"Aku pikir kamu itu perempuan polos, Lova. Ternyata kamu sama saja dengan perempuan-perempuan penggoda di luar sana."Lova menelan saliva."Penampilan memang bisa menipu." Khatami berdecak. "Sekarang aku tahu kenapa kamu selalu menyuruhku meninggalkan Mas Ardhan. Biar kamu bisa merebut posisiku, begitu?"Lova menggeleng. "Tidak, Mbak. Aku tidak punya keinginan merebut Mas Ardhan.""Oh ya? Kamu pikir aku percaya?""Mbak Tami tidak percaya juga tidak apa-apa."Khatami tertawa. "Ya iyalah. Karena kamu sudah mendapatkan Mas Ardhan. Kamu membuat Mas Ardhan menjauh lagi dariku padahal hubungan kami sudah membaik. Kamu ternyata sebusuk ini ya?"Lova menunduk. "Maaf, Mbak. Aku sudah berusaha tidak mencintai Mas Ardhan. Tapi, perasaan itu hadir begitu saja."Khatami bertepuk tangan. "Wah, Lova. Aku sampai tidak bisa berkata-kata. Ternyata benar apa kata orang. Yang paling berpotensi mengkhianati kita itu orang terdekat kita. Orang yang paling kita percaya. Kamu mengecewakan, Lova. PENGKHIANAT.
Kondisi Lova pagi harinya perlahan membaik. Ardhan semalaman tidak beranjak dari sisi istrinya. Dia terus memeriksa dan mengganti handuk yang digunakan untuk mengompres."Ini bukan salah kamu, Love," ucap Ardhan sambil mengecup kening Lova. Semalam Lova terus mengigau meminta maaf kepada Khatami. "Bukan salah kamu kalau saya mencintai kamu."Lova mengerjap. Dia menatap Ardhan yang duduk di sampingnya. "Mas Ardhan tidak ke kantor?" tanya Lova."Saya nanti pergi agak siang.""Oh." Lova melemparkan pandangan ke arah jendela kamar yang gordennya setengah terbuka. Tidak ada yang bisa dia lihat selain bagian belakang mobil hadiah dari Heru yang terparkir.Ardhan mengusap pelipis istrinya. "Kamu jangan sampai stress. Bahaya untuk kesehatan bayi kita."Lova menghela napas. Inginnya juga seperti itu. Namun, masalah dengan Khatami sepertinya tidak akan pernah bisa Lova lupakan begitu saja. Rasa bersalah akan terus bercokol di hati Lova seumur hidupnya.Apa Lova bisa melalui semua ini?"Love." A
Ardhan langsung mengambil sikap. Dia menarik Khatami ke belakang tubuhnya, menjadikan dirinya sendiri tameng. Tatapan Ardhan menajam. Masih segar di ingatan apa yang Brandon lakukan kepada Khatami dulu."Saya tidak akan melakukan sesuatu yang buruk kepada Khatami," ucap pria bernama Brandon tersebut.Khatami segera menarik lengan kemeja Ardhan. "Kita pergi saja, Mas."Ardhan mendengkus."Tunggu dulu, Khatami. Ada sesuatu yang ingin saya katakan.""Apa sesuatu yang penting? Apa hal itu akan menguntungkan istri saya?" Ardhan yang menyahut.Khatami menahan senyumnya karena Ardhan tiba-tiba berubah posesif. "Kamu mau bilang apa?" tanya Khatami kepada Brandon. "Katakan di sini saja. Singkat, jelas, dan cepat.""Saya hanya ingin meminta maaf untuk yang saya lakukan di masa lalu.""Kalau Anda ingin meminta maaf. Kalau Anda benar-benar menyesal, seharusnya Anda menyerahkan diri ke polisi sejak lama." Lagi-lagi Ardhan yang menanggapi.Wajah Khatami menghangat. Dia tidak menyangka Ardhan masih
"Aku masih tidak menyangka loh kalau kamu itu ternyata madunya Tami."Lova menghela napas. "Lalu?" tanyanya."Ah, tidak. Aku cuma mau ke toilet."Lova menyingkir. "Silakan, Mbak.""Aku sudah tahu cerita lengkapnya. Kalau dipikir-pikir, kasihan sekali ya Tami."Lova mengepalkan tangan. "Bukannya Mbak Freya mau ke toilet?""Memangnya tidak boleh aku mengatakan hal itu? Sebagai sesama perempuan, aku hanya ingin menunjukkan rasa simpatiku."Lova lantas tertawa singkat. "Aku belum lupa saat Mbak Freya dengan sengaja menjatuhkan mental Mbak Tami saat di mal. Ke mana rasa simpati Mbak Freya saat itu? Kenapa sekarang Mbak Freya seolah-olah ada di pihak Mbak Tami? Tujuan Mbak hanya ingin memojokkan aku saja kan?"Freya menggertakkan gigi."Sudahlah, Mbak. Mbak tidak perlu ikut campur masalah kami. Mbak tidak pernah ada di posisi aku atau Mbak Tami. Apa yang Mbak Freya ucapkan terdengar hanya omong kosong."Lova kemudian pergi, meninggalkan Freya yang jengkel setengah mati. Perempuan itu menonj
