Tangannya menyibak kasar selimut, hingga tergeletak mengenaskan di lantai. Matanya mulai melirik jam dinding di dalam kamarnya. Sekarang pukul dua belas malam, ketika kepalanya menoleh ke samping, sang suami tak ada di sisinya. "Ke mana perginya manusia itu?" tanyanya sendiri, keningnya mengerut samar. Dia tidak tahu mau melakukan apa. Terbangun di tengah malam begini sangatlah mengganggu waktu tidurnya, juga dapat merusak suasana hati dalam sekejap. Alih-alih berusaha tidur kembali, dirinya memutuskan pergi ke dapur 'tuk minum demi melepas dahaga. Baru juga kakinya melangkah beberapa kali, sang suami pun muncul di hadapannya. Siluetnya kian jelas karena cahaya temaram pada malam hari, lampu di sana menyala di titik tertentu, membuat wanita itu tadinya lumayan takut jika sosok tersebut adalah hantu. Namun, lambat laun ketakutannya terhadap hantu menghilang. Justru sekarang ketakutan itu berubah, bukan terhadap hantu, melainkan kepada Max. Max berhenti tepat di depannya. Rasa ingin
Dua hari setelah pertengkaran sepasang suami-istri tersebut, kini Max tengah duduk paling ujung di bagian meja makan, tempat khusus untuk seorang kepala keluarga. Yang di isi dengan lima orang, empat orang dewasa dan satu anak kecil. Acara makan malam ini tergolong singkat tanpa perbincangan berarti. Tak ada satu orang juga berkenan membuka suara, hanya satu anak kecil tengah asik menyantap hidangannya. Sedangkan di sisi Jharna dan Max, keduanya saling diam sejak saat itu. Hubungan keduanya semakin dingin, terlebih Jharna sering menghindari kontak langsung kala setelah jam makan usai. "Sayang, pergilah ke kamar terlebih dahulu. Ibu akan menyusul nanti," ucap Jharna. Dia menjaga nada bicaranya kepada anak rapuh itu. "Baik, Ibu. Nanti tidur bersamaku lagi, ya?" Jharna mengangguk tersenyum hangat. "Iya, sayang.""Yeay! Terima kasih, Bu!" seru Aidan riang. Kemudian tatapan anak kecil itu beralih kepada tiga orang dewasa lainnya. "Selamat malam, semuanya."Aidan pun berjalan, melangkah
Jantungnya berdegup cepat, tatkala pandangan di depan pintu kamar sang anak ada pria yang berdiri menghadapnya langsung. Hampir gawai di genggamannya terlepas, atau lebih parahnya memukul si pria menggunakan benda tersebut. Helaan napas panjang terdengar kesal di sisi wanita, dia melirik sinis bagaimana pria berekspresi datar itu menatap dirinya. "Ada apa?" Max masih melekatkan pandangannya tertuju pada Jharna. Membuat Jharna semakin berdebar tak karuan. "Cepatlah, kenapa kau ke sini?" "Permintaanmu, aku menyetujuinya." "Permintaan yang mana?" Kening Jharna berkerut samar, dia tak pandai mencerna kalimat dari mulut Max, akibat kurang jelas. "Semua permintaanmu mengenai perceraian, aku akan menyetujuinya. Kemungkinan, inilah jalan terbaik untuk kita berdua, Jharna," jelas Max tanpa senyum dan terasa ganjal di hati Jharna sendiri. Wanita itu tidak mau menyahut cepat perkataan Max. Namun, ada dua sisi di mana dirinya merasa berbeda. Senang dan kecewa. Dia memejamkan mata
