Ardhan langsung mengambil sikap. Dia menarik Khatami ke belakang tubuhnya, menjadikan dirinya sendiri tameng. Tatapan Ardhan menajam. Masih segar di ingatan apa yang Brandon lakukan kepada Khatami dulu."Saya tidak akan melakukan sesuatu yang buruk kepada Khatami," ucap pria bernama Brandon tersebut.Khatami segera menarik lengan kemeja Ardhan. "Kita pergi saja, Mas."Ardhan mendengkus."Tunggu dulu, Khatami. Ada sesuatu yang ingin saya katakan.""Apa sesuatu yang penting? Apa hal itu akan menguntungkan istri saya?" Ardhan yang menyahut.Khatami menahan senyumnya karena Ardhan tiba-tiba berubah posesif. "Kamu mau bilang apa?" tanya Khatami kepada Brandon. "Katakan di sini saja. Singkat, jelas, dan cepat.""Saya hanya ingin meminta maaf untuk yang saya lakukan di masa lalu.""Kalau Anda ingin meminta maaf. Kalau Anda benar-benar menyesal, seharusnya Anda menyerahkan diri ke polisi sejak lama." Lagi-lagi Ardhan yang menanggapi.Wajah Khatami menghangat. Dia tidak menyangka Ardhan masih
"Aku masih tidak menyangka loh kalau kamu itu ternyata madunya Tami."Lova menghela napas. "Lalu?" tanyanya."Ah, tidak. Aku cuma mau ke toilet."Lova menyingkir. "Silakan, Mbak.""Aku sudah tahu cerita lengkapnya. Kalau dipikir-pikir, kasihan sekali ya Tami."Lova mengepalkan tangan. "Bukannya Mbak Freya mau ke toilet?""Memangnya tidak boleh aku mengatakan hal itu? Sebagai sesama perempuan, aku hanya ingin menunjukkan rasa simpatiku."Lova lantas tertawa singkat. "Aku belum lupa saat Mbak Freya dengan sengaja menjatuhkan mental Mbak Tami saat di mal. Ke mana rasa simpati Mbak Freya saat itu? Kenapa sekarang Mbak Freya seolah-olah ada di pihak Mbak Tami? Tujuan Mbak hanya ingin memojokkan aku saja kan?"Freya menggertakkan gigi."Sudahlah, Mbak. Mbak tidak perlu ikut campur masalah kami. Mbak tidak pernah ada di posisi aku atau Mbak Tami. Apa yang Mbak Freya ucapkan terdengar hanya omong kosong."Lova kemudian pergi, meninggalkan Freya yang jengkel setengah mati. Perempuan itu menonj
"Bertahanlah, Love. Kamu pasti bisa. Saya di sini," ucap Ardhan.Lova mengalami kontraksi hebat setelah mengerjakan salat subuh. Bu Mar langsung menelepon Ardhan yang berada di rumah Khatami. Sebenarnya Ardhan ingin menemani Lova karena sudah mendekati hpl. Namun, Lova memaksa Ardhan tetap ke rumah Khatami sesuai gilirannya.Pria itu segera memboyong Lova ke rumah sakit. Panik menjalari dirinya.Lova menggenggam erat tangan Ardhan, menyalurkan rasa sakit yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Air mata Lova menetes. Tiba-tiba wajah mendiang ibunya terbayang. Mungkin seperti inilah sang ibu saat melahirkannya dulu.Lova masih remaja saat ibu pergi. Dia belum bisa membanggakan beliau. Belum bisa membahagiakan beliau. Lova ingin ibunya ada di sini, menemaninya. Air mata Lova menitik lagi. "Ibu," gumam perempuan yang tengah berada di antara hidup dan mati itu."Love. Sayang." Ardhan terus memanggil. Sejak tadi dia berkeringat dingin melihat perjuangan sang istri melahirkan putri pertama
"Mbak Tami pergi?" Lova segera merapikan pakaiannya setelah memberi asi kepada Almaira. "Pergi ke mana, Mas?"Ardhan membungkuk di depan box bayi, lalu menyentuh pipi lembut Almaira yang lebih banyak mewarisi garis wajah Lova menggunakan telunjuknya. "Ke rumah orang tuanya.""Kenapa Mbak Tami ... pergi?" Lova sangat berharap Ardhan tidak mengatakan sesuatu yang tidak ingin dia dengar."Tami ingin menyerah dengan pernikahan ini," jawab Ardhan tanpa mengalihkan tatapannya dari Almaira yang tertidur lelap.Lova menggeleng. "Tidak mungkin. Mbak Tami sangat mencintai Mas Ardhan."Ardhan menghela napas. "Kenyataannya, Tami sudah pergi, Love. Tami membawa sebagian pakaiannya.""Lalu kenapa Mas Ardhan ada di sini? Kenapa Mas tidak mengejar Mbak Tami?" Lova mengguncang tubuh suaminya. Mata perempuan itu memanas. Rasa bersalah semakin tumbuh besar di hatinya."Saya sudah berusaha, Lova. Tami tetap ingin pergi."Lova mengh
