"Menikahlah dengan suamiku, Lov."
Lova yang sedang minum langsung tersedak. Perempuan itu segera meraih tisu untuk membersihkan air yang menyembur. "Maksud Mbak Tami?" tanyanya setelah batuk-batuknya reda.Siang ini Khatami tiba-tiba mengunjungi kediaman Lova dengan wajah murung. Setelah berbasa-basi menanyakan kabar, Khatami justru mengatakan sesuatu yang Lova harap jika dia hanya salah mendengar.Khatami menghela napas. "Seperti yang kamu tahu. Aku sudah menikah selama 5 tahun, tapi belum juga punya anak. Berbagai usaha sudah aku lakukan, termasuk bayi tabung yang berakhir dua kali gagal." Tatapan Khatami menerawang menembus jendela kamar.Program bayi tabung memerlukan biaya yang tidak sedikit. Meskipun Khatami dan Ardhan tergolong mampu, mengeluarkan uang yang cukup banyak untuk hasil yang mengecewakan tentu berakhir sia-sia. Ardhan mungkin tidak mempermasalahkannya. Namun, tidak dengan Sekar ibu mertua Khatami.Sekar sudah nyinyir sejak dua tahun pernikahan Khatami yang tidak kunjung melahirkan buah hati. Sekar semakin cerewet saat program bayi tabung gagal yang kedua kali.Lova yang mendengar curhatan Khatami segera menggenggam tangan tamunya sebagai bentuk dukungan. Sentuhan Lova membuat Khatami kembali menatapnya. "Mungkin memang belum waktunya, Mbak." Lova mencoba menghibur.Khatami tersenyum singkat. "Aku sebenarnya masih bisa bersabar, tapi mertuaku tidak. Dia meminta Mas Ardhan menikah lagi."Lova terperanjat, lalu menatap Khatami prihatin. Perasaan Khatami saat ini pasti sangat terluka. Belum memiliki momongan padahal sudah menikah lama saja sudah pasti membuatnya sedih. Sekarang ibu mertua Khatami justru meminta suaminya menikah lagi.Sehancur apa hati Khatami? Namun, Lova juga memahami Sekar yang ingin segera menggendong cucu. "Tanggapan Mas Ardhan bagaimana?"Khatami mengangkat pundak. "Sekarang masih bisa bersabar, tidak tahu nanti. Setiap ketemu, mama mertuaku selalu memanas-manasinya soal cucu dan pewaris perusahaan. Tinggal menunggu waktu sampai Mas Ardhan akhirnya menuruti keinginan Mama."Perempuan berusia 32 tahun itu melanjutkan, "Apalagi semua teman-teman Mas Ardhan sudah punya anak. Adiknya juga, bahkan sudah dua. Pandangan Mas Ardhan saat melihat anak kecil sulit dijelaskan. Aku tahu jauh di lubuk hatinya dia pasti ingin segera punya momongan."Lova menggigit bibir bawahnya. Permasalahan seperti ini memang pelik. Lova tidak bisa membayangkan dirinya ada di posisi Khatami.Khatami membalas genggaman Lova. "Kamu mau kan, Lov?" tanyanya, kembali pada permintaannya tadi.Lova menelan saliva. "Jadi istri keduanya Mas Ardhan?" Perempuan itu balik bertanya."Iya.""Mbak tidak bercanda kan?" Lova masih tidak bisa memercayai permintaan Khatami."Aku serius, Lova. Aku secara sadar memintamu menjadi maduku.""Tapi, Mbak ....""Aku mohon, Lova. Hanya kamu yang bisa membantuku." Genggaman Khatami pada tangan Lova semakin erat. "Aku tidak mau kalau Mas Ardhan sampai menikahi perempuan pilihan Mama."Lova mengernyit. "Memang apa bedanya?""Beda." Khatami menjawab cepat. "Kalau itu perempuan lain, dia pasti akan merebut Mas Ardhan dariku. Dia pasti ingin menguasai Mas Ardhan sepenuhnya. Kalau kamu, Lov. Aku percaya kamu tidak akan mengkhianatiku."Lova menggeleng pelan. "Aku tidak mengerti, Mbak.""Aku hanya ingin kamu menikah dengan Mas Ardhan, lalu melahirkan dua anaknya. Setelah