"Dari mana saja kau? Apa kau tahu orang-orang tengah menghujat habis-habisan dirimu, di luar sana?" cecar Mac menyambut kepulangan Jharna. "Cih, kau ini ... haa, sulit berbicara dengan wanita banyak simpanan," cibir Mac menambahkan. Jharna menanggapinya dengan acuh, dia berjalan melewati Mac dan mengindahkan ucapan tadi. Terlebih mulut Mac tak dapat berhenti permanen, jadi dirinya membiarkan sang kakak ipar memuaskan celotehannya selagi Jharna masih memiliki takaran kesabaran. "Berhenti mengabaikan dan lihat berita di televisi, Jharna!" tegur Mac lantang. Kaki Jharna yang melangkah pelan pun berhenti. Dia mengikuti tangan Mac menunjuk ke arah televisi. Lalu, matanya memicing tajam ketika telinganya mendengar namanya sempat disebut. Bahkan, dia melihat ada foto di mana dirinya bersama dua orang pria dan wajahnya di blur agar tidak terlihat, termasuk dirinya. Bukankah itu bodoh? Namanya disebut, tapi wajahnya tetap di blur. Dia memejamkan mata sejenak. Seketika rasa pening
Amplop coklat berisi kertas dari pengadilan dilempar tepat ke wajahnya. Dia tak bodoh, dirinya tahu apa isinya, terlebih pria di depannya langsung menyediakan pena. Seolah meminta menandatangani secepatnya berkas tersebut, karena gelagat tidak sabar tergambar lewat pergerakannya. "Cukup tanda tangan. Selebihnya, biar aku yang mengurus. Ini adalah jalan terbaik bagi dirimu—juga aku." Jharna mendongak sedikit 'tuk melihat Max. "Baiklah, semakin cepat itu lebih baik.""Ya, terserah. Pastikan periksa hal lain. Karena setelah menikah aku masih harus membiayai kebutuhan hidupmu," papar Max, nada bicaranya seakan tidak ada emosi di sana. "Aku bisa sendiri, asal hutang mantan suamiku sebelumnya terbukti lunas." Mendengarnya, Max tersenyum miring. "Kenapa? Menurutku itu lebih baik, dari pada terus berhubungan, walau hanya melalui uang. Tetap aku menolak.""Oh, ya? Tanggung jawab seorang suami akan terus berlanjut meski sepasang suami istri sudah bercerai sekalipun, apa lagi jika si wanita b
Hari ini adalah hari ke tiga setelah Jharna meninggalkan kehidupan mewah sesaatnya itu. Kini semua kembali seperti sebelumnya, menjalani hidup di tengah kesederhanaan bersama sang anak semata wayang. Menurutnya, itu lebih baik. Polemik berita tentang seorang pria bernama Maximilian Kingston menyeruak ke permukaan publik, yang sedang simpang siur dalam koran kabar politik. Dikarenakan Max hendak mengajukan menjadi seorang anggota dewan. Konyol. Terdengar agak lucu, namun begitulah kabar aslinya lewat cetakan koran dan majalah. Dia kira Max bercanda. Nyatanya tidak. Mantan suaminya itu sungguh ada saja kejutannya, terlebih Jharna tak mendapatkan kabar lain mengenai hubungan rumah tangga mereka berdua.Kemungkinan memang keduanya sudah ditakdirkan tak bersatu, sampai Tuhan malah memberikan kabar lain selain hubungan mereka berdua. Entah, Max sengaja atau tidak. Jelasnya, Jharna jadi menebak, kalau Max takut nama baiknya tercoreng. Dan mengutamakan namanya melambung serta simpang siur d
"Apa harus sekarang juga? Lagi pula aku tidak butuh uangmu," ucap Jharna dingin. "....""Ck, baiklah. Jangan mengancam yang tidak-tidak, Max!" decak Jharna menggeram marah. "Beri aku—brengs*k, panggilannya ditutup sepihak!"Max menyuruhnya mengambil uang di kantornya, tanpa mau mentransfer dengan alasan malas mengetik. Di tambah gertakan Max mampu membuat Jharna menghela napas kasar dan itu berisikan data pribadi anaknya, kalau khalayak mengetahui wajah Aidan, itu bisa membahayakan anaknya. Dirinya saja harus susah payah mengubah sedikit gaya penampilannya agar tak mencolok. Terpaksa Jharna menaiki bus ke arah perusahaan Max berada, bertepatan oleh jam pulang kerja. "Hah ... pria itu benar-benar," desisnya pelan lantaran kesal. Waktunya untuk sampai rumah pun terbuang guna mengambil uang bulanan pertamanya setelah bercerai, dirinya juga tak menginginkan, tetapi Max tetap memaksa jikalau semua itu adalah bentuk tanggung jawab melalui materai. Mungkin perdebatan keuangan tempo hari
