"Tidak boleh ada yang menyalahkan Lova. Ini murni keputusan saya."Ardhan menatap satu per satu keluarga inti yang berkumpul di rumahnya. Dia dan Lova sudah resmi menjadi suami istri secara hukum."Tidak boleh ada yang menganggu Lova, atau akan berhadapan dengan saya.""Bagaimana dengan Tami?" tanya Salma. "Kenapa kamu tega melakukan ini ke Tami?""Saya sudah mendapat izin dari Tami." Ardhan melirik Khatami yang duduk di samping kanannya, sementara Lova di kiri. "Bahkan, Tami yang menyuruh saya menikahi Lova.""Menikah siri," kata Salma.Ardhan tetap tenang. "Sama saja, Ma. Yang membedakan hanya terdaftar di pengadilan atau tidak. Mau siri atau tidak, Lova tetap istri saya, juga calon ibu dari putri saya.""Tapi bukan seperti ini perjanjian awalnya." Salma kekeh membela Khatami yang menurutnya sudah dizalimi Ardhan."Mama pernah memarahi saya soal saya yang memperlakukan Tami seperti pakaian yang ketika koyak, langsung dibuang. Dan jika saya tetap menjalani rencana awal, maka saya aka
'Yang sabar ya, Kak.''Semoga cepat hamil lagi, ya, Mbak.'Komentar-komentar serupa memenuhi unggahan Khatami setelah dia membuat pengumuman soal dirinya yang keguguran. Khatami memang harus mengakhiri sandiwaranya.Lova jadi merasa bersalah. Dia segera mengirim direct massage.'Mbak tetap menjadi ibu dari anakku kok.'Namun, Khatami tidak membalasnya. Awalnya Lova berpikir karena Khatami sibuk. Ternyata Khatami memang menghindari Lova. Pesan-pesan Lova yang lain tidak ada yang dia balas."Mbak Tami pasti marah dan benci ke aku." Lova menghela napas.Setelah Ardhan meresmikan pernikahan mereka, hubungan Lova dan Khatami merenggang. Lova juga sebenarnya menghindari Khatami karena merasa tidak enak padanya.Motor yang berhenti di depan rumahnya menyita perhatian Lova yang sedang duduk di teras. Itu adalah Mbak Ika yang sudah kembali dari kampung halamannya selama tiga hari.Lova hendak menyambut Mbak Ika. Namun, dia terkejut saat mendapati ojol yang mengantar Mbak Ika. Kenapa harus ...
"Aku pikir kamu itu perempuan polos, Lova. Ternyata kamu sama saja dengan perempuan-perempuan penggoda di luar sana."Lova menelan saliva."Penampilan memang bisa menipu." Khatami berdecak. "Sekarang aku tahu kenapa kamu selalu menyuruhku meninggalkan Mas Ardhan. Biar kamu bisa merebut posisiku, begitu?"Lova menggeleng. "Tidak, Mbak. Aku tidak punya keinginan merebut Mas Ardhan.""Oh ya? Kamu pikir aku percaya?""Mbak Tami tidak percaya juga tidak apa-apa."Khatami tertawa. "Ya iyalah. Karena kamu sudah mendapatkan Mas Ardhan. Kamu membuat Mas Ardhan menjauh lagi dariku padahal hubungan kami sudah membaik. Kamu ternyata sebusuk ini ya?"Lova menunduk. "Maaf, Mbak. Aku sudah berusaha tidak mencintai Mas Ardhan. Tapi, perasaan itu hadir begitu saja."Khatami bertepuk tangan. "Wah, Lova. Aku sampai tidak bisa berkata-kata. Ternyata benar apa kata orang. Yang paling berpotensi mengkhianati kita itu orang terdekat kita. Orang yang paling kita percaya. Kamu mengecewakan, Lova. PENGKHIANAT.
