"Aku tadi memfitnah Almaira." Xavier memberi tahu Freya.
Freya langsung tertarik. "Memfitnah bagaimana?"Xavier menceritakan kronologi kejadian dan kesaksian palsu yang dia katakan.Freya tersenyum senang. Dia langsung memeluk putranya. "Nah, begitu dong. Ini baru anak Mama. Kita harus memberi tahu Tante Sekar soal ini."Xavier sebenarnya merasa bersalah, apalagi saat Almaira menangis. Namun, Freya sangat membenci Lova. Kebencian Freya kepada Lova membuat Xavier terkena imbasnya. Sekarang lihatlah, Freya membanggakan Xavier.Freya menceritakan ulang kejadian itu kepada Sekar. Versi fitnah Xavier tentu saja. Wajah Sekar langsung memerah karena marah. "Anak itu!" Sekar benar-benar geram.Sekar langsung menghubungi Ardhan."Ardhan, tengok kelakuan anak kesayangan kamu! Dia sudah mempermalukan nama keluarga kita!" ucap Sekar berapi-api."Mempermalukan apa sih, Ma?" tanya Ardhan di seberang sana."Maira bikiSekar berjalan tergesa dengan raut marah. Saat dia sudah sampai di hadapan Lova, wanita tua itu melayangkan tamparan keras di pipi menantu yang tidak ingin diakuinya."Kamu pasti sengaja kan membiarkan Chyara terjatuh? Agar tidak ada lagi yang mendesak Ardhan menikahi Freya. Dasar perempuan licik."Lova memegangi pipinya yang terasa panas dan perih. Sekar belum tahu Almaira yang membuat Chyara terluka. Lebih baik seperti itu."Saya tidak perlu mencelakai Chy karena Mas Ardhan sendiri tidak mau menikahi Mbak Freya," jawab Lova."Kamu masih berani bicara?"Sekar hendak melayangkan tamparan lagi. Namun, Ardhan segera memegang tangan mamanya. Dia menjadi tameng Lova. "Lova benar, Ma. Saya tidak mau menikahi Freya. Lova tidak perlu repot-repot melakukan segala cara untuk menghentikannya.""Kamu tetap membela dia setelah dia gagal menjaga putri kamu?""Saya juga ada di rumah. Saya berada di ruangan yang sama dengan Lova. Artin
Almaira sangat sedih dibenci oleh adiknya sendiri. Akibatnya Almaira tidak bersemangat menjalankan aktivitas apa pun. Dia bahkan tidak ingin pergi ke sekolah. Ah, bagaimana mungkin Almaira betah di sekolah jika teman-teman di kelas menjauhinya, bahkan Ariana?Berita soal Almaira yang menyebabkan Chyara masuk rumah sakit sudah tersebar. Sekarang Almaira dikenal sebagai anak nakal yang kasar. Apalagi beberapa hari yang lalu Almaira juga tersandung kasus."Aku tidak mau lagi jadi teman kamu, Mai. Nanti aku jadi sasaran kenakalan kamu," ucap Ariana yang membuat Almaira sangat patah hati. Bukan hanya itu, Ariana menyuruh Almaira duduk di kursi yang paling belakang. Teman-temannya yang lain menyetujui."Nanti kita cari sekolah yang baru," ucap Ardhan menenangkan saat Almaira mengadu.Namun, Almaira telanjur trauma mendapat tatapan kebencian dari teman-temannya. Sekarang Almaira jadi takut jika ada yang memandang, kecuali Ardhan dan Lova."Sayan
Ardhan sudah membuat keputusan. Namun, dia tetap berdoa meminta petunjuk. Sang Pencipta tahu mana yang terbaik untuknya.Pria itu bangkit dan merapikan sejadah. Dia lalu memandangi tempat tidur yang rapi karena belum ada yang meniduri. Lova masih marah dan memilih bermalam di kamar Almaira. Tidak ada penyambutan saat Ardhan pulang dari rumah Sekar.Dia sendiri beristirahat di ruang kerja. Tidak benar-benar melepas penat karena pikirannya tetap berisik. Hubungan Almaira dan Chyara, ucapan Freya, dan reaksi Lova nantinya. Belum lagi soal pekerjaan. Rasanya Ardhan ingin berhenti dan menunjuk orang lain menggantikan posisinya."Sayang, bangun. Subuh." Suara Lova terdengar dari dalam kamar Almaira.Ardhan sudah akan memegang handel pintu, tetapi dia mengurungkan niatnya. Ardhan belum berani berhadapan dengan Lova untuk membicarakan masalah ini. Akhirnya dia pergi ke masjid tanpa pamit.Pukul 8 pagi, Indira tiba membawa rombongan. Dia langsung
