"Eugh ... pinggangku sakit sekali rasanya," keluh Jharna mengernyitkan wajah. Di sampingnya, sang anak menatap khawatir ibunya, karena sejak tadi siang ibunya selalu berjalan tertatih. "Ibu, apa sangat sakit?" Jharna menoleh ke Aidan. Dia tersenyum kecil seraya tangannya mengusap lembut kepala sang anak. "Sakitnya akan hilang dengan sendirinya, sayang." "Benarkah, Bu?" tanya Aidan memastikan. Jharna mengangguk dan membantu Aidan duduk di kursinya. Mereka berdua melanjutkan perbincangan ringan tentang Jharna menanyakan kegiatan Aidan seharian ini. Aidan menceritakan jika masih tetap dapat bimbingan dari guru etika. Terkadang anak kecil itu sempat mengeluh, karena lelah dan menghafalkan banyak aturan di kalangan atas. Jharna pun tidak dapat memungkiri, kalau didikan Agustine layaknya kaum bangsawan, namun ketat. Sedangkan untuk Aidan sendiri menurutnya terlalu dini. Apa lagi nanti Aidan memasuki sekolah bergengsi, itulah mengapa Aidan harus dididik sejak awal, agar tak mem
Pantai adalah tujuan mereka, dikarenakan Max sudah mengaturnya. Begitu cepat pria itu menyiapkan segalanya untuk mereka berdua. Apa lagi binar kebahagiaan sangat kentara di ekspresi Aidan, membuat Jharna ikut merasa senang atas semua ini. "Aku mau berdamai," kata Max tiba-tiba. "Berdamai untuk apa? Apa ini karena kepergian Ibu?" Pria selaku suaminya menggeleng pelan dan menoleh seutuhnya ke arah Jharna. Max kemudian memandang lurus kembali ke depan. Di mana Aidan ditemani pelayan, sedangkan mereka beristirahat sebentar. Senyuman tipis tertarik dari kedua sudut bibir Max sekarang. "Atas sikap dan tingkahku, entah menyakiti dirimu tanpa tahu disengaja atau bukan sekalipun. Jelasnya, aku meminta maaf untuk semuanya. Sedari awal kita mengenal, kesan buruk selalu kau terima. Aku harap kau mau menerima kata maaf sederhana ini. Sebab, aku bukanlah pria romantis." Perasaan aneh itu muncul kembali. Desiran dan degup jantung kian jelas, namun Jharna tak mau menyalahkan arti mengapa semu
Pada keesokan harinya, ranjang berukuran besar berisikan dua insan manusia berbeda gender tengah terlelap. Salah satunya perlahan membuka mata dan barulah dia merasakan hangatnya sinar matahari menyelinap nakal ke dalam kamar. Saat kesadarannya terkumpul, tubuhnya terasa begitu hangat, kemudian kepalanya menunduk karena ada suatu beban ringan menimpa dada bidangnya. Jharna tertidur pulas dalam keadaan memeluk Max. Wanita itu belum merasa terganggu oleh sinar matahari, bahkan Max masih mendengar denguran halus dari Jharna sendiri. Sosoknya terlihat cantik dan tenang saat tertidur. Max rela diam menjadi patung berjam-jam agar Jharna tidak terbangun. Alih-alih merenggangkan semua anggota tubuh, Max justru memejamkan mata kembali sambil membalas perlahan pelukan Jharna, supaya wanita itu tak terganggu atau terbangun. Namun, sayangnya Jharna menggeliat. Lambat laun matanya terbuka, mengumpulkan kesadaran sedikit demi sedikit."Max? Sejak kapan aku memeluknya?" gumam Jharna pelan, bermono
Keesokan harinya. Ekspresi datar Max kembali seperti semula. Sifat dinginnya serta tatapan tajam bak elang menatap geram pada seorang wanita yang tengah duduk santai di hadapannya sekarang. Jharna jadi memilih menjauh, enggan membuang waktu, terlebih di dekat mereka ada Aidan.Bisa saja wanita itu mendoktrin pikiran polos Aidan, membuat kedua pasangan suami istri itu setuju menjauh satu sama lain, lantaran sudah menyuarakan ketidaknyamanannya langsung atas kedatangan tamu tak diundang ini. "Aaa ... Max, aku merindukanmu!" rengek Helena. Yang entah dia tahu dari mana keberadaan sepasang insan ini. "Berlibur tanpa mengajakku itu jahat, padahal aku juga mau liburan, tahu!""Lalu, mengapa wanita itu ada sini? Tatapannya sedari aku datang sangatlah tidak bersahabat," tambahnya berceloteh ria. Alis Max menukik. "Siapa yang memberitahumu tentang keberadaanku di sini?"Helena mengernyit, kemudian tertawa kecil. "Kebetulan aku sedang berkunjung di sekitar sini, karena pantainya sangat indah.
