Kecanggungan menyelimuti ruang tamu rumah Lova. Tujuh tahun tidak bertemu. Tujuh tahun tidak saling berbicara. Lova mengunci rapat-rapat mulutnya sambil memeluk Almaira dari samping. Sementara Ardhan menautkan kesepuluh jari tangannya. Sesekali dia membasahi bibir.Tidak ada yang banyak berubah dari Lova. Lova masih sama seperti tujuh tahun lalu. Namun, untuk Ardhan sendiri, guratan sudah muncul di sekitar matanya. Jika Lova teliti, maka dia akan menemukan warna helaian yang berbeda dari rambut Ardhan."Kenapa tidak ada yang berbicara?" tanya Almaira. Anak itu melirik Ardhan dan Lova bergantian. "Mama, jangan pegangi aku terus. Aku sulit bergerak."Ardhan menghela napas. "Saya tidak akan membawa Maira pergi jika itu yang kamu cemaskan," ucap Ardhan akhirnya.Lova memang terlihat ketakutan akan berpisah dengan Almaira. Ardhan sama sekali tidak ada niatan memisahkan ibu dan anak yang baru bertemu itu. Dia justru senang Almaira bisa bersama Lova seka
"Papa Ardhan," ucap Xavier sambil menyalami Ardhan yang tampak terkejut mendapat panggilan seperti itu. "Om kan mau menikah sama mama aku, jadi aku boleh dong panggil Om jadi papa?"Ardhan masih tidak tahu harus merespons seperti apa."Aku senang akhirnya Om Ardhan bakal jadi papa aku." Xavier tersenyum lebar. "Chy!" panggilnya kepada Chyara yang sedang main masak-masakan. "Kamu juga boleh panggil mama Frey."Chyara menoleh. "Boleh?"Xavier mengangguk. "Iyalah, boleh.""Hore!" Chyara berjingkrak-jingkrak.Freya tersenyum dari kejauhan. Ardhan itu lemah kepada anak-anak. Apa dia tega mematahkan hati mereka yang sudah menaruh harapan tinggi untuk pernikahan ini?"Vier, tidak boleh seperti itu," ucap Freya."Kenapa?""Om Ardhan kan tidak jadi menikah dengan Mama. Tante Lova sekarang sudah ditemukan."Raut Xavier berubah murung. "Jadi aku gagal punya papa?"Freya mengangguk.Xavie
"Mas Ardhan, lepas." Lova berusaha menarik tangannya dari cengkeraman Ardhan. Pria itu malah memojokkan Lova ke kitchen set. Kedua tangannya di letakkan di masing-masing sisi tubuh Lova, menguncinya."Maira ingin tinggal bersama kita," ucap Ardhan dengan sorot mata lurus menatap Lova.Lova menghela napas. "Tidak.""Pikirkanlah lagi. Demi Maira." Ardhan memohon."Aku melakukan ini juga demi Almaira. Sebagai seorang ibu, aku tidak rela melihat Almaira disakiti orang lain. Aku tidak mau Almaira dikelilingi orang-orang yang berpotensi menyakitinya. Aku hanya ingin melindungi Almaira.""Apa kamu pikir Maira tidak terluka karena orang tuanya tidak bersama?"Lova tahu anak akan selalu menjadi korban perpisahan kedua orang tuanya. "Aku yakin lama kelamaan Almaira akan beradaptasi dengan kondisi ini. Almaira pernah hidup hanya dengan satu orang tua saja. Lagi pula, Mas bisa menengoknya kapan pun Mas mau. Aku tidak akan melarang."
