"Beruntung tidak mengenai mata Chyara. Kalau sampai kenapa-kenapa, bagaimana?""Ma, tolong jangan memperburuk keadaan. Lagi pula, Chyara tidak terluka."Sekar bersedekap. "Kamu mau menunggu sampai Chyara terluka dulu baru bertindak?"Ardhan menghela napas lelah. "Bertindak bagaimana? Apa yang harus saya lakukan? Pertengkaran di antara anak-anak itu hal yang biasa. Dan dalam kasus ini, Chyara juga bersalah."Ardhan menoleh Chyara yang tidak terdapat luka apa pun. Almaira melempar kerikil ke pelipisnya, tetapi tidak terlalu kuat. Namun, Chyara yang terkejut jadi histeris hebat. Sekar yang melihatnya jadi berpikir berlebihan.Sekar memutar bola matanya."Maira salah. Tapi, Chy juga salah. Chy yang memulai. Jadi kalian berdua harus saling meminta maaf," ucap Ardhan tegas kepada kedua putrinya.Almaira langsung mengulurkan tangan kepada Chyara. Namun, Chyara bergeming. Dia justru bersedekap, menyembunyikan kedua tangannya.
Chyara tertidur di pangkuan Freya selama perjalanan pulang. Kesempatan itu digunakan Ardhan untuk membawanya pulang ke kediaman Sekar."Dari mana ini ramai-ramai?" tanya Sekar semringah."Kebun binatang, Oma." Xavier yang menjawab."Oh ya? Aduh senangnya. Kalian seperti keluarga yang lengkap."Almaira cemberut. Dia sama sekali tidak menikmati perjalanan ini. Almaira langsung pergi ke ayunan besi yang ada di halaman belakang rumah. Dia bermain sendiri sambil melamun.Namun, ayunan yang semula bergerak lambat tiba-tiba berubah cepat. Jantung Almaira seakan melompat dari tempatnya. Suara besinya bahkan terdengar mengerikan. Almaira segera berpegangan erat. "XAVIER!" jeritnya. "BERHENTI! BAHAYA!""Panggil aku kakak!""TIDAK MAU!""Aku ini akan jadi kakakmu!""TIDAK MAU!"Xavier menghentikan aksinya."Mau tidak mau, aku akan tetap jadi kakakmu," ucap Xavier lagi."Jangan bicara! Ak
"Kenapa Tante Frey yang ke sini? Pak Jaki mana?" Almaira merengut tidak suka ketika mendapati Freya ada di sekolahnya dan bukan sopir yang biasa menjemputnya."Mulai hari ini, Tante Frey yang akan mengantar jemput kamu dan Chyara.""Aku tidak mau! Aku mau dijemput Pak Jaki." Almaira menolak keras.Freya berusaha sabar menghadapi putrinya Lova ini. Tidak ibu, tidak anak, sama-sama menyebalkan. "Pilihannya hanya dua, Maira. Kamu ikut Tante, atau Tante tinggal."Almaira mengedik. "Tinggal saja," jawabnya enteng.Astaga! Freya mengepalkan tangan geregetan. Bisa-bisa Ardhan tidak jadi menikahi Freya jika seperti ini. Kenapa menaklukan Almaira sulit sekali?"Tante akan mengabulkan keinginan kamu asal kamu ikut Tante. Bagaimana?""Aku mau Tante tidak menikah dengan Papa!"Anak itu malah menjadikan ini kesempatan. Freya tidak bisa membiarkannya."Tapi aku mau Tante Frey jadi ibu aku," ucap Chyara.Alma
Tidak ada yang menyadari menghilangnya Almaira sampai Ardhan pulang pukul delapan malam. Yang pertama kali dia tanyakan kepada pekerjanya begitu menginjakkan kaki di rumah adalah Almaira."Non Maira tidak pulang ke sini, Pak. Kata Bang Jaki, Non Maira pulang ke rumah Bu Sekar bersama Bu Freya," jawab Mbak Ika yang kembali bekerja di sana."Apa?" Ardhan membelalak. Di perjalanan pulang dia baru membuka pesan dari Freya jika Almaira tidak mau bersamanya dan kekeh ingin dijemput Pak Jaki.Ardhan segera menelepon Freya untuk memastikan. Jawaban Freya sama. Almaira pulang bersama Pak Jaki. Ardhan lantas menghubungi Pak Jaki."Loh, saya pikir Non Maira sudah pulang bersama Bu Freya karena saat saya sampai di sekolah, Non Maira tidak ada."Ardhan yang baru pulang kerja merasa seluruh tulang-tulangnya lepas semua. Kepanikan mulai terlihat di wajah lelahnya. "Tapi Freya bilang Maira pulang bersama kamu.""Tidak, Pak. Tadi saya memang agak
