Kedatangan Sekar ke rumah Ardhan tidak lain dan tidak bukan untuk melabrak Lova. Sekar pergi bersama Freya yang memang ingin menyaksikan Lova dicerca oleh Sekar.
Lova tengah mengawasi Almaira yang sedang mengerjakan PR ketika Sekar dan Freya tiba. Sejak memutuskan kembali, Lova tahu hari ini akan datang."Silakan duduk, Bu, Mbak," kata Lova, mengabaikan ekspresi tamunya yang tidak bersahabat."Tidak usah berbasa-basi kamu!" balas Sekar judes."Almaira ke kamar dulu ya." Lova membereskan buku Almaira dan mendorong punggungnya pelan.Almaira tampak tidak ingin pergi. Namun, Lova menggeleng. Tidak mengizinkan Almaira tetap di sana.Setelah memastikan tubuh Almaira menghilang di lantai dua. Lova beralih lagi pada Sekar. "Ada apa ya, Bu?" tanyanya santai."Kamu masih bertanya ada apa? Kenapa kamu kembali? Apa tujuan kamu sebenarnya?"Lova menghela napas."Saya kembali untuk Almaira.""Omong kosong!"Love, apa ... kamu mengizinkan saya menikahi Freya?" tanya Ardhan begitu dia melihat istrinya duduk di ruang santai lantai dua.Lova mengalihkan tatapan dari layar laptop yang menampilkan grafik penjualan Lovara. Perempuan itu memandang Ardhan dengan kening mengerut. Pertanyaan Ardhan terlalu tiba-tiba dan tanpa basa-basi sehingga Lova perlu meyakinkan pendengarannya sendiri."Love?""Kenapa Mas izin ke aku?" Lova balik bertanya setelah yakin Ardhan memang sedang membicarakan pernikahan dengan Freya. "Bukankah laki-laki bisa menikah lagi tanpa izin istrinya?""Memang. Tapi saya tidak ingin seperti itu. Saya membutuhkan izin dari kamu."Ardhan menunggu dengan cemas jawaban Lova."Ter--""Jangan terserah, Love," ucap Ardhan memotong perkataan Lova. "Kamu yang harus memutuskan. Jika kamu melarang, saya tidak akan menikahi Freya."Lova menghela napas. "Kenapa harus aku yang memutuskan?""Karena kamu pentin
"Nuraga Memorial Park?" Almaira membaca tulisan yang tertera di gerbang. "Kita mau ke makamnya Opa dan Mama Tami?"Lova yang menuntun kedua putrinya mengangguk. Lova sangat ingin berziarah ke makam Khatami. "Kalian sering ke sini?""Tidak sering," jawab Almaira.Chyara merapatkan tubuhnya ke Lova. Dia suka menonton film horor bersama Xavier, jadi takut sendiri. Xavier bilang kuburan itu sarangnya setan."Kamu kenapa, Chy?" tanya Lova."Gendong." Chyara mengangkat kedua tangannya.Lova tersenyum, lalu menggendong anak itu. Lova meringis karena Chyara ternyata lumayan berat."Setan tidak akan muncul di siang hari," kata Almaira yang paham gestur adiknya. "Terus kata Papa, manusia itu lebih sempurna dari setan. Jadi kita tidak boleh takut ke setan.""Tapi di film setannya galak-galak.""Kan kita bisa meminta perlindungan ke Allah," ucap Lova.Almaira mengangguk menyetujui ucapan mamanya.
