Khatami pulang tidak lama setelah Sekar meninggalkan kontrakan. Sekarang hanya ada Lova dan Ardhan. Sejak Khatami pergi, Lova langsung panas dingin. Khatami berpesan agar Lova memakai pakaian yang sudah Khatami siapkan. Namun, alangkah terkejutnya Lova menemukan isi kotak yang ditinggalkan Khatami.
"Li-lingerie?" Wajah Lova langsung menghangat. Memakainya tanpa ada yang melihat saja bisa membuatnya malu setengah mati, apalagi di hadapan Ardhan nanti.
Lova menggigiti kuku jarinya yang sudah pendek. "Mbak Tami pasti bercanda." Lova ingin menghilang saja.
"Ekhem."
Lova terlonjak. Lingerie hitam terlepas dari genggaman. Dengan gerakan yang sangat kaku, Lova memutar tubuhnya. Dia menemukan Ardhan yang sedang berdiri di ambang pintu kamar. Lova menatapnya ngeri seolah Ardhan adalah pengeksekusi hukuman mati.
"Ma-mas Ardhan," ucap Lova lirih, nyaris tidak terdengar.
"Sudah siap?" tanya Ardhan.
Jantung Lova semakin berdebar tidak keruan. Dia ingin mengatakan tidak. Namun, Lova harus segera melakukan tugasnya agar bisa cepat hamil. Pernikahan Khatami menjadi taruhannya.
"A-aku ga-ganti baju dulu." Lova tergagap.
"Tidak perlu." Ardhan ingin semuanya cepat usai.
Lova membeliak saat Ardhan berjalan mendekat. Kaki Lova mendadak lemas. Mungkin tulang-tulangnya sudah berubah menjadi jeli. Matanya memanas. Dia benar-benar ingin menangis. Tubuhnya bahkan gemetar hebat.
"Saya bukan kanibal, apalagi hantu."
"Ma-maaf." Lova menunduk. Seumur hidup, dia tidak pernah segugup dan setakut ini. Apa setiap pengantin baru yang akan menghadapi malam pertama selalu seperti ini?
"Seharusnya kamu menolak permintaan Tami kalau tidak sanggup," ucap Ardhan, yang sudah ada di hadapan Lova. Jarak mereka sangat dekat. Lova bahkan bisa merasakan embusan napas pria itu yang membuat nyalinya semakin ciut.
Lova menggeleng. Dia tidak menyesali keputusannya karena jika Lova berhasil melahirkan anak Ardhan, dia bisa menyelamatkan pernikahan Khatami.
"Permintaan Tami terlalu berlebihan, bukan? Apa yang membuat kamu menyetujuinya?"
"Balas ... budi," jawab Lova apa adanya.
"Dengan mengorbankan hidup kamu sendiri?"
Lova mengangguk.
Ardhan memandangi Lova. Perempuan ini memang terlihat lugu. "Apa ada alasan lain? Apa ada sesuatu yang kamu inginkan setelah kamu berhasil melakukan tugasmu?"
"Ti-tidak."
"Kamu yakin?"
"I-iya."
Ardhan menghela napas. "Sepertinya kamu ketakutan pada saya. Saya bukan bajingan yang akan menyentuh kamu saat kamu sendiri tidak menginginkan saya."
"Aku ... hanya gugup, Mas. Bukankah ini hal yang biasa terjadi kepada orang-orang yang akan melakukannya pertama kali?" Lova sebenarnya sangat malu mengatakannya.
"Baiklah. Saya harap kamu tidak menyesal."
Ardhan semakin mengikis jarak di antara mereka. Sayangnya, tubuh Lova tidak bisa berbohong. Dia refleks mundur saat Ardhan hendak meraih Lova ke dalam dekapan.
Lova membelalak. Dia sendiri terkejut karena reaksinya. "Ma-maaf."
Ardhan mendengkus. "Sudahlah. Saya akan menunggu kamu sampai kamu bisa mengatasi ketakutan kamu."
"Tapi, Mas. Jika aku tidak hamil dalam tiga bulan, pernikahan Mas dan Mbak Tami akan terancam."
Ardhan terkejut. Bisa-bisanya perempuan ini memikirkan nasib orang lain saat dirinya sendiri menjadi pihak yang paling dirugikan.
