Keesokan harinya. Tepatnya sore ini Jharna dijemput supir dari kediaman Agustine. Tepat saat sampai, Agustine sendiri yang menyambutnya dan memberikan pelukan hangat selamat datang. Keduanya berjalan masuk dengan tangan Agustine senantiasa menggandeng Jharna, memperlakukannya hangat selayaknya keluarga sungguhan.
"Anakku masih berada di ruang kerja, mungkin nanti saat jam makan malam tiba dia akan keluar," ungkap Agustine sambil tersenyum kecil. "Baiklah, Bu. Aku mengerti." Masih ada rasa tak rela akibat perjodohan ini, dia takut kebebasannya semakin tipis sekedar mengekspresikan diri. Namun, Jharna tetap pada tujuan utama, membalas Agustine semampunya melalui calon suaminya nanti. Sedangkan Agustine menuntun Jharna ke lantai atas tempat atap yang telah di desain nyaman, guna bersantai. Di sana ternyata ada meja bundar berukuran sedang, beserta camilan dan teh. Keduanya duduk seraya menikmati pemandangan langit yang semakin larut berubah, menjadikan warna jingga menciptakan senja di akhir petang. Jharna termangu memandangi semua itu, sudah lama perasaan tenang seperti ini tidak datang berlabuh. "Bagaimana, kau menyukainya, hmm?" tebak Agustine di kala perhatian Jharna benar-benar teralihkan. Jharna mengangguk mengiyakan, kemudian menatap Agustine penuh linangan air mata. "Terima kasih, Bu, kau menunjukkan sesuatu yang indah untuk aku pandangi. Ini sangat berarti bagiku." Tangan wanita paruh itu menepuk lembut pundak kanan Jharna. "Senang mendengar mu, kalau menyukainya. Padahal ini sangat sederhana, aku bersyukur kau senang walau hanya hal kecil." "Bu, ini lebih dari yang kau pikirkan. Sebelum aku bertemu denganmu, aku jarang sekali menikmati pemandangan langit seindah senja, biasanya aku melewatinya kala pekerjaan selanjutnya berlangsung." Hati Agustine berdesir nyeri, perlakuan kecilnya amat berarti bagi Jharna. Tiada orang yang menghargai usahanya demi kebahagiaan seseorang, anak-anaknya saja tak mempunyai niat berkata demikian, malah mereka hanya membalas ucapan terima kasih tanpa mau menatap saking sibuknya bekerja. Usapan diberikan di kepala belakang Jharna. Sentuhan tersebut terasa nyaman, seolah-olah memang ada rasa kasih sayang di sana. Begitu pula Agustine, dirinya rela menuangkan perhatian untuk calon menantunya ini. "Hiduplah sesuai kemauanmu nanti, anakku bukanlah seseorang yang suka mengekang," cakap Agustine tiba-tiba. "Aku pikir itu akan sulit Bu," balas Jharna hati-hati. *** Pukul tujuh malam. Semua orang telah berada di meja makan, maksudnya tiga orang, dua lain alias anak Agustine tidak makan malam di mansion pada malam ini. Makan malam berjalan normal, tidak untuk Jharna. Dia tak habis pikir, jika pria yang sering dirinya lihat adalah anak Agustine sendiri. Si pria penyuka kopi itu duduk tenang dengan ekspresi datar, lalu fokus pada makanannya. Suasana tercipta canggung. Dua orang lainnya terlihat biasa sambil menikmati santapan malam. Semua berlangsung sekitar lima belas menit, lalu ketiganya melanjutkan obrolan di ruang keluarga, supaya terasa sedikit santai. "Perkenalkan, ini adalah Jharna Obelia. Dan Jharna, ini adalah anakku, Maximilian Kingston." Max mengalihkan perhatiannya. "Max." Jharna pula membalas