Dua hari setelah pertengkaran sepasang suami-istri tersebut, kini Max tengah duduk paling ujung di bagian meja makan, tempat khusus untuk seorang kepala keluarga. Yang di isi dengan lima orang, empat orang dewasa dan satu anak kecil. Acara makan malam ini tergolong singkat tanpa perbincangan berarti. Tak ada satu orang juga berkenan membuka suara, hanya satu anak kecil tengah asik menyantap hidangannya. Sedangkan di sisi Jharna dan Max, keduanya saling diam sejak saat itu. Hubungan keduanya semakin dingin, terlebih Jharna sering menghindari kontak langsung kala setelah jam makan usai. "Sayang, pergilah ke kamar terlebih dahulu. Ibu akan menyusul nanti," ucap Jharna. Dia menjaga nada bicaranya kepada anak rapuh itu. "Baik, Ibu. Nanti tidur bersamaku lagi, ya?" Jharna mengangguk tersenyum hangat. "Iya, sayang.""Yeay! Terima kasih, Bu!" seru Aidan riang. Kemudian tatapan anak kecil itu beralih kepada tiga orang dewasa lainnya. "Selamat malam, semuanya."Aidan pun berjalan, melangkah
Jantungnya berdegup cepat, tatkala pandangan di depan pintu kamar sang anak ada pria yang berdiri menghadapnya langsung. Hampir gawai di genggamannya terlepas, atau lebih parahnya memukul si pria menggunakan benda tersebut. Helaan napas panjang terdengar kesal di sisi wanita, dia melirik sinis bagaimana pria berekspresi datar itu menatap dirinya. "Ada apa?" Max masih melekatkan pandangannya tertuju pada Jharna. Membuat Jharna semakin berdebar tak karuan. "Cepatlah, kenapa kau ke sini?" "Permintaanmu, aku menyetujuinya." "Permintaan yang mana?" Kening Jharna berkerut samar, dia tak pandai mencerna kalimat dari mulut Max, akibat kurang jelas. "Semua permintaanmu mengenai perceraian, aku akan menyetujuinya. Kemungkinan, inilah jalan terbaik untuk kita berdua, Jharna," jelas Max tanpa senyum dan terasa ganjal di hati Jharna sendiri. Wanita itu tidak mau menyahut cepat perkataan Max. Namun, ada dua sisi di mana dirinya merasa berbeda. Senang dan kecewa. Dia memejamkan mata
"Dari mana saja kau? Apa kau tahu orang-orang tengah menghujat habis-habisan dirimu, di luar sana?" cecar Mac menyambut kepulangan Jharna. "Cih, kau ini ... haa, sulit berbicara dengan wanita banyak simpanan," cibir Mac menambahkan. Jharna menanggapinya dengan acuh, dia berjalan melewati Mac dan mengindahkan ucapan tadi. Terlebih mulut Mac tak dapat berhenti permanen, jadi dirinya membiarkan sang kakak ipar memuaskan celotehannya selagi Jharna masih memiliki takaran kesabaran. "Berhenti mengabaikan dan lihat berita di televisi, Jharna!" tegur Mac lantang. Kaki Jharna yang melangkah pelan pun berhenti. Dia mengikuti tangan Mac menunjuk ke arah televisi. Lalu, matanya memicing tajam ketika telinganya mendengar namanya sempat disebut. Bahkan, dia melihat ada foto di mana dirinya bersama dua orang pria dan wajahnya di blur agar tidak terlihat, termasuk dirinya. Bukankah itu bodoh? Namanya disebut, tapi wajahnya tetap di blur. Dia memejamkan mata sejenak. Seketika rasa pening
Amplop coklat berisi kertas dari pengadilan dilempar tepat ke wajahnya. Dia tak bodoh, dirinya tahu apa isinya, terlebih pria di depannya langsung menyediakan pena. Seolah meminta menandatangani secepatnya berkas tersebut, karena gelagat tidak sabar tergambar lewat pergerakannya. "Cukup tanda tangan. Selebihnya, biar aku yang mengurus. Ini adalah jalan terbaik bagi dirimu—juga aku." Jharna mendongak sedikit 'tuk melihat Max. "Baiklah, semakin cepat itu lebih baik.""Ya, terserah. Pastikan periksa hal lain. Karena setelah menikah aku masih harus membiayai kebutuhan hidupmu," papar Max, nada bicaranya seakan tidak ada emosi di sana. "Aku bisa sendiri, asal hutang mantan suamiku sebelumnya terbukti lunas." Mendengarnya, Max tersenyum miring. "Kenapa? Menurutku itu lebih baik, dari pada terus berhubungan, walau hanya melalui uang. Tetap aku menolak.""Oh, ya? Tanggung jawab seorang suami akan terus berlanjut meski sepasang suami istri sudah bercerai sekalipun, apa lagi jika si wanita b