"Chy, kamu main tablet sudah mau satu jam, loh. Sudah dulu, ya, sayang. Nanti dilanjut lagi. Kamu harus bobo siang."Lova berucap lembut, yang sama sekali tidak dipedulikan Chyara. Anak itu tetap fokus memilihkan gaun cantik untuk barbie di tabletnya."Chy." Lova sampai memelas."Tidak mau!" Chyara membalas jutek."Ayolah, Chy. Nanti mata kamu rusak.""Mata aku tidak rusak!""Sekarang memang tidak, tapi kalau nanti rusak bagaimana?""Aku tidak mau! Aku tidak mau! Aku tidak mau!" Chyara memukul-mukul bantal."Nanti bisa dilanjut lagi. Barbie kamu tidak akan ke mana-mana.""AKU TIDAK MAU!"Lova tertegun. Kenapa Chyara jadi seperti ini lagi setelah dari rumah Sekar? Apa terjadi sesuatu di sana? Atau, Chyara memang berubah sendiri? Lova menghela napas. "Ya sudah. Mama kasih kamu 15 menit. Sepakat?"Chyara membuang muka.Lima belas menit kemudian, Lova kembali lagi. Chyara tidak se
Rumah Ardhan tidak pernah sepi. Setiap hari pasti ada jeritan dan tangisan Chyara yang terdengar. Ardhan mengambil keputusan dengan menyita tabletnya, juga tidak ada kunjungan ke rumah Sekar dalam minggu ini.Namun, masalah tidak datang hanya dari Chyara. Lova mendadak mendapat telepon dari pihak sekolah. Katanya, Almaira bertengkar dan melukai anak lain. Tidak tanggung-tanggung, dua anak sekaligus.Bagaimana bisa?Saat istirahat, Almaira menjalani aktivitas seperti biasanya. Dia akan pergi ke taman terbuka hijau yang menjadi pemisah antara gedung sekolahnya dan TK Chyara. Almaira pergi sendiri karena Ariana tidak sekolah lantaran sakit.Anak itu baru selesai menghabiskan bekalnya saat dua anak laki-laki kelas 4 berjalan mendekat. Almaira mendongak bersamaan dengan salah satu di antara mereka menarik kerudung Almaira hingga terlepas."Hei!" pekik Almaira. "Kembalikan!"Almaira berusaha merebut kerudungnya, tetapi anak kelas 4 itu mengangkatnya tinggi-tinggi. Almaira tidak sampai."Kemb
"Aku tadi memfitnah Almaira." Xavier memberi tahu Freya.Freya langsung tertarik. "Memfitnah bagaimana?"Xavier menceritakan kronologi kejadian dan kesaksian palsu yang dia katakan.Freya tersenyum senang. Dia langsung memeluk putranya. "Nah, begitu dong. Ini baru anak Mama. Kita harus memberi tahu Tante Sekar soal ini."Xavier sebenarnya merasa bersalah, apalagi saat Almaira menangis. Namun, Freya sangat membenci Lova. Kebencian Freya kepada Lova membuat Xavier terkena imbasnya. Sekarang lihatlah, Freya membanggakan Xavier.Freya menceritakan ulang kejadian itu kepada Sekar. Versi fitnah Xavier tentu saja. Wajah Sekar langsung memerah karena marah. "Anak itu!" Sekar benar-benar geram.Sekar langsung menghubungi Ardhan."Ardhan, tengok kelakuan anak kesayangan kamu! Dia sudah mempermalukan nama keluarga kita!" ucap Sekar berapi-api."Mempermalukan apa sih, Ma?" tanya Ardhan di seberang sana."Maira biki
Sekar berjalan tergesa dengan raut marah. Saat dia sudah sampai di hadapan Lova, wanita tua itu melayangkan tamparan keras di pipi menantu yang tidak ingin diakuinya."Kamu pasti sengaja kan membiarkan Chyara terjatuh? Agar tidak ada lagi yang mendesak Ardhan menikahi Freya. Dasar perempuan licik."Lova memegangi pipinya yang terasa panas dan perih. Sekar belum tahu Almaira yang membuat Chyara terluka. Lebih baik seperti itu."Saya tidak perlu mencelakai Chy karena Mas Ardhan sendiri tidak mau menikahi Mbak Freya," jawab Lova."Kamu masih berani bicara?"Sekar hendak melayangkan tamparan lagi. Namun, Ardhan segera memegang tangan mamanya. Dia menjadi tameng Lova. "Lova benar, Ma. Saya tidak mau menikahi Freya. Lova tidak perlu repot-repot melakukan segala cara untuk menghentikannya.""Kamu tetap membela dia setelah dia gagal menjaga putri kamu?""Saya juga ada di rumah. Saya berada di ruangan yang sama dengan Lova. Artin