Lova tidak bisa pergi tanpa rencana yang matang. Dia harus menentukan ke mana tujuannya akan melanjutkan hidup. Lova juga harus tahu kapan saat yang tepat. Namun, di sisi lain, Lova tidak boleh memakan waktu terlalu lama atau pernikahan Ardhan dan Khatami benar-benar tidak bisa diselamatkan.Sekarang, selain membuat daftar hal apa saja yang harus dia lakukan, Lova juga ingin memanfaatkan kebersamaannya dengan Almaira. Menggendong, mencium, dan memberi putri kecilnya itu asi selagi bisa.Decitan ban mobil dengan aspal di depan rumah menyita perhatian Lova. "Papa sudah pulang, sayang. Mama melihat Papa dulu ya?" Lova tersenyum hangat meskipun Almaira sedang tidur.Lova baru saja akan membuka pintu kamar ketika tiba-tiba pintu berwarna hitam itu terbuka lebih dulu. "Mas?" Lova sedikit terkejut karena Ardhan pulang dengan wajah masam."Saya akan ke Bali malam nanti," jawab Ardhan sambil melepaskan jasnya."Apa ada masalah?" tanya Lova hati-ha
Keputusan ini sangat berat. Lova tidak henti-hentinya menangis sejak Ardhan pergi. Lova tidak tahu kapan Ardhan akan kembali. Yang harus dia lakukan hanya sudah meninggalkan rumah sebelum suaminya itu datang.Lova bergegas mengemasi pakaian. Tidak terlalu banyak. Dia membawa tiga gamis dan kerudungnya, serta pakaian dalam. Sisanya, Lova bisa membeli yang baru meskipun sebenarnya dia anti menghamburkan uang saat barang yang lama masih layak pakai.Lova tidak boleh kelihatan mencolok."Mbak Ika," panggil Lova.Beliau datang kurang dari satu menit. "Iya, Non.""Aku mau ke rumah Bu Salma.""Sekarang, Non?""Iya.""Sendirian?""Iya.""Tidak menunggu Bu Mar dulu? Mungkin sebentar lagi pulang. Mobilnya juga dibawa kan?"Justru Lova sengaja pergi saat Bu Mar sedang belanja."Tidak usah, Mbak. Aku juga sudah pesan taksi online kok." Lova tersenyum.Mbak Ika tampak ragu. Setahu
[Mas Ardhan dan Mbak Tami, tolong jaga Almaira. Aku sengaja pergi, jadi jangan cari aku.]Ardhan meremas kertas yang Lova tinggalkan di kamarnya, lalu melempar gumpalan kertas itu ke sembarang arah."Kenapa kamu pergi, Love? Saya menyuruh kamu menunggu. Saya bilang semuanya akan baik-baik saja. Tapi kenapa kamu membuat keputusan sendiri? KENAPA, LOVA?"Pria itu meninju tembok. Dadanya naik turun dengan napas menderu. Ardhan tidak memedulikan tangannya yang sakit karena hatinya jauh lebih sakit. Berteriak memanggil Lova sampai pita suaranya putus juga percuma saja. Perempuan itu sudah pergi. Dia bahkan tidak ingin dicari.Jejak terakhir Lova tertangkap CCTV di rumah Salma sedang berlari keluar ke arah kanan jalan. Di sana ada lahan kosong yang kemungkinan menjadi tempat Lova menunggu taksi online. Dari CCTV rumah tetangga yang paling dekat, lumayan banyak mobil yang lewat hari itu karena ada yang sedang seserahan. Entah yang mana yang membawa Lova.
Sekar sudah tahu soal kepergian Lova dari Weni yang sengaja dia suruh memberikan semua informasi. Di satu sisi Sekar senang karena Lova sama sekali tidak pantas untuk Ardhan. Namun, di sisi lain, Sekar tetap kesal karena Khatami masih bertahan."Lihat saja mukanya. Tidak ada mirip-miripnya dengan Ardhan," ucap Sekar sambil bersedekap."Mama mulai deh!" Khatami mendengkus. "Mas Ardhan itu sedang banyak masalah. Jadi jangan buat Mas Ardhan marah. Mama kan tahu orang sabar sekalinya emosi itu jauh lebih menyeramkan.""Mama tidak mau mengakuinya cucu.""Ya, lalu? Itu bukan masalah. Maira akan mendapatkan kasih sayang yang luar biasa dari aku dan Mas Ardhan, juga neneknya yang lain.""Kenapa Ardhan harus membawa kamu kembali?""Karena Mas Ardhan tahu yang terbaik untuk dirinya," jawab Khatami bangga.Namun, suasana hatinya yang sedang berbunga tiba-tiba berubah saat Freya datang."Sudah seperti jalangkung saja!" Khatami menggerutu."Aku bawa hamper untuk putrinya Ardhan," ucap Freya."Kebut