Ini lebih membosankan ketimbang biasanya, terasa muak saat pujaan hati memilih memundurkan diri karena kepergok orang tuanya saat tengah mengunjungi perusahaan. Wanita itu memikirkan dampak kedekatan antara mereka berdua, terlebih dulu orang tuanya tidak merestui hubungan keduanya akibat status sosial di pihak wanita. Theodor menghela napas panjang. Baru empat hari lalu dia merasa kian dekat dengan Jharna, tapi itu tak berlangsung lama ketika orang tuanya mendadak mengunjungi perusahaan kemarin. Mau marah pun percuma, sadar dirinya tidak memiliki hubungan khusus bersama Jharna. Kenyataan menjadi pemenangnya di sini. "Aku harus mencari cara agar Jharna tak membuat jarak antara aku dan dirinya. Tapi, bagaimana menarik perhatiannya?" gumam Theodor. Jari telunjuknya mengetuk keras meja kerja. Pandangannya kosong, lantaran serius melamun mengais ide. Kedua alisnya bertaut, kemudian salah satunya terangkat sambil menjentikkan jari. Dia melebarkan senyuman manisnya, sebab telah menemukan
"Apa berita tempo hari cukup menghibur anda, Tuan?" Seseorang yang sedang dia tanya tak langsung menoleh.Max, dirinya tengah memandangi foto cantik Jharna melalui ponselnya. Perhatiannya harus teralihkan, karena pertanyaan menarik dari Austin barusan. "Ya, lumayan. Apa ada masukkan tentang bumbu tambahan?"Austin diam-diam tersenyum miring. "Tentu ada, Tuan-ku. Bumbu penyedap mana yang paling bagus, agar masakan tersebut kian sedap dirasa?""Saya menyarankan pemanis, seperti gula," tambah Austin bersemangat.Kening Max berkerut sesaat, lalu tak lama kepalanya mengangguk. Benaknya sampai membayangkan, rasa puas hasil kinerja anak buahnya satu ini. Perlahan-lahan bibirnya membentuk seringai menyeramkan. Dia gemar sekali hal yang menurutnya pantas dimasak. Contohnya, yang sedang mereka perbincangkan sekarang."Tampaknya aku mesti memberikan bonus untukmu, Austin," cetus Max sempat berpikir. "Lakukan apa maumu terhadap masakan yang sedang kau pegang. Janjikan aku hasil memuaskan nantinya
Oliver menggaruk kepala belakangnya, ada rasa malu menghinggapi dirinya sejak memasuki kamar. Kekasihnya, Mac, tak mau berpisah kamar dan hanya ingin bersamanya. Dua insan yang sedang melakukan kegiatan masing-masing sesekali mencuri pandang ke satu sama lainnya.Mac menutup kasar laptopnya. Kini tatapan tajam menghadap Oliver sepenuhnya dia berikan. Wanita itu berpindah, mengikis jarak yang hampir membuat Oliver bangun. Tangannya mencekal lembut menghentikan pergerakan Oliver bersama kegugupan sang pria amat kentara kental di mimik wajah tampannya tersebut."Mau ke mana?" Oliver segera menggeleng cepat saat Mac melayangkan pertanyaan.Tiba-tiba Mac kembali bergerak, lalu duduk mengangkang di pangkuan Oliver, mengalungi pinggang kokoh sang kekasih menggunakan kaki jenjangnya. Kedua tangannya memegang pundak, seraya tatapannya kian serius. "Masih ingat janjimu setelah kita keluar dari sini nantinya?"Oliver menghembuskan napas lega, dia kira Mac mau melakukan hal tidak-tidak di kediama