Almaira sangat sedih dibenci oleh adiknya sendiri. Akibatnya Almaira tidak bersemangat menjalankan aktivitas apa pun. Dia bahkan tidak ingin pergi ke sekolah. Ah, bagaimana mungkin Almaira betah di sekolah jika teman-teman di kelas menjauhinya, bahkan Ariana?Berita soal Almaira yang menyebabkan Chyara masuk rumah sakit sudah tersebar. Sekarang Almaira dikenal sebagai anak nakal yang kasar. Apalagi beberapa hari yang lalu Almaira juga tersandung kasus."Aku tidak mau lagi jadi teman kamu, Mai. Nanti aku jadi sasaran kenakalan kamu," ucap Ariana yang membuat Almaira sangat patah hati. Bukan hanya itu, Ariana menyuruh Almaira duduk di kursi yang paling belakang. Teman-temannya yang lain menyetujui."Nanti kita cari sekolah yang baru," ucap Ardhan menenangkan saat Almaira mengadu.Namun, Almaira telanjur trauma mendapat tatapan kebencian dari teman-temannya. Sekarang Almaira jadi takut jika ada yang memandang, kecuali Ardhan dan Lova."Sayan
Ardhan sudah membuat keputusan. Namun, dia tetap berdoa meminta petunjuk. Sang Pencipta tahu mana yang terbaik untuknya.Pria itu bangkit dan merapikan sejadah. Dia lalu memandangi tempat tidur yang rapi karena belum ada yang meniduri. Lova masih marah dan memilih bermalam di kamar Almaira. Tidak ada penyambutan saat Ardhan pulang dari rumah Sekar.Dia sendiri beristirahat di ruang kerja. Tidak benar-benar melepas penat karena pikirannya tetap berisik. Hubungan Almaira dan Chyara, ucapan Freya, dan reaksi Lova nantinya. Belum lagi soal pekerjaan. Rasanya Ardhan ingin berhenti dan menunjuk orang lain menggantikan posisinya."Sayang, bangun. Subuh." Suara Lova terdengar dari dalam kamar Almaira.Ardhan sudah akan memegang handel pintu, tetapi dia mengurungkan niatnya. Ardhan belum berani berhadapan dengan Lova untuk membicarakan masalah ini. Akhirnya dia pergi ke masjid tanpa pamit.Pukul 8 pagi, Indira tiba membawa rombongan. Dia langsung
"Mengapa Anda menusuk suami Anda sendiri sebanyak tiga kali?" tanya hakim ketua."Mungkin ada cara lain untuk menghentikan Kak Shaka yang ingin membunuh Kak Xavier. Namun, yang ada di pikiran saya hanya itu karena ada gunting berada di dekat kaki saya," jawab Almaira."Kenapa Anda harus menusuk sebanyak tiga kali?"Almaira menghela napas. "Saya emosi karena sebelumnya Kak Shaka memaksa saya meminum obat penggugur kandungan. Saya marah karena Kak Shaka mengancam akan membunuh keluarga saya satu per satu. Saya sangat kecewa karena ...."Almaira menjeda ucapannya. Dia malu mengatakan hal itu. Namun, Almaira tetap harus mengungkap semua yang terjadi hari itu. "Saya kecewa dan malu karena Kak Shaka melakukan hal menjijikan dan serendah itu. Dia ... menggauli saya di depan Kak Xavier.""Apa Anda tahu motif Saudara Arshaka Lesmana melakukan hal itu.""Kak Shaka cemburu. Dia berpikir saya dan Kak Xavier masih saling mencintai. Kak Shaka
