"Mbak yakin?" tanya Lova. Dia khawatir Khatami berubah pikiran di detik-detik terakhir menuju ijab kabul. Masih ada waktu sebelum semuanya terlambat.
Lova hanya menikah siri dengan Ardhan. Toh, pernikahan sementara. Jadi, buat apa mendaftar ke KUA? Lova juga akan pergi setelah melahirkan dua anak sesuai permintaan Khatami. Lova yakin dia bisa melakukannya, meskipun sebagian dirinya memberontak, tidak menginginkan hal ini.
Jika bukan sekarang, kapan lagi Lova akan membalas budi? Jika Khatami benar-benar dicampakkan suaminya, Lova akan menghabiskan sisa hidupnya dalam perasaan bersalah. Namun, apa Khatami benar-benar baik-baik saja dengan semua ini?
Khatami memasangkan tudung berbahan organza berwarna putih yang melapisi khimar sepinggang yang dikenakan Lova. "Jangan pikirkan perasaanku, Lov."
Lova memutar tubuhnya menghadap Khatami. "Bagaimana mungkin aku tidak memikirkan perasaan Mbak Tami?"
Khatami tersenyum, lalu menjawil hidung mungil Lova. "Terima kasih sudah memikirkan perasaanku. Tapi, biarlah hal itu menjadi urusanku. Kamu fokus saja dengan tugasmu, Lov. Dan jangan lupakan juga pesanku yang paling penting."
"Jangan jatuh cinta kepada Mas Ardhan," ucap Lova.
Lova siap membentengi dirinya dari gelombang baper yang tidak perlu. Khatami memilihnya karena percaya kepada Lova. Lova tidak boleh mengecewakan Khatami. Lagi pula, dia yakin tidak akan sampai jatuh hati kepada Ardhan.
Selama ini dia dan Ardhan tidak terlalu akrab. Bertegur sapa juga bisa diitung jari karena jarang bertemu. Lova menghargai Ardhan karena dia adalah suami dari Khatami, tidak lebih dari itu. Lova justru khawatir dia tidak bisa membiarkan Ardhan menyentuhnya. Memikirkannya saja membuat Lova bergidik ngeri.
"Aku percaya sama kamu, Lov. Jadi, jangan rusak kepercayaanku ini."
Lova mengangguk paham.
"Aku lihat dulu keadaan di luar, ya? Tidak apa-apa kalau kamu kutinggal sendiri?"
"Tidak apa-apa, Mbak."
Lova sebenarnya membutuhkan waktu sendiri. Meskipun pernikahan ini hanya sementara; meskipun dia akan menikahi pria yang tidak dia cinta; Lova tetap gugup.
Perempuan itu memandangi dirinya dari pantulan cermin. Gaun putih berbahan roberto cavali yang dipadukan dengan brokat melindungi tubuhnya. Gaun ini Lova sendiri yang buat. Sudah dia siapkan sejak lama untuk hari yang istimewa.
Lova menghela napas. "Apa pernikahan ini bisa disebut istimewa?" tanyanya, berbisik pada diri sendiri.
Lova terperanjat saat pintu kamarnya tiba-tiba terbuka. Dia mengembuskan napas lega karena Khatami-lah yang muncul di hadapannya.
"Penghulunya sudah datang. Kamu benar mau menunggu saja di kamar?"
"Iya, Mbak."
"Ya sudah kalau begitu."
Khatami kembali menutup pintu. Lova sendiri memilih duduk di tepi ranjang dengan jari-jari tangan saling bertautan. Orang-orang di luar sana berbicara bersahutan. Lova bisa mendengar suara uwaknya dari pihak ayah yang Khatami datangkan dari kampung. Jika bukan karena Khatami memberinya sejumlah uang, Lova yakin sang uwak tidak mau repot-repot menikahkan Lova.
Sejak ayah Lova meninggal, keluarga ayahnya tidak mau peduli kepada Lova dan ibunya. Harta peninggalan ayah Lova yang tidak seberapa banyak juga uwaknya yang menguasai. Makanya, Lova tidak meminta bantuan uwaknya saat pamannya dari pihak ibu hendak menikahkan Lova dengan pria tua.