"Saya akan menikahi Freya." Ardhan mengulangi ucapannya.Lova tertegun sejenak, lalu tertawa hambar. "Kemarin Mas yang meminta aku melarang Mas Ardhan menikahi Mbak Freya. Mas juga menyuruh aku bersikap egois. Sekarang justru Mas sendiri yang mengambil keputusan ini."Ardhan menggenggam kedua tangan Lova. "Saya tidak punya cara lain, Love. Saya memikirkan anak-anak. Hanya Freya yang bisa membujuk Chyara memaafkan kakaknya. Freya juga menikah demi Xavier."Lova benar-benar tidak tahu harus menjawab apa. Setelah ucapan manis Ardhan beberapa hari yang lalu, tentu saja Lova kecewa. Perkataan Ardhan yang itu sekarang hanya menjadi omong kosong.Lova beranjak menuju jendela yang memperlihatkan pemandangan halaman belakang. Anak-anak perempuan dan Indira sudah pindah ke gazebo. Sementara Theo dan Xavier masih bergelantungan di pohon mangga.Tatapan Lova terarah kepada kedua putrinya. Almaira duduk di sebelah Chyara. Anak itu menyuapi adiknya man
Dua garis merah. Lova menatap test pack itu dengan pandangan kosong. Dia tidak tahu harus bahagia atau bagaimana. Di tengah kemelut pernikahannya, Lova justru hamil lagi."Mungkin aku memang tidak boleh pergi dari rumah ini." Lova mendesah.Di luar sana, Ardhan menggedor pintu kamar mandi. "Love, bagaimana hasilnya?"Kemarin setelah Lova muntah-muntah, perempuan itu langsung tersadar jika dia telat datang bulan. Belum lagi beberapa hari belakangan, emosinya tidak stabil. Lova segera membeli test pack, kemudian dites esok paginya.Lova membuka pintu."Bagaimana?" tanya Ardhan penasaran.Perempuan itu menyerahkan alat tes kehamilan kepada suaminya. Ardhan sontak melebarkan mata. Senyum lebar tercetak di wajahnya yang semakin dewasa, semakin terlihat berkharisma.Ardhan mengucap syukur. "Saya akan punya anak lagi," ucapnya, lalu memeluk Lova. "Kita akan punya anak lagi, Love."Ardhan sempat ketakutan Lova akan meninggalkannya karena masalah Freya. Mungkin doa Ardhan terkabul agar Lova tet
Pernikahan Ardhan dan Freya mau tidak mau tetap dilaksanakan. Rencana Ardhan membujuk Chyara gagal total. Anak itu justru mengancam tidak akan memaafkan Almaira jika Ardhan tidak jadi menikahi Freya. Almaira yang mendengarnya ikut mendesak Ardhan agar menuruti keinginan Chyara.Sementara Lova masih tidak banyak berkomentar."Kamu tidak akan hadir, Love?" tanya Ardhan yang sudah rapi dengan tuxedo hitamnya.Lova mendengkus, lalu menutup hidung dan mulut. "Aku sudah menandatangani surat persetujuan. Aku tidak perlu ada di sana."Ardhan mengangguk. Dia tidak mungkin memaksa Lova menghadiri pernikahannya dengan perempuan lain. "Saya minta maaf," ucap Ardhan untuk yang ke sekian kali."Sudah, Mas pergi sana. Nanti terlambat.""Iya. Almaira saya ajak. Dia ingin ikut."Lova tersenyum getir. Anak itu juga bahagia dengan pernikahan ini. "Aku ingin melihat Almaira."Sejak bangun tidur Lova mual-mual terus. Dia tidak sempa
