Dua hari sebelum pernikahan. Di kediaman Kingston terdapat seorang wanita bertamu di pagi hari dengan raut wajah datar, tatapannya tampak tajam pada siapa saja yang melihatnya.
"Nona selamat datang—""Di mana wanita tua itu?" tanyanya menyela cepat.Si pelayan menjawab cepat sambil menundukkan kepala. "Nyonya berada di ruang pribadinya, Nona."Tanpa menyahut lagi, wanita itu melenggang pergi ke arah ruangan yang dituju. Setiap pelayan atau pengawal dilewatinya akan memberikan tundukkan kepala, tidak berani menatap, bahkan sekedar melirik jika tak diberi izin.Wanita itu melangkah menggunakan kaki jenjangnya. Di depan matanya sebuah pintu besar tertutup, dengan cepat dia membuka kasar dan membantingnya, hingga suara benturan gagang pintu bersama dinding terdengar.Agustine terlonjak kaget dibuatnya, saat waktu membaca bukunya terganggu oleh seseorang. Namun kala matanya bergulir ke ambang pintu, seorang wanita berumur tiga pulHari pernikahan. Janji suci tersebut berikrar di depan pendeta dan para tamu undangan. Jharna dan Max akhirnya resmi menjadi sepasang suami istri dengan ikatan janji suci dibeberapa menit yang lalu. Kini perasaan gusar tergantikan debaran hebat. Jharna sulit menampik seberapa gugup dirinya, yang jelas semuanya tampak seperti mimpi.Acara resepsi pun tiba. Di mana sepasang pengantin berdiri dan menerima ucapan selamat dari para tamu atau sanak keluarga atas pernikahan mereka. Ada sepasang mata menatap terpesona, bercampur kecewa amat kental di sorot kedua netra berwarna langit malam itu. Dirinya kira Max bercanda kalau mereka adalah calon—ah, dia lupa, jika sekarang Jharna resmi menjadi istri pria lain. Lura berjalan ke arah Theodor, menepuk pelan pundak pria itu, hingga lamunannya buyar dalam sekejap. "Bibi menunggumu menyusul Jharna ke pelaminan, Theo.""Tenang saja, aku akan menikahi wanita cantik dan baik hati seperti Jhar
"Kalian benar-benar pasangan serasi. Ibu senang melihat kalian berdua berdampingan begini." Senyum merekah dari bibir Agustine hanya dibalas senyuman tipis oleh Jharna, Max sendiri masih mempertahankan ekspresi datarnya itu. William di sisi lain meja makan tampak tidak berminat lagi sarapan, alat makannya dia hempas kasar dan meninggalkan ruangan tersebut. Dentingan alat makan terpusat ke arah William. Agustine terkejut karena mendadak William pergi begitu saja. Menghadirkan rasa cemas, lalu memutuskan menyusul anak bungsunya itu. Kini tinggal Max dan Jharna serta Aidan. Anak kecil itu lebih diam dari biasanya, membuat Jharna mencoba membuka suara dan tak memperhatikan Max di sampingnya. "Apa kau mau memakan yang lain?" tawar Jharna, sebab anaknya terlihat tak nafsu makan. Sedangkan Aidan menggeleng pelan, lalu menatap Jharna dengan tatapan polos. "Bu, bolehkah kita pulang saja?" "Kenapa kau tiba-tiba mau pulang, hmm? Mansion ini sekarang menjadi tempat tinggal kita, N
Kegiatan monoton setiap hari dijalani seorang Jharna. Sejak tempo hari, lebih tepatnya delapan hari lalu, dirinya hanya berdiam diri di kediaman Kingston. Ditambah ada berita hangat tentang dirinya yang ternyata pernah menjadi pasangan pesta bersama Theodor di pesta gala. Gunjingan serta kehidupan lama menyeruak bagai gas bumi yang coba ditimbun, sayangnya seseorang seperti menggalinya secara dalam, sehingga orang-orang beserta wartawan mendapatkan informasi hasil yang tak tahu dari mana datangnya. Jharna menghela napas ketika mematikan televisi. "Puaskan saja diri kalian, dasar pembual."Kemudian Jharna bangkit dan berjalan ke arah ruangan Aidan belajar. Di sana ada seorang guru wanita mengajarkan segala sesuatu kepada sang anak, mau itu pelajaran umu ataupun etika. "Setidaknya, pendidikan anakku sejak dini terjamin," gumam Jharna sembari tersenyum tipis. "Ternyata kau di sini." Jharna menoleh mendengar seseorang di belakang tubuhnya mengeluarkan suara. "Aku dan Mac ingin berbinc