"Bertahanlah, Love. Kamu pasti bisa. Saya di sini," ucap Ardhan.Lova mengalami kontraksi hebat setelah mengerjakan salat subuh. Bu Mar langsung menelepon Ardhan yang berada di rumah Khatami. Sebenarnya Ardhan ingin menemani Lova karena sudah mendekati hpl. Namun, Lova memaksa Ardhan tetap ke rumah Khatami sesuai gilirannya.Pria itu segera memboyong Lova ke rumah sakit. Panik menjalari dirinya.Lova menggenggam erat tangan Ardhan, menyalurkan rasa sakit yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Air mata Lova menetes. Tiba-tiba wajah mendiang ibunya terbayang. Mungkin seperti inilah sang ibu saat melahirkannya dulu.Lova masih remaja saat ibu pergi. Dia belum bisa membanggakan beliau. Belum bisa membahagiakan beliau. Lova ingin ibunya ada di sini, menemaninya. Air mata Lova menitik lagi. "Ibu," gumam perempuan yang tengah berada di antara hidup dan mati itu."Love. Sayang." Ardhan terus memanggil. Sejak tadi dia berkeringat dingin melihat perjuangan sang istri melahirkan putri pertama
"Mbak Tami pergi?" Lova segera merapikan pakaiannya setelah memberi asi kepada Almaira. "Pergi ke mana, Mas?"Ardhan membungkuk di depan box bayi, lalu menyentuh pipi lembut Almaira yang lebih banyak mewarisi garis wajah Lova menggunakan telunjuknya. "Ke rumah orang tuanya.""Kenapa Mbak Tami ... pergi?" Lova sangat berharap Ardhan tidak mengatakan sesuatu yang tidak ingin dia dengar."Tami ingin menyerah dengan pernikahan ini," jawab Ardhan tanpa mengalihkan tatapannya dari Almaira yang tertidur lelap.Lova menggeleng. "Tidak mungkin. Mbak Tami sangat mencintai Mas Ardhan."Ardhan menghela napas. "Kenyataannya, Tami sudah pergi, Love. Tami membawa sebagian pakaiannya.""Lalu kenapa Mas Ardhan ada di sini? Kenapa Mas tidak mengejar Mbak Tami?" Lova mengguncang tubuh suaminya. Mata perempuan itu memanas. Rasa bersalah semakin tumbuh besar di hatinya."Saya sudah berusaha, Lova. Tami tetap ingin pergi."Lova mengh
Lova tidak bisa pergi tanpa rencana yang matang. Dia harus menentukan ke mana tujuannya akan melanjutkan hidup. Lova juga harus tahu kapan saat yang tepat. Namun, di sisi lain, Lova tidak boleh memakan waktu terlalu lama atau pernikahan Ardhan dan Khatami benar-benar tidak bisa diselamatkan.Sekarang, selain membuat daftar hal apa saja yang harus dia lakukan, Lova juga ingin memanfaatkan kebersamaannya dengan Almaira. Menggendong, mencium, dan memberi putri kecilnya itu asi selagi bisa.Decitan ban mobil dengan aspal di depan rumah menyita perhatian Lova. "Papa sudah pulang, sayang. Mama melihat Papa dulu ya?" Lova tersenyum hangat meskipun Almaira sedang tidur.Lova baru saja akan membuka pintu kamar ketika tiba-tiba pintu berwarna hitam itu terbuka lebih dulu. "Mas?" Lova sedikit terkejut karena Ardhan pulang dengan wajah masam."Saya akan ke Bali malam nanti," jawab Ardhan sambil melepaskan jasnya."Apa ada masalah?" tanya Lova hati-ha
Keputusan ini sangat berat. Lova tidak henti-hentinya menangis sejak Ardhan pergi. Lova tidak tahu kapan Ardhan akan kembali. Yang harus dia lakukan hanya sudah meninggalkan rumah sebelum suaminya itu datang.Lova bergegas mengemasi pakaian. Tidak terlalu banyak. Dia membawa tiga gamis dan kerudungnya, serta pakaian dalam. Sisanya, Lova bisa membeli yang baru meskipun sebenarnya dia anti menghamburkan uang saat barang yang lama masih layak pakai.Lova tidak boleh kelihatan mencolok."Mbak Ika," panggil Lova.Beliau datang kurang dari satu menit. "Iya, Non.""Aku mau ke rumah Bu Salma.""Sekarang, Non?""Iya.""Sendirian?""Iya.""Tidak menunggu Bu Mar dulu? Mungkin sebentar lagi pulang. Mobilnya juga dibawa kan?"Justru Lova sengaja pergi saat Bu Mar sedang belanja."Tidak usah, Mbak. Aku juga sudah pesan taksi online kok." Lova tersenyum.Mbak Ika tampak ragu. Setahu