singkat. "Aku Jharna." Agustine menggaruk pipi kirinya yang tak terasa gatal. Kedua tangannya lalu mengatup jadi satu, dan memangkunya di atas paha. Berkata, "Seperti sebelumnya, Ibu akan memperkenalkan seseorang padamu, Max. Dia adalah Jharna, janda yang memiliki satu anak." "Lalu, katakan maksudnya, Bu." Alisnya bertaut, mendengar ucapan sang ibu sambil menantikan kalimat selanjutnya. "Dia adalah calon istrimu, Jharna adalah pilihan Ibu. Maukah, kau menerimanya, Nak?" Mata tajam Max beralih ke arah Jharna yang kini menundukkan kepala. Tidak ketara kalau ada ketakutan atau apapun itu, jelasnya, di mata Max, Jharna hanya bisa berpasrah kala sang ibu menyampaikan maksudnya sedari tadi. "Pilihan Ibu selalu benar untuk anak-anaknya, untuk apa aku langsung menolaknya tanpa tahu bagaimana sosok yang ada di hadapanku ini? Semua adalah demi kebaikanku, bukan?" tanya balik dari Max. "Ah, jarang sekali kau banyak bicara begini. Tetapi, Ibu tak mungkin memberikan sebuah hal buruk untuk anaknya sendiri. Jikalau kau berkenan, Ibu bisa membiarkan kalian berbincang-bincang tentang satu sama lain." "Maka tolong beri kami ruang, Bu," pinta Max sembari memandang lurus ke Jharna. Agustine tersenyum bahagia, lalu berpamitan setelah menyuruh pelayan menyiapkan teh sebagai teman mengobrol. Kini keduanya benar-benar ditinggal oleh Agustine. Max menaruh ponselnya di atas meja dan memijat pangkal hidung, kemudian menatap Jharna. "Pasti ada sesuatu, mengapa Ibu menjodohkan kita berdua," cetusnya menyapa keheningan. "Saya tahu, ini sangat mendadak bagi anda, menikahi seorang janda yang sudah memiliki anak, itu mungkin dapat mencoreng harga diri anda." Jharna membenarkan perkataan Max. Tak ayal anggukan kecil tergerak. "Tapi saya ingin mengenal anda setelah pertemuan ini terjadi." Pria itu mengangkat alisnya, memandang Jharna datar, lalu tersenyum sinis. "Memang apa yang kau mau?" Jharna memainkan jemarinya. Membalas tatapan Max secara lekat. "Bukan apa-apa. Namun—mengapa anda menerima pernikahan ini?" Max memicing tajam sorot matanya, memberikan tatapan mengganggu bagi Jharna. "Aku hanya menjalani apa yang sudah ditentukan dan diberikan. Jadi, jangan berharap lebih dariku." Max bersandar pada sofa di belakang tubuhnya, lalu mengambil ponsel dan memainkannya di depan Jharna, seolah Jharna tidak semenarik itu. Sedangkan Jharna lumayan tertohok, berharap ada kebaikan di pernikahan keduanya ini. Hal tersebut cukup menyadarkan Jharna, bahwa pernikahan yang dilandasi pelunasan hutang takkan berjalan baik. Dia pun menahan air matanya, entah mengapa semakin hari dirinya semakin menyedihkan saja. "Maaf, saya permisi," ucap Jharna. Max berdeham singkat dan memfokuskan diri kembali pada ponselnya. Jharna berjalan ke arah kamar mandi tamu di lantai itu, hingga dirinya berpapasan oleh Agustine yang kebetulan ingin menghampiri keduanya di ruang keluarga. "Kau mau ke mana, Jharna?" Mata Agustine menelisik raut muka calon menantunya. "Apa Max berkata kasar padamu?" "Tidak Bu, aku mau ke kamar mandi tamu," ujar Jharna berupaya bersikap tenang dan itu berhasil. Agustine menghembuskan napas lega. "Kalau begitu, temui aku di ruangan tadi." Mendengar itu Jharna menggeleng