"Mas tenang saja. Aku ... bisa mengatasi ini," ucap Lova, lalu bergegas melangkah mendekati nakas.
Ardhan masih memperhatikannya karena penasaran apa yang akan Lova lakukan. Namun, perempuan itu hanya minum jus jeruk yang sejak tadi sudah ada di sana.
"Mas tidak boleh menyia-nyiakan pengorbanan Mbak Tami. Hanya sedikit perempuan yang ikhlas suaminya menikah lagi, ditambah dengan kondisi Mbak Tami. Sebagai sesama perempuan, aku mengerti kecemasan Mbak Tami. Mbak Tami ingin Mas bahagia." Akhirnya Lova bisa berbicara lancar.
"Pernikahan sementara ini bukti jika Tami tidak benar-benar ikhlas saya menikah lagi."
"Sementara atau tidak, Mas akan tidur denganku. Pasti hal ini sangat sulit untuk Mbak Tami. Dan mungkin, saat ini Mbak Tami sedang menangis sendirian."
Sebenarnya Ardhan menolak ide Khatami. Namun, Khatami malah mengira Ardhan akan menerima perempuan rekomendasi mamanya dan meninggalkannya. Jika sudah seperti itu, Khatami akan menyalahkan dan mencaci maki diri sendiri.
Ardhan akhirnya setuju karena sudah lelah dicurigai akan berselingkuh. Ardhan juga ingin perselisihan di antara istri dan mamanya berakhir. Pertengkaran keduanya selalu berhasil membuat Ardhan pusing dan menempatkannya di posisi serba salah.
Ardhan mengernyit saat Lova tiba-tiba gelisah. Dia menggerakkan pakaiannya seperti orang kepanasan. "Kamu kenapa?" tanya Ardhan khawatir.
"Obatnya mulai bereaksi."
"Obat?"
Pria itu membelalak saat menyadari sesuatu. Jus jeruk yang diminum Lova. "Apa kamu mencampur sesuatu di dalam minuman tadi?"
"Bukan aku, tapi Mbak Tami."
"Ya ampun, Tami!" Ardhan mengusap wajahnya. Dia benar-benar tidak habis pikir dengan Khatami.
"Mas, tolong." Lova merintih sambil memeluk tubuh mungilnya.
Ardhan dilanda dilema. Dia masih berpegang teguh pada prinsipnya. Namun, Lova semakin meracau. Perempuan itu mulai melepaskan kerudung, menampakkan rambutnya yang dikepang sepunggung.
Tangan Lova kemudian bergerak menarik gamisnya ke atas. Namun, dia lupa membuka ritsleting depan sehingga gamisnya sulit lolos dari kepalanya.
Ardhan berdecak. Dia lantas membantu perempuan yang sedang kesusahan itu.
"Rasanya ... aneh," ucap Lova sambil menengadah menatap Ardhan dengan mata sayunya. Lova menggigit bibir, menahan sesuatu yang mendesak meminta dipuaskan.
Oke. Ardhan menyerah setelah mati-matian berperang dengan idealismenya. Dia akhirnya merebahkan tubuh Lova.
🍼🍼🍼Ardhan melepaskan diri dari Lova, lantas memakaikan selimut menutupi tubuh mungil perempuan itu. Dia kemudian berbaring di samping Lova, merasakan kepuasan dari pergumulan barusan. Sementara Lova tidur menyamping, memungggungi Ardhan."Kamu menyesal?" tanya Ardhan sambil melirik Lova yang membelakanginya.
"Tidak," jawab Lova pelan.
Lova hanya merasa bersalah. Meskipun Khatami sendiri yang memintanya melakukan ini, tetapi Lova tahu sekarang perasaan Khatami sedang hancur. Saat ijab kabul tadi siang, Lova juga tahu Khatami menahan diri agar tidak menangis.
"Semoga aku hamil setelah ini." Agar dia tidak terlalu sering berurusan dengan Ardhan. Mungkin nanti untuk hamil anak kedua.
"Ya." Ardhan menjawab singkat. Sudah jelas Lova sangat tersiksa. Dia merasa menjadi pria berengsek karena menikmatinya.
Tanpa menyibak selimut, Lova turun dari tempat tidur. Niatnya ingin mengambil pakaian yang berceceran di lantai. Namun, pangkal pahanya terasa sangat sakit. "Aw!" Lova merintih.
