Pernikahan Ardhan dan Freya mau tidak mau tetap dilaksanakan. Rencana Ardhan membujuk Chyara gagal total. Anak itu justru mengancam tidak akan memaafkan Almaira jika Ardhan tidak jadi menikahi Freya. Almaira yang mendengarnya ikut mendesak Ardhan agar menuruti keinginan Chyara.
Sementara Lova masih tidak banyak berkomentar."Kamu tidak akan hadir, Love?" tanya Ardhan yang sudah rapi dengan tuxedo hitamnya.Lova mendengkus, lalu menutup hidung dan mulut. "Aku sudah menandatangani surat persetujuan. Aku tidak perlu ada di sana."Ardhan mengangguk. Dia tidak mungkin memaksa Lova menghadiri pernikahannya dengan perempuan lain. "Saya minta maaf," ucap Ardhan untuk yang ke sekian kali."Sudah, Mas pergi sana. Nanti terlambat.""Iya. Almaira saya ajak. Dia ingin ikut."Lova tersenyum getir. Anak itu juga bahagia dengan pernikahan ini. "Aku ingin melihat Almaira."Sejak bangun tidur Lova mual-mual terus. Dia tidak sempa"Kenapa Mas pulang? Seharusnya kan sekarang Mas sedang menikmati malam pertama dengan Mbak Freya," ucap Lova kala melihat suaminya sedang menaiki tangga."Kamu tahu benar alasan saya menikahi Freya.""Tetap saja Mas memiliki kewajiban berbuat adil, termasuk pembagian malam. Mas sudah mengerti hal itu dari lama kan?"Ardhan menghela napas. "Saya ke sini ingin melihat kamu, Love.""Aku baik-baik saja. Lagi pula, aku sedang tidak tahan berdekatan dengan Mas Ardhan." Lova melangkah mundur. Dia lalu mencari sosok putrinya. "Mana Almaira?""Maira ingin menginap lagi di rumah Mama."Perempuan itu sontak melebarkan mata. "Mas lupa jika Bu Sekar dan Mbak Freya tidak menyukai Almaira?""Love, tenanglah. Kemarin Maira juga menginap kan? Dia tidak mengatakan apa-apa soal mendapat perlakuan buruk dari Mama atau dari Freya. Maira hanya ingin berkumpul bersama sepupu-sepupunya. Di sana juga ada Indira.""Tapi aku ingin melihat
"Saya ingin bertemu Mbak Freya, Bu," ucap Lova kepada Sekar. Dia tidak menunjukkan ketakutan sedikit pun seperti dulu saat berhadapan dengan ibu mertuanya."Freya tidak ada. Dia sedang mengurus salonnya. Bukan pengangguran seperti kamu," balas Sekar ketus."Ibu bisa memberi saya alamat salonnya?"Sekar mengernyit. "Mau apa kamu?""Ini urusan saya dengan Mbak Freya, Bu.""Iya. Urusan apa?"Lova menghela napas. Tidak ada gunanya memberi tahu Sekar karena beliau pasti akan membela Freya."Jika Ibu tidak ingin memberi tahu, tidak apa. Saya permisi dulu. Assalamu'alaikum."Lova beranjak pergi dari rumah itu."Hei, katakan dulu tujuan kamu bertemu Freya." Sekar yang penasaran mengejar Lova ke teras depan.Lova tersenyum saja, lalu menjalankan mobilnya keluar dari pekarangan. Perempuan itu lantas menelepon sopir Ardhan dan meminta alamat salon milik Freya. Beruntung beliau tahu. Oh, jelas tahu. Ardhan
"Ini keinginan kamu, atau ada yang menyuruh kamu mengatakan itu?" Ardhan tidak bisa tidak curiga setelah Freya mengucapkan hal serupa."Keinginan aku.""Sayangnya, tidak bisa, Nak. Bagi anak-anak mungkin hal itu menyenangkan dan terlihat mudah. Tapi, tidak untuk orang dewasa.""Jadi orang dewasa ribet sekali."Ardhan tertawa. "Memang. Oh, iya, Vier. Papa minta, kamu tidak mengulangi apa yang sudah kamu lakukan kepada Maira. Kamu tahu perbuatan seperti itu tidak benar kan?"Xavier membelalak, lalu menunduk."Kali ini Papa memaafkan kamu, tapi tidak jika kamu mengulanginya lagi.""Iya, Pa."Ardhan merangkul Xavier agar anak itu merasa jika Ardhan bersahabat, sehingga Xavier bisa nyaman menceritakan semuanya. "Kenapa kamu melakukan itu, Nak?"Xavier tidak menjawab. Anak itu tetap menunduk."Papa tidak akan marah.""Aku ... aku mau buat Mama senang dan bangga soalnya Mama tidak menyukai Ta
"Kamu ini benar-benar, ya!" Sekar mengacungkan telunjuk di hadapan Lova. "Kamu itu bikin malu nama baik keluarga saya.""Memangnya salah saya apa, Bu? Saya diam saja selama di dalam. Mbak asing tadi yang menghampiri meja saya.""Kesalahan terbesar kamu adalah kembali ke sini.""Sepertinya kita sudah mendebatkan hal ini waktu itu. Jika Ibu ingin marah, silakan ke Mas Ardhan.""Sudah. Tapi Ardhan tidak mau dengar. Kamu pasti memakai guna-guna kan? Makanya Ardhan selalu memihak kamu.""Apapun yang saya katakan Ibu pasti tidak percaya, lalu, saya harus bagaimana?""Pergi dari hidup Ardhan!""Ada apa sih ini? Kenapa kalian di luar?"Sekar dan Lova menoleh ke sumber suara. Rafael dengan celana jeans robek dan kaos oblongnya langsung berbinar begitu melihat Lova. "Cinta? Kamu kembali? Oh, akhirnya." Pria itu merentangkan tangan hendak memeluk. Lova segera berlindung di belakang tubuh Sekar."Ih, apa sih kamu!"
