[Mas Ardhan dan Mbak Tami, tolong jaga Almaira. Aku sengaja pergi, jadi jangan cari aku.]
Ardhan meremas kertas yang Lova tinggalkan di kamarnya, lalu melempar gumpalan kertas itu ke sembarang arah."Kenapa kamu pergi, Love? Saya menyuruh kamu menunggu. Saya bilang semuanya akan baik-baik saja. Tapi kenapa kamu membuat keputusan sendiri? KENAPA, LOVA?"Pria itu meninju tembok. Dadanya naik turun dengan napas menderu. Ardhan tidak memedulikan tangannya yang sakit karena hatinya jauh lebih sakit. Berteriak memanggil Lova sampai pita suaranya putus juga percuma saja. Perempuan itu sudah pergi. Dia bahkan tidak ingin dicari.Jejak terakhir Lova tertangkap CCTV di rumah Salma sedang berlari keluar ke arah kanan jalan. Di sana ada lahan kosong yang kemungkinan menjadi tempat Lova menunggu taksi online. Dari CCTV rumah tetangga yang paling dekat, lumayan banyak mobil yang lewat hari itu karena ada yang sedang seserahan. Entah yang mana yang membawa Lova.Sekar sudah tahu soal kepergian Lova dari Weni yang sengaja dia suruh memberikan semua informasi. Di satu sisi Sekar senang karena Lova sama sekali tidak pantas untuk Ardhan. Namun, di sisi lain, Sekar tetap kesal karena Khatami masih bertahan."Lihat saja mukanya. Tidak ada mirip-miripnya dengan Ardhan," ucap Sekar sambil bersedekap."Mama mulai deh!" Khatami mendengkus. "Mas Ardhan itu sedang banyak masalah. Jadi jangan buat Mas Ardhan marah. Mama kan tahu orang sabar sekalinya emosi itu jauh lebih menyeramkan.""Mama tidak mau mengakuinya cucu.""Ya, lalu? Itu bukan masalah. Maira akan mendapatkan kasih sayang yang luar biasa dari aku dan Mas Ardhan, juga neneknya yang lain.""Kenapa Ardhan harus membawa kamu kembali?""Karena Mas Ardhan tahu yang terbaik untuk dirinya," jawab Khatami bangga.Namun, suasana hatinya yang sedang berbunga tiba-tiba berubah saat Freya datang."Sudah seperti jalangkung saja!" Khatami menggerutu."Aku bawa hamper untuk putrinya Ardhan," ucap Freya."Kebut
"Aku ikut seserahan. Mempelai prianya teman satu kajianku," jelas Albi. "Kamu?"Lova menelan saliva. "A-aku ... aku ada urusan di sini."Albi mengedarkan pandangannya ke sekeliling. "Suami kamu mana?" tanyanya saat tidak menemukan orang lain di tempat itu selain Lova, Teteh penjual seblak, dan pembelinya yang lain."Ada," jawab Lova, lalu melanjutkan di dalam hati, 'Di Jakarta, mungkin. Kalau Mas Ardhan tidak keluar kota.'"Oh. Ya sudah. Barusan aku hanya ingin memastikan kalau yang aku lihat itu benar kamu. Kebetulan yang ... begitulah." Albi tersenyum canggung. Pria itu kembali ke area pernikahan.Bagaimana jika Albi bertemu dengan Ardhan atau Bu Mar saat kembali ke Jakarta? Bagaimana jika mereka bertanya kepada Albi soal Lova? Bisikkan itu tiba-tiba terdengar, memperingati Lova.Lova segera mengambil langkah untuk mengejar Albi. "Albi," panggilnya, membuat pria itu seketika berhenti dan menoleh."Ya?"Lova te
"Tidak mungkin," ucap Khatami sambil melangkah mundur. Khatami sampai tidak sadar jika pintu kamar mandi sudah terbuka dari luar. Punggungnya tanpa sengaja menabrak dada Ardhan yang akan masuk.Ardhan refleks memeluk istrinya dari belakang. "Kamu seperti undur-undur saja."Khatami menengadah dengan wajah yang sudah banjir oleh air mata, membuat Ardhan terperanjat. "Mas?""Kamu kenapa?" tanya Ardhan panik. Saat meninggalkannya ke kamar mandi, Khatami tampak baik-baik saja.Khatami tidak sanggup menjawab. Tangannya perlahan menunjuk sesuatu yang tergeletak di wastafel. Tatapan Ardhan langsung mengikuti arah tangan Khatami. Ada benda yang tidak asing baginya. Benda yang selama lima tahun pernikahannya selalu membuat Ardhan dan Khatami kecewa.Ardhan mendekati wastafel. Diambilnya benda pipih yang menunjukkan garis merah dua di sana. Pria itu seketika melebarkan mata. "Tami, ini ...." Ardhan menoleh Khatami. "Kamu ... hamil?"Khatami