Suasana akhir pekan yang penuh ketenangan di kediaman Kingston. Agustine sudah lama tak terlihat, wanita paruh baya itu pergi setelah mendapat kabar, bahwa anak sulungnya akan pulang. Jharna mengingatnya jadi iba, dimusuhi oleh anak sendiri yang dia lahir 'kan, sungguh menyakitkan hati seorang ibu. Dari Agustine pula tiada upaya berarti untuk memperbaiki semuanya, seakan menerima takdir dengan lapang dada. Agustine sebelum pergi sempat berbincang dengannya. Kebingungan pun akhirnya melanda kembali saat kalimat ambigu dari Agustine amat kentara. "Cintailah putraku seperti dulu, dia selalu menantimu walau mulutnya terus memilih bungkam. Aku percaya padamu, Jharna." Itu kalimat pertama Agustine sebelum Jharna benar-benar sadar. "Jadi kalian mengenalku? Seberapa lama?" tanya Jharna kala itu. Agustine tersenyum tipis menanggapi, lalu berkata, "Tidak perlu aku jawab sekarang. Kau akan menemukan jawabannya send
Dentuman benda tumpul jatuh menghantam lantai, karena bobotnya dan tekstur yang padat, membuat retakan sekitar benda itu timbul ke permukaan. Tidak, itu bukan terjatuh ternyata.Lebih tepatnya baru saja terlempar dan melewati pembatas pelindung lantai. Suara geraman menyusul setelahnya, alat angkat beban ringan seperti barbel ukuran sedang melayang ke arah kaca. Prang! "Sialan, aku lebih dulu memasuki kehidupannya. Mengapa wanita yang aku cintai tidak berakhir denganku!" teriaknya mengeluarkan amarah. Asisten pribadi yang biasa mengikuti kegiatan sang tuan pun terlonjak kaget, akibat suara memekakkan telinga di dekatnya amat lantang. Di tambah pecahan kaca serta lantai hampir mengenainya barusan. "Katakan, ada kabar apa lagi?" tanya pria bertubuh atletis tersebut. "Non—nona Mackenzie tampaknya tidak setuju dengan pernikahan Tuan Kingston sampai sekarang, Tuan. Dan Nona dari keluarga Marleigh juga mempunyai perasaan khusus untuk Tuan Kingston sendiri," jelas si asisten, panggil sa
"Berani sekali kau mengatur kehidupanku. Memang siapa dirimu, jika tak ada marga Kingston di nama rendahan itu? Kau hanya sebagian debu tidak berarti di dunia ini!" bentak Mac habis-habisan, sambil jari telunjuknya mendorong bahu Agustine. Agustine menangis sesegukan, dia luruh ke lantai. Kedua tangan mengatup menjadi satu, seperti memohon seraya menundukkan kepalanya. "Jangan begini, Ibu tidak sanggup, Mac. Kau belum harus tahu semuanya, tapi tolong maafkan Ibu," pinta Agustine. "Cih, kau pikir aku akan percaya? Di mana otakmu sebagai orang tua? Merasa pantas mendapatkan karena telah melahirkan diriku?" cecar Mac tajam. Matanya mendelik seakan mau keluar dari tempatnya, bahkan Agustine sendiri sama sekali tak berani menatap sang anak barang sedetik pun. "Tidak. Justru aku menyesal, mengapa aku harus terlahir dari rahim kotor mu itu!""Haaa ... ah, Mac, kenapa kau jadi kasar seperti ini? Aku Ibumu, Nak!" sahut Agustine benar-benar merasakan sakit luar biasa. Kemudian Mac dengan ka