Tubuh Lova menegang saat kebisingan di luar mendadak senyap. Telapak tangannya berkeringat. Beberapa detik kemudian, suara uwaknya yang mengucapkan ijab dan dijawab kalimat kabul oleh Ardhan terdengar. Seruan sah kemudian saling bersahutan.
Kini, Lova telah menjadi istri siri Ardhan.
🍼🍼🍼"Aku pulang dulu ya," ucap Khatami.Lova refleks menahan tangan Khatami. Dia belum siap ditinggal berdua dengan Ardhan yang sejak tadi tidak banyak bicara. "Tidak nanti saja, Mbak?" tanya Lova lirih.
Khatami melepaskan pegangan Lova pelan, lalu menatapnya heran. Dari tatapan itu Khatami seolah berbicara, "Apa kamu bercanda? Tidak mungkin aku tetap di sini saat kalian sedang melakukan misi."
Lova cemberut.
Khatami lantas menangkup wajah Lova dengan kedua tangan. "Kamu pasti bisa, Lov."
"Aku takut, Mbak." Lova merengek. "Pacaran saja aku tidak pernah. Aku tidak terbiasa dekat dengan laki-laki."
Khatami tertawa. "Mas Ardhan bukan hewan buas kok. Kamu tidak perlu takut."
"Aku malah semakin takut."
Khatami menghela napas lega. Inilah alasannya kenapa memilih Lova. Lova adalah perempuan lugu dan berpikiran lurus. Lova tidak mungkin memiliki niat merebut suaminya.
"Kamu ...."
Khatami tidak melanjutkan ucapannya karena terpotong oleh suara gaduh di luar kamar. Khatami segera mengeceknya. Dugannya benar.
"Apa-apaan ini?" tanya Sekar nyalang kepada putranya. "Kamu menikah lagi tanpa sepengetahuan Mama? Perempuan seperti apa pula yang kamu nikahi?"
Ardhan menghela napas. "Dia adik angkatnya Tami, Ma."
"Adik angkat? Adik angkat yang mana? Mama tidak tahu istrimu punya adik angkat."
"Yang ini." Khatami menggandeng Lova yang masih memakai gaun pengantinnya.
Sekar menilik Lova dari atas ke bawah, membuat Lova merasa ditelanjangi dan takut. "Mama belum pernah lihat dia sebelumnya."
"Memang belum," jawab Khatami malas.
"Kenapa kamu memilih dia, Ardhan? Perempuan pilihan Mama jauh lebih baik."
Justru karena itulah Khatami lebih ikhlas Ardhan menikahi Lova yang bahkan tidak pandai berdandan.
"Tami yang memaksa saya menikahi dia."
Sekar lantas melotot marah kepada menantunya. Khatami tersenyum lebar penuh kemenangan.
"Sama istri kamu nurut. Giliran sama Mama, kamu keras kepala."
"Sudahlah, Ma. Sudah telanjur juga. Saya hanya ingin Tami bahagia."
"Terus kamu tidak mau membahagiakan Mama begitu?"
"Mama hanya ingin cucu kan?" tanya Khatami. "Sebelum menikah, Lova sudah diperiksa kesuburannya. Hasilnya bagus."
"Seharusnya kamu juga diperiksa kesuburan sebelum menikah dengan putraku. Jadinya Ardhan tidak perlu menikahi perempuan mandul seperti kamu."
Khatami mengeratkan genggaman tangannya pada Lova untuk menyalurkan amarahnya. Lova sampai meringis kesakitan.
"Ma, Tami hanya sulit hamil, bukan mandul." Ardhan membela.
Sekar mencebik meremehkan. "Apa bedanya?"
Jika tidak menghormati suaminya, Khatami ingin sekali menyumpal mulut menyebalkan itu. Peduli setan dengan tata krama dan sopan santun.