pelan, lalu berdalih, "Maafkan aku. Anakku malam ini baru pulang dari rumah Bibiku, Bu. Jadi, bolehkah aku langsung pulang setelah buang air kecil?" "Oh, begitu ya. Baiklah, nanti Ibu bicarakan kepada Max dan menyuruhnya mengantarkan dirimu," putus Agustine yang baru ingin Jharna tolak, akan tetapi Max muncul dari arah ruang keluarga. "Ibu, maafkan aku. Aku harus melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda," sela Max dan menatap Jharna sekilas. "Kita masih memiliki supir, jika kau lupa." Max melenggang pergi, menghadirkan rasa tak enak di hati Agustine. Di sisi Jharna, wanita itu mencoba menyikapinya dengan biasa saja, karena tidak mau menimbulkan keributan, akibat perihal kecil. "Kau harus terbiasa dengan sikap dan mulut pedasnya. Jangan menyerah pada Max, aslinya Max adalah seorang pria baik, walau datar dan dingin, pria itu masih sayang keluarganya." Jharna menghela napas pelan, tangannya terangkat mengusap lengan Agustine agar tak terlalu dicemaskan hubungannya bersama Max, dikarenakan ini tahap awal keduanya saling mengenal. "Baiklah Bu, aku paham, tak perlu dipikirkan. Aku baik-baik saja." Akhirnya Jharna menyelesaikan urusannya dan bergegas pulang, tak lupa dirinya pamit terlebih dulu pada Agustine yang menunggu. Mobil mewah tersebut membawa Jharna keluar dari pekarangan luas mansion Kingston. Di ruang kerjanya, Max berdiri di depan jendela sambil memperhatikan mobil yang berisi Jharna di dalamnya. Wajah datar khas miliknya sungguh membuat orang di sekitarnya kurang nyaman, apa lagi tersirat ekspresi Jharna kala di dekat dirinya. Pekerjaannya menumpuk dan harus mengantar Jharna? Lebih baik mementingkan pekerjaannya terlebih dahulu, agak egois, namun begitulah jalan berpikir Max tentang kehidupannya saat ini. Selagi ada supir di mansion, Max tak harus susah payah mengantar Jharna pulang."Ibu!" seru seorang anak menghampiri Jharna, kaki kecilnya berlarian dan menabrakkan diri ke sang ibu di saat tubuh wanita itu direndahkan. Jharna memilih berjongkok guna menyamakan tinggi sang anak. Memeluk erat buah hatinya sembari mengusap punggung mungil itu. "Ibu merindukanmu, sayang." "Aku juga, Bu!" balas anaknya riang. "Jharna, bisakah kita bicara sebentar? Sebelum itu, mari mengobrol di dalam," pinta seorang wanita, dia adalah bibinya Jharna. Jharna lumayan memahami situasi serta langsung menyetujui, sehingga dengan lembut dirinya membawa sang anak pula masuk ke rumah, ditambah malam kian larut. Setelah di dalam sana, Jharna menidurkan sang anak kala usai membersihkan diri, dia adalah Aidan Benjamin. Sesosok anak kecil lugu nan polos, hidup dalam penuh kesengsaraan akibat ulah dirinya dan mendiang suaminya sendiri. Kini Jharna bisa berekspektasi bagaimana mendambakan realitas sosial dengan lingkungan baik untuk Aidan. Namun, lamunan Jharna buyar ketika ketukan pintu k