Dua hari berikutnya, Max memenuhi permintaan Jharna. Memulangkan anak tirinya ke rumah mereka sekarang ini. Pria itu semakin menerima kehadiran Aidan, walau anak itu bukanlah dari benihnya sendiri. Kehadiran calon anak mereka berdua seolah berdampak aura positif ke sekitar, hingga berpengaruh ke kehidupan Max. "Jadi aku akan mempunyai seorang adik?" tanya seorang anak kecil, tiada lain ialah Aidan. Sirat bahagia serta antusias ternyata juga membubuhi hati anak itu, membuat Jharna dan Max menganggukkan kepalanya serentak. "Wah, akhirnya!" "Apa kau sangat senang?" Max menggali sedikit kejujuran sang anak. Tentunya Aidan tanpa berbohong mengangguk semangat. "Sangat, sangatlah senang, Ayah!" "Aku berjanji akan menjadi seorang kakak yang baik," lanjutnya tersenyum lebar, menunjukkan deretan gigi susu. Max menoleh ke Jharna. Jharna memahaminya pun mengusap sayang lengan kekar nan kokoh tersebut, pertanda semuanya dapat berjalan lancar. Rasa haru sulit Max bendung, tapi kali ini dia
"Hmm, pagiku disambut dengan berita terbaru ini—adalah hiburan," gumamnya menonton tayangan televisi. Kedua lesung pipinya tampak terbentuk, setelah sadar ulah siapa atau dalang di balik berita menggemparkan jagat media. Di luaran sana pasti khalayak telah menggunjing habis-habisan dua orang itu. Apa lagi dia tahu wanita di dalam berita, yang tengah menjadi sorotan perbincangan panas. Dia hanya menggelengkan kepala tidak habis pikir. Ada untungnya sempat menurut oleh pria itu, kalau tidak, semua keburukan yang dirinya sembunyikan bertahun-tahun akan terbongkar dengan cara melebihi kasus perselingkuhan sekaligus hal mengejutkan lainnya seperti di berita pagi ini. Ya, setidaknya menuruti keinginan ego adalah pilihan terbaik, ketimbang mengutamakan perasaan sendiri. "Mau bagaimana lagi, aku masih mencintai Jharna. Sekeras aku menepis kenyataan dan berusaha melupakannya, bagian terbaik ialah mencoba meletakkan dirinya di lubuk hati terdalam. Meski aku tersiksa sendirian, namun bayan
Setelah sekian lama tidak memberi waktu pada dirinya sendiri, terutama mengistirahatkan mentalnya agar selalu terkendali dengan baik, Jharna kini tahu permasalahan tersebut selama dirinya sudah menerima Max kembali. Tanpa sadar dia menyisihkan celah buat mengaturnya sesuai keinginannya sendiri. Memanipulasi car berpikirnya dan tak serta-merta turut andil dalam permainan emosi. Sehingga menciptakan ruang di hati Jharna supaya mau terbuka, terlebih memaafkan atas kesalahan pria selaku suaminya. Entah itu perbuatan masa lalu atau masa sekarang yang tengah mereka jalani. Rasanya helaan napas berat adalah isyarat kurang tak nyaman, gambaran tepat mengenai suasana hati. Bahkan, raut wajah tanpa ekspresi enggan sekali menampilkan sedikit empati. Sayangnya, semua tidak bertahan lama. Jharna mempunyai sisi berpasrah serta firasatnya mengatakan, harus mau bersabar menghadapi Max. Dikarenakan pria itu pintu masuk penderitaan juga pintu keluar menuju kebahagiaan. Dia harap pun begitu. "Apa
Pada malam harinya di restoran mewah berbintang lima. Max memutuskan mengajak Jharna menikmati suasana malam, hitung-hitung melepaskan penat setelah rasa letih mempengaruhi akibat kegiatan di kantor memuakkan. Rencananya Max mengajak Jharna ke tempat lain selain restoran nantinya. Jharna sendiri menuruti apa kemauan Max, sampai keduanya tak perlu pulang dan hanya membersihkan diri di kamar pribadi milik Max di ruang kerjanya. Terlebih, di sana sudah tersedia sebuah gaun indah nan anggun. Sama sekali tidak menunjukkan desain lekukan tubuh berlebih, tampak sangat sopan seperti gaun formal. Kini Jharna telah siap. Wajahnya di poles tipes dengan riasan sederhana, di tambah max juga baru keluar dari kamar mandi, mampu mengalihkan sebentar pandangan Jharna. "Apa gaun ini kau yang memilihnya?" Max berjalan menghampiri sang istri sembari mematri senyuman di bibirnya. "Tentu, khusus untukmu, hanya boleh aku menilai seberapa layak pakaian melekat di tubuh ini. Sekarang kau adalah istriku,