"Ma, tolong hentikan." Ardhan sudah sangat lelah dengan pertengkaran ibu dan istrinya.
"Bagaimana Mama bisa diam saja kalau kamu menikah lagi dengan perempuan yang tidak jelas asal-usulnya begini? Mama memang kepingin punya cucu dari kamu, tapi lihat dululah siapa yang akan melahirkannya. Katanya adik angkat istrimu, tapi tinggalnya di kontrakan kumuh begini?"
Ugh! Kontrakan kumuh, katanya. Lova tidak bisa tidak sakit hati. Namun, di mata Sekar memang seperti itu kelihatannya. Lova tidak bisa marah kepada Sekar yang terbiasa dengan kemewahan.
Khatami memutar bola matanya. "Mau bagaimana lagi? Lova sekarang sudah jadi menantu Mama juga. Lagian, Mama tenang saja. Lova tidak akan selamanya jadi istri Mas Ardhan. Aku dan Mas Ardhan akan membesarkan anak-anak kami nantinya sebaik mungkin."
Kedengarannya seperti habis manis sepah dibuang. Harga diri Lova terluka. Namun, Lova segera mengingatkan dirinya bahwa inilah satu-satunya cara Lova membalas budi. Setelah ini Lova akan pergi, dan tidak ingin ikut campur lagi masalah mereka.
Sekar mengembuskan napas kasar. "Baiklah. Tapi, ingat, kalau perempuan itu tidak hamil dalam tiga bulan, kalian harus bercerai."
"Iya," jawab Khatami.
Sekar menyeringai. "Bukan hanya perempuan itu saja, tapi Ardhan harus bercerai dengan kamu juga, Tami."
Khatami pulang tidak lama setelah Sekar meninggalkan kontrakan. Sekarang hanya ada Lova dan Ardhan. Sejak Khatami pergi, Lova langsung panas dingin. Khatami berpesan agar Lova memakai pakaian yang sudah Khatami siapkan. Namun, alangkah terkejutnya Lova menemukan isi kotak yang ditinggalkan Khatami."Li-lingerie?" Wajah Lova langsung menghangat. Memakainya tanpa ada yang melihat saja bisa membuatnya malu setengah mati, apalagi di hadapan Ardhan nanti.Lova menggigiti kuku jarinya yang sudah pendek. "Mbak Tami pasti bercanda." Lova ingin menghilang saja."Ekhem."Lova terlonjak. Lingerie hitam terlepas dari genggaman. Dengan gerakan yang sangat kaku, Lova memutar tubuhnya. Dia menemukan Ardhan yang sedang berdiri di ambang pintu kamar. Lova menatapnya ngeri seolah Ardhan adalah pengeksekusi hukuman mati."Ma-mas Ardhan," ucap Lova lirih, nyaris tidak terdengar."Sudah siap?" tanya Ardhan.Jantung Lova semakin berdebar tidak keruan. Dia ingin mengatakan tidak. Namun, Lova harus segera me
"Biar saya saja," ucap Ardhan yang merebut sapu dari tangan Lova."Ya sudah, aku yang mengepel.""Tidak. Kamu istirahat saja. Kamu masih kesakitan kan?"Lova menurut. Dia memperhatikan gerakan Ardhan yang sangat kaku. Pria itu terlalu bertenaga mengayunkan sapunya sehingga debu justru bertebaran ke mana-mana."Maaf, Mas. Aku malah merepotkan," ucap Lova tulus. Ardhan pasti tidak terbiasa dengan pekerjaan seperti ini, sekarang dia justru melakukannya untuk Lova."Bukannya saya yang merepotkan kamu?" Ardhan mengatakan itu sambil mengepel, tanpa memeras kainnya lebih dulu. Pria itu seketika terkesiap. OB di kantor saat mengepel sepertinya tidak sebanjir ini."Diperas dulu kainnya, Mas." Lova memeragakan bagaimana caranya memeras kain, kalau-kalau Ardhan tidak tahu."Oh." Ardhan segera mengikuti instruksi Lova. "Sebaiknya kamu pekerjakan asisten rumah tangga saja," katanya setelah mengerjakan tugasnya yang tidak bersih."Aku tidak sanggup membayarnya, Mas."Ardhan mengernyit. "Sekarang ka