Tiga hari kemudian. Jharna dan Max kini berada di butik rekomendasi dari Agustine. Kualitas serta pelayanan di sana sangat bagus, terutama desain menarik sudah Agustine pilihkan secara khusus, lalu tinggal Jharna memilih yang mana akan dipakai nanti di hari pernikahan. Max sendiri tetap diam, mengiyakan saja sambil sibuk melanjutkan pekerjaan melalui ponsel. Sehingga tidak lama Jharna selesai, perhatian Max tak sedikitpun sepenuhnya ke arah Jharna. Pria itu juga memilih tuxedo senada dengan gaun pilihan Jharna, menyempatkan sedikit waktu hanya demi pakaian. Ada rasa kecewa mendapatkan perlakuan tersebut. Jharna berusaha abai dan fokus pada diri sendiri. "Bisakah kau pulang menaiki taksi?" tanya Max tiba-tiba. "Tentu saya bisa," jawab Jharna seadanya tanpa menatap Max. Sedangkan Max barusan memang bertanya sembari melirik sekilas ke Jharna, tapi berbeda hal oleh Jharna sendiri. "Kalau begitu—" "Saya permisi Tuan," putus Jharna cepat di saat sebuah taksi berhenti dan menurun
Jam makan siang akhirnya tiba. Karena memang tak bisa tidur lagi, Jharna memutuskan keluar kamar. Satu jam lamanya dirinya di dalam sana sembari melamun, memikirkan apa saja yang membuatnya tenang sendiri. Setiap orang mempunyai caranya, dan itulah caranya sendiri. Di ruangan Max ternyata ada seorang wanita cantik, berpostur tubuh indah sempurna, lalu menatapnya yang baru keluar dari kamar pribadi si CEO. Dari cara bicaranya 'lah langsung ketebak bagaimana watak si wanita. "Aku baru tahu jika Max berani menyewa jal*ng," tuduhnya sinis, bermaksud merendahkan Jharna. Apakah Jharna mau membalas? Oh, tentu tidak. Dia mengabaikan wanita asing tersebut sambil melangkah ingin keluar. Bertepatan oleh Max yang masuk kembali dan menarik lembut Jharna. Menyuruhnya duduk di depan si wanita tadi. Jharna menghela napas dan malas berdebat. Wanita berpenampilan glamor serta sangatlah fashion able itu mengangkat dagu angkuh, matanya menelisik cara berpakaian Jharna dari kepala hingga ujung kaki
"Jharna!" panggil seseorang.Jharna dan Aidan menoleh kompak ke asal suara di balik punggung mereka. Seorang pria dengan lesung pipi tengah berlari menghampiri. "Aku menunggu kalian, mengapa baru pulang di jam segini?" cecar Theodor sambil melihat arloji di pergelangan tangan kiri. "Hampir saja aku pulang, kalau tak sabar."Gurat sesal amat ketara di wajah Jharna. "Maaf, kami baru saja pergi ke suatu tempat. Aku bahkan lupa memeriksa jam, sehingga tak terasa waktu berlalu begitu cepat, Theo."Theodor tersenyum kecil, lalu melirik Aidan yang sedang menahan kantuk. "Ya sudah, tampaknya kalian butuh istirahat.""Maaf kalau aku datang tanpa mengabarkan mu," lanjutnya seraya mengusap kepala Aidan. "Tunggulah sebentar, aku akan menaruh Aidan terlebih dahulu," putus Jharna, langsung membalikkan badan dan masuk ke rumah. Theodor tak memungkiri jika ada hal penting yang ingin dirinya sampaikan. Apa lagi Jharna seperti tidak ke
Sejak hari di mana Jharna kepergok oleh sang calon suami, dirinya kini merasa selalu diawasi setiap pergi keluar rumah. Perihal itu pula, dirinya harus menghadapi hari menjelang pernikahan, dengan hanya menghitung hari menggunakan jari. Kegiatannya pun di atur. Jharna juga sudah tidak diperbolehkan bekerja di kafe, walau dirinya sendiri masih ingin. Meski begitu, atas perintah Agustine, Jharna akhirnya mengikuti kemauan wanita paruh baya tersebut. Di lain sisi, dirinya merasa tak enak hati, karena hutang bank dan rentenir telah dilunasi oleh Agustine. Hutangnya jadi tidak menumpuk di mana-mana. Akan tetapi justru berat di diri Jharna tentang balas budi. Memikirkan hal itu membuat dia menghela napas. "Bahkan, jika aku menggantikan semua uangnya, pasti butuh waktu seumur hidup.""Kau menaruh hutang di mana lagi?" Jharna terkesiap mendengar pertanyaan seseorang. Kepalanya menoleh, lalu menatap pria yang enggan dirinya pikirkan sedari kem