Setelah melakukan serangkaian pemeriksaan, Khatami dinyatakan mengidap kardiomiopati postpartum. Gangguan otot jantung yang menyerang perempuan setelah melahirkan. Penyakit yang cukup langka, tetapi membahayakan jika tidak segera diobati."Penangan yang terlambat membuat keadaan Ibu Khatami semakin parah. Ibu Khatami membutuhkan transplantasi jantung, Pak," ucap dokter yang menangani istrinya.Ardhan mengusap wajah. Dia keluar dari ruang dokter dengan cairan yang siap jatuh dari matanya. Pria itu sampai berpegangan pada dinding rumah sakit karena kakinya terasa sangat lemas.Namun, Ardhan harus tetap kuat. Khatami sedang berjuang bertahan hidup. Ada dua tuan putri yang sangat membutuhkannya."Kamu harus segera menemukan Lova, Mas," ucap Khatami lemah."Ada orang-orang yang akan mencari Lova. Kamu fokus untuk sembuh saja," jawab Ardhan.Khatami tertawa pelan. "Jika kita berharap segera mendapatkan donor, apa itu sama saja dengan m
"Bagaimana?" tanya Lova kepada Anjani yang baru pulang konsultasi dengan calon klien mereka."Sudah deal. Tema yang dipilih shabby chic. Paket premium," jawab Anjani sambil duduk di depan Lova yang sedang mendesain gamis untuk keluaran terbaru brand-nya.Sudah tiga tahun ini Lova membuka usaha gamis untuk perempuan dewasa dan anak-anak. Dia menamai brand-nya Lovara, gabungan dari Lova dan Almaira."Sekalian kateringnya?" tanya Lova lagi."Iya, tapi pengin coba dulu masakannya. Soalnya tamu undangannya ada yang paling diutamakan. Mereka tidak mau ada yang mengecewakan."Lova mengernyit. "Apa klien kita anak pejabat?""Bukan. Calon suaminya itu anaknya manajer salah satu hotel di Bandung. Tamu yang diutamakan itu yang punya hotelnya."Lova membulatkan mulutnya. Dia sebenarnya tidak terlalu peduli latar belakang klien-kliennya. Anjani Wedding Syar'i melayani semua kalangan. Ada paket termurah ratusan ribu yang hanya menyedi
"Tante Frey jangan pulang. Menginap di sini saja." Chyara merengek sambil memegang erat tangan Freya."Memangnya boleh?" Freya menatap Sekar."Ya bolehlah, Frey. Kamu ini kayak di rumah siapa saja," jawab Sekar sambil menggeleng pelan."Yeay!" Chyara berjingkrak-jingkrak kegirangan.Sementara Almaira justru cemberut. Anak perempuan berusia 7 tahun itu langsung kehilangan selera makan. Namun, dia tetap menghabiskannya cepat-cepat agar bisa segera pergi dari sana."Pelan-pelan, Mai," ucap Ardhan.Belum satu detik Ardhan memperingatinya, Almaira tersedak. Anak itu batuk-batuk hingga sebagian makanan yang ada di dalam mulutnya tersembur.Ardhan sigap menghampiri dan memberinya air minum. Sedangkan Sekar langsung membelalak marah."Aduh, kamu itu bagaimana sih? Tidak sopan sekali. Makanannya jadi kotor kan?""Sudah. Sudah. Mai baik-baik saja?" tanya Ardhan sambil mengelap mulut Almaira menggunakan tisu.Almaira mengangguk. "Maaf," ucapnya merasa bersalah.Sekar memutar bola mata."Siapa yan
"Beruntung tidak mengenai mata Chyara. Kalau sampai kenapa-kenapa, bagaimana?""Ma, tolong jangan memperburuk keadaan. Lagi pula, Chyara tidak terluka."Sekar bersedekap. "Kamu mau menunggu sampai Chyara terluka dulu baru bertindak?"Ardhan menghela napas lelah. "Bertindak bagaimana? Apa yang harus saya lakukan? Pertengkaran di antara anak-anak itu hal yang biasa. Dan dalam kasus ini, Chyara juga bersalah."Ardhan menoleh Chyara yang tidak terdapat luka apa pun. Almaira melempar kerikil ke pelipisnya, tetapi tidak terlalu kuat. Namun, Chyara yang terkejut jadi histeris hebat. Sekar yang melihatnya jadi berpikir berlebihan.Sekar memutar bola matanya."Maira salah. Tapi, Chy juga salah. Chy yang memulai. Jadi kalian berdua harus saling meminta maaf," ucap Ardhan tegas kepada kedua putrinya.Almaira langsung mengulurkan tangan kepada Chyara. Namun, Chyara bergeming. Dia justru bersedekap, menyembunyikan kedua tangannya.
