Tidak ada yang menyadari menghilangnya Almaira sampai Ardhan pulang pukul delapan malam. Yang pertama kali dia tanyakan kepada pekerjanya begitu menginjakkan kaki di rumah adalah Almaira.
"Non Maira tidak pulang ke sini, Pak. Kata Bang Jaki, Non Maira pulang ke rumah Bu Sekar bersama Bu Freya," jawab Mbak Ika yang kembali bekerja di sana."Apa?" Ardhan membelalak. Di perjalanan pulang dia baru membuka pesan dari Freya jika Almaira tidak mau bersamanya dan kekeh ingin dijemput Pak Jaki.Ardhan segera menelepon Freya untuk memastikan. Jawaban Freya sama. Almaira pulang bersama Pak Jaki. Ardhan lantas menghubungi Pak Jaki."Loh, saya pikir Non Maira sudah pulang bersama Bu Freya karena saat saya sampai di sekolah, Non Maira tidak ada."Ardhan yang baru pulang kerja merasa seluruh tulang-tulangnya lepas semua. Kepanikan mulai terlihat di wajah lelahnya. "Tapi Freya bilang Maira pulang bersama kamu.""Tidak, Pak. Tadi saya memang agak"Almaira sudah bersama ibunya," jawab Albi ketika dia dimintai keterangan.Pagi-pagi sekali tiga orang polisi datang ke rumah Albi. Polisi menemukan jejak Almaira yang dibawa Albi dari masjid ke rumahnya."Semalam saya menghubungi Lova jika Almaira sengaja mencarinya. Lova langsung datang menjemput Almaira. Setelah itu saya tidak tahu Lova membawanya ke mana."Ardhan akhirnya bisa bernapas lega. Setidaknya Almaira aman sekarang. Meskipun Ardhan harus menepis segala prasangka buruk soal Albi yang selama ini ternyata tahu tentang Lova.Apakah mereka masih berhubungan?Ah, pikirkan itu nanti saja. Sekarang Ardhan harus menyusul Almaira dan bertemu dengan Lova. Dia sedikit gugup. Untuk urusan yang satu ini, dia tidak melibatkan polisi. Ardhan pergi sendiri ke Sumedang.***"Dingin," ucap Almaira sambil memeluk tubuhnya sendiri padahal dia sudah memakai jaket.Lova tersenyum. "Di sini memang dingin. Siang hari pun masih dingin. Sini." Lova menepuk pahanya.Almaira sedikit ragu. Bagaimana p
Kecanggungan menyelimuti ruang tamu rumah Lova. Tujuh tahun tidak bertemu. Tujuh tahun tidak saling berbicara. Lova mengunci rapat-rapat mulutnya sambil memeluk Almaira dari samping. Sementara Ardhan menautkan kesepuluh jari tangannya. Sesekali dia membasahi bibir.Tidak ada yang banyak berubah dari Lova. Lova masih sama seperti tujuh tahun lalu. Namun, untuk Ardhan sendiri, guratan sudah muncul di sekitar matanya. Jika Lova teliti, maka dia akan menemukan warna helaian yang berbeda dari rambut Ardhan."Kenapa tidak ada yang berbicara?" tanya Almaira. Anak itu melirik Ardhan dan Lova bergantian. "Mama, jangan pegangi aku terus. Aku sulit bergerak."Ardhan menghela napas. "Saya tidak akan membawa Maira pergi jika itu yang kamu cemaskan," ucap Ardhan akhirnya.Lova memang terlihat ketakutan akan berpisah dengan Almaira. Ardhan sama sekali tidak ada niatan memisahkan ibu dan anak yang baru bertemu itu. Dia justru senang Almaira bisa bersama Lova seka
"Papa Ardhan," ucap Xavier sambil menyalami Ardhan yang tampak terkejut mendapat panggilan seperti itu. "Om kan mau menikah sama mama aku, jadi aku boleh dong panggil Om jadi papa?"Ardhan masih tidak tahu harus merespons seperti apa."Aku senang akhirnya Om Ardhan bakal jadi papa aku." Xavier tersenyum lebar. "Chy!" panggilnya kepada Chyara yang sedang main masak-masakan. "Kamu juga boleh panggil mama Frey."Chyara menoleh. "Boleh?"Xavier mengangguk. "Iyalah, boleh.""Hore!" Chyara berjingkrak-jingkrak.Freya tersenyum dari kejauhan. Ardhan itu lemah kepada anak-anak. Apa dia tega mematahkan hati mereka yang sudah menaruh harapan tinggi untuk pernikahan ini?"Vier, tidak boleh seperti itu," ucap Freya."Kenapa?""Om Ardhan kan tidak jadi menikah dengan Mama. Tante Lova sekarang sudah ditemukan."Raut Xavier berubah murung. "Jadi aku gagal punya papa?"Freya mengangguk.Xavie