Ardhan bergegas menghampiri. Dia menarik Lova kembali duduk, dan membantu Lova mengambilkan pakaiannya. "Kamu mau ke mana?"
"Aku mau ke kamar mandi. Mau wudu."
"Wudu?"
"Iya. Setelah berhubungan harus wudu dulu sebelum tidur."
"Oh. Mau saya gendong?"
"Tidak perlu, Mas. Aku bisa jalan sendiri."
"Yakin?" Ardhan mengernyit tidak percaya.
"Iya," jawab Lova. Dia segera memakai kembali pakaiannya. Ardhan sudah melihat tubuh polosnya. Lova menyingkirkan rasa malu, hanya sedikit risi.
Perempuan berusia 23 tahun itu bangkit berdiri. Dia mencoba melangkah dengan tertatih-tatih. Ardhan yang melihatnya jadi gemas sendiri. Tanpa persetujuan Lova, Ardhan mengangkatnya ke dalam gendongan.
"Mas!" Lova memekik.
"Kamu baru sampai ke kamar mandi lima belas menit kemudian," ucap Ardhan.
"Tapi aku berat."
"Iya. Doyan makan ya?"
"Aku makan sehari dua kali, tapi sering ngemil."
"Pantas berlemak."
Lova mengerut.
"Bercanda. Terlalu kurus juga tidak bagus. Laki-laki lebih suka perempuan yang sedikit berisi. Lebih kelihatan seksi."
Apa Ardhan secara tidak langsung ingin mengatakan jika Lova itu seksi? Lova segera menepis pikirannya yang mulai ke mana-mana. Jangan sampai Lova terbawa perasaan hanya karena hal sepele.
Ardhan menurunkan Lova dengan hati-hati.
"Terima kasih," ucap Lova.
"Jangan lupa buang air kecil."
"Bukannya nanti bisa mencegah kehamilan?"
"Buang air kecil tidak akan mencegah kehamilan, justru dianjurkan karena bisa mengeluarkan bakteri dan menghindari risiko terkena penyakit."
Lova terperangah mendengar kata penyakit.
Seolah tahu arti dari ekspresi Lova, Ardhan melanjutkan, "Jangan salah paham. Saya tidak memiliki penyakit kelamin."
Lova menghela napas lega. Setelah itu dia mengerjakan urusannya. Lova pikir Ardhan sudah kembali ke kamar. Namun, pria itu ternyata masih menunggunya.
Ardhan menggendong Lova lagi.
"Biar saya saja," ucap Ardhan yang merebut sapu dari tangan Lova."Ya sudah, aku yang mengepel.""Tidak. Kamu istirahat saja. Kamu masih kesakitan kan?"Lova menurut. Dia memperhatikan gerakan Ardhan yang sangat kaku. Pria itu terlalu bertenaga mengayunkan sapunya sehingga debu justru bertebaran ke mana-mana."Maaf, Mas. Aku malah merepotkan," ucap Lova tulus. Ardhan pasti tidak terbiasa dengan pekerjaan seperti ini, sekarang dia justru melakukannya untuk Lova."Bukannya saya yang merepotkan kamu?" Ardhan mengatakan itu sambil mengepel, tanpa memeras kainnya lebih dulu. Pria itu seketika terkesiap. OB di kantor saat mengepel sepertinya tidak sebanjir ini."Diperas dulu kainnya, Mas." Lova memeragakan bagaimana caranya memeras kain, kalau-kalau Ardhan tidak tahu."Oh." Ardhan segera mengikuti instruksi Lova. "Sebaiknya kamu pekerjakan asisten rumah tangga saja," katanya setelah mengerjakan tugasnya yang tidak bersih."Aku tidak sanggup membayarnya, Mas."Ardhan mengernyit. "Sekarang ka