"Kenapa Mas pulang? Seharusnya kan sekarang Mas sedang menikmati malam pertama dengan Mbak Freya," ucap Lova kala melihat suaminya sedang menaiki tangga."Kamu tahu benar alasan saya menikahi Freya.""Tetap saja Mas memiliki kewajiban berbuat adil, termasuk pembagian malam. Mas sudah mengerti hal itu dari lama kan?"Ardhan menghela napas. "Saya ke sini ingin melihat kamu, Love.""Aku baik-baik saja. Lagi pula, aku sedang tidak tahan berdekatan dengan Mas Ardhan." Lova melangkah mundur. Dia lalu mencari sosok putrinya. "Mana Almaira?""Maira ingin menginap lagi di rumah Mama."Perempuan itu sontak melebarkan mata. "Mas lupa jika Bu Sekar dan Mbak Freya tidak menyukai Almaira?""Love, tenanglah. Kemarin Maira juga menginap kan? Dia tidak mengatakan apa-apa soal mendapat perlakuan buruk dari Mama atau dari Freya. Maira hanya ingin berkumpul bersama sepupu-sepupunya. Di sana juga ada Indira.""Tapi aku ingin melihat
"Saya ingin bertemu Mbak Freya, Bu," ucap Lova kepada Sekar. Dia tidak menunjukkan ketakutan sedikit pun seperti dulu saat berhadapan dengan ibu mertuanya."Freya tidak ada. Dia sedang mengurus salonnya. Bukan pengangguran seperti kamu," balas Sekar ketus."Ibu bisa memberi saya alamat salonnya?"Sekar mengernyit. "Mau apa kamu?""Ini urusan saya dengan Mbak Freya, Bu.""Iya. Urusan apa?"Lova menghela napas. Tidak ada gunanya memberi tahu Sekar karena beliau pasti akan membela Freya."Jika Ibu tidak ingin memberi tahu, tidak apa. Saya permisi dulu. Assalamu'alaikum."Lova beranjak pergi dari rumah itu."Hei, katakan dulu tujuan kamu bertemu Freya." Sekar yang penasaran mengejar Lova ke teras depan.Lova tersenyum saja, lalu menjalankan mobilnya keluar dari pekarangan. Perempuan itu lantas menelepon sopir Ardhan dan meminta alamat salon milik Freya. Beruntung beliau tahu. Oh, jelas tahu. Ardhan
"Mengapa Anda menusuk suami Anda sendiri sebanyak tiga kali?" tanya hakim ketua."Mungkin ada cara lain untuk menghentikan Kak Shaka yang ingin membunuh Kak Xavier. Namun, yang ada di pikiran saya hanya itu karena ada gunting berada di dekat kaki saya," jawab Almaira."Kenapa Anda harus menusuk sebanyak tiga kali?"Almaira menghela napas. "Saya emosi karena sebelumnya Kak Shaka memaksa saya meminum obat penggugur kandungan. Saya marah karena Kak Shaka mengancam akan membunuh keluarga saya satu per satu. Saya sangat kecewa karena ...."Almaira menjeda ucapannya. Dia malu mengatakan hal itu. Namun, Almaira tetap harus mengungkap semua yang terjadi hari itu. "Saya kecewa dan malu karena Kak Shaka melakukan hal menjijikan dan serendah itu. Dia ... menggauli saya di depan Kak Xavier.""Apa Anda tahu motif Saudara Arshaka Lesmana melakukan hal itu.""Kak Shaka cemburu. Dia berpikir saya dan Kak Xavier masih saling mencintai. Kak Shaka
"Di mana Maira?" tanya Xavier."Untuk apa kamu mencari istri orang?"Keduanya sama-sama melemparkan tatapan permusuhan."Mama dan Papa memintaku memastikan keadaannya.""Aku ini suaminya. Mereka sudah tidak punya hak, apalagi sampai mengutus orang lain.""Terserah apa katamu. Tapi aku tidak akan pergi sebelum memastikan Almaira baik-baik saja.""Aku bisa memanggil warga untuk mengusirmu."Xavier berdecak. "Sial. Aku sudah tidak bisa bersabar." Pria itu meringsek masuk. "Maira! Mai!" panggilnya berteriak.Shaka tentu tidak diam saja. Dia membalik badan Xavier, lalu melayangkan tinju ke pipinya.Xavier terhuyung. Dia segera menegakkan tubuh dan membalas pukulan Shaka."Keluar dari rumahku!" bentak Shaka."Di mana Maira?"Suara benda jatuh terdengar dari atas. Xavier segera menaiki tangga. Namun, Shaka tidak membiarkannya begitu saja. Shaka menarik Xavier, lalu mengempaskannya ke