Chyara tertidur di pangkuan Freya selama perjalanan pulang. Kesempatan itu digunakan Ardhan untuk membawanya pulang ke kediaman Sekar."Dari mana ini ramai-ramai?" tanya Sekar semringah."Kebun binatang, Oma." Xavier yang menjawab."Oh ya? Aduh senangnya. Kalian seperti keluarga yang lengkap."Almaira cemberut. Dia sama sekali tidak menikmati perjalanan ini. Almaira langsung pergi ke ayunan besi yang ada di halaman belakang rumah. Dia bermain sendiri sambil melamun.Namun, ayunan yang semula bergerak lambat tiba-tiba berubah cepat. Jantung Almaira seakan melompat dari tempatnya. Suara besinya bahkan terdengar mengerikan. Almaira segera berpegangan erat. "XAVIER!" jeritnya. "BERHENTI! BAHAYA!""Panggil aku kakak!""TIDAK MAU!""Aku ini akan jadi kakakmu!""TIDAK MAU!"Xavier menghentikan aksinya."Mau tidak mau, aku akan tetap jadi kakakmu," ucap Xavier lagi."Jangan bicara! Ak
"Mengapa Anda menusuk suami Anda sendiri sebanyak tiga kali?" tanya hakim ketua."Mungkin ada cara lain untuk menghentikan Kak Shaka yang ingin membunuh Kak Xavier. Namun, yang ada di pikiran saya hanya itu karena ada gunting berada di dekat kaki saya," jawab Almaira."Kenapa Anda harus menusuk sebanyak tiga kali?"Almaira menghela napas. "Saya emosi karena sebelumnya Kak Shaka memaksa saya meminum obat penggugur kandungan. Saya marah karena Kak Shaka mengancam akan membunuh keluarga saya satu per satu. Saya sangat kecewa karena ...."Almaira menjeda ucapannya. Dia malu mengatakan hal itu. Namun, Almaira tetap harus mengungkap semua yang terjadi hari itu. "Saya kecewa dan malu karena Kak Shaka melakukan hal menjijikan dan serendah itu. Dia ... menggauli saya di depan Kak Xavier.""Apa Anda tahu motif Saudara Arshaka Lesmana melakukan hal itu.""Kak Shaka cemburu. Dia berpikir saya dan Kak Xavier masih saling mencintai. Kak Shaka
"Di mana Maira?" tanya Xavier."Untuk apa kamu mencari istri orang?"Keduanya sama-sama melemparkan tatapan permusuhan."Mama dan Papa memintaku memastikan keadaannya.""Aku ini suaminya. Mereka sudah tidak punya hak, apalagi sampai mengutus orang lain.""Terserah apa katamu. Tapi aku tidak akan pergi sebelum memastikan Almaira baik-baik saja.""Aku bisa memanggil warga untuk mengusirmu."Xavier berdecak. "Sial. Aku sudah tidak bisa bersabar." Pria itu meringsek masuk. "Maira! Mai!" panggilnya berteriak.Shaka tentu tidak diam saja. Dia membalik badan Xavier, lalu melayangkan tinju ke pipinya.Xavier terhuyung. Dia segera menegakkan tubuh dan membalas pukulan Shaka."Keluar dari rumahku!" bentak Shaka."Di mana Maira?"Suara benda jatuh terdengar dari atas. Xavier segera menaiki tangga. Namun, Shaka tidak membiarkannya begitu saja. Shaka menarik Xavier, lalu mengempaskannya ke