"Aku kangen," Khatami berjalan cepat menghampiri suaminya. Dia langsung memeluk Ardhan erat. Lova segera menarik tangannya dari genggaman Ardhan. Dia menelan saliva. Semoga Khatami tidak salah paham. Lova tahu dia tidak seharusnya ada di sana. Oleh karena itu Lova memilih ke dapur. Perasaan bersalah itu muncul lagi. Khatami pasti tersiksa semalaman. "Apa kamu bersenang-senang?" tanya Khatami sambil menelisik Ardhan. "Bagaimana menurut kamu? Apa saya bersenang-senang?" Ardhan justru balik bertanya. Percuma juga menjawab karena Khatami akan memercayai prasangkanya saja. Khatami mengedik. "Seharusnya tidak karena Lova bukan tipe kamu." Oh, jadi karena itu juga Khatami memilih Lova. Ardhan pikir Khatami hanya ingin memanfaatkan utang budi dan keluguan Lova saja. "Kenapa kamu ke sini? Saya baru saja mau pulang." "Aku cuma mau memastikan sesuatu. Kalau kamu mau pulang, duluan saja. Aku masih ada urusan dengan Lova." "Apa?" Jangan bilang Khatami ingin meminta sesuatu yang merepotka
"Hai, Lova. Apa kabar?"Lova menelan saliva. "Ba-baik, Mas. Mari masuk." Perempuan itu mundur beberapa langkah agar Ardhan bisa masuk.Pria berpenampilan kasual itu melangkahkan kakinya. Tidak ada yang berubah dari dalam apartemen ini. Semuanya tertata persis seperti terakhir kali Ardhan melihatnya. Dia jadi penasaran apa saja yang Lova lakukan selama di sini."Kamu betah?" Pertanyaan itu bukan sekadar basa-basi."Betah, Mas." Sejujurnya Lova bosan karena tidak banyak hal yang bisa dia lakukan selain membaca buku."Jika kamu butuh sesuatu, katakan saja. Jangan ragu," ucap Ardhan sambil mendudukkan dirinya di sofa bed yang menghadap ke layar tv besar."Iya, Mas. Mbak Tami sudah mencukupi kebutuhan aku selama di sini."Ardhan manggut-manggut. Syukurlah. Khatami harus memperlakukan Lova dengan sangat baik. Ardhan tidak bisa memastikan keadaan Lova secara langsung. Dia hanya mengetahuinya dari Bu Mar.Ardhan melirik Lova yang mematung di depan pintu. Jari jemari perempuan itu terjalin. Si
"Mas?"Lova melangkahkan kakinya memasuki kamar utama. Ardhan tiba-tiba saja berlari meninggalkannya. Lova yang khawatir langsung mengikuti Ardhan. Pria itu tidak ada. Hanya suara guyuran shower dari kamar mandi."Mas baik-baik saja?" tanya Lova.Ardhan yang membasahi seluruh badannya tanpa melepaskan pakaian seketika terkesiap. Dia tidak berpikir Lova akan mengikutinya. "I-iya," jawabnya."Kenapa showernya menyala?""Ah ... kepencet."Lova mengernyit, tetapi dia memilih tidak ambil pusing. "Aku mau menyiapkan sarapan dulu.""Iya. Silakan."Sementara Lova keluar dan berjibaku di kitchen island, Ardhan kembali menyalakan shower sampai dorongan primitifnya berhenti. Dia segera berganti pakaian dan mengeringkan rambut.Lova sudah membuatkan sandwich roti gandum isi telur, selada, tomat, mentimun, dan keju slice. Pria itu langsung menyantapnya."Mas Ardhan langsung ke kantor?"Ardhan mengangguk dengan mulut penuh. "Besok saya mau ke Wakatobi untuk pembukaan resort," ucapnya setelah berhasi
"Freya?" Khatami bergumam.Dia membelalak. Reaksinya berbeda dengan perempuan berambut bob yang barusan memanggilnya."Ya ampun, aku tidak menyangka kita bisa ketemu di sini. Sudah lama ya?"Perempuan bernama Freya itu memeluk Khatami dan cipika-cipiki. Dia lalu menoleh Lova. "Eh, kamu tidak datang sendiri. Ini siapa?" Freya mengulurkan tangan.Lova menerima uluran tangannya. "Lova, Mbak.""Oh salam kenal, Lova. Aku Freya, teman lama Tami dan Ardhan." Freya tersenyum ramah. Dia lantas menarik lembut bocah laki-laki yang bersamanya. "Ini anakku. Ayo kenalan, Nak."Bocah berusia sekitar 4 tahun itu mengulurkan tangannya kepada Khatami dan Lova bergantian. "Nama aku Sapiel (Xavier), Tante."Lova tersenyum. Xavier sangat lucu dengan pipi cubbhy dan mata bulat besarnya. Wajahnya sangat mirip dengan Freya. Berbeda dengan Lova, Khatami justru merasa sesak. Dia iri."Kalian pergi berdua?" tanya Khatami, mengalihkan fokusnya dari Xavier."Iya.""Suamimu ke mana?"Freya menggeleng pelan. "Kami
