Lova. "Dia darah daging saya. Selamanya akan tetap seperti itu."Lova tersenyum lega. "Syukurlah."Ponsel Ardhan bergetar. Ada satu panggilan masuk dari Khatami. Ardhan ingin mengabaikannya. Namun, tatapan Lova menusuk. Seolah-olah menyuruh Ardhan mengangkat telepon itu."Iya. Ada apa?" tanya Ardhan datar.[Kamu bawa Lova ke mana?]"Ke tempat yang aman."[Di mana?]Ardhan malas menjelaskan. "Pokoknya aman dari keributan yang kamu dan Mama ciptakan."Khatami belum tahu soal penyewa apartemen yang sudah pindah. Ardhan belum mengatakannya. Belum sempat. Atau mungkin, Ardhan memang tidak ingin memberi tahunya. Lumayan. Unit ini bisa Ardhan jadikan tempat bersembunyi.[Mama tidak mau pulang tuh.]"Ya sudah. Biarkan saja," jawab Ardhan cuek.[Kok begitu sih, M
"Ya ampun, Tami. Kamu menyedihkan sekali," ucap Sekar. "Kamu membohongi semua orang soal kehamilan palsumu itu."Khatami menoleh Sekar. Perempuan tua itu belum pulang juga. Kehadirannya di sini memang ingin mencari gara-gara."Terus kenapa Mama tadi diam saja? Kenapa Mama tidak memberi tahu teman-temanku kebenarannya?" Khatami menantang.Dia melanjutkan, "Itu karena Mama takut Mas Ardhan jadi gunjingan kan? Mama khawatir rumor tersebar di perusahaan kan? Ya sudah. Diam saja kenapa! Apa Mama tidak capek nyinyir terus?"Sekar berdecak. "Kamu itu memang paling pintar kalau mendebat Mama."Khatami menghela napas lelah. "Mama kenapa sih tidak pulang-pulang? Mas Ardhan jadi harus mengungsikan Lova.""Kamu berani mengusir Mama?" Sekar melotot.Khatami tertawa. "Kenapa tidak?""Sudah. Sudah."Indira, adik perempuan Ardhan datang bersama Theo dan Bella. Kedua bocah itu langsung menyerbu neneknya. Mereka mengajak Sekar melihat ikan di belakang."Apa kabar, Mbak Tami?" Indira menyapa ramah."Aku
"Dari mana kamu tahu kita ada di sini?" Ardhan yang sedang bad mood bertanya ketus. Dia meminta Bu Mar merahasiakan keberadaannya."Ada deh," jawab Khatami."Kamu masih pincang seperti itu. Seharusnya istirahat saja."Khatami tersenyum mengejek. "Perhatian, atau ingin mengusirku karena tidak ingin diganggu?"Drama dimulai. Ardhan membatin."Saya membawa Lova ke sini karena ingin menyelamatkannya dari keributan. Sekarang kamu menyusul, dan ingin menciptakan keributan itu.""Ya itu karena kamu tidak langsung membawa Lova pulang padahal Mama sudah tidak ada di rumah. Dan, satu lagi. Tadi kamu ke mana saja? Keliling tidak jelas."Ardhan mengernyit. "Kamu menyuruh orang lain membuntuti saya, atau melacak saya?""Tidak penting yang mana.""Kamu tidak menghargai privasi saya.""Privasi apa? Kita sudah menikah. Tidak ada itu istilah privasi. Terus, ke mana penyewa unit ini? Kenapa kalian ada di sini?"Lova menghela napas. "Mbak, Mas. Sudah ya. Kita pulang saja sekarang.""Sebentar, Lova. Urus
"Aku pengin hamil." Khatami mengulangi ucapannya sambil memukuli perut.Ardhan yang melihat itu tidak tinggal diam. Dia menahan kedua tangan Khatami. "Kehamilan itu bukan kehendak kita, Tami."Khatami memberontak. "Terus kenapa harus aku? Di luar sana yang tidak mau punya anak justru punya anak.""Itulah ujiannya. Dan di setiap ujian, pasti mengandung hikmah.""Aku maunya mengandung anak! Bukan hikmah!"Ardhan menarik Khatami agar duduk. Pria itu lantas memeluk istrinya. Dia tidak mengatakan apa-apa lagi. Ardhan membiarkan Khatami menangis sampai tenang, meskipun harus mengikhlaskan kemejanya basah oleh ingus dan air mata.Ardhan jadi merasa bersalah karena sempat berburuk sangka kepada Khatami. Khatami ternyata sama terlukanya."Mas," panggil Khatami dengan suara parau."Ya?""Tetap seperti ini. Jangan lepaskan aku."Ardhan mengernyit. Dasar modus! Mencari kesempatan dalam kesempitan. Tapi ya sudahlah. Daripada Khatami menangis lagi. Meskipun Ardhan tidak mencintainya, Ardhan tetap t