"Kalian butuh istirahat. Jika kau mencariku, aku ada di ruang kerja," ucap Max menatap Jharna lalu beralih ke Aidan yang tertidur di gendongan sang istri. "Baiklah, kau juga, jangan terlalu lelah. Nanti aku antarkan kopi ke sana," balas Jharna tersenyum hangat. "Sampai jumpa, Max." Max mengangguk dan membalikkan tubuhnya, melangkah tegas ke arah ruang kerja. Ada sesuatu yang harus dirinya urus sesegera mungkin. Liburan memakan waktu sekitar empat hari usai, ketika Max mendapatkan panggilan telepon dari si tangan kanan. Perusahaan tengah tidak baik-baik saja. Semua itu adanya campur tangan Mac di dalamnya, jelas, itu menurut insting Max sendiri. Belum lagi rumor kian beredar luas, mengenai status Jharna, seolah seseorang menguak jati diri sang istri ke publik. Mendapatkan hal tersebut, membuat Max menggeram marah. Sumpah serapah di mulutnya tertahan, kala si tangan kanan tiba tepat waktu. Dia duduk di sofa ruang kerja Max sambil menatap laptopnya penuh terperangah. Tanpa meny
Keesokan harinya. Jharna terbangun dalam keadaan terlonjak, lantaran mengingat Max membawanya ke kamar. Justru saat dirinya bangun sekarang, tiada eksistensi dan suami di kamar mereka berdua. Hanya rasa kekosongan mengisi tempat di sampingnya. Tak mau berlama-lama, Jharna segera berjalan ke kamar mandi. Ingatan baru terlintas bagaimana dirinya dan Max dekat, apa lagi dia baru memasuki masa remaja kala itu. Mengingat pertemuan serta kenangan singkat di masa lalu, membuat Jharna mendesah panjang. "Aku kembali pada keluarga Kingston. Dia—menyebalkan," gumamnya pelan, bermonolog. Sejenak Jharna mencoba melupakan dan melanjutkan kegiatannya membersihkan diri. Dia membutuhkan waktu sekitar dua puluh menit, dilanjut dengan memilih pakaian di walk in closed. Hari ini Jharna memutuskan untuk berkunjung ke suatu tempat, selagi ada waktu luang. Dirinya yakin, para kini Aidan tengah diurus oleh beberapa pelayan dan melanjutkan kegiatan belajar setelah sarapan. Tiba di ruang makan, kedua pasan
Berpindah latar di kediaman Kingston. Suasana dan aura mencekam mendominasi penjuru ruang, termasuk di ruang makan. Hanya ada Mac seorang terduduk tenang bersama santapan siang di depan matanya. William saja tidak ada di sana, bagian adik bungsunya itu memilih tetap tinggal di apartemennya sendirian, tanpa berkenan menemani Mac di mansion suram tersebut. "Aku sudah selesai. Segera siapkan mobil, aku harus ke pergi ke suatu tempat," titah Mac bersikap dingin. "Baik, No—""Panggil aku Nyonya!" tekan Mac menyela mengoreksi.Dengan gemetar si pelayan membungkukkan badannya. "Baik, Nyonya."Kedua bola mata Mac berputar jengah mendengarnya. Barulah dirinya bangkit lalu hendak melewati si pelayan barusan yang masih menundukkan dalam kepalanya di hadapan Mac. Tangan kiri menepuk kepala si pelayan pelan bersama suara rendah keluar dari bibir ranumnya. "Anjing pintar." Mac berjalan berlalu, dia berdecih jijik sambil mengelap telapak tangan kirinya menggunakan serbet makan yang dirinya bawa,