"Di mana Maira?" tanya Xavier."Untuk apa kamu mencari istri orang?"Keduanya sama-sama melemparkan tatapan permusuhan."Mama dan Papa memintaku memastikan keadaannya.""Aku ini suaminya. Mereka sudah tidak punya hak, apalagi sampai mengutus orang lain.""Terserah apa katamu. Tapi aku tidak akan pergi sebelum memastikan Almaira baik-baik saja.""Aku bisa memanggil warga untuk mengusirmu."Xavier berdecak. "Sial. Aku sudah tidak bisa bersabar." Pria itu meringsek masuk. "Maira! Mai!" panggilnya berteriak.Shaka tentu tidak diam saja. Dia membalik badan Xavier, lalu melayangkan tinju ke pipinya.Xavier terhuyung. Dia segera menegakkan tubuh dan membalas pukulan Shaka."Keluar dari rumahku!" bentak Shaka."Di mana Maira?"Suara benda jatuh terdengar dari atas. Xavier segera menaiki tangga. Namun, Shaka tidak membiarkannya begitu saja. Shaka menarik Xavier, lalu mengempaskannya ke
"Gugurkan kandungan itu!" ucap Shaka tegas.Almaira membelalak. Dia refleks melindungi perutnya menggunakan kedua tangan. "Tidak.""Aku tidak menginginkannya!""Tapi aku menginginkannya. Dia anakku. Anak kita."Shaka mengetatkan rahang. Padahal dia sudah vasektomi. Vasektomi memang tidak 100% mencegah kehamilan. Tahu begini Shaka akan tetap memakai pengaman."Kamu harus menggugurkannya, Sayang." Shaka mendekati sang istri.Almaira langsung mundur beberapa langkah sambil terus melindungi perutnya. "Tidak! Aku bukan pembunuh. Aku tidak mau membunuh anakku sendiri.""Al, mengertilah."Almaira menggeleng. Air mata berkejaran jatuh ke pipinya. "Kak Shaka yang seharusnya mengerti.""Aku tidak ingin ada orang ketiga di antara kita.""Dia darah daging Kak Shaka!" Almaira menjerit."Aku tidak peduli, Sayang. Aku hanya mencintai kamu."Pria itu kembali melangkah mengikis jarak. Almaira
"Aku tidak membawa keycard saat menyusul Kak Shaka. Aku tidak bisa masuk, lalu Kak Tamara memaksaku menunggu di sana." Almaira berusaha menjelaskan kepada suaminya yang tampak sangat marah. Matanya bahkan memerah."Sejak kapan kamu tahu Xavier tinggal di sini?" tanya Shaka sinis."Tadi. Mereka juga pindah baru dua hari yang lalu.""Kita pergi dari sini," ujar Shaka sambil melangkahkan kakinya ke kamar, lalu ke walk in closet. Pria itu segera mengemasi pakaian dirinya dan Almaira.Almaira menghela napas. Dia sudah menebak akan seperti ini jadinya. "Aku bantu," ucap perempuan itu.Almaira tidak protes Shaka akan membawanya pindah. Dia sudah membuat keputusan akan mengikuti suaminya ke manapun. Shaka adalah rumahnya. Shaka adalah tempat Almaira pulang."Tidak bilang Mama dan Papa dulu, Kak?"Shaka membalas Almaira dengan tatapan tajam, membuat perempuan itu menutup mulutnya.Mereka kembali pindah ke rumah Shaka. Se
"Kak, geli!" Almaira berusaha menarik kakinya yang sedang dikelitiki oleh Shaka.Selama empat bulan tinggal di apartemen, Almaira dan Shaka tidak pernah sekali pun bertengkar. Mereka justru semakin romantis dari hari ke hari. Keduanya menjadi pasangan yang tidak bisa terpisahkan meski hanya sesaat.Siapa itu Xavier? Almaira bahkan melupakan eksistensinya. Hati dan pikiran perempuan itu selalu dipenuhi oleh Shaka. Almaira telah jatuh cinta kepada Shaka.Tempat terbaik bagi Almaira adalah di samping suaminya itu. Sekarang dia benar-benar malas keluar unit. Almaira sudah seperti tidak memiliki kehidupan di luar sana. Lovara saja dia bebankan kepada sang adik."Ini akibatnya karena kamu pura-pura tidur." Shaka tidak memedulikan jeritan Almaira. Dia terus menarikan jari-jarinya di telapak kaki sang istri.Setelah memperkerjakan otaknya untuk naskah, Shaka akan meminta jatah kepada Almaira. Almaira justru pura-pura terlelap. Bukan ingin menolak