"Gugurkan kandungan itu!" ucap Shaka tegas.Almaira membelalak. Dia refleks melindungi perutnya menggunakan kedua tangan. "Tidak.""Aku tidak menginginkannya!""Tapi aku menginginkannya. Dia anakku. Anak kita."Shaka mengetatkan rahang. Padahal dia sudah vasektomi. Vasektomi memang tidak 100% mencegah kehamilan. Tahu begini Shaka akan tetap memakai pengaman."Kamu harus menggugurkannya, Sayang." Shaka mendekati sang istri.Almaira langsung mundur beberapa langkah sambil terus melindungi perutnya. "Tidak! Aku bukan pembunuh. Aku tidak mau membunuh anakku sendiri.""Al, mengertilah."Almaira menggeleng. Air mata berkejaran jatuh ke pipinya. "Kak Shaka yang seharusnya mengerti.""Aku tidak ingin ada orang ketiga di antara kita.""Dia darah daging Kak Shaka!" Almaira menjerit."Aku tidak peduli, Sayang. Aku hanya mencintai kamu."Pria itu kembali melangkah mengikis jarak. Almaira
"Aku tidak membawa keycard saat menyusul Kak Shaka. Aku tidak bisa masuk, lalu Kak Tamara memaksaku menunggu di sana." Almaira berusaha menjelaskan kepada suaminya yang tampak sangat marah. Matanya bahkan memerah."Sejak kapan kamu tahu Xavier tinggal di sini?" tanya Shaka sinis."Tadi. Mereka juga pindah baru dua hari yang lalu.""Kita pergi dari sini," ujar Shaka sambil melangkahkan kakinya ke kamar, lalu ke walk in closet. Pria itu segera mengemasi pakaian dirinya dan Almaira.Almaira menghela napas. Dia sudah menebak akan seperti ini jadinya. "Aku bantu," ucap perempuan itu.Almaira tidak protes Shaka akan membawanya pindah. Dia sudah membuat keputusan akan mengikuti suaminya ke manapun. Shaka adalah rumahnya. Shaka adalah tempat Almaira pulang."Tidak bilang Mama dan Papa dulu, Kak?"Shaka membalas Almaira dengan tatapan tajam, membuat perempuan itu menutup mulutnya.Mereka kembali pindah ke rumah Shaka. Se
"Kak, geli!" Almaira berusaha menarik kakinya yang sedang dikelitiki oleh Shaka.Selama empat bulan tinggal di apartemen, Almaira dan Shaka tidak pernah sekali pun bertengkar. Mereka justru semakin romantis dari hari ke hari. Keduanya menjadi pasangan yang tidak bisa terpisahkan meski hanya sesaat.Siapa itu Xavier? Almaira bahkan melupakan eksistensinya. Hati dan pikiran perempuan itu selalu dipenuhi oleh Shaka. Almaira telah jatuh cinta kepada Shaka.Tempat terbaik bagi Almaira adalah di samping suaminya itu. Sekarang dia benar-benar malas keluar unit. Almaira sudah seperti tidak memiliki kehidupan di luar sana. Lovara saja dia bebankan kepada sang adik."Ini akibatnya karena kamu pura-pura tidur." Shaka tidak memedulikan jeritan Almaira. Dia terus menarikan jari-jarinya di telapak kaki sang istri.Setelah memperkerjakan otaknya untuk naskah, Shaka akan meminta jatah kepada Almaira. Almaira justru pura-pura terlelap. Bukan ingin menolak