Hari ini adalah hari ke tiga setelah Jharna meninggalkan kehidupan mewah sesaatnya itu. Kini semua kembali seperti sebelumnya, menjalani hidup di tengah kesederhanaan bersama sang anak semata wayang. Menurutnya, itu lebih baik. Polemik berita tentang seorang pria bernama Maximilian Kingston menyeruak ke permukaan publik, yang sedang simpang siur dalam koran kabar politik. Dikarenakan Max hendak mengajukan menjadi seorang anggota dewan. Konyol. Terdengar agak lucu, namun begitulah kabar aslinya lewat cetakan koran dan majalah. Dia kira Max bercanda. Nyatanya tidak. Mantan suaminya itu sungguh ada saja kejutannya, terlebih Jharna tak mendapatkan kabar lain mengenai hubungan rumah tangga mereka berdua.Kemungkinan memang keduanya sudah ditakdirkan tak bersatu, sampai Tuhan malah memberikan kabar lain selain hubungan mereka berdua. Entah, Max sengaja atau tidak. Jelasnya, Jharna jadi menebak, kalau Max takut nama baiknya tercoreng. Dan mengutamakan namanya melambung serta simpang siur d
"Apa harus sekarang juga? Lagi pula aku tidak butuh uangmu," ucap Jharna dingin. "....""Ck, baiklah. Jangan mengancam yang tidak-tidak, Max!" decak Jharna menggeram marah. "Beri aku—brengs*k, panggilannya ditutup sepihak!"Max menyuruhnya mengambil uang di kantornya, tanpa mau mentransfer dengan alasan malas mengetik. Di tambah gertakan Max mampu membuat Jharna menghela napas kasar dan itu berisikan data pribadi anaknya, kalau khalayak mengetahui wajah Aidan, itu bisa membahayakan anaknya. Dirinya saja harus susah payah mengubah sedikit gaya penampilannya agar tak mencolok. Terpaksa Jharna menaiki bus ke arah perusahaan Max berada, bertepatan oleh jam pulang kerja. "Hah ... pria itu benar-benar," desisnya pelan lantaran kesal. Waktunya untuk sampai rumah pun terbuang guna mengambil uang bulanan pertamanya setelah bercerai, dirinya juga tak menginginkan, tetapi Max tetap memaksa jikalau semua itu adalah bentuk tanggung jawab melalui materai. Mungkin perdebatan keuangan tempo hari
Ini lebih membosankan ketimbang biasanya, terasa muak saat pujaan hati memilih memundurkan diri karena kepergok orang tuanya saat tengah mengunjungi perusahaan. Wanita itu memikirkan dampak kedekatan antara mereka berdua, terlebih dulu orang tuanya tidak merestui hubungan keduanya akibat status sosial di pihak wanita. Theodor menghela napas panjang. Baru empat hari lalu dia merasa kian dekat dengan Jharna, tapi itu tak berlangsung lama ketika orang tuanya mendadak mengunjungi perusahaan kemarin. Mau marah pun percuma, sadar dirinya tidak memiliki hubungan khusus bersama Jharna. Kenyataan menjadi pemenangnya di sini. "Aku harus mencari cara agar Jharna tak membuat jarak antara aku dan dirinya. Tapi, bagaimana menarik perhatiannya?" gumam Theodor. Jari telunjuknya mengetuk keras meja kerja. Pandangannya kosong, lantaran serius melamun mengais ide. Kedua alisnya bertaut, kemudian salah satunya terangkat sambil menjentikkan jari. Dia melebarkan senyuman manisnya, sebab telah menemukan
"Banyak pengusaha akan berdiam diri di bisnis mereka, karena rata-rata tidak memiliki kemampuan memimpin dan rasa percaya diri yang tinggi. Masyarakat ingin tahu mengapa anda sangatlah berminat terjun ke dunia politisi, sebab menjadi wali kota bukanlah perihal mudah.""Apa alasan serta tujuan anda 'tuk bergabung di dunia politik?" Entah berapa kali Jharna menemukan berita serupa hampir setiap harinya. Jawaban Max seluruhnya benar-benar mencengangkan sekaligus menyebalkan, seolah dia tengah menemukan tempat bermain baru. Hingga tampilan layar mengarah pada wajah Max, pria itu tersenyum amat tipis nyaris tak terlihat. "Seharusnya pertanyaan berulang tidak perlu dipertanyakan kembali. Itu membuang waktu. Jawabannya sama, karena saya ingin mengisi waktu luang, lagi pula saya berbeda dari calon lainnya yang mengandalkan segala dana bersumber haram."Bulu kuduk reporter itu tampaknya berdiri, Jharna yakin jawaban Max adalah jurang kematian bagi dirinya sendiri. Benar-benar sangat berani b