"Aku kangen," Khatami berjalan cepat menghampiri suaminya. Dia langsung memeluk Ardhan erat. Lova segera menarik tangannya dari genggaman Ardhan. Dia menelan saliva. Semoga Khatami tidak salah paham. Lova tahu dia tidak seharusnya ada di sana. Oleh karena itu Lova memilih ke dapur. Perasaan bersalah itu muncul lagi. Khatami pasti tersiksa semalaman. "Apa kamu bersenang-senang?" tanya Khatami sambil menelisik Ardhan. "Bagaimana menurut kamu? Apa saya bersenang-senang?" Ardhan justru balik bertanya. Percuma juga menjawab karena Khatami akan memercayai prasangkanya saja. Khatami mengedik. "Seharusnya tidak karena Lova bukan tipe kamu." Oh, jadi karena itu juga Khatami memilih Lova. Ardhan pikir Khatami hanya ingin memanfaatkan utang budi dan keluguan Lova saja. "Kenapa kamu ke sini? Saya baru saja mau pulang." "Aku cuma mau memastikan sesuatu. Kalau kamu mau pulang, duluan saja. Aku masih ada urusan dengan Lova." "Apa?" Jangan bilang Khatami ingin meminta sesuatu yang merepotka
"Hai, Lova. Apa kabar?"Lova menelan saliva. "Ba-baik, Mas. Mari masuk." Perempuan itu mundur beberapa langkah agar Ardhan bisa masuk.Pria berpenampilan kasual itu melangkahkan kakinya. Tidak ada yang berubah dari dalam apartemen ini. Semuanya tertata persis seperti terakhir kali Ardhan melihatnya. Dia jadi penasaran apa saja yang Lova lakukan selama di sini."Kamu betah?" Pertanyaan itu bukan sekadar basa-basi."Betah, Mas." Sejujurnya Lova bosan karena tidak banyak hal yang bisa dia lakukan selain membaca buku."Jika kamu butuh sesuatu, katakan saja. Jangan ragu," ucap Ardhan sambil mendudukkan dirinya di sofa bed yang menghadap ke layar tv besar."Iya, Mas. Mbak Tami sudah mencukupi kebutuhan aku selama di sini."Ardhan manggut-manggut. Syukurlah. Khatami harus memperlakukan Lova dengan sangat baik. Ardhan tidak bisa memastikan keadaan Lova secara langsung. Dia hanya mengetahuinya dari Bu Mar.Ardhan melirik Lova yang mematung di depan pintu. Jari jemari perempuan itu terjalin. Si
"Mas?"Lova melangkahkan kakinya memasuki kamar utama. Ardhan tiba-tiba saja berlari meninggalkannya. Lova yang khawatir langsung mengikuti Ardhan. Pria itu tidak ada. Hanya suara guyuran shower dari kamar mandi."Mas baik-baik saja?" tanya Lova.Ardhan yang membasahi seluruh badannya tanpa melepaskan pakaian seketika terkesiap. Dia tidak berpikir Lova akan mengikutinya. "I-iya," jawabnya."Kenapa showernya menyala?""Ah ... kepencet."Lova mengernyit, tetapi dia memilih tidak ambil pusing. "Aku mau menyiapkan sarapan dulu.""Iya. Silakan."Sementara Lova keluar dan berjibaku di kitchen island, Ardhan kembali menyalakan shower sampai dorongan primitifnya berhenti. Dia segera berganti pakaian dan mengeringkan rambut.Lova sudah membuatkan sandwich roti gandum isi telur, selada, tomat, mentimun, dan keju slice. Pria itu langsung menyantapnya."Mas Ardhan langsung ke kantor?"Ardhan mengangguk dengan mulut penuh. "Besok saya mau ke Wakatobi untuk pembukaan resort," ucapnya setelah berhasi