Sepasang mata memicing tajam menilai ingatan yang lama tenggelam akibat larut dalam waktu. Alisnya menukik seraya menggigit kuku jari, merupakan kegiatan ini biasa dirinya lakukan. Kendati usai, dia justru semakin memikirkan jika ada kegagalan saat rencananya dimulai."Tidak, aku tidak boleh teralihkan. Dulu Max dan aku memang mempunyai kehidupan damai disertai canda-tawa menghias hubungan kami, meski itu terjadi pada waktu remaja," gumamnya, bermonolog. Kini kedua tangan terlipat di depan dada, matanya tergambar jelas hati yang tengah was-was entah mengarah tak tentu. Helena berharap Max melirik dirinya seperti dulu mereka menghabiskan masa remaja. Dia jadi ingat setelah mengulik ingatan lampau pada masa itu. Sesosok remaja perempuan perempuan berhasil merebut hati Max."Wajahnya samar sekali. Ingatlah, Helena, siapa dia!" rutuknya berusaha mengingat wajah remaja perempuan, yang mengalihkan perhatian sang pujaan."Aku hanya mengingat warna rambutnya, coklat. Tidak lainnya," lirih He
Jharna menerima beberapa suapan di waktu sarapannya pagi ini. Pria berstatus sebagai suaminya itu selalu melimpahkan perhatian sedari dirinya membuka mata, entah hanya mengantarkan dirinya ke kamar mandi atau perlakuan kecil lain. Padahal dia masih mempu melakukan semuanya sendiri, tapi Max gigih ingin memberikan hak terbaik untuknya. Ditambah lagi saat mendengar penjelasan dokter mengenai kesehatannya, ternyata Jharna terlalu lelah melakukan kegiatan ranjang dan Max sendiri selaku suami berterus terang tanpa ada yang ditutupi, meski jujur saja Jharna malu dibuatnya. Apa lagi dokter seolah memaklumi setiap Max menjelaskan. "Apa ada seseorang yang merawat Aidan di rumah?" Pergerakan tangan Max berhenti, mengambang di udara sebentar dan kembali menyuapi Jharna. "Tentu ada. Di sana banyak pelayan yang rela menjaga Aidan dua puluh empat jam," jawab Max tenang. "Ya, aku tahu itu. Namun, di mana keberadaan Bibi Rula sekarang? Sampai saat ini aku belum menerima kabar apapun darinya, M
"Kenapa kau terus menatapku begitu, hmm?" Jharna menggeleng pelan, lalu dia mengalihkan tatapannya. "Benarkah cintamu untukku itu nyata?" lirih Jharna bertanya tanpa melirik Max di dekatnya. Kegundahan selalu bersemayam di hati, keyakinannya baru beberapa persen karena akhir-akhir kepalanya sakit luar biasa.Max sendiri terdiam, terbungkam keheningan di tengah-tengah pertanyaan yang semestinya tak perlu ditanyakan lagi. Sesaat dirinya hampir larut di lamunan semu, kemudian tersenyum tipis sambil menggapai dagu Jharna, membuat Jharna menengadahkan kepala supaya matanya menatap dirinya sepenuhnya sekarang. "Pertanyaan bodoh. Tentu aku mencintaimu sejak lama, kau sendiri memilih pergi dan tak percaya. Ya, aku harus apa?" Jharna tertegun. Lalu membuang pandangan ke samping, tetapi Max mencegah gerakkannya itu. "Mau mengelak serta berlari sejauh kau bisa, aku tetap akan menarikmu kembali, Jharna. Meyakinkan, jika perasaan ini nyata, walau kau sadar sendiri semuanya selalu kau tepis.""Ap