Suasana duka menyelimuti kediaman resmi Kingston. Terkecuali Mac, dia memasang wajah datar andalannya, sikap dinginnya pula menjadi sorotan ketika mengantarkan peti berisi sang ibu ke tempat tinggal terakhirnya. Max sendiri merasakan kehilangan untuk ketiga kalinya, dia harap sang ibu adalah hal terakhir dalam suatu kehilangan.William pun serupa, anak bungsu dari keluarga Kingston ini seakan masih tidak percaya, bahkan tatapan kosong sejak memakamkan ibunda tercinta terus saja bertahan sampai dirinya kembali ke mansion. Ada dua orang yang memilih diam dan mengasingkan diri seolah memang merasa takkan pernah pantas di keluarga itu. Jharna dan juga Aidan, ibu serta anaknya selalu mematuhi aturan langsung dari Mac. Alih-alih menolak, Jharna berpikir kalau lebih baik menurut. Di sini, di ruang keluarga mereka berkumpul. Kesunyian di awal bukanlah hal tidak biasa. "Pewaris sudah ditetapkan, tapi aku memberikan semua itu padamu, Max. Jadi, aku mau kau mengambil keputusan setelah kemati
Tubuh ringkihnya tersentak, karena lampu kamar mendadak menyala sendirinya. Kondisinya sekarang amat memalukan. Sehelai handuk membalut sederhana tubuh polos tanpa satu pakaian terpasang. Jharna membalikkan tubuhnya sambil mengeratkan handuk di depan dada, saat mengetahui siapa pelakunya. Membuat semuanya terpusat di sana, lalu lupa akan punggungnya juga terekspos bebas. Menampilkan betapa mulus kulitnya yang cerah. "Bagaimana jika orang lain masuk kamar? Dasar ceroboh," rutuk Max sembari menatap dalam sosok Jharna. "Maaf, tapi—bisakah kau keluar sebentar? Aku mau mengambil pakaian," cicit Jharna kepalang malu. Dia membeku, seolah seluruh anggota tubuhnya benar-benar lumpuh seketika. Max mengangkat satu alisnya. "Buat apa? Kita 'kan suami istri."Jharna memaki kebodohannya. Di posisi berjongkok seraya menenggelamkan muka, Jharna enggan menoleh. "Pakai bajumu, malam kian larut dan angin semakin dingin," tegur Max melangkah mendekat. "Se—sebentar saja, aku mohon keluar," pinta Jha
"Apa berita tempo hari cukup menghibur anda, Tuan?" Seseorang yang sedang dia tanya tak langsung menoleh.Max, dirinya tengah memandangi foto cantik Jharna melalui ponselnya. Perhatiannya harus teralihkan, karena pertanyaan menarik dari Austin barusan. "Ya, lumayan. Apa ada masukkan tentang bumbu tambahan?"Austin diam-diam tersenyum miring. "Tentu ada, Tuan-ku. Bumbu penyedap mana yang paling bagus, agar masakan tersebut kian sedap dirasa?""Saya menyarankan pemanis, seperti gula," tambah Austin bersemangat.Kening Max berkerut sesaat, lalu tak lama kepalanya mengangguk. Benaknya sampai membayangkan, rasa puas hasil kinerja anak buahnya satu ini. Perlahan-lahan bibirnya membentuk seringai menyeramkan. Dia gemar sekali hal yang menurutnya pantas dimasak. Contohnya, yang sedang mereka perbincangkan sekarang."Tampaknya aku mesti memberikan bonus untukmu, Austin," cetus Max sempat berpikir. "Lakukan apa maumu terhadap masakan yang sedang kau pegang. Janjikan aku hasil memuaskan nantinya
Oliver menggaruk kepala belakangnya, ada rasa malu menghinggapi dirinya sejak memasuki kamar. Kekasihnya, Mac, tak mau berpisah kamar dan hanya ingin bersamanya. Dua insan yang sedang melakukan kegiatan masing-masing sesekali mencuri pandang ke satu sama lainnya.Mac menutup kasar laptopnya. Kini tatapan tajam menghadap Oliver sepenuhnya dia berikan. Wanita itu berpindah, mengikis jarak yang hampir membuat Oliver bangun. Tangannya mencekal lembut menghentikan pergerakan Oliver bersama kegugupan sang pria amat kentara kental di mimik wajah tampannya tersebut."Mau ke mana?" Oliver segera menggeleng cepat saat Mac melayangkan pertanyaan.Tiba-tiba Mac kembali bergerak, lalu duduk mengangkang di pangkuan Oliver, mengalungi pinggang kokoh sang kekasih menggunakan kaki jenjangnya. Kedua tangannya memegang pundak, seraya tatapannya kian serius. "Masih ingat janjimu setelah kita keluar dari sini nantinya?"Oliver menghembuskan napas lega, dia kira Mac mau melakukan hal tidak-tidak di kediama