Di hari ketiga Jharna tinggal bersama keluarga kecil Kingston, dirinya diperlakukan selayaknya tuan rumah. Para pelayan ataupun pengawal menunduk hormat kepada Jharna. Di hari yang sama pula, kini dirinya tengah menghibur diri menonton sebuah berita di salah satu saluran televisi yang menayangkan tentang seorang pengusaha muda sukses. Nama Maximilian Kingston muncul beserta foto tampannya di layar. Mata Jharna terbuka sempurna setelah si pembawa berita menampilkan cuplikan sesi wawancaranya bersama Max. Namun bukan itu, akan tetapi, apa yang Max sampaikan sungguh membuat dirinya tak menyangka. Ia kira Max tidak mau memberitahukannya kepada publik. "Jadi, apa rencana anda selanjutnya ke depan, mengenai bisnis yang sudah berkembang pesat hingga ke mancanegara?" tanya si pembawa berita cukup antusias. Max tampak berpikir sejenak. "Untuk sekarang saya tidak memikirkan rencana khusus, tapi ada yang mesti saya sampaikan pada khalayak." Raut wajah pembawa itu mengernyitkan. Rasa pe
Dua hari sebelum pernikahan. Di kediaman Kingston terdapat seorang wanita bertamu di pagi hari dengan raut wajah datar, tatapannya tampak tajam pada siapa saja yang melihatnya. "Nona selamat datang—""Di mana wanita tua itu?" tanyanya menyela cepat. Si pelayan menjawab cepat sambil menundukkan kepala. "Nyonya berada di ruang pribadinya, Nona."Tanpa menyahut lagi, wanita itu melenggang pergi ke arah ruangan yang dituju. Setiap pelayan atau pengawal dilewatinya akan memberikan tundukkan kepala, tidak berani menatap, bahkan sekedar melirik jika tak diberi izin. Wanita itu melangkah menggunakan kaki jenjangnya. Di depan matanya sebuah pintu besar tertutup, dengan cepat dia membuka kasar dan membantingnya, hingga suara benturan gagang pintu bersama dinding terdengar. Agustine terlonjak kaget dibuatnya, saat waktu membaca bukunya terganggu oleh seseorang. Namun kala matanya bergulir ke ambang pintu, seorang wanita berumur tiga pul
Hari pernikahan. Janji suci tersebut berikrar di depan pendeta dan para tamu undangan. Jharna dan Max akhirnya resmi menjadi sepasang suami istri dengan ikatan janji suci dibeberapa menit yang lalu. Kini perasaan gusar tergantikan debaran hebat. Jharna sulit menampik seberapa gugup dirinya, yang jelas semuanya tampak seperti mimpi.Acara resepsi pun tiba. Di mana sepasang pengantin berdiri dan menerima ucapan selamat dari para tamu atau sanak keluarga atas pernikahan mereka. Ada sepasang mata menatap terpesona, bercampur kecewa amat kental di sorot kedua netra berwarna langit malam itu. Dirinya kira Max bercanda kalau mereka adalah calon—ah, dia lupa, jika sekarang Jharna resmi menjadi istri pria lain. Lura berjalan ke arah Theodor, menepuk pelan pundak pria itu, hingga lamunannya buyar dalam sekejap. "Bibi menunggumu menyusul Jharna ke pelaminan, Theo.""Tenang saja, aku akan menikahi wanita cantik dan baik hati seperti Jhar