"Gugurkan kandungan itu!" ucap Shaka tegas.Almaira membelalak. Dia refleks melindungi perutnya menggunakan kedua tangan. "Tidak.""Aku tidak menginginkannya!""Tapi aku menginginkannya. Dia anakku. Anak kita."Shaka mengetatkan rahang. Padahal dia sudah vasektomi. Vasektomi memang tidak 100% mencegah kehamilan. Tahu begini Shaka akan tetap memakai pengaman."Kamu harus menggugurkannya, Sayang." Shaka mendekati sang istri.Almaira langsung mundur beberapa langkah sambil terus melindungi perutnya. "Tidak! Aku bukan pembunuh. Aku tidak mau membunuh anakku sendiri.""Al, mengertilah."Almaira menggeleng. Air mata berkejaran jatuh ke pipinya. "Kak Shaka yang seharusnya mengerti.""Aku tidak ingin ada orang ketiga di antara kita.""Dia darah daging Kak Shaka!" Almaira menjerit."Aku tidak peduli, Sayang. Aku hanya mencintai kamu."Pria itu kembali melangkah mengikis jarak. Almaira
"Aku tidak membawa keycard saat menyusul Kak Shaka. Aku tidak bisa masuk, lalu Kak Tamara memaksaku menunggu di sana." Almaira berusaha menjelaskan kepada suaminya yang tampak sangat marah. Matanya bahkan memerah."Sejak kapan kamu tahu Xavier tinggal di sini?" tanya Shaka sinis."Tadi. Mereka juga pindah baru dua hari yang lalu.""Kita pergi dari sini," ujar Shaka sambil melangkahkan kakinya ke kamar, lalu ke walk in closet. Pria itu segera mengemasi pakaian dirinya dan Almaira.Almaira menghela napas. Dia sudah menebak akan seperti ini jadinya. "Aku bantu," ucap perempuan itu.Almaira tidak protes Shaka akan membawanya pindah. Dia sudah membuat keputusan akan mengikuti suaminya ke manapun. Shaka adalah rumahnya. Shaka adalah tempat Almaira pulang."Tidak bilang Mama dan Papa dulu, Kak?"Shaka membalas Almaira dengan tatapan tajam, membuat perempuan itu menutup mulutnya.Mereka kembali pindah ke rumah Shaka. Se
"Kak, geli!" Almaira berusaha menarik kakinya yang sedang dikelitiki oleh Shaka.Selama empat bulan tinggal di apartemen, Almaira dan Shaka tidak pernah sekali pun bertengkar. Mereka justru semakin romantis dari hari ke hari. Keduanya menjadi pasangan yang tidak bisa terpisahkan meski hanya sesaat.Siapa itu Xavier? Almaira bahkan melupakan eksistensinya. Hati dan pikiran perempuan itu selalu dipenuhi oleh Shaka. Almaira telah jatuh cinta kepada Shaka.Tempat terbaik bagi Almaira adalah di samping suaminya itu. Sekarang dia benar-benar malas keluar unit. Almaira sudah seperti tidak memiliki kehidupan di luar sana. Lovara saja dia bebankan kepada sang adik."Ini akibatnya karena kamu pura-pura tidur." Shaka tidak memedulikan jeritan Almaira. Dia terus menarikan jari-jarinya di telapak kaki sang istri.Setelah memperkerjakan otaknya untuk naskah, Shaka akan meminta jatah kepada Almaira. Almaira justru pura-pura terlelap. Bukan ingin menolak
"Pesawatnya masuk ke goa ... aaaaa." Almaira mengarahkan sendok ke mulut Shaka setelah memutarnya di udara.Shaka justru melengos. "Kamu tidak perlu seperti ini.""Kenapa? Selama ini Kak Shaka selalu merawatku padahal aku baik-baik saja. Sekarang giliran." Almaira kembali mengarahkan sendok.Namun, Shaka menggeleng pelan dengan mulut terkunci rapat."Kak Shaka." Almaira merengek. "Aku marah, nih. Adik-adikku bilang kalau aku lebih galak dari Mama."Shaka mengernyit. Ekspresinya seperti sedang meledek Almaira."Oke. Aku marah." Almaira menyimpan piring di nakas. Dia lalu bersedekap.Shaka mencubit pipi istrinya. "Aku merasa gagal menjadi suami kamu kalau kamu sampai menyuapiku seperti ini.""Loh, kenapa?""Karena aku ingin meratukan kamu.""Kalau aku ratu, Kak Shaka rajanya, kan?"Shaka tersenyum samar. "Apa aku pantas disebut raja? Status kita jelas berbeda."Almaira menghela