"Freya?" Khatami bergumam.Dia membelalak. Reaksinya berbeda dengan perempuan berambut bob yang barusan memanggilnya."Ya ampun, aku tidak menyangka kita bisa ketemu di sini. Sudah lama ya?"Perempuan bernama Freya itu memeluk Khatami dan cipika-cipiki. Dia lalu menoleh Lova. "Eh, kamu tidak datang sendiri. Ini siapa?" Freya mengulurkan tangan.Lova menerima uluran tangannya. "Lova, Mbak.""Oh salam kenal, Lova. Aku Freya, teman lama Tami dan Ardhan." Freya tersenyum ramah. Dia lantas menarik lembut bocah laki-laki yang bersamanya. "Ini anakku. Ayo kenalan, Nak."Bocah berusia sekitar 4 tahun itu mengulurkan tangannya kepada Khatami dan Lova bergantian. "Nama aku Sapiel (Xavier), Tante."Lova tersenyum. Xavier sangat lucu dengan pipi cubbhy dan mata bulat besarnya. Wajahnya sangat mirip dengan Freya. Berbeda dengan Lova, Khatami justru merasa sesak. Dia iri."Kalian pergi berdua?" tanya Khatami, mengalihkan fokusnya dari Xavier."Iya.""Suamimu ke mana?"Freya menggeleng pelan. "Kami
"Ini untuk kamu."Lova menerima paper bag kecil dari Ardhan, lalu membukanya. Isinya ternyata sebuah bros perak berbentuk bunga."Terima kasih, Mas. Mbak Tami dikasih juga?"Ardhan mengernyit. "Tami tidak suka memakai bros.""Maksud aku ... Mbak Tami dibawakan oleh-oleh juga?"Ardhan tersenyum lebar, lalu menggeleng. "Saat melihat bros ini, saya langsung teringat kamu karena kamu memakai kerudung. Sedangkan Khatami tidak, jadi saya tidak ingat membelikannya yang lain."Lova menghela napas. Dia menaruh bros itu dimeja. "Kalau seperti itu, artinya Mas Ardhan harus memberikan Mbak Tami sesuatu yang seharga dengan bros ini.""Kenapa?""Mas Ardhan kan harus berbuat adil. Aku takut Mas Ardhan nanti di akhirat jalannya miring."Ardhan menaruh tangannya di sandaran sofa, sebelah kakinya diangkat. Dia tertarik. "Kenapa bisa miring?""Itu kan balasan untuk seorang suami yang poligami tapi tidak berbuat adil ke salah satu istri, dan lebih condong ke istri yang lain."Ardhan seketika merinding. "M
[Lov, Mas Ardhan pergi. Katanya dia mau cari perempuan lain.]Tidak lama setelah kedatangan Ardhan yang tiba-tiba yang tidak tahu apa alasannya. Lova mendapati pesan dari Khatami.[Kalian bertengkar?] tanya Lova.[Iya. Semua ini gara-gara si janda itu. Ternyata Mas Ardhan sudah setengah tahun berhubungan dengannya. Dan kamu tahu yang lebih mengejutkan lagi, Lov. Kamu dan Freya satu apartemen. Tapi Mas Ardhan tidak pernah mengatakannya.][Lov, aku minta tolong. Cek unitnya Freya. Awas saja kalau Mas Ardhan ke sana. Aku sedang on the way.]Lova menghela napas.[Mbak Tami tenang saja. Mas Ardhan ada di sini, Mbak. Dia langsung ke kamar begitu sampai. Sepertinya Mas Ardhan sedang menenangkan diri.][Kamu serius?][Iya. Mbak Tami menuju ke sini, kan? Mbak bisa memastikannya sendiri. Aku tidak berani menganggu Mas Ardhan.][Syukurlah.]Lova berdoa semoga tidak terjadi perang besar di sini."Non, saya pulang dulu ya," ucap Bu Mar. Beliau memang hanya setengah hari menemani Lova."Iya, Bu. Fi