"Mas Ardhan, lepas." Lova berusaha menarik tangannya dari cengkeraman Ardhan. Pria itu malah memojokkan Lova ke kitchen set. Kedua tangannya di letakkan di masing-masing sisi tubuh Lova, menguncinya."Maira ingin tinggal bersama kita," ucap Ardhan dengan sorot mata lurus menatap Lova.Lova menghela napas. "Tidak.""Pikirkanlah lagi. Demi Maira." Ardhan memohon."Aku melakukan ini juga demi Almaira. Sebagai seorang ibu, aku tidak rela melihat Almaira disakiti orang lain. Aku tidak mau Almaira dikelilingi orang-orang yang berpotensi menyakitinya. Aku hanya ingin melindungi Almaira.""Apa kamu pikir Maira tidak terluka karena orang tuanya tidak bersama?"Lova tahu anak akan selalu menjadi korban perpisahan kedua orang tuanya. "Aku yakin lama kelamaan Almaira akan beradaptasi dengan kondisi ini. Almaira pernah hidup hanya dengan satu orang tua saja. Lagi pula, Mas bisa menengoknya kapan pun Mas mau. Aku tidak akan melarang."
"Kapan Rafael bilang seperti itu?""Waktu pulang ke rumah Oma."Kurang ajar! Ardhan tidak akan jadi berterima kasih kepadanya. Bisa-bisanya Rafael mengatakan hal seperti itu kepada Almaira."Janda itu apa?" Almaira kembali bertanya. Dia memandang Lova dan Ardhan bergantian."Seorang perempuan yang sudah menikah, tapi berpisah dengan suaminya. Bisa karena suaminya meninggal, atau ...." Lova mencari kata yang pas dan mudah dipahami. "Tidak tinggal bersama.""Seperti Mama? Jadi Mama sudah janda?"Lova akan menjawab belum. Namun, Ardhan mendahuluinya. "Bukan. Mama bukan janda," ucap Ardhan. "Papa kan suami Mama. Mama baru akan menjadi janda kalau Papa lebih dulu meninggal."Lova menghela napas."Tapi Papa dan Mama tidak tinggal bersama.""Kamu mau Papa dan Mama tinggal bersama?" Ardhan menjadikan kesempatan ini untuk memancing Almaira.Anak itu mengangguk.Ardhan lalu menatap Lova yang justru membuang muka.Almaira melanjutkan ceritanya. Soal macam-macam kubotan yang dibelikan Rafael. Ard
Lova justru tidak bisa terlelap. Sudah lama sejak terakhir kali dia dan Ardhan berbaring bersisian. Waktu itu Ardhan gelisah di dalam tidurnya karena memikirkan Khatami. Saat itulah Lova tahu jika Ardhan sebenarnya mencintai istri pertamanya.Lova memutuskan pergi karena dia sangat lelah selalu menjadi yang disalahkan. Lova tidak ada niatan kembali. Dia sudah melepaskan semua cinta dan harapan yang dia punya. Namun, sekarang, di sinilah Lova.Jika Ardhan tidak mengancamnya, niscaya Lova akan tetap pada pendiriannya. Lova hanya ingin berdua dengan Almaira. Selama tujuh tahun Lova berusaha tetap hidup meski tanpa tujuan yang jelas selain mengumpulkan amal untuk akhirat. Saat Albi menghubungi soal Almaira, Lova seperti menemukan lagi kepingan kebahagiaan yang sudah lama menghilang.Lova tidak ingin berpisah dengan Almaira untuk yang kedua kali. Oleh sebab itu dia ada di sini."Love." Ardhan tiba-tiba memanggil. Bukan hanya itu saja. Ardhan juga melin
Kedatangan Sekar ke rumah Ardhan tidak lain dan tidak bukan untuk melabrak Lova. Sekar pergi bersama Freya yang memang ingin menyaksikan Lova dicerca oleh Sekar.Lova tengah mengawasi Almaira yang sedang mengerjakan PR ketika Sekar dan Freya tiba. Sejak memutuskan kembali, Lova tahu hari ini akan datang."Silakan duduk, Bu, Mbak," kata Lova, mengabaikan ekspresi tamunya yang tidak bersahabat."Tidak usah berbasa-basi kamu!" balas Sekar judes."Almaira ke kamar dulu ya." Lova membereskan buku Almaira dan mendorong punggungnya pelan.Almaira tampak tidak ingin pergi. Namun, Lova menggeleng. Tidak mengizinkan Almaira tetap di sana.Setelah memastikan tubuh Almaira menghilang di lantai dua. Lova beralih lagi pada Sekar. "Ada apa ya, Bu?" tanyanya santai."Kamu masih bertanya ada apa? Kenapa kamu kembali? Apa tujuan kamu sebenarnya?"Lova menghela napas."Saya kembali untuk Almaira.""Omong kosong!