"Almaira sudah bersama ibunya," jawab Albi ketika dia dimintai keterangan.Pagi-pagi sekali tiga orang polisi datang ke rumah Albi. Polisi menemukan jejak Almaira yang dibawa Albi dari masjid ke rumahnya."Semalam saya menghubungi Lova jika Almaira sengaja mencarinya. Lova langsung datang menjemput Almaira. Setelah itu saya tidak tahu Lova membawanya ke mana."Ardhan akhirnya bisa bernapas lega. Setidaknya Almaira aman sekarang. Meskipun Ardhan harus menepis segala prasangka buruk soal Albi yang selama ini ternyata tahu tentang Lova.Apakah mereka masih berhubungan?Ah, pikirkan itu nanti saja. Sekarang Ardhan harus menyusul Almaira dan bertemu dengan Lova. Dia sedikit gugup. Untuk urusan yang satu ini, dia tidak melibatkan polisi. Ardhan pergi sendiri ke Sumedang.***"Dingin," ucap Almaira sambil memeluk tubuhnya sendiri padahal dia sudah memakai jaket.Lova tersenyum. "Di sini memang dingin. Siang hari pun masih dingin. Sini." Lova menepuk pahanya.Almaira sedikit ragu. Bagaimana p
Kecanggungan menyelimuti ruang tamu rumah Lova. Tujuh tahun tidak bertemu. Tujuh tahun tidak saling berbicara. Lova mengunci rapat-rapat mulutnya sambil memeluk Almaira dari samping. Sementara Ardhan menautkan kesepuluh jari tangannya. Sesekali dia membasahi bibir.Tidak ada yang banyak berubah dari Lova. Lova masih sama seperti tujuh tahun lalu. Namun, untuk Ardhan sendiri, guratan sudah muncul di sekitar matanya. Jika Lova teliti, maka dia akan menemukan warna helaian yang berbeda dari rambut Ardhan."Kenapa tidak ada yang berbicara?" tanya Almaira. Anak itu melirik Ardhan dan Lova bergantian. "Mama, jangan pegangi aku terus. Aku sulit bergerak."Ardhan menghela napas. "Saya tidak akan membawa Maira pergi jika itu yang kamu cemaskan," ucap Ardhan akhirnya.Lova memang terlihat ketakutan akan berpisah dengan Almaira. Ardhan sama sekali tidak ada niatan memisahkan ibu dan anak yang baru bertemu itu. Dia justru senang Almaira bisa bersama Lova seka
"Papa Ardhan," ucap Xavier sambil menyalami Ardhan yang tampak terkejut mendapat panggilan seperti itu. "Om kan mau menikah sama mama aku, jadi aku boleh dong panggil Om jadi papa?"Ardhan masih tidak tahu harus merespons seperti apa."Aku senang akhirnya Om Ardhan bakal jadi papa aku." Xavier tersenyum lebar. "Chy!" panggilnya kepada Chyara yang sedang main masak-masakan. "Kamu juga boleh panggil mama Frey."Chyara menoleh. "Boleh?"Xavier mengangguk. "Iyalah, boleh.""Hore!" Chyara berjingkrak-jingkrak.Freya tersenyum dari kejauhan. Ardhan itu lemah kepada anak-anak. Apa dia tega mematahkan hati mereka yang sudah menaruh harapan tinggi untuk pernikahan ini?"Vier, tidak boleh seperti itu," ucap Freya."Kenapa?""Om Ardhan kan tidak jadi menikah dengan Mama. Tante Lova sekarang sudah ditemukan."Raut Xavier berubah murung. "Jadi aku gagal punya papa?"Freya mengangguk.Xavie
"Mas Ardhan, lepas." Lova berusaha menarik tangannya dari cengkeraman Ardhan. Pria itu malah memojokkan Lova ke kitchen set. Kedua tangannya di letakkan di masing-masing sisi tubuh Lova, menguncinya."Maira ingin tinggal bersama kita," ucap Ardhan dengan sorot mata lurus menatap Lova.Lova menghela napas. "Tidak.""Pikirkanlah lagi. Demi Maira." Ardhan memohon."Aku melakukan ini juga demi Almaira. Sebagai seorang ibu, aku tidak rela melihat Almaira disakiti orang lain. Aku tidak mau Almaira dikelilingi orang-orang yang berpotensi menyakitinya. Aku hanya ingin melindungi Almaira.""Apa kamu pikir Maira tidak terluka karena orang tuanya tidak bersama?"Lova tahu anak akan selalu menjadi korban perpisahan kedua orang tuanya. "Aku yakin lama kelamaan Almaira akan beradaptasi dengan kondisi ini. Almaira pernah hidup hanya dengan satu orang tua saja. Lagi pula, Mas bisa menengoknya kapan pun Mas mau. Aku tidak akan melarang."