itu kamu bisa kembali menjalani kehidupan yang kamu inginkan."Lova masih mengerjap, berusaha memahami setiap kata yang keluar dari mulut Khatami."Pernikahan kamu dan Mas Ardhan hanya sementara, Lova."Lova seketika membeliak. "A-apa? Sementara?"Khatami mengangguk. "Kamu tenang saja. Aku pasti membalas jasa besarmu ini. Kamu mau apa? Mobil? Rumah? Apartemen? Katakan saja, Lov," ucap Khatami seolah-olah yang dia katakan bukan masalah besar.Mobil, rumah, atau apartemen, apakah sepadan dengan pengorbanan yang harus Lova lakukan? Nantinya Lova akan memberikan darah dagingnya kepada Khatami. Lova juga akan jadi janda. Tidak ada yang salah dengan menjadi janda. Hanya saja, sekali lagi, apakah sebanding?"Mbak, maaf ...." Lova hendak melepaskan tangannya, tetapi Khatami tidak membiarkan hal itu. Dia menggenggam tangan Lova sangat erat."Lova, aku mohon." Khatami memelas. Cairan bening mulai menggenang di matanya. "Apa kamu tega melihatku dicampakkan Mas Ardhan?""Hal itu belum terjadi, Mbak.""Jadi harus menunggu kejadian dulu?"Lova menghela napas berat. Dia sampai kehilangan kata-kata. Permintaan Khatami bukan sesuatu yang mudah, bahkan sangat sulit."Lova, please." Khatami memelas lagi. Sekarang cairan bening itu turun membasahi pipinya yang kemerah-merahan. "Aku benar-benar takut cinta Mas Ardhan berpaling kepada perempuan lain."Air mata Khatami semakin membanjiri pipinya. Beruntung Khatami memakai make up yang waterproof. Jika tidak, wajahnya pasti sudah belepotan oleh maskara yang luntur.Lova jadi serba salah melihat Khatami yang sudah dia anggap seperti kakaknya sendiri itu menangis hebat. Lova tahu Khatami saat ini sedang terpuruk. Namun, permintaan Khatami jelas bukan sesuatu yang bisa Lova iyakan begitu saja. Perlu pertimbangan yang sangat matang.Di tengah kebingungannya itu, seseorang mengucap salam di luar sana. Dari suaranya, itu suara Bu Tika, salah satu tetangga. Bu Tika pasti ingin mengambil pesanan beliau.Khatami segera menghapus air matanya. "Temui saja, Lov," ucapnya serak."Aku tinggal sebentar ya, Mbak."Lova segera bangkit dan menemui Bu Tika. Lova mendapat pesanan menjahit gamis seragam untuk ibu-ibu pengajian di sekitar kontrakannya. Bu Tika adalah ketua dari kumpulan para ibu itu."Ibu tidak pernah kecewa sama jahitan kamu," ucap beliau setelah melihat gamis-gamis berbahan baloteli emboss yang sudah jadi."Alhamdulillah." Lova bersyukur mendengarnya.Bu Tika mengambil semua gamis itu dan memberikan sisa pembayaran. Lova mengantar kepergian Bu Tika dengan senyuman. Menjahit adalah satu-satunya keahlian Lova yang dia gunakan untuk mencari nafkah demi mempertahankan hidupnya yang sudah sebatang kara. Kedua orang tua Lova telah berpulang bertahun-tahun lalu."Kamu sangat berbakat," ucap Khatami. Perempuan berambut lurus sebahu itu sudah tidak menangis, tetapi bulu matanya masih basah. Dia baru kembali dari kamar mandi.Lova tersenyum. "Terima kasih kepada Pak Akhyar dan Bu Salma yang sudah membiayai aku kursus menjahit," ucapnya, lalu terdiam.Mesin jahit yang dia gunakan juga merupakan hadiah dari keduanya. Mereka sangat menyayangi Lova padahal dirinya hanya anak mantan art di rumah mereka. Jika bukan karena Pak Akhyar dan Bu Salma, saat ini Lova mungkin terjebak pernikahan dengan pria tua karena dijadikan alat penebus utang oleh pamannya.Lova yang tidak mau dinikahkan