Tangannya menyibak kasar selimut, hingga tergeletak mengenaskan di lantai. Matanya mulai melirik jam dinding di dalam kamarnya. Sekarang pukul dua belas malam, ketika kepalanya menoleh ke samping, sang suami tak ada di sisinya. "Ke mana perginya manusia itu?" tanyanya sendiri, keningnya mengerut samar. Dia tidak tahu mau melakukan apa. Terbangun di tengah malam begini sangatlah mengganggu waktu tidurnya, juga dapat merusak suasana hati dalam sekejap. Alih-alih berusaha tidur kembali, dirinya memutuskan pergi ke dapur 'tuk minum demi melepas dahaga. Baru juga kakinya melangkah beberapa kali, sang suami pun muncul di hadapannya. Siluetnya kian jelas karena cahaya temaram pada malam hari, lampu di sana menyala di titik tertentu, membuat wanita itu tadinya lumayan takut jika sosok tersebut adalah hantu. Namun, lambat laun ketakutannya terhadap hantu menghilang. Justru sekarang ketakutan itu berubah, bukan terhadap hantu, melainkan kepada Max. Max berhenti tepat di depannya. Rasa ingin
"Apa berita tempo hari cukup menghibur anda, Tuan?" Seseorang yang sedang dia tanya tak langsung menoleh.Max, dirinya tengah memandangi foto cantik Jharna melalui ponselnya. Perhatiannya harus teralihkan, karena pertanyaan menarik dari Austin barusan. "Ya, lumayan. Apa ada masukkan tentang bumbu tambahan?"Austin diam-diam tersenyum miring. "Tentu ada, Tuan-ku. Bumbu penyedap mana yang paling bagus, agar masakan tersebut kian sedap dirasa?""Saya menyarankan pemanis, seperti gula," tambah Austin bersemangat.Kening Max berkerut sesaat, lalu tak lama kepalanya mengangguk. Benaknya sampai membayangkan, rasa puas hasil kinerja anak buahnya satu ini. Perlahan-lahan bibirnya membentuk seringai menyeramkan. Dia gemar sekali hal yang menurutnya pantas dimasak. Contohnya, yang sedang mereka perbincangkan sekarang."Tampaknya aku mesti memberikan bonus untukmu, Austin," cetus Max sempat berpikir. "Lakukan apa maumu terhadap masakan yang sedang kau pegang. Janjikan aku hasil memuaskan nantinya
Oliver menggaruk kepala belakangnya, ada rasa malu menghinggapi dirinya sejak memasuki kamar. Kekasihnya, Mac, tak mau berpisah kamar dan hanya ingin bersamanya. Dua insan yang sedang melakukan kegiatan masing-masing sesekali mencuri pandang ke satu sama lainnya.Mac menutup kasar laptopnya. Kini tatapan tajam menghadap Oliver sepenuhnya dia berikan. Wanita itu berpindah, mengikis jarak yang hampir membuat Oliver bangun. Tangannya mencekal lembut menghentikan pergerakan Oliver bersama kegugupan sang pria amat kentara kental di mimik wajah tampannya tersebut."Mau ke mana?" Oliver segera menggeleng cepat saat Mac melayangkan pertanyaan.Tiba-tiba Mac kembali bergerak, lalu duduk mengangkang di pangkuan Oliver, mengalungi pinggang kokoh sang kekasih menggunakan kaki jenjangnya. Kedua tangannya memegang pundak, seraya tatapannya kian serius. "Masih ingat janjimu setelah kita keluar dari sini nantinya?"Oliver menghembuskan napas lega, dia kira Mac mau melakukan hal tidak-tidak di kediama
Dua hari berikutnya, Max memenuhi permintaan Jharna. Memulangkan anak tirinya ke rumah mereka sekarang ini. Pria itu semakin menerima kehadiran Aidan, walau anak itu bukanlah dari benihnya sendiri. Kehadiran calon anak mereka berdua seolah berdampak aura positif ke sekitar, hingga berpengaruh ke kehidupan Max. "Jadi aku akan mempunyai seorang adik?" tanya seorang anak kecil, tiada lain ialah Aidan. Sirat bahagia serta antusias ternyata juga membubuhi hati anak itu, membuat Jharna dan Max