"Pesawatnya masuk ke goa ... aaaaa." Almaira mengarahkan sendok ke mulut Shaka setelah memutarnya di udara.Shaka justru melengos. "Kamu tidak perlu seperti ini.""Kenapa? Selama ini Kak Shaka selalu merawatku padahal aku baik-baik saja. Sekarang giliran." Almaira kembali mengarahkan sendok.Namun, Shaka menggeleng pelan dengan mulut terkunci rapat."Kak Shaka." Almaira merengek. "Aku marah, nih. Adik-adikku bilang kalau aku lebih galak dari Mama."Shaka mengernyit. Ekspresinya seperti sedang meledek Almaira."Oke. Aku marah." Almaira menyimpan piring di nakas. Dia lalu bersedekap.Shaka mencubit pipi istrinya. "Aku merasa gagal menjadi suami kamu kalau kamu sampai menyuapiku seperti ini.""Loh, kenapa?""Karena aku ingin meratukan kamu.""Kalau aku ratu, Kak Shaka rajanya, kan?"Shaka tersenyum samar. "Apa aku pantas disebut raja? Status kita jelas berbeda."Almaira menghela
"Chy akan menikah dua hari lagi. Aku ingin menghadirinya," ucap Almaira kepada Shaka.Mereka sudah satu bulan berada di kota itu. Pada akhirnya Shaka membawa Almaira kembali ke rumahnya dengan alasan tidak ingin merepotkan sang bibi. Toh, masih satu kota. Setidaknya Shaka bisa langsung pergi menemui nenek seandainya terjadi sesuatu kepada beliau."Iya," jawab Shaka tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop. Tangannya sibuk mengetik.Beberapa hari terakhir Shaka lebih banyak menghabiskan waktu dengan menulis. Dia bisa sampai begadang. Almaira sangat khawatir dengan kondisi Shaka. Lingkaran hitam di bawah matanya terlihat jelas."Iya apa?" Almaira meminta penjelasan lebih."Kita akan menghadirinya."Perempuan itu langsung berbinar. "Serius?"Shaka menutup laptop. "Aku tidak setega itu, Sayang.""Terima kasih, Kak," ucap Almaira dengan senyum lebar.Pria itu menghampiri istrinya di tempat tidur. "Ha
"Sayang," panggil Shaka riang sambil membawa nampan berisi sarapan yang sudah telat.Almaira bangkit ke posisi duduk, lalu mengikat rambutnya yang acak-acakan.Shaka menaruh nampan di nakas."Terima kasih, Kak Shaka," ucap Almaira. Dia tersenyum, sebagai penghargaan untuk Shaka yang sudah membuatkannya makanan sementara dia hanya bermalas-malasan."Aku memiliki informasi yang penting," tutur Shaka sambil mengarahkan sendok berisi nasi dan lauknya kepada Almaira."Apa itu?" tanya Almaira sebelum menerima suapan dari suaminya."Aku sudah menemukan alamat keluarga Ibu.""Benarkah?" Almaira senang mendengarnya."Iya. Besok kita ke sana, ya."Besok seharusnya mereka kembali ke Jakarta.Almaira mengangguk. Dia tidak mungkin memaksa Shaka kembali ke Jakarta saat pria itu ingin pergi ke tempat keluarganya yang tidak pernah dia temui. Shaka sudah terlalu lama hidup sendiri. Dari ekspresinya saja sudah
"Kak Shaka mengancam?" Almaira mengangkat sebelah alisnya."Itu bukan ancaman, Sayang. Hanya peringatan kecil. Selama ini aku sudah bersabar menahan diri karena kamu belum bersamaku. Tapi, kali ini tidak. Kamu hanya milik Arshaka Lesmana."Shaka mengusap pipi lembut Almaira, yang langsung perempuan itu tepis. "Aku bukan barang yang bisa dimiliki siapapun, termasuk Kak Shaka. Kak Shaka hanya suamiku, imamku, bukan pemilik hidupku. Kita sangat bisa berpisah."Shaka mengetatkan rahang. Dia tidak suka mendengar kata 'berpisah' keluar dari mulut istrinya. "Aku tidak akan membiarkan hal itu," ucap Shaka tegas."Kalau Kak Shaka terlalu mengekang aku, aku akan pergi." Almaira balik mengancam.Shaka semakin emosi. Dia lantas mencekal kedua lengan Almaira. "Kamu tidak akan pergi ke mana pun. Aku tidak akan membiarkan kamu pergi dariku, Al." Tatapan pria itu menajam."Kalau aku betulan pergi, Kakak mau apa?" Almaira justru menantang dengan