memilih kabur. Dia yang tidak tahu harus ke mana hanya bisa menghubungi mantan majikan ibunya. Beruntung mereka mau menolong. Pak Akhyar bahkan menawari Lova kuliah. Namun, Lova tidak ingin merepotkan lebih banyak lagi.Selama ini Lova selalu bertanya-tanya apa yang harus dia lakukan untuk membalas semua kebaikan Pak Akhyar dan Bu Salma, orang tua Khatami. Apa ... sekaranglah saatnya?Dada Lova mendadak sesak. Tadi dia sempat berpikir jika imbalan yang Khatami janjikan tidak sebanding dengan jasa yang akan dia lakukan. Namun, pada kenyataannya, Lova-lah yang banyak berutang budi kepada Khatami dan keluarganya."Lova! Kenapa melamun?" Khatami melambaikan tangan di depan wajah Lova.Lova mencengkeram tunik yang dia pakai. Perempuan itu lantas memaksakan diri tersenyum. "Tidak apa-apa, Mbak," ucapnya, padahal Lova sedang merasa jahat kepada Khatami. "Mbak mau pergi?" tanya Lova yang melihat Khatami mengambil tas branded miliknya dari meja."Iya." Khatami melirik jam di dinding. "Mas Ardhan sebentar lagi pulang," jawab Khatami, kemudian mengembuskan napas. "Kamu tahu, Lov. Setiap Mas Ardhan tiba di rumah, matanya selalu mencari sesuatu.""Apa?""Anak-anak yang menyambut kepulangan papanya." Khatami tersenyum singkat. "Aku patah hati kalau melihat ekspresi Mas Ardhan yang berusaha menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya. Mungkin, sebentar lagi Mas Ardhan akan mendengarkan usulan Mama. Dan kalau itu terjadi, aku harus siap-siap kehilangan suami yang kucintai."Melihat Khatami yang kembali murung, Lova ikut patah hati. Perasaan bersalah semakin menguasai Lova. Dia segera mendekati Khatami. "Mbak, tolong jangan berpikiran buruk."Khatami menggeleng pelan. "Kamu tidak di posisiku, Lov. Kamu tidak akan mengerti.""Hal itu tidak akan terjadi, Mbak," ucapnya yakin.Khatami tertawa hambar yang sarat akan luka. "Memangnya kamu bisa menjamin?"Lova mengangguk mantap, yang membuat Khatami mengernyit dalam. "Aku tidak akan membiarkan Mbak Tami kehilangan Mas Ardhan. Aku akan melahirkan dua anak untuk kalian. Aku bersedia, Mbak.""Mbak yakin?" tanya Lova. Dia khawatir Khatami berubah pikiran di detik-detik terakhir menuju ijab kabul. Masih ada waktu sebelum semuanya terlambat.Lova hanya menikah siri dengan Ardhan. Toh, pernikahan sementara. Jadi, buat apa mendaftar ke KUA? Lova juga akan pergi setelah melahirkan dua anak sesuai permintaan Khatami. Lova yakin dia bisa melakukannya, meskipun sebagian dirinya memberontak, tidak menginginkan hal ini. Jika bukan sekarang, kapan lagi Lova akan membalas budi? Jika Khatami benar-benar dicampakkan suaminya, Lova akan menghabiskan sisa hidupnya dalam perasaan bersalah. Namun, apa Khatami benar-benar baik-baik saja dengan semua ini? Khatami memasangkan tudung berbahan organza berwarna putih yang melapisi khimar sepinggang yang dikenakan Lova. "Jangan pikirkan perasaanku, Lov." Lova memutar tubuhnya menghadap Khatami. "Bagaimana mungkin aku tidak memikirkan perasaan Mbak Tami?" Khatami tersenyum, lalu menjawil hidung mungil Lova. "Terima kasih sudah memikirkan perasa