"Pesawatnya masuk ke goa ... aaaaa." Almaira mengarahkan sendok ke mulut Shaka setelah memutarnya di udara.Shaka justru melengos. "Kamu tidak perlu seperti ini.""Kenapa? Selama ini Kak Shaka selalu merawatku padahal aku baik-baik saja. Sekarang giliran." Almaira kembali mengarahkan sendok.Namun, Shaka menggeleng pelan dengan mulut terkunci rapat."Kak Shaka." Almaira merengek. "Aku marah, nih. Adik-adikku bilang kalau aku lebih galak dari Mama."Shaka mengernyit. Ekspresinya seperti sedang meledek Almaira."Oke. Aku marah." Almaira menyimpan piring di nakas. Dia lalu bersedekap.Shaka mencubit pipi istrinya. "Aku merasa gagal menjadi suami kamu kalau kamu sampai menyuapiku seperti ini.""Loh, kenapa?""Karena aku ingin meratukan kamu.""Kalau aku ratu, Kak Shaka rajanya, kan?"Shaka tersenyum samar. "Apa aku pantas disebut raja? Status kita jelas berbeda."Almaira menghela
"Chy akan menikah dua hari lagi. Aku ingin menghadirinya," ucap Almaira kepada Shaka.Mereka sudah satu bulan berada di kota itu. Pada akhirnya Shaka membawa Almaira kembali ke rumahnya dengan alasan tidak ingin merepotkan sang bibi. Toh, masih satu kota. Setidaknya Shaka bisa langsung pergi menemui nenek seandainya terjadi sesuatu kepada beliau."Iya," jawab Shaka tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop. Tangannya sibuk mengetik.Beberapa hari terakhir Shaka lebih banyak menghabiskan waktu dengan menulis. Dia bisa sampai begadang. Almaira sangat khawatir dengan kondisi Shaka. Lingkaran hitam di bawah matanya terlihat jelas."Iya apa?" Almaira meminta penjelasan lebih."Kita akan menghadirinya."Perempuan itu langsung berbinar. "Serius?"Shaka menutup laptop. "Aku tidak setega itu, Sayang.""Terima kasih, Kak," ucap Almaira dengan senyum lebar.Pria itu menghampiri istrinya di tempat tidur. "Ha
"Sayang," panggil Shaka riang sambil membawa nampan berisi sarapan yang sudah telat.Almaira bangkit ke posisi duduk, lalu mengikat rambutnya yang acak-acakan.Shaka menaruh nampan di nakas."Terima kasih, Kak Shaka," ucap Almaira. Dia tersenyum, sebagai penghargaan untuk Shaka yang sudah membuatkannya makanan sementara dia hanya bermalas-malasan."Aku memiliki informasi yang penting," tutur Shaka sambil mengarahkan sendok berisi nasi dan lauknya kepada Almaira."Apa itu?" tanya Almaira sebelum menerima suapan dari suaminya."Aku sudah menemukan alamat keluarga Ibu.""Benarkah?" Almaira senang mendengarnya."Iya. Besok kita ke sana, ya."Besok seharusnya mereka kembali ke Jakarta.Almaira mengangguk. Dia tidak mungkin memaksa Shaka kembali ke Jakarta saat pria itu ingin pergi ke tempat keluarganya yang tidak pernah dia temui. Shaka sudah terlalu lama hidup sendiri. Dari ekspresinya saja sudah
"Kak Shaka mengancam?" Almaira mengangkat sebelah alisnya."Itu bukan ancaman, Sayang. Hanya peringatan kecil. Selama ini aku sudah bersabar menahan diri karena kamu belum bersamaku. Tapi, kali ini tidak. Kamu hanya milik Arshaka Lesmana."Shaka mengusap pipi lembut Almaira, yang langsung perempuan itu tepis. "Aku bukan barang yang bisa dimiliki siapapun, termasuk Kak Shaka. Kak Shaka hanya suamiku, imamku, bukan pemilik hidupku. Kita sangat bisa berpisah."Shaka mengetatkan rahang. Dia tidak suka mendengar kata 'berpisah' keluar dari mulut istrinya. "Aku tidak akan membiarkan hal itu," ucap Shaka tegas."Kalau Kak Shaka terlalu mengekang aku, aku akan pergi." Almaira balik mengancam.Shaka semakin emosi. Dia lantas mencekal kedua lengan Almaira. "Kamu tidak akan pergi ke mana pun. Aku tidak akan membiarkan kamu pergi dariku, Al." Tatapan pria itu menajam."Kalau aku betulan pergi, Kakak mau apa?" Almaira justru menantang dengan