Dua hari berikutnya, Max memenuhi permintaan Jharna. Memulangkan anak tirinya ke rumah mereka sekarang ini. Pria itu semakin menerima kehadiran Aidan, walau anak itu bukanlah dari benihnya sendiri. Kehadiran calon anak mereka berdua seolah berdampak aura positif ke sekitar, hingga berpengaruh ke kehidupan Max. "Jadi aku akan mempunyai seorang adik?" tanya seorang anak kecil, tiada lain ialah Aidan. Sirat bahagia serta antusias ternyata juga membubuhi hati anak itu, membuat Jharna dan Max menganggukkan kepalanya serentak. "Wah, akhirnya!" "Apa kau sangat senang?" Max menggali sedikit kejujuran sang anak. Tentunya Aidan tanpa berbohong mengangguk semangat. "Sangat, sangatlah senang, Ayah!" "Aku berjanji akan menjadi seorang kakak yang baik," lanjutnya tersenyum lebar, menunjukkan deretan gigi susu. Max menoleh ke Jharna. Jharna memahaminya pun mengusap sayang lengan kekar nan kokoh tersebut, pertanda semuanya dapat berjalan lancar. Rasa haru sulit Max bendung, tapi kali ini dia
"Hmm, pagiku disambut dengan berita terbaru ini—adalah hiburan," gumamnya menonton tayangan televisi. Kedua lesung pipinya tampak terbentuk, setelah sadar ulah siapa atau dalang di balik berita menggemparkan jagat media. Di luaran sana pasti khalayak telah menggunjing habis-habisan dua orang itu. Apa lagi dia tahu wanita di dalam berita, yang tengah menjadi sorotan perbincangan panas. Dia hanya menggelengkan kepala tidak habis pikir. Ada untungnya sempat menurut oleh pria itu, kalau tidak, semua keburukan yang dirinya sembunyikan bertahun-tahun akan terbongkar dengan cara melebihi kasus perselingkuhan sekaligus hal mengejutkan lainnya seperti di berita pagi ini. Ya, setidaknya menuruti keinginan ego adalah pilihan terbaik, ketimbang mengutamakan perasaan sendiri. "Mau bagaimana lagi, aku masih mencintai Jharna. Sekeras aku menepis kenyataan dan berusaha melupakannya, bagian terbaik ialah mencoba meletakkan dirinya di lubuk hati terdalam. Meski aku tersiksa sendirian, namun bayan
Setelah sekian lama tidak memberi waktu pada dirinya sendiri, terutama mengistirahatkan mentalnya agar selalu terkendali dengan baik, Jharna kini tahu permasalahan tersebut selama dirinya sudah menerima Max kembali. Tanpa sadar dia menyisihkan celah buat mengaturnya sesuai keinginannya sendiri. Memanipulasi car berpikirnya dan tak serta-merta turut andil dalam permainan emosi. Sehingga menciptakan ruang di hati Jharna supaya mau terbuka, terlebih memaafkan atas kesalahan pria selaku suaminya. Entah itu perbuatan masa lalu atau masa sekarang yang tengah mereka jalani. Rasanya helaan napas berat adalah isyarat kurang tak nyaman, gambaran tepat mengenai suasana hati. Bahkan, raut wajah tanpa ekspresi enggan sekali menampilkan sedikit empati. Sayangnya, semua tidak bertahan lama. Jharna mempunyai sisi berpasrah serta firasatnya mengatakan, harus mau bersabar menghadapi Max. Dikarenakan pria itu pintu masuk penderitaan juga pintu keluar menuju kebahagiaan. Dia harap pun begitu. "Apa