"Love, apa ... kamu mengizinkan saya menikahi Freya?" tanya Ardhan begitu dia melihat istrinya duduk di ruang santai lantai dua.Lova mengalihkan tatapan dari layar laptop yang menampilkan grafik penjualan Lovara. Perempuan itu memandang Ardhan dengan kening mengerut. Pertanyaan Ardhan terlalu tiba-tiba dan tanpa basa-basi sehingga Lova perlu meyakinkan pendengarannya sendiri."Love?""Kenapa Mas izin ke aku?" Lova balik bertanya setelah yakin Ardhan memang sedang membicarakan pernikahan dengan Freya. "Bukankah laki-laki bisa menikah lagi tanpa izin istrinya?""Memang. Tapi saya tidak ingin seperti itu. Saya membutuhkan izin dari kamu."Ardhan menunggu dengan cemas jawaban Lova."Ter--""Jangan terserah, Love," ucap Ardhan memotong perkataan Lova. "Kamu yang harus memutuskan. Jika kamu melarang, saya tidak akan menikahi Freya."Lova menghela napas. "Kenapa harus aku yang memutuskan?""Karena kamu pentin
"Mengapa Anda menusuk suami Anda sendiri sebanyak tiga kali?" tanya hakim ketua."Mungkin ada cara lain untuk menghentikan Kak Shaka yang ingin membunuh Kak Xavier. Namun, yang ada di pikiran saya hanya itu karena ada gunting berada di dekat kaki saya," jawab Almaira."Kenapa Anda harus menusuk sebanyak tiga kali?"Almaira menghela napas. "Saya emosi karena sebelumnya Kak Shaka memaksa saya meminum obat penggugur kandungan. Saya marah karena Kak Shaka mengancam akan membunuh keluarga saya satu per satu. Saya sangat kecewa karena ...."Almaira menjeda ucapannya. Dia malu mengatakan hal itu. Namun, Almaira tetap harus mengungkap semua yang terjadi hari itu. "Saya kecewa dan malu karena Kak Shaka melakukan hal menjijikan dan serendah itu. Dia ... menggauli saya di depan Kak Xavier.""Apa Anda tahu motif Saudara Arshaka Lesmana melakukan hal itu.""Kak Shaka cemburu. Dia berpikir saya dan Kak Xavier masih saling mencintai. Kak Shaka
"Di mana Maira?" tanya Xavier."Untuk apa kamu mencari istri orang?"Keduanya sama-sama melemparkan tatapan permusuhan."Mama dan Papa memintaku memastikan keadaannya.""Aku ini suaminya. Mereka sudah tidak punya hak, apalagi sampai mengutus orang lain.""Terserah apa katamu. Tapi aku tidak akan pergi sebelum memastikan Almaira baik-baik saja.""Aku bisa memanggil warga untuk mengusirmu."Xavier berdecak. "Sial. Aku sudah tidak bisa bersabar." Pria itu meringsek masuk. "Maira! Mai!" panggilnya berteriak.Shaka tentu tidak diam saja. Dia membalik badan Xavier, lalu melayangkan tinju ke pipinya.Xavier terhuyung. Dia segera menegakkan tubuh dan membalas pukulan Shaka."Keluar dari rumahku!" bentak Shaka."Di mana Maira?"Suara benda jatuh terdengar dari atas. Xavier segera menaiki tangga. Namun, Shaka tidak membiarkannya begitu saja. Shaka menarik Xavier, lalu mengempaskannya ke
