"Mbak Tami pergi?" Lova segera merapikan pakaiannya setelah memberi asi kepada Almaira. "Pergi ke mana, Mas?"Ardhan membungkuk di depan box bayi, lalu menyentuh pipi lembut Almaira yang lebih banyak mewarisi garis wajah Lova menggunakan telunjuknya. "Ke rumah orang tuanya.""Kenapa Mbak Tami ... pergi?" Lova sangat berharap Ardhan tidak mengatakan sesuatu yang tidak ingin dia dengar."Tami ingin menyerah dengan pernikahan ini," jawab Ardhan tanpa mengalihkan tatapannya dari Almaira yang tertidur lelap.Lova menggeleng. "Tidak mungkin. Mbak Tami sangat mencintai Mas Ardhan."Ardhan menghela napas. "Kenyataannya, Tami sudah pergi, Love. Tami membawa sebagian pakaiannya.""Lalu kenapa Mas Ardhan ada di sini? Kenapa Mas tidak mengejar Mbak Tami?" Lova mengguncang tubuh suaminya. Mata perempuan itu memanas. Rasa bersalah semakin tumbuh besar di hatinya."Saya sudah berusaha, Lova. Tami tetap ingin pergi."Lova mengh
Lova tidak bisa pergi tanpa rencana yang matang. Dia harus menentukan ke mana tujuannya akan melanjutkan hidup. Lova juga harus tahu kapan saat yang tepat. Namun, di sisi lain, Lova tidak boleh memakan waktu terlalu lama atau pernikahan Ardhan dan Khatami benar-benar tidak bisa diselamatkan.Sekarang, selain membuat daftar hal apa saja yang harus dia lakukan, Lova juga ingin memanfaatkan kebersamaannya dengan Almaira. Menggendong, mencium, dan memberi putri kecilnya itu asi selagi bisa.Decitan ban mobil dengan aspal di depan rumah menyita perhatian Lova. "Papa sudah pulang, sayang. Mama melihat Papa dulu ya?" Lova tersenyum hangat meskipun Almaira sedang tidur.Lova baru saja akan membuka pintu kamar ketika tiba-tiba pintu berwarna hitam itu terbuka lebih dulu. "Mas?" Lova sedikit terkejut karena Ardhan pulang dengan wajah masam."Saya akan ke Bali malam nanti," jawab Ardhan sambil melepaskan jasnya."Apa ada masalah?" tanya Lova hati-ha
Keputusan ini sangat berat. Lova tidak henti-hentinya menangis sejak Ardhan pergi. Lova tidak tahu kapan Ardhan akan kembali. Yang harus dia lakukan hanya sudah meninggalkan rumah sebelum suaminya itu datang.Lova bergegas mengemasi pakaian. Tidak terlalu banyak. Dia membawa tiga gamis dan kerudungnya, serta pakaian dalam. Sisanya, Lova bisa membeli yang baru meskipun sebenarnya dia anti menghamburkan uang saat barang yang lama masih layak pakai.Lova tidak boleh kelihatan mencolok."Mbak Ika," panggil Lova.Beliau datang kurang dari satu menit. "Iya, Non.""Aku mau ke rumah Bu Salma.""Sekarang, Non?""Iya.""Sendirian?""Iya.""Tidak menunggu Bu Mar dulu? Mungkin sebentar lagi pulang. Mobilnya juga dibawa kan?"Justru Lova sengaja pergi saat Bu Mar sedang belanja."Tidak usah, Mbak. Aku juga sudah pesan taksi online kok." Lova tersenyum.Mbak Ika tampak ragu. Setahu
[Mas Ardhan dan Mbak Tami, tolong jaga Almaira. Aku sengaja pergi, jadi jangan cari aku.]Ardhan meremas kertas yang Lova tinggalkan di kamarnya, lalu melempar gumpalan kertas itu ke sembarang arah."Kenapa kamu pergi, Love? Saya menyuruh kamu menunggu. Saya bilang semuanya akan baik-baik saja. Tapi kenapa kamu membuat keputusan sendiri? KENAPA, LOVA?"Pria itu meninju tembok. Dadanya naik turun dengan napas menderu. Ardhan tidak memedulikan tangannya yang sakit karena hatinya jauh lebih sakit. Berteriak memanggil Lova sampai pita suaranya putus juga percuma saja. Perempuan itu sudah pergi. Dia bahkan tidak ingin dicari.Jejak terakhir Lova tertangkap CCTV di rumah Salma sedang berlari keluar ke arah kanan jalan. Di sana ada lahan kosong yang kemungkinan menjadi tempat Lova menunggu taksi online. Dari CCTV rumah tetangga yang paling dekat, lumayan banyak mobil yang lewat hari itu karena ada yang sedang seserahan. Entah yang mana yang membawa Lova.