Kondisi Lova pagi harinya perlahan membaik. Ardhan semalaman tidak beranjak dari sisi istrinya. Dia terus memeriksa dan mengganti handuk yang digunakan untuk mengompres."Ini bukan salah kamu, Love," ucap Ardhan sambil mengecup kening Lova. Semalam Lova terus mengigau meminta maaf kepada Khatami. "Bukan salah kamu kalau saya mencintai kamu."Lova mengerjap. Dia menatap Ardhan yang duduk di sampingnya. "Mas Ardhan tidak ke kantor?" tanya Lova."Saya nanti pergi agak siang.""Oh." Lova melemparkan pandangan ke arah jendela kamar yang gordennya setengah terbuka. Tidak ada yang bisa dia lihat selain bagian belakang mobil hadiah dari Heru yang terparkir.Ardhan mengusap pelipis istrinya. "Kamu jangan sampai stress. Bahaya untuk kesehatan bayi kita."Lova menghela napas. Inginnya juga seperti itu. Namun, masalah dengan Khatami sepertinya tidak akan pernah bisa Lova lupakan begitu saja. Rasa bersalah akan terus bercokol di hati Lova seumur hidupnya.Apa Lova bisa melalui semua ini?"Love." A
Ardhan langsung mengambil sikap. Dia menarik Khatami ke belakang tubuhnya, menjadikan dirinya sendiri tameng. Tatapan Ardhan menajam. Masih segar di ingatan apa yang Brandon lakukan kepada Khatami dulu."Saya tidak akan melakukan sesuatu yang buruk kepada Khatami," ucap pria bernama Brandon tersebut.Khatami segera menarik lengan kemeja Ardhan. "Kita pergi saja, Mas."Ardhan mendengkus."Tunggu dulu, Khatami. Ada sesuatu yang ingin saya katakan.""Apa sesuatu yang penting? Apa hal itu akan menguntungkan istri saya?" Ardhan yang menyahut.Khatami menahan senyumnya karena Ardhan tiba-tiba berubah posesif. "Kamu mau bilang apa?" tanya Khatami kepada Brandon. "Katakan di sini saja. Singkat, jelas, dan cepat.""Saya hanya ingin meminta maaf untuk yang saya lakukan di masa lalu.""Kalau Anda ingin meminta maaf. Kalau Anda benar-benar menyesal, seharusnya Anda menyerahkan diri ke polisi sejak lama." Lagi-lagi Ardhan yang menanggapi.Wajah Khatami menghangat. Dia tidak menyangka Ardhan masih
"Aku masih tidak menyangka loh kalau kamu itu ternyata madunya Tami."Lova menghela napas. "Lalu?" tanyanya."Ah, tidak. Aku cuma mau ke toilet."Lova menyingkir. "Silakan, Mbak.""Aku sudah tahu cerita lengkapnya. Kalau dipikir-pikir, kasihan sekali ya Tami."Lova mengepalkan tangan. "Bukannya Mbak Freya mau ke toilet?""Memangnya tidak boleh aku mengatakan hal itu? Sebagai sesama perempuan, aku hanya ingin menunjukkan rasa simpatiku."Lova lantas tertawa singkat. "Aku belum lupa saat Mbak Freya dengan sengaja menjatuhkan mental Mbak Tami saat di mal. Ke mana rasa simpati Mbak Freya saat itu? Kenapa sekarang Mbak Freya seolah-olah ada di pihak Mbak Tami? Tujuan Mbak hanya ingin memojokkan aku saja kan?"Freya menggertakkan gigi."Sudahlah, Mbak. Mbak tidak perlu ikut campur masalah kami. Mbak tidak pernah ada di posisi aku atau Mbak Tami. Apa yang Mbak Freya ucapkan terdengar hanya omong kosong."Lova kemudian pergi, meninggalkan Freya yang jengkel setengah mati. Perempuan itu menonj
"Bertahanlah, Love. Kamu pasti bisa. Saya di sini," ucap Ardhan.Lova mengalami kontraksi hebat setelah mengerjakan salat subuh. Bu Mar langsung menelepon Ardhan yang berada di rumah Khatami. Sebenarnya Ardhan ingin menemani Lova karena sudah mendekati hpl. Namun, Lova memaksa Ardhan tetap ke rumah Khatami sesuai gilirannya.Pria itu segera memboyong Lova ke rumah sakit. Panik menjalari dirinya.Lova menggenggam erat tangan Ardhan, menyalurkan rasa sakit yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Air mata Lova menetes. Tiba-tiba wajah mendiang ibunya terbayang. Mungkin seperti inilah sang ibu saat melahirkannya dulu.Lova masih remaja saat ibu pergi. Dia belum bisa membanggakan beliau. Belum bisa membahagiakan beliau. Lova ingin ibunya ada di sini, menemaninya. Air mata Lova menitik lagi. "Ibu," gumam perempuan yang tengah berada di antara hidup dan mati itu."Love. Sayang." Ardhan terus memanggil. Sejak tadi dia berkeringat dingin melihat perjuangan sang istri melahirkan putri pertama
"Mbak Tami pergi?" Lova segera merapikan pakaiannya setelah memberi asi kepada Almaira. "Pergi ke mana, Mas?"Ardhan membungkuk di depan box bayi, lalu menyentuh pipi lembut Almaira yang lebih banyak mewarisi garis wajah Lova menggunakan telunjuknya. "Ke rumah orang tuanya.""Kenapa Mbak Tami ... pergi?" Lova sangat berharap Ardhan tidak mengatakan sesuatu yang tidak ingin dia dengar."Tami ingin menyerah dengan pernikahan ini," jawab Ardhan tanpa mengalihkan tatapannya dari Almaira yang tertidur lelap.Lova menggeleng. "Tidak mungkin. Mbak Tami sangat mencintai Mas Ardhan."Ardhan menghela napas. "Kenyataannya, Tami sudah pergi, Love. Tami membawa sebagian pakaiannya.""Lalu kenapa Mas Ardhan ada di sini? Kenapa Mas tidak mengejar Mbak Tami?" Lova mengguncang tubuh suaminya. Mata perempuan itu memanas. Rasa bersalah semakin tumbuh besar di hatinya."Saya sudah berusaha, Lova. Tami tetap ingin pergi."Lova mengh