"Chy akan menikah dua hari lagi. Aku ingin menghadirinya," ucap Almaira kepada Shaka.Mereka sudah satu bulan berada di kota itu. Pada akhirnya Shaka membawa Almaira kembali ke rumahnya dengan alasan tidak ingin merepotkan sang bibi. Toh, masih satu kota. Setidaknya Shaka bisa langsung pergi menemui nenek seandainya terjadi sesuatu kepada beliau."Iya," jawab Shaka tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop. Tangannya sibuk mengetik.Beberapa hari terakhir Shaka lebih banyak menghabiskan waktu dengan menulis. Dia bisa sampai begadang. Almaira sangat khawatir dengan kondisi Shaka. Lingkaran hitam di bawah matanya terlihat jelas."Iya apa?" Almaira meminta penjelasan lebih."Kita akan menghadirinya."Perempuan itu langsung berbinar. "Serius?"Shaka menutup laptop. "Aku tidak setega itu, Sayang.""Terima kasih, Kak," ucap Almaira dengan senyum lebar.Pria itu menghampiri istrinya di tempat tidur. "Ha
"Sayang," panggil Shaka riang sambil membawa nampan berisi sarapan yang sudah telat.Almaira bangkit ke posisi duduk, lalu mengikat rambutnya yang acak-acakan.Shaka menaruh nampan di nakas."Terima kasih, Kak Shaka," ucap Almaira. Dia tersenyum, sebagai penghargaan untuk Shaka yang sudah membuatkannya makanan sementara dia hanya bermalas-malasan."Aku memiliki informasi yang penting," tutur Shaka sambil mengarahkan sendok berisi nasi dan lauknya kepada Almaira."Apa itu?" tanya Almaira sebelum menerima suapan dari suaminya."Aku sudah menemukan alamat keluarga Ibu.""Benarkah?" Almaira senang mendengarnya."Iya. Besok kita ke sana, ya."Besok seharusnya mereka kembali ke Jakarta.Almaira mengangguk. Dia tidak mungkin memaksa Shaka kembali ke Jakarta saat pria itu ingin pergi ke tempat keluarganya yang tidak pernah dia temui. Shaka sudah terlalu lama hidup sendiri. Dari ekspresinya saja sudah
"Kak Shaka mengancam?" Almaira mengangkat sebelah alisnya."Itu bukan ancaman, Sayang. Hanya peringatan kecil. Selama ini aku sudah bersabar menahan diri karena kamu belum bersamaku. Tapi, kali ini tidak. Kamu hanya milik Arshaka Lesmana."Shaka mengusap pipi lembut Almaira, yang langsung perempuan itu tepis. "Aku bukan barang yang bisa dimiliki siapapun, termasuk Kak Shaka. Kak Shaka hanya suamiku, imamku, bukan pemilik hidupku. Kita sangat bisa berpisah."Shaka mengetatkan rahang. Dia tidak suka mendengar kata 'berpisah' keluar dari mulut istrinya. "Aku tidak akan membiarkan hal itu," ucap Shaka tegas."Kalau Kak Shaka terlalu mengekang aku, aku akan pergi." Almaira balik mengancam.Shaka semakin emosi. Dia lantas mencekal kedua lengan Almaira. "Kamu tidak akan pergi ke mana pun. Aku tidak akan membiarkan kamu pergi dariku, Al." Tatapan pria itu menajam."Kalau aku betulan pergi, Kakak mau apa?" Almaira justru menantang dengan