Khatami pulang tidak lama setelah Sekar meninggalkan kontrakan. Sekarang hanya ada Lova dan Ardhan. Sejak Khatami pergi, Lova langsung panas dingin. Khatami berpesan agar Lova memakai pakaian yang sudah Khatami siapkan. Namun, alangkah terkejutnya Lova menemukan isi kotak yang ditinggalkan Khatami."Li-lingerie?" Wajah Lova langsung menghangat. Memakainya tanpa ada yang melihat saja bisa membuatnya malu setengah mati, apalagi di hadapan Ardhan nanti.Lova menggigiti kuku jarinya yang sudah pendek. "Mbak Tami pasti bercanda." Lova ingin menghilang saja."Ekhem."Lova terlonjak. Lingerie hitam terlepas dari genggaman. Dengan gerakan yang sangat kaku, Lova memutar tubuhnya. Dia menemukan Ardhan yang sedang berdiri di ambang pintu kamar. Lova menatapnya ngeri seolah Ardhan adalah pengeksekusi hukuman mati."Ma-mas Ardhan," ucap Lova lirih, nyaris tidak terdengar."Sudah siap?" tanya Ardhan.Jantung Lova semakin berdebar tidak keruan. Dia ingin mengatakan tidak. Namun, Lova harus segera me
"Biar saya saja," ucap Ardhan yang merebut sapu dari tangan Lova."Ya sudah, aku yang mengepel.""Tidak. Kamu istirahat saja. Kamu masih kesakitan kan?"Lova menurut. Dia memperhatikan gerakan Ardhan yang sangat kaku. Pria itu terlalu bertenaga mengayunkan sapunya sehingga debu justru bertebaran ke mana-mana."Maaf, Mas. Aku malah merepotkan," ucap Lova tulus. Ardhan pasti tidak terbiasa dengan pekerjaan seperti ini, sekarang dia justru melakukannya untuk Lova."Bukannya saya yang merepotkan kamu?" Ardhan mengatakan itu sambil mengepel, tanpa memeras kainnya lebih dulu. Pria itu seketika terkesiap. OB di kantor saat mengepel sepertinya tidak sebanjir ini."Diperas dulu kainnya, Mas." Lova memeragakan bagaimana caranya memeras kain, kalau-kalau Ardhan tidak tahu."Oh." Ardhan segera mengikuti instruksi Lova. "Sebaiknya kamu pekerjakan asisten rumah tangga saja," katanya setelah mengerjakan tugasnya yang tidak bersih."Aku tidak sanggup membayarnya, Mas."Ardhan mengernyit. "Sekarang ka
"Aku kangen," Khatami berjalan cepat menghampiri suaminya. Dia langsung memeluk Ardhan erat. Lova segera menarik tangannya dari genggaman Ardhan. Dia menelan saliva. Semoga Khatami tidak salah paham. Lova tahu dia tidak seharusnya ada di sana. Oleh karena itu Lova memilih ke dapur. Perasaan bersalah itu muncul lagi. Khatami pasti tersiksa semalaman. "Apa kamu bersenang-senang?" tanya Khatami sambil menelisik Ardhan. "Bagaimana menurut kamu? Apa saya bersenang-senang?" Ardhan justru balik bertanya. Percuma juga menjawab karena Khatami akan memercayai prasangkanya saja. Khatami mengedik. "Seharusnya tidak karena Lova bukan tipe kamu." Oh, jadi karena itu juga Khatami memilih Lova. Ardhan pikir Khatami hanya ingin memanfaatkan utang budi dan keluguan Lova saja. "Kenapa kamu ke sini? Saya baru saja mau pulang." "Aku cuma mau memastikan sesuatu. Kalau kamu mau pulang, duluan saja. Aku masih ada urusan dengan Lova." "Apa?" Jangan bilang Khatami ingin meminta sesuatu yang merepotka
"Hai, Lova. Apa kabar?"Lova menelan saliva. "Ba-baik, Mas. Mari masuk." Perempuan itu mundur beberapa langkah agar Ardhan bisa masuk.Pria berpenampilan kasual itu melangkahkan kakinya. Tidak ada yang berubah dari dalam apartemen ini. Semuanya tertata persis seperti terakhir kali Ardhan melihatnya. Dia jadi penasaran apa saja yang Lova lakukan selama di sini."Kamu betah?" Pertanyaan itu bukan sekadar basa-basi."Betah, Mas." Sejujurnya Lova bosan karena tidak banyak hal yang bisa dia lakukan selain membaca buku."Jika kamu butuh sesuatu, katakan saja. Jangan ragu," ucap Ardhan sambil mendudukkan dirinya di sofa bed yang menghadap ke layar tv besar."Iya, Mas. Mbak Tami sudah mencukupi kebutuhan aku selama di sini."Ardhan manggut-manggut. Syukurlah. Khatami harus memperlakukan Lova dengan sangat baik. Ardhan tidak bisa memastikan keadaan Lova secara langsung. Dia hanya mengetahuinya dari Bu Mar.Ardhan melirik Lova yang mematung di depan pintu. Jari jemari perempuan itu terjalin. Si