"Ini untuk kamu."Lova menerima paper bag kecil dari Ardhan, lalu membukanya. Isinya ternyata sebuah bros perak berbentuk bunga."Terima kasih, Mas. Mbak Tami dikasih juga?"Ardhan mengernyit. "Tami tidak suka memakai bros.""Maksud aku ... Mbak Tami dibawakan oleh-oleh juga?"Ardhan tersenyum lebar, lalu menggeleng. "Saat melihat bros ini, saya langsung teringat kamu karena kamu memakai kerudung. Sedangkan Khatami tidak, jadi saya tidak ingat membelikannya yang lain."Lova menghela napas. Dia menaruh bros itu dimeja. "Kalau seperti itu, artinya Mas Ardhan harus memberikan Mbak Tami sesuatu yang seharga dengan bros ini.""Kenapa?""Mas Ardhan kan harus berbuat adil. Aku takut Mas Ardhan nanti di akhirat jalannya miring."Ardhan menaruh tangannya di sandaran sofa, sebelah kakinya diangkat. Dia tertarik. "Kenapa bisa miring?""Itu kan balasan untuk seorang suami yang poligami tapi tidak berbuat adil ke salah satu istri, dan lebih condong ke istri yang lain."Ardhan seketika merinding. "M
[Lov, Mas Ardhan pergi. Katanya dia mau cari perempuan lain.]Tidak lama setelah kedatangan Ardhan yang tiba-tiba yang tidak tahu apa alasannya. Lova mendapati pesan dari Khatami.[Kalian bertengkar?] tanya Lova.[Iya. Semua ini gara-gara si janda itu. Ternyata Mas Ardhan sudah setengah tahun berhubungan dengannya. Dan kamu tahu yang lebih mengejutkan lagi, Lov. Kamu dan Freya satu apartemen. Tapi Mas Ardhan tidak pernah mengatakannya.][Lov, aku minta tolong. Cek unitnya Freya. Awas saja kalau Mas Ardhan ke sana. Aku sedang on the way.]Lova menghela napas.[Mbak Tami tenang saja. Mas Ardhan ada di sini, Mbak. Dia langsung ke kamar begitu sampai. Sepertinya Mas Ardhan sedang menenangkan diri.][Kamu serius?][Iya. Mbak Tami menuju ke sini, kan? Mbak bisa memastikannya sendiri. Aku tidak berani menganggu Mas Ardhan.][Syukurlah.]Lova berdoa semoga tidak terjadi perang besar di sini."Non, saya pulang dulu ya," ucap Bu Mar. Beliau memang hanya setengah hari menemani Lova."Iya, Bu. Fi
"Saya bercanda, Lova. Muka kamu tegang sekali." Tawa Ardhan meledak. "Berengsek sekali jika saya mengambil kesempatan dalam kesempitan."Lova menghela napas lega. Bagaimana pun juga, Lova tidak menikah dengan Ardhan untuk berperan sebagai seorang istri pada umumnya. Beruntung Ardhan orang yang baik dan pengertian."Lalu Mas mau ke mana?""Pulang. Kamu yang mendorong saya untuk membuat keputusan.""Jadi Mas mau menceraikan Mbak Tami?"Ardhan tersenyum. Lova benar. Baik dia dan Khatami tidak akan ada yang bahagia. Namun, Ardhan kasihan pada Lova. Dia terjebak di tempat yang tidak seharusnya dia berada.Ardhan mengusap lembut kepala Lova sebelum benar-benar pergi. "Semoga suatu hari nanti pernikahan kamu dilimpahi kebahagiaan, Lov."Pria itu sampai di rumah yang sudah dia huni selama tiga tahun belakangan. Entah sejak kapan atau mungkin Ardhan memang tidak pernah merasa pulang saat menginjakkan kaki di rumah ini. Sekarang dia justru lebih betah di apartemen.Pekerjanya yang membukakan pin