"Gugurkan kandungan itu!" ucap Shaka tegas.Almaira membelalak. Dia refleks melindungi perutnya menggunakan kedua tangan. "Tidak.""Aku tidak menginginkannya!""Tapi aku menginginkannya. Dia anakku. Anak kita."Shaka mengetatkan rahang. Padahal dia sudah vasektomi. Vasektomi memang tidak 100% mencegah kehamilan. Tahu begini Shaka akan tetap memakai pengaman."Kamu harus menggugurkannya, Sayang." Shaka mendekati sang istri.Almaira langsung mundur beberapa langkah sambil terus melindungi perutnya. "Tidak! Aku bukan pembunuh. Aku tidak mau membunuh anakku sendiri.""Al, mengertilah."Almaira menggeleng. Air mata berkejaran jatuh ke pipinya. "Kak Shaka yang seharusnya mengerti.""Aku tidak ingin ada orang ketiga di antara kita.""Dia darah daging Kak Shaka!" Almaira menjerit."Aku tidak peduli, Sayang. Aku hanya mencintai kamu."Pria itu kembali melangkah mengikis jarak. Almaira
"Aku tidak membawa keycard saat menyusul Kak Shaka. Aku tidak bisa masuk, lalu Kak Tamara memaksaku menunggu di sana." Almaira berusaha menjelaskan kepada suaminya yang tampak sangat marah. Matanya bahkan memerah."Sejak kapan kamu tahu Xavier tinggal di sini?" tanya Shaka sinis."Tadi. Mereka juga pindah baru dua hari yang lalu.""Kita pergi dari sini," ujar Shaka sambil melangkahkan kakinya ke kamar, lalu ke walk in closet. Pria itu segera mengemasi pakaian dirinya dan Almaira.Almaira menghela napas. Dia sudah menebak akan seperti ini jadinya. "Aku bantu," ucap perempuan itu.Almaira tidak protes Shaka akan membawanya pindah. Dia sudah membuat keputusan akan mengikuti suaminya ke manapun. Shaka adalah rumahnya. Shaka adalah tempat Almaira pulang."Tidak bilang Mama dan Papa dulu, Kak?"Shaka membalas Almaira dengan tatapan tajam, membuat perempuan itu menutup mulutnya.Mereka kembali pindah ke rumah Shaka. Se
"Kak, geli!" Almaira berusaha menarik kakinya yang sedang dikelitiki oleh Shaka.Selama empat bulan tinggal di apartemen, Almaira dan Shaka tidak pernah sekali pun bertengkar. Mereka justru semakin romantis dari hari ke hari. Keduanya menjadi pasangan yang tidak bisa terpisahkan meski hanya sesaat.Siapa itu Xavier? Almaira bahkan melupakan eksistensinya. Hati dan pikiran perempuan itu selalu dipenuhi oleh Shaka. Almaira telah jatuh cinta kepada Shaka.Tempat terbaik bagi Almaira adalah di samping suaminya itu. Sekarang dia benar-benar malas keluar unit. Almaira sudah seperti tidak memiliki kehidupan di luar sana. Lovara saja dia bebankan kepada sang adik."Ini akibatnya karena kamu pura-pura tidur." Shaka tidak memedulikan jeritan Almaira. Dia terus menarikan jari-jarinya di telapak kaki sang istri.Setelah memperkerjakan otaknya untuk naskah, Shaka akan meminta jatah kepada Almaira. Almaira justru pura-pura terlelap. Bukan ingin menolak
"Pesawatnya masuk ke goa ... aaaaa." Almaira mengarahkan sendok ke mulut Shaka setelah memutarnya di udara.Shaka justru melengos. "Kamu tidak perlu seperti ini.""Kenapa? Selama ini Kak Shaka selalu merawatku padahal aku baik-baik saja. Sekarang giliran." Almaira kembali mengarahkan sendok.Namun, Shaka menggeleng pelan dengan mulut terkunci rapat."Kak Shaka." Almaira merengek. "Aku marah, nih. Adik-adikku bilang kalau aku lebih galak dari Mama."Shaka mengernyit. Ekspresinya seperti sedang meledek Almaira."Oke. Aku marah." Almaira menyimpan piring di nakas. Dia lalu bersedekap.Shaka mencubit pipi istrinya. "Aku merasa gagal menjadi suami kamu kalau kamu sampai menyuapiku seperti ini.""Loh, kenapa?""Karena aku ingin meratukan kamu.""Kalau aku ratu, Kak Shaka rajanya, kan?"Shaka tersenyum samar. "Apa aku pantas disebut raja? Status kita jelas berbeda."Almaira menghela