"Mas?"Lova melangkahkan kakinya memasuki kamar utama. Ardhan tiba-tiba saja berlari meninggalkannya. Lova yang khawatir langsung mengikuti Ardhan. Pria itu tidak ada. Hanya suara guyuran shower dari kamar mandi."Mas baik-baik saja?" tanya Lova.Ardhan yang membasahi seluruh badannya tanpa melepaskan pakaian seketika terkesiap. Dia tidak berpikir Lova akan mengikutinya. "I-iya," jawabnya."Kenapa showernya menyala?""Ah ... kepencet."Lova mengernyit, tetapi dia memilih tidak ambil pusing. "Aku mau menyiapkan sarapan dulu.""Iya. Silakan."Sementara Lova keluar dan berjibaku di kitchen island, Ardhan kembali menyalakan shower sampai dorongan primitifnya berhenti. Dia segera berganti pakaian dan mengeringkan rambut.Lova sudah membuatkan sandwich roti gandum isi telur, selada, tomat, mentimun, dan keju slice. Pria itu langsung menyantapnya."Mas Ardhan langsung ke kantor?"Ardhan mengangguk dengan mulut penuh. "Besok saya mau ke Wakatobi untuk pembukaan resort," ucapnya setelah berhasi
"Freya?" Khatami bergumam.Dia membelalak. Reaksinya berbeda dengan perempuan berambut bob yang barusan memanggilnya."Ya ampun, aku tidak menyangka kita bisa ketemu di sini. Sudah lama ya?"Perempuan bernama Freya itu memeluk Khatami dan cipika-cipiki. Dia lalu menoleh Lova. "Eh, kamu tidak datang sendiri. Ini siapa?" Freya mengulurkan tangan.Lova menerima uluran tangannya. "Lova, Mbak.""Oh salam kenal, Lova. Aku Freya, teman lama Tami dan Ardhan." Freya tersenyum ramah. Dia lantas menarik lembut bocah laki-laki yang bersamanya. "Ini anakku. Ayo kenalan, Nak."Bocah berusia sekitar 4 tahun itu mengulurkan tangannya kepada Khatami dan Lova bergantian. "Nama aku Sapiel (Xavier), Tante."Lova tersenyum. Xavier sangat lucu dengan pipi cubbhy dan mata bulat besarnya. Wajahnya sangat mirip dengan Freya. Berbeda dengan Lova, Khatami justru merasa sesak. Dia iri."Kalian pergi berdua?" tanya Khatami, mengalihkan fokusnya dari Xavier."Iya.""Suamimu ke mana?"Freya menggeleng pelan. "Kami
"Ini untuk kamu."Lova menerima paper bag kecil dari Ardhan, lalu membukanya. Isinya ternyata sebuah bros perak berbentuk bunga."Terima kasih, Mas. Mbak Tami dikasih juga?"Ardhan mengernyit. "Tami tidak suka memakai bros.""Maksud aku ... Mbak Tami dibawakan oleh-oleh juga?"Ardhan tersenyum lebar, lalu menggeleng. "Saat melihat bros ini, saya langsung teringat kamu karena kamu memakai kerudung. Sedangkan Khatami tidak, jadi saya tidak ingat membelikannya yang lain."Lova menghela napas. Dia menaruh bros itu dimeja. "Kalau seperti itu, artinya Mas Ardhan harus memberikan Mbak Tami sesuatu yang seharga dengan bros ini.""Kenapa?""Mas Ardhan kan harus berbuat adil. Aku takut Mas Ardhan nanti di akhirat jalannya miring."Ardhan menaruh tangannya di sandaran sofa, sebelah kakinya diangkat. Dia tertarik. "Kenapa bisa miring?""Itu kan balasan untuk seorang suami yang poligami tapi tidak berbuat adil ke salah satu istri, dan lebih condong ke istri yang lain."Ardhan seketika merinding. "M