menganggukkan kepalanya serentak. "Wah, akhirnya!" "Apa kau sangat senang?" Max menggali sedikit kejujuran sang anak. Tentunya Aidan tanpa berbohong mengangguk semangat. "Sangat, sangatlah senang, Ayah!" "Aku berjanji akan menjadi seorang kakak yang baik," lanjutnya tersenyum lebar, menunjukkan deretan gigi susu. Max menoleh ke Jharna. Jharna memahaminya pun mengusap sayang lengan kekar nan kokoh tersebut, pertanda semuanya dapat berjalan lancar. Rasa haru sulit Max bendung, tapi kali ini dia
"Hmm, pagiku disambut dengan berita terbaru ini—adalah hiburan," gumamnya menonton tayangan televisi. Kedua lesung pipinya tampak terbentuk, setelah sadar ulah siapa atau dalang di balik berita menggemparkan jagat media. Di luaran sana pasti khalayak telah menggunjing habis-habisan dua orang itu. Apa lagi dia tahu wanita di dalam berita, yang tengah menjadi sorotan perbincangan panas. Dia hanya menggelengkan kepala tidak habis pikir. Ada untungnya sempat menurut oleh pria itu, kalau tidak, semua keburukan yang dirinya sembunyikan bertahun-tahun akan terbongkar dengan cara melebihi kasus perselingkuhan sekaligus hal mengejutkan lainnya seperti di berita pagi ini. Ya, setidaknya menuruti keinginan ego adalah pilihan terbaik, ketimbang mengutamakan perasaan sendiri. "Mau bagaimana lagi, aku masih mencintai Jharna. Sekeras aku menepis kenyataan dan berusaha melupakannya, bagian terbaik ialah mencoba meletakkan dirinya di lubuk hati terdalam. Meski aku tersiksa sendirian, namun bayan
Setelah sekian lama tidak memberi waktu pada dirinya sendiri, terutama mengistirahatkan mentalnya agar selalu terkendali dengan baik, Jharna kini tahu permasalahan tersebut selama dirinya sudah menerima Max kembali. Tanpa sadar dia menyisihkan celah buat mengaturnya sesuai keinginannya sendiri. Memanipulasi car berpikirnya dan tak serta-merta turut andil dalam permainan emosi. Sehingga menciptakan ruang di hati Jharna supaya mau terbuka, terlebih memaafkan atas kesalahan pria selaku suaminya. Entah itu perbuatan masa lalu atau masa sekarang yang tengah mereka jalani. Rasanya helaan napas berat adalah isyarat kurang tak nyaman, gambaran tepat mengenai suasana hati. Bahkan, raut wajah tanpa ekspresi enggan sekali menampilkan sedikit empati. Sayangnya, semua tidak bertahan lama. Jharna mempunyai sisi berpasrah serta firasatnya mengatakan, harus mau bersabar menghadapi Max. Dikarenakan pria itu pintu masuk penderitaan juga pintu keluar menuju kebahagiaan. Dia harap pun begitu. "Apa
Pada malam harinya di restoran mewah berbintang lima. Max memutuskan mengajak Jharna menikmati suasana malam, hitung-hitung melepaskan penat setelah rasa letih mempengaruhi akibat kegiatan di kantor memuakkan. Rencananya Max mengajak Jharna ke tempat lain selain restoran nantinya. Jharna sendiri menuruti apa kemauan Max, sampai keduanya tak perlu pulang dan hanya membersihkan diri di kamar pribadi milik Max di ruang kerjanya. Terlebih, di sana sudah tersedia sebuah gaun indah nan anggun. Sama sekali tidak menunjukkan desain lekukan tubuh berlebih, tampak sangat sopan seperti gaun formal. Kini Jharna telah siap. Wajahnya di poles tipes dengan riasan sederhana, di tambah max juga baru keluar dari kamar mandi, mampu mengalihkan sebentar pandangan Jharna. "Apa gaun ini kau yang memilihnya?" Max berjalan menghampiri sang istri sembari mematri senyuman di bibirnya. "Tentu, khusus untukmu, hanya boleh aku menilai seberapa layak pakaian melekat di tubuh ini. Sekarang kau adalah istriku,