"Almaira harus istirahat. Kalau ingin bertemu, besok saja," ucap Lova, lalu kembali menutup pintu.Namun, Rafael buru-buru menahannya. "Aduh, Cinta. Masa kamu melarang seorang ayah bertemu dengan putrinya?"Lova menghela napas. Rafael ternyata masih menyebalkan seperti dulu. Lova malas meladeninya. "Aku mohon, Rafael. Biarkan kami istirahat. Lagi pula, kedatangan kamu ke sini sangat tidak patut."Pria itu menyengir lebar. "Sejak kapan aku peduli suatu hal itu patut atau tidak?""Tapi aku peduli, jadi silakan pergi."Lova kembali hendak menutup pintu. Namun, lagi-lagi, keinginannya gagal. Kali ini Almaira yang menahannya. Dia langsung turun dari tempat tidur begitu mengenali suara Rafael."Om Ael!" serunya senang.Rafael mengangkat Almaira ke dalam gendongan. "Hai, jagoannya Om! Om sudah mendengar aksi heroik kamu. Keren, Mai."Almaira tersenyum karena mendapat pujian. "Aku pakai jurus yang diajarkan Om."
Selama menikah dengan Ardhan, Lova tidak pernah makan malam bersama Sekar. Sejak tadi, meskipun mereka terpisah meja, Lova bisa merasakan sorot intimidasi dari ibu mertuanya itu. Lova mungkin tidak setakut dulu. Namun, tetap saja, ditatap sinis seperti itu membuatnya tidak nyaman.Entah apa yang bisa membuat Sekar menerima Lova. Dia tidak mengharapkan itu, sebetulnya. Hanya saja, lama-lama Lova kasihan kepada Ardhan yang saat ini sedang berjuang sendirian merebut hati Chyara. Lova tahu Ardhan sebenarnya sedih melihat Sekar tidak menyukai Lova."Makanan kamu, Love." Ardhan menggeser piring berisi steak ayam yang sudah dia potong-potong sehingga Lova tinggal memakannya.Lova lantas tersenyum simpul. "Terima kasih, Mas."Pria itu membalas senyuman Lova. "Makan yang banyak." Ardhan menambahkan beberapa potong miliknya untuk Lova. Sekarang Lova sudah mulai nafsu makan lagi. Mual-mualnya karena aroma masakan perlahan berkurang."Bukankah kamu t
"Chyara, Vier, jangan main game terus, dong! Nanti Papa kalian marah," ucap Freya kesal. "Kalian itu harusnya belajar!"Xavier dan Chyara bergeming. Mata mereka fokus melihat gadget masing-masing. Keduanya bahkan tidak memedulikan kehadiran Freya yang berkacak pinggang."Vier! Chyara!" Freya sedikit membentak.Xavier mendengkus. "Apa sih, Ma? Mengganggu saja! Mama biasanya tidak melarang kita.""Iya." Chyara menyetujui."Sekarang Mama melarang kalian! Kalian cuma boleh main ponsel dua jam sehari." Freya melotot galak.Xavier mencondongkan tubuhnya ke arah Chyara, lalu berbisik, "Mama jahat, ya, Chy?"Chyara mengangguk. "Mama jahat!" kata anak itu.Emosi Freya sontak meninggi. Dia menjewer Xavier sampai anaknya itu mengaduh. Namun, Freya tidak melepaskannya. "Jangan mengajari yang tidak benar! Kamu itu kakaknya! Kamu harus jadi contoh yang baik!""Mama yang mengajari aku dan Chy. Mama itu mama kita. Mama
"Mama, Papa kapan pulang?" tanya Almaira sambil menopang dagu menggunakan sebelah tangannya. Tatapannya lurus mengarah ke halaman belakang."Jika urusan Papa selesai, Papa pasti pulang," jawab Lova.Ardhan sedang mengurus masalah di Jogja. Hotel baru Nuraga yang sedang dibangun ambruk. Berita buruknya, ada beberapa pekerja yang menjadi korban jiwa."Doakan saja semoga urusan Papa dimudahkan." Lova mengelus sayang kepala Almaira.Almaira manyun. "Aku tiba-tiba kangen Chy."Terakhir kali Almaira bertemu dengan sang adik saat resepsi. Chyara masih bersikap semena-mena. Almaira tidak lagi mengikuti semua keinginannya yang membuat Chyara marah. Namun, Almaira tetap ingin melihat adiknya itu."Kalau kamu mau bertemu adikmu, besok kita ke rumah Oma."Mata anak itu langsung berbinar. "Serius, Ma? Tidak apa-apa?"Lova tersenyum. "Tidak apa, kan, ada Mama.""Hore!" Almaira berseru girang.Besoknya Lova benar-benar membawa Almaira ke rumah Sekar sepulang dia dari sekolah. Mereka lebih dulu membe