Pada malam harinya di restoran mewah berbintang lima. Max memutuskan mengajak Jharna menikmati suasana malam, hitung-hitung melepaskan penat setelah rasa letih mempengaruhi akibat kegiatan di kantor memuakkan. Rencananya Max mengajak Jharna ke tempat lain selain restoran nantinya. Jharna sendiri menuruti apa kemauan Max, sampai keduanya tak perlu pulang dan hanya membersihkan diri di kamar pribadi milik Max di ruang kerjanya. Terlebih, di sana sudah tersedia sebuah gaun indah nan anggun. Sama sekali tidak menunjukkan desain lekukan tubuh berlebih, tampak sangat sopan seperti gaun formal. Kini Jharna telah siap. Wajahnya di poles tipes dengan riasan sederhana, di tambah max juga baru keluar dari kamar mandi, mampu mengalihkan sebentar pandangan Jharna. "Apa gaun ini kau yang memilihnya?" Max berjalan menghampiri sang istri sembari mematri senyuman di bibirnya. "Tentu, khusus untukmu, hanya boleh aku menilai seberapa layak pakaian melekat di tubuh ini. Sekarang kau adalah istriku,
Sepasang mata memicing tajam menilai ingatan yang lama tenggelam akibat larut dalam waktu. Alisnya menukik seraya menggigit kuku jari, merupakan kegiatan ini biasa dirinya lakukan. Kendati usai, dia justru semakin memikirkan jika ada kegagalan saat rencananya dimulai."Tidak, aku tidak boleh teralihkan. Dulu Max dan aku memang mempunyai kehidupan damai disertai canda-tawa menghias hubungan kami, meski itu terjadi pada waktu remaja," gumamnya, bermonolog. Kini kedua tangan terlipat di depan dada, matanya tergambar jelas hati yang tengah was-was entah mengarah tak tentu. Helena berharap Max melirik dirinya seperti dulu mereka menghabiskan masa remaja. Dia jadi ingat setelah mengulik ingatan lampau pada masa itu. Sesosok remaja perempuan perempuan berhasil merebut hati Max."Wajahnya samar sekali. Ingatlah, Helena, siapa dia!" rutuknya berusaha mengingat wajah remaja perempuan, yang mengalihkan perhatian sang pujaan."Aku hanya mengingat warna rambutnya, coklat. Tidak lainnya," lirih He
Jharna menerima beberapa suapan di waktu sarapannya pagi ini. Pria berstatus sebagai suaminya itu selalu melimpahkan perhatian sedari dirinya membuka mata, entah hanya mengantarkan dirinya ke kamar mandi atau perlakuan kecil lain. Padahal dia masih mempu melakukan semuanya sendiri, tapi Max gigih ingin memberikan hak terbaik untuknya. Ditambah lagi saat mendengar penjelasan dokter mengenai kesehatannya, ternyata Jharna terlalu lelah melakukan kegiatan ranjang dan Max sendiri selaku suami berterus terang tanpa ada yang ditutupi, meski jujur saja Jharna malu dibuatnya. Apa lagi dokter seolah memaklumi setiap Max menjelaskan. "Apa ada seseorang yang merawat Aidan di rumah?" Pergerakan tangan Max berhenti, mengambang di udara sebentar dan kembali menyuapi Jharna. "Tentu ada. Di sana banyak pelayan yang rela menjaga Aidan dua puluh empat jam," jawab Max tenang. "Ya, aku tahu itu. Namun, di mana keberadaan Bibi Rula sekarang? Sampai saat ini aku belum menerima kabar apapun darinya, M
"Kenapa kau terus menatapku begitu, hmm?" Jharna menggeleng pelan, lalu dia mengalihkan tatapannya. "Benarkah cintamu untukku itu nyata?" lirih Jharna bertanya tanpa melirik Max di dekatnya. Kegundahan selalu bersemayam di hati, keyakinannya baru beberapa persen karena akhir-akhir kepalanya sakit luar biasa.Max sendiri terdiam, terbungkam keheningan di tengah-tengah pertanyaan yang semestinya tak perlu ditanyakan lagi. Sesaat dirinya hampir larut di lamunan semu, kemudian tersenyum tipis sambil menggapai dagu Jharna, membuat Jharna menengadahkan kepala supaya matanya menatap dirinya sepenuhnya sekarang. "Pertanyaan bodoh. Tentu aku mencintaimu sejak lama, kau sendiri memilih pergi dan tak percaya. Ya, aku harus apa?" Jharna tertegun. Lalu membuang pandangan ke samping, tetapi Max mencegah gerakkannya itu. "Mau mengelak serta berlari sejauh kau bisa, aku tetap akan menarikmu kembali, Jharna. Meyakinkan, jika perasaan ini nyata, walau kau sadar sendiri semuanya selalu kau tepis.""Ap