"Chy akan menikah dua hari lagi. Aku ingin menghadirinya," ucap Almaira kepada Shaka.Mereka sudah satu bulan berada di kota itu. Pada akhirnya Shaka membawa Almaira kembali ke rumahnya dengan alasan tidak ingin merepotkan sang bibi. Toh, masih satu kota. Setidaknya Shaka bisa langsung pergi menemui nenek seandainya terjadi sesuatu kepada beliau."Iya," jawab Shaka tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop. Tangannya sibuk mengetik.Beberapa hari terakhir Shaka lebih banyak menghabiskan waktu dengan menulis. Dia bisa sampai begadang. Almaira sangat khawatir dengan kondisi Shaka. Lingkaran hitam di bawah matanya terlihat jelas."Iya apa?" Almaira meminta penjelasan lebih."Kita akan menghadirinya."Perempuan itu langsung berbinar. "Serius?"Shaka menutup laptop. "Aku tidak setega itu, Sayang.""Terima kasih, Kak," ucap Almaira dengan senyum lebar.Pria itu menghampiri istrinya di tempat tidur. "Ha
"Sayang," panggil Shaka riang sambil membawa nampan berisi sarapan yang sudah telat.Almaira bangkit ke posisi duduk, lalu mengikat rambutnya yang acak-acakan.Shaka menaruh nampan di nakas."Terima kasih, Kak Shaka," ucap Almaira. Dia tersenyum, sebagai penghargaan untuk Shaka yang sudah membuatkannya makanan sementara dia hanya bermalas-malasan."Aku memiliki informasi yang penting," tutur Shaka sambil mengarahkan sendok berisi nasi dan lauknya kepada Almaira."Apa itu?" tanya Almaira sebelum menerima suapan dari suaminya."Aku sudah menemukan alamat keluarga Ibu.""Benarkah?" Almaira senang mendengarnya."Iya. Besok kita ke sana, ya."Besok seharusnya mereka kembali ke Jakarta.Almaira mengangguk. Dia tidak mungkin memaksa Shaka kembali ke Jakarta saat pria itu ingin pergi ke tempat keluarganya yang tidak pernah dia temui. Shaka sudah terlalu lama hidup sendiri. Dari ekspresinya saja sudah
"Kak Shaka mengancam?" Almaira mengangkat sebelah alisnya."Itu bukan ancaman, Sayang. Hanya peringatan kecil. Selama ini aku sudah bersabar menahan diri karena kamu belum bersamaku. Tapi, kali ini tidak. Kamu hanya milik Arshaka Lesmana."Shaka mengusap pipi lembut Almaira, yang langsung perempuan itu tepis. "Aku bukan barang yang bisa dimiliki siapapun, termasuk Kak Shaka. Kak Shaka hanya suamiku, imamku, bukan pemilik hidupku. Kita sangat bisa berpisah."Shaka mengetatkan rahang. Dia tidak suka mendengar kata 'berpisah' keluar dari mulut istrinya. "Aku tidak akan membiarkan hal itu," ucap Shaka tegas."Kalau Kak Shaka terlalu mengekang aku, aku akan pergi." Almaira balik mengancam.Shaka semakin emosi. Dia lantas mencekal kedua lengan Almaira. "Kamu tidak akan pergi ke mana pun. Aku tidak akan membiarkan kamu pergi dariku, Al." Tatapan pria itu menajam."Kalau aku betulan pergi, Kakak mau apa?" Almaira justru menantang dengan