"Mengapa Anda menusuk suami Anda sendiri sebanyak tiga kali?" tanya hakim ketua."Mungkin ada cara lain untuk menghentikan Kak Shaka yang ingin membunuh Kak Xavier. Namun, yang ada di pikiran saya hanya itu karena ada gunting berada di dekat kaki saya," jawab Almaira."Kenapa Anda harus menusuk sebanyak tiga kali?"Almaira menghela napas. "Saya emosi karena sebelumnya Kak Shaka memaksa saya meminum obat penggugur kandungan. Saya marah karena Kak Shaka mengancam akan membunuh keluarga saya satu per satu. Saya sangat kecewa karena ...."Almaira menjeda ucapannya. Dia malu mengatakan hal itu. Namun, Almaira tetap harus mengungkap semua yang terjadi hari itu. "Saya kecewa dan malu karena Kak Shaka melakukan hal menjijikan dan serendah itu. Dia ... menggauli saya di depan Kak Xavier.""Apa Anda tahu motif Saudara Arshaka Lesmana melakukan hal itu.""Kak Shaka cemburu. Dia berpikir saya dan Kak Xavier masih saling mencintai. Kak Shaka
"Di mana Maira?" tanya Xavier."Untuk apa kamu mencari istri orang?"Keduanya sama-sama melemparkan tatapan permusuhan."Mama dan Papa memintaku memastikan keadaannya.""Aku ini suaminya. Mereka sudah tidak punya hak, apalagi sampai mengutus orang lain.""Terserah apa katamu. Tapi aku tidak akan pergi sebelum memastikan Almaira baik-baik saja.""Aku bisa memanggil warga untuk mengusirmu."Xavier berdecak. "Sial. Aku sudah tidak bisa bersabar." Pria itu meringsek masuk. "Maira! Mai!" panggilnya berteriak.Shaka tentu tidak diam saja. Dia membalik badan Xavier, lalu melayangkan tinju ke pipinya.Xavier terhuyung. Dia segera menegakkan tubuh dan membalas pukulan Shaka."Keluar dari rumahku!" bentak Shaka."Di mana Maira?"Suara benda jatuh terdengar dari atas. Xavier segera menaiki tangga. Namun, Shaka tidak membiarkannya begitu saja. Shaka menarik Xavier, lalu mengempaskannya ke
"Gugurkan kandungan itu!" ucap Shaka tegas.Almaira membelalak. Dia refleks melindungi perutnya menggunakan kedua tangan. "Tidak.""Aku tidak menginginkannya!""Tapi aku menginginkannya. Dia anakku. Anak kita."Shaka mengetatkan rahang. Padahal dia sudah vasektomi. Vasektomi memang tidak 100% mencegah kehamilan. Tahu begini Shaka akan tetap memakai pengaman."Kamu harus menggugurkannya, Sayang." Shaka mendekati sang istri.Almaira langsung mundur beberapa langkah sambil terus melindungi perutnya. "Tidak! Aku bukan pembunuh. Aku tidak mau membunuh anakku sendiri.""Al, mengertilah."Almaira menggeleng. Air mata berkejaran jatuh ke pipinya. "Kak Shaka yang seharusnya mengerti.""Aku tidak ingin ada orang ketiga di antara kita.""Dia darah daging Kak Shaka!" Almaira menjerit."Aku tidak peduli, Sayang. Aku hanya mencintai kamu."Pria itu kembali melangkah mengikis jarak. Almaira
"Aku tidak membawa keycard saat menyusul Kak Shaka. Aku tidak bisa masuk, lalu Kak Tamara memaksaku menunggu di sana." Almaira berusaha menjelaskan kepada suaminya yang tampak sangat marah. Matanya bahkan memerah."Sejak kapan kamu tahu Xavier tinggal di sini?" tanya Shaka sinis."Tadi. Mereka juga pindah baru dua hari yang lalu.""Kita pergi dari sini," ujar Shaka sambil melangkahkan kakinya ke kamar, lalu ke walk in closet. Pria itu segera mengemasi pakaian dirinya dan Almaira.Almaira menghela napas. Dia sudah menebak akan seperti ini jadinya. "Aku bantu," ucap perempuan itu.Almaira tidak protes Shaka akan membawanya pindah. Dia sudah membuat keputusan akan mengikuti suaminya ke manapun. Shaka adalah rumahnya. Shaka adalah tempat Almaira pulang."Tidak bilang Mama dan Papa dulu, Kak?"Shaka membalas Almaira dengan tatapan tajam, membuat perempuan itu menutup mulutnya.Mereka kembali pindah ke rumah Shaka. Se
"Kak, geli!" Almaira berusaha menarik kakinya yang sedang dikelitiki oleh Shaka.Selama empat bulan tinggal di apartemen, Almaira dan Shaka tidak pernah sekali pun bertengkar. Mereka justru semakin romantis dari hari ke hari. Keduanya menjadi pasangan yang tidak bisa terpisahkan meski hanya sesaat.Siapa itu Xavier? Almaira bahkan melupakan eksistensinya. Hati dan pikiran perempuan itu selalu dipenuhi oleh Shaka. Almaira telah jatuh cinta kepada Shaka.Tempat terbaik bagi Almaira adalah di samping suaminya itu. Sekarang dia benar-benar malas keluar unit. Almaira sudah seperti tidak memiliki kehidupan di luar sana. Lovara saja dia bebankan kepada sang adik."Ini akibatnya karena kamu pura-pura tidur." Shaka tidak memedulikan jeritan Almaira. Dia terus menarikan jari-jarinya di telapak kaki sang istri.Setelah memperkerjakan otaknya untuk naskah, Shaka akan meminta jatah kepada Almaira. Almaira justru pura-pura terlelap. Bukan ingin menolak