Sekar sudah tahu soal kepergian Lova dari Weni yang sengaja dia suruh memberikan semua informasi. Di satu sisi Sekar senang karena Lova sama sekali tidak pantas untuk Ardhan. Namun, di sisi lain, Sekar tetap kesal karena Khatami masih bertahan."Lihat saja mukanya. Tidak ada mirip-miripnya dengan Ardhan," ucap Sekar sambil bersedekap."Mama mulai deh!" Khatami mendengkus. "Mas Ardhan itu sedang banyak masalah. Jadi jangan buat Mas Ardhan marah. Mama kan tahu orang sabar sekalinya emosi itu jauh lebih menyeramkan.""Mama tidak mau mengakuinya cucu.""Ya, lalu? Itu bukan masalah. Maira akan mendapatkan kasih sayang yang luar biasa dari aku dan Mas Ardhan, juga neneknya yang lain.""Kenapa Ardhan harus membawa kamu kembali?""Karena Mas Ardhan tahu yang terbaik untuk dirinya," jawab Khatami bangga.Namun, suasana hatinya yang sedang berbunga tiba-tiba berubah saat Freya datang."Sudah seperti jalangkung saja!" Khatami menggerutu."Aku bawa hamper untuk putrinya Ardhan," ucap Freya."Kebut
"Aku ikut seserahan. Mempelai prianya teman satu kajianku," jelas Albi. "Kamu?"Lova menelan saliva. "A-aku ... aku ada urusan di sini."Albi mengedarkan pandangannya ke sekeliling. "Suami kamu mana?" tanyanya saat tidak menemukan orang lain di tempat itu selain Lova, Teteh penjual seblak, dan pembelinya yang lain."Ada," jawab Lova, lalu melanjutkan di dalam hati, 'Di Jakarta, mungkin. Kalau Mas Ardhan tidak keluar kota.'"Oh. Ya sudah. Barusan aku hanya ingin memastikan kalau yang aku lihat itu benar kamu. Kebetulan yang ... begitulah." Albi tersenyum canggung. Pria itu kembali ke area pernikahan.Bagaimana jika Albi bertemu dengan Ardhan atau Bu Mar saat kembali ke Jakarta? Bagaimana jika mereka bertanya kepada Albi soal Lova? Bisikkan itu tiba-tiba terdengar, memperingati Lova.Lova segera mengambil langkah untuk mengejar Albi. "Albi," panggilnya, membuat pria itu seketika berhenti dan menoleh."Ya?"Lova te
"Tidak mungkin," ucap Khatami sambil melangkah mundur. Khatami sampai tidak sadar jika pintu kamar mandi sudah terbuka dari luar. Punggungnya tanpa sengaja menabrak dada Ardhan yang akan masuk.Ardhan refleks memeluk istrinya dari belakang. "Kamu seperti undur-undur saja."Khatami menengadah dengan wajah yang sudah banjir oleh air mata, membuat Ardhan terperanjat. "Mas?""Kamu kenapa?" tanya Ardhan panik. Saat meninggalkannya ke kamar mandi, Khatami tampak baik-baik saja.Khatami tidak sanggup menjawab. Tangannya perlahan menunjuk sesuatu yang tergeletak di wastafel. Tatapan Ardhan langsung mengikuti arah tangan Khatami. Ada benda yang tidak asing baginya. Benda yang selama lima tahun pernikahannya selalu membuat Ardhan dan Khatami kecewa.Ardhan mendekati wastafel. Diambilnya benda pipih yang menunjukkan garis merah dua di sana. Pria itu seketika melebarkan mata. "Tami, ini ...." Ardhan menoleh Khatami. "Kamu ... hamil?"Khatami
Setelah melakukan serangkaian pemeriksaan, Khatami dinyatakan mengidap kardiomiopati postpartum. Gangguan otot jantung yang menyerang perempuan setelah melahirkan. Penyakit yang cukup langka, tetapi membahayakan jika tidak segera diobati."Penangan yang terlambat membuat keadaan Ibu Khatami semakin parah. Ibu Khatami membutuhkan transplantasi jantung, Pak," ucap dokter yang menangani istrinya.Ardhan mengusap wajah. Dia keluar dari ruang dokter dengan cairan yang siap jatuh dari matanya. Pria itu sampai berpegangan pada dinding rumah sakit karena kakinya terasa sangat lemas.Namun, Ardhan harus tetap kuat. Khatami sedang berjuang bertahan hidup. Ada dua tuan putri yang sangat membutuhkannya."Kamu harus segera menemukan Lova, Mas," ucap Khatami lemah."Ada orang-orang yang akan mencari Lova. Kamu fokus untuk sembuh saja," jawab Ardhan.Khatami tertawa pelan. "Jika kita berharap segera mendapatkan donor, apa itu sama saja dengan m