Sepasang mata memicing tajam menilai ingatan yang lama tenggelam akibat larut dalam waktu. Alisnya menukik seraya menggigit kuku jari, merupakan kegiatan ini biasa dirinya lakukan. Kendati usai, dia justru semakin memikirkan jika ada kegagalan saat rencananya dimulai."Tidak, aku tidak boleh teralihkan. Dulu Max dan aku memang mempunyai kehidupan damai disertai canda-tawa menghias hubungan kami, meski itu terjadi pada waktu remaja," gumamnya, bermonolog. Kini kedua tangan terlipat di depan dada, matanya tergambar jelas hati yang tengah was-was entah mengarah tak tentu. Helena berharap Max melirik dirinya seperti dulu mereka menghabiskan masa remaja. Dia jadi ingat setelah mengulik ingatan lampau pada masa itu. Sesosok remaja perempuan perempuan berhasil merebut hati Max."Wajahnya samar sekali. Ingatlah, Helena, siapa dia!" rutuknya berusaha mengingat wajah remaja perempuan, yang mengalihkan perhatian sang pujaan."Aku hanya mengingat warna rambutnya, coklat. Tidak lainnya," lirih He
Jharna menerima beberapa suapan di waktu sarapannya pagi ini. Pria berstatus sebagai suaminya itu selalu melimpahkan perhatian sedari dirinya membuka mata, entah hanya mengantarkan dirinya ke kamar mandi atau perlakuan kecil lain. Padahal dia masih mempu melakukan semuanya sendiri, tapi Max gigih ingin memberikan hak terbaik untuknya. Ditambah lagi saat mendengar penjelasan dokter mengenai kesehatannya, ternyata Jharna terlalu lelah melakukan kegiatan ranjang dan Max sendiri selaku suami berterus terang tanpa ada yang ditutupi, meski jujur saja Jharna malu dibuatnya. Apa lagi dokter seolah memaklumi setiap Max menjelaskan. "Apa ada seseorang yang merawat Aidan di rumah?" Pergerakan tangan Max berhenti, mengambang di udara sebentar dan kembali menyuapi Jharna. "Tentu ada. Di sana banyak pelayan yang rela menjaga Aidan dua puluh empat jam," jawab Max tenang. "Ya, aku tahu itu. Namun, di mana keberadaan Bibi Rula sekarang? Sampai saat ini aku belum menerima kabar apapun darinya, M
"Kenapa kau terus menatapku begitu, hmm?" Jharna menggeleng pelan, lalu dia mengalihkan tatapannya. "Benarkah cintamu untukku itu nyata?" lirih Jharna bertanya tanpa melirik Max di dekatnya. Kegundahan selalu bersemayam di hati, keyakinannya baru beberapa persen karena akhir-akhir kepalanya sakit luar biasa.Max sendiri terdiam, terbungkam keheningan di tengah-tengah pertanyaan yang semestinya tak perlu ditanyakan lagi. Sesaat dirinya hampir larut di lamunan semu, kemudian tersenyum tipis sambil menggapai dagu Jharna, membuat Jharna menengadahkan kepala supaya matanya menatap dirinya sepenuhnya sekarang. "Pertanyaan bodoh. Tentu aku mencintaimu sejak lama, kau sendiri memilih pergi dan tak percaya. Ya, aku harus apa?" Jharna tertegun. Lalu membuang pandangan ke samping, tetapi Max mencegah gerakkannya itu. "Mau mengelak serta berlari sejauh kau bisa, aku tetap akan menarikmu kembali, Jharna. Meyakinkan, jika perasaan ini nyata, walau kau sadar sendiri semuanya selalu kau tepis.""Ap