"Kapan Rafael bilang seperti itu?""Waktu pulang ke rumah Oma."Kurang ajar! Ardhan tidak akan jadi berterima kasih kepadanya. Bisa-bisanya Rafael mengatakan hal seperti itu kepada Almaira."Janda itu apa?" Almaira kembali bertanya. Dia memandang Lova dan Ardhan bergantian."Seorang perempuan yang sudah menikah, tapi berpisah dengan suaminya. Bisa karena suaminya meninggal, atau ...." Lova mencari kata yang pas dan mudah dipahami. "Tidak tinggal bersama.""Seperti Mama? Jadi Mama sudah janda?"Lova akan menjawab belum. Namun, Ardhan mendahuluinya. "Bukan. Mama bukan janda," ucap Ardhan. "Papa kan suami Mama. Mama baru akan menjadi janda kalau Papa lebih dulu meninggal."Lova menghela napas."Tapi Papa dan Mama tidak tinggal bersama.""Kamu mau Papa dan Mama tinggal bersama?" Ardhan menjadikan kesempatan ini untuk memancing Almaira.Anak itu mengangguk.Ardhan lalu menatap Lova yang justru membuang muka.Almaira melanjutkan ceritanya. Soal macam-macam kubotan yang dibelikan Rafael. Ard
Lova justru tidak bisa terlelap. Sudah lama sejak terakhir kali dia dan Ardhan berbaring bersisian. Waktu itu Ardhan gelisah di dalam tidurnya karena memikirkan Khatami. Saat itulah Lova tahu jika Ardhan sebenarnya mencintai istri pertamanya.Lova memutuskan pergi karena dia sangat lelah selalu menjadi yang disalahkan. Lova tidak ada niatan kembali. Dia sudah melepaskan semua cinta dan harapan yang dia punya. Namun, sekarang, di sinilah Lova.Jika Ardhan tidak mengancamnya, niscaya Lova akan tetap pada pendiriannya. Lova hanya ingin berdua dengan Almaira. Selama tujuh tahun Lova berusaha tetap hidup meski tanpa tujuan yang jelas selain mengumpulkan amal untuk akhirat. Saat Albi menghubungi soal Almaira, Lova seperti menemukan lagi kepingan kebahagiaan yang sudah lama menghilang.Lova tidak ingin berpisah dengan Almaira untuk yang kedua kali. Oleh sebab itu dia ada di sini."Love." Ardhan tiba-tiba memanggil. Bukan hanya itu saja. Ardhan juga melin
Kedatangan Sekar ke rumah Ardhan tidak lain dan tidak bukan untuk melabrak Lova. Sekar pergi bersama Freya yang memang ingin menyaksikan Lova dicerca oleh Sekar.Lova tengah mengawasi Almaira yang sedang mengerjakan PR ketika Sekar dan Freya tiba. Sejak memutuskan kembali, Lova tahu hari ini akan datang."Silakan duduk, Bu, Mbak," kata Lova, mengabaikan ekspresi tamunya yang tidak bersahabat."Tidak usah berbasa-basi kamu!" balas Sekar judes."Almaira ke kamar dulu ya." Lova membereskan buku Almaira dan mendorong punggungnya pelan.Almaira tampak tidak ingin pergi. Namun, Lova menggeleng. Tidak mengizinkan Almaira tetap di sana.Setelah memastikan tubuh Almaira menghilang di lantai dua. Lova beralih lagi pada Sekar. "Ada apa ya, Bu?" tanyanya santai."Kamu masih bertanya ada apa? Kenapa kamu kembali? Apa tujuan kamu sebenarnya?"Lova menghela napas."Saya kembali untuk Almaira.""Omong kosong!
"Love, apa ... kamu mengizinkan saya menikahi Freya?" tanya Ardhan begitu dia melihat istrinya duduk di ruang santai lantai dua.Lova mengalihkan tatapan dari layar laptop yang menampilkan grafik penjualan Lovara. Perempuan itu memandang Ardhan dengan kening mengerut. Pertanyaan Ardhan terlalu tiba-tiba dan tanpa basa-basi sehingga Lova perlu meyakinkan pendengarannya sendiri."Love?""Kenapa Mas izin ke aku?" Lova balik bertanya setelah yakin Ardhan memang sedang membicarakan pernikahan dengan Freya. "Bukankah laki-laki bisa menikah lagi tanpa izin istrinya?""Memang. Tapi saya tidak ingin seperti itu. Saya membutuhkan izin dari kamu."Ardhan menunggu dengan cemas jawaban Lova."Ter--""Jangan terserah, Love," ucap Ardhan memotong perkataan Lova. "Kamu yang harus memutuskan. Jika kamu melarang, saya tidak akan menikahi Freya."Lova menghela napas. "Kenapa harus aku yang memutuskan?""Karena kamu pentin
"Nuraga Memorial Park?" Almaira membaca tulisan yang tertera di gerbang. "Kita mau ke makamnya Opa dan Mama Tami?"Lova yang menuntun kedua putrinya mengangguk. Lova sangat ingin berziarah ke makam Khatami. "Kalian sering ke sini?""Tidak sering," jawab Almaira.Chyara merapatkan tubuhnya ke Lova. Dia suka menonton film horor bersama Xavier, jadi takut sendiri. Xavier bilang kuburan itu sarangnya setan."Kamu kenapa, Chy?" tanya Lova."Gendong." Chyara mengangkat kedua tangannya.Lova tersenyum, lalu menggendong anak itu. Lova meringis karena Chyara ternyata lumayan berat."Setan tidak akan muncul di siang hari," kata Almaira yang paham gestur adiknya. "Terus kata Papa, manusia itu lebih sempurna dari setan. Jadi kita tidak boleh takut ke setan.""Tapi di film setannya galak-galak.""Kan kita bisa meminta perlindungan ke Allah," ucap Lova.Almaira mengangguk menyetujui ucapan mamanya.