"Pesawatnya masuk ke goa ... aaaaa." Almaira mengarahkan sendok ke mulut Shaka setelah memutarnya di udara.Shaka justru melengos. "Kamu tidak perlu seperti ini.""Kenapa? Selama ini Kak Shaka selalu merawatku padahal aku baik-baik saja. Sekarang giliran." Almaira kembali mengarahkan sendok.Namun, Shaka menggeleng pelan dengan mulut terkunci rapat."Kak Shaka." Almaira merengek. "Aku marah, nih. Adik-adikku bilang kalau aku lebih galak dari Mama."Shaka mengernyit. Ekspresinya seperti sedang meledek Almaira."Oke. Aku marah." Almaira menyimpan piring di nakas. Dia lalu bersedekap.Shaka mencubit pipi istrinya. "Aku merasa gagal menjadi suami kamu kalau kamu sampai menyuapiku seperti ini.""Loh, kenapa?""Karena aku ingin meratukan kamu.""Kalau aku ratu, Kak Shaka rajanya, kan?"Shaka tersenyum samar. "Apa aku pantas disebut raja? Status kita jelas berbeda."Almaira menghela
"Chy akan menikah dua hari lagi. Aku ingin menghadirinya," ucap Almaira kepada Shaka.Mereka sudah satu bulan berada di kota itu. Pada akhirnya Shaka membawa Almaira kembali ke rumahnya dengan alasan tidak ingin merepotkan sang bibi. Toh, masih satu kota. Setidaknya Shaka bisa langsung pergi menemui nenek seandainya terjadi sesuatu kepada beliau."Iya," jawab Shaka tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop. Tangannya sibuk mengetik.Beberapa hari terakhir Shaka lebih banyak menghabiskan waktu dengan menulis. Dia bisa sampai begadang. Almaira sangat khawatir dengan kondisi Shaka. Lingkaran hitam di bawah matanya terlihat jelas."Iya apa?" Almaira meminta penjelasan lebih."Kita akan menghadirinya."Perempuan itu langsung berbinar. "Serius?"Shaka menutup laptop. "Aku tidak setega itu, Sayang.""Terima kasih, Kak," ucap Almaira dengan senyum lebar.Pria itu menghampiri istrinya di tempat tidur. "Ha
"Sayang," panggil Shaka riang sambil membawa nampan berisi sarapan yang sudah telat.Almaira bangkit ke posisi duduk, lalu mengikat rambutnya yang acak-acakan.Shaka menaruh nampan di nakas."Terima kasih, Kak Shaka," ucap Almaira. Dia tersenyum, sebagai penghargaan untuk Shaka yang sudah membuatkannya makanan sementara dia hanya bermalas-malasan."Aku memiliki informasi yang penting," tutur Shaka sambil mengarahkan sendok berisi nasi dan lauknya kepada Almaira."Apa itu?" tanya Almaira sebelum menerima suapan dari suaminya."Aku sudah menemukan alamat keluarga Ibu.""Benarkah?" Almaira senang mendengarnya."Iya. Besok kita ke sana, ya."Besok seharusnya mereka kembali ke Jakarta.Almaira mengangguk. Dia tidak mungkin memaksa Shaka kembali ke Jakarta saat pria itu ingin pergi ke tempat keluarganya yang tidak pernah dia temui. Shaka sudah terlalu lama hidup sendiri. Dari ekspresinya saja sudah
"Kak Shaka mengancam?" Almaira mengangkat sebelah alisnya."Itu bukan ancaman, Sayang. Hanya peringatan kecil. Selama ini aku sudah bersabar menahan diri karena kamu belum bersamaku. Tapi, kali ini tidak. Kamu hanya milik Arshaka Lesmana."Shaka mengusap pipi lembut Almaira, yang langsung perempuan itu tepis. "Aku bukan barang yang bisa dimiliki siapapun, termasuk Kak Shaka. Kak Shaka hanya suamiku, imamku, bukan pemilik hidupku. Kita sangat bisa berpisah."Shaka mengetatkan rahang. Dia tidak suka mendengar kata 'berpisah' keluar dari mulut istrinya. "Aku tidak akan membiarkan hal itu," ucap Shaka tegas."Kalau Kak Shaka terlalu mengekang aku, aku akan pergi." Almaira balik mengancam.Shaka semakin emosi. Dia lantas mencekal kedua lengan Almaira. "Kamu tidak akan pergi ke mana pun. Aku tidak akan membiarkan kamu pergi dariku, Al." Tatapan pria itu menajam."Kalau aku betulan pergi, Kakak mau apa?" Almaira justru menantang dengan