Pada malam harinya, tiba di mana Helena tengah menunggu kedatangan Max di suatu restoran mewah. Yang sengaja dirinya sewa sejak awal. Kendati memikirkan kerugian karena merogoh kocek tak murah harganya, Helena mengindahkan hal tersebut, dan setia menanti sang pujaan datang. Sesekali cermin kecil di selipkan di dompet dia keluarkan, guna berkaca memeriksa riasan wajah. Masih tertata sekaligus sangat menawan hati pria manapun, jika dirinya mau. Tapi, Helena hanya mau Max. Memikirkan Max sedikit saja membuat hatinya kian berbunga-bunga layaknya taman asri. "Tidak apa, aku tahu dia gugup," gumamnya, kala melihat arloji kecil di pergelangan tangannya. Senyum cerah tak surut, hingga seseorang berlari ke arahnya dan menundukkan kepala sambil terengah. "Kenapa kau ada di sini?"Orang itu menarik napas dalam-dalam. "Maafkan saya, Nona. Jharna dan keluarganya hilang tanpa jejak dari satu jam lalu."Tangan Helena reflek menggebrak meja, dia bangun seraya menatap tajam orang suruhannya itu. "Ja
Keesokan harinya, masih di kediaman Max. Jharna tidak menemukan Aidan di kamarnya, termasuk keberadaan Rula. Setiap pelayan ditanyakan di mana keluarganya itu. Hasil yang dia dapat berujung sama, nihil. Membuatnya memutuskan menemui Max, karena sedari jam makan pagi tiada satu orang pun datang ke ruang makan dan hanya dirinya seorang. "Selamat pagi, Nyonya," sapa Austin ramah. "Selamat pagi. Apa Tuanmu ada di ruang kerjanya?" "Tuan ada di ruangannya, Nyonya. Tapi, kemungkinan untuk saat ini tidak bisa diganggu," jelas Austin, memancing raut kesal di sisi Jharna. "Tuan menyampaikan, jika anda membutuhkan sesuatu, anda bisa mencari saya. Saya siap menjadi perantara."Jharna menghela napas berat. "Begini, aku tak menemukan anak dan bibiku. Apakah mereka diusir atau dibawa ke tempat lain?"Austin tidak langsung menjawabnya, dia mencari kata serta kalimat tepat untuk menjelaskannya secara singkat dan mudah dipahami oleh Jharna. Kemudian, dia tersenyum kecil lalu di iringi jawabannya.
Ada satu orang lagi yang sedang bergelut pada permasalahan hidup serta cintanya. Ya itu, ialah Mackenzie Kingston. Wanita itu menempati sebuah rumah besar hampir luasnya setara seperti kediaman Max. Di sana dia dirawat sebagai pasien, dengan seorang dokter sering berkunjung atau sesekali disuruh menginap untuk sekedar menemaninya, menjadikannya sebuah main atau anjing pelolong handal. Semua itu tidak luput dari pemantauan Max secara berkala, di waktu senggang selalu satu momen Max memastikan pengobatan Mac berjalan sebagaimana mestinya. Kelancaran dalam pengobatan selalu menjadi nomor satu, ketika adik pertama Max tersebut memastikan kehidupannya di keadaan kedamaian. Bagi Mac, ini termasuk berlebihan. Dia tidak ingin setiap orang mengawasi, memperketat penjagaan bersama diasingkan dari dunia luar sementara waktu. Segala bisnis dan hingar-bingar kehidupannya di luar sana terpaksa di tinggalkan begitu saja, demi menjalani pengobatan mental. Andai penyakit lemahnya tak ketahuan, mungk
"Kau pembohong mahir. Memainkan peran penting, demi memuaskan hati sendiri. Menikmati kelemahan serta ketidak berdayaan orang lain, begitulah dirimu," paparnya bersuara kecil. Sepasang mata memandang dirinya di dalam sebuah tatapan tenang nan menusuk. Dirinya seolah terjerat di tengah-tengah kubangan lumpur hisap pemakan jiwa, gambaran miris pada posisinya saat ini. Mau berpijak di mana pun, jika itu terlihat jelas di mata seorang Max, dipastikan dia telah di ambang kehidupan. Dua pilihan yang selalu menjadi tumpuan terakhir, antara menerima atau kembali mencoba pergi. Menerima sama saja seperti mengikhlaskan semua keadaan, sedangkan mencoba pergi layaknya terperangkap ke permainan serupa. Tiada pilihan terbaik. Hanya hati di suruh memaksa sadar, bahwa dia tidak memiliki pilihan lain."Apa salahnya, Jharna, kau cukup menerimanya. Jangan salahkan aku menjeratmu berkali-kali, mendapatkan sesuatu juga butuh pengorbanan," sahut Max santai. Tangannya memperdalam pelukan mereka. Jharna mu
Hari terus berlalu. Jharna tidak tahu Max membawa Aidan dan Rula ke mana, sampai saat ini Max juga enggan memberitahu hal tersebut. Kendati mendapatkan jawaban, justru keduanya berakhir melakukan kegiatan di atas ranjang beberapa kali. Bahkan, kejadian di ruang kerja empat hari lalu terngiang jelas di benak Jharna, bagaimana panasnya permainan mereka berdua di meja kerja Max sendiri. Mengingatnya sungguh memancing Jharna untuk memaki, tapi dia takkan melakukannya. Sejenak wanita beranak satu itu menghela napas panjang. Punggung serta pinggang sakitnya luar biasa, disebabkan Max menggempurnya bukan dengan waktu sebentar saja, melainkan berjam-jam lamanya. Lagi dan lagi dia mengingatnya, seolah Max telah mendoktrin isi kepalanya sekarang. "Haa, pria sialan! Bisa-bisanya kau muncul memenuhi isi kepalaku!" rutuknya pelan, terkadang tangannya memukul atau menjambak sedikit rambutnya. Dia mencoba bersantai di kamar mereka berdua. Tapi di san
Keesokan harinya di kediaman Max. Pria itu sedang berjalan santai menuju ke kamar mandi tanpa menggunakan baju atasan yang menutupi tubuh atletisnya. Pahatan menggoda tersebut terus bertambah sempurna, terlebih dirinya tak pernah absen olahraga, seperti bercinta contohnya. "Bangunlah, sayang, pagi telah datang menyambut mu," ucap Max perlahan setelah kegiatannya selesai. Dia memandang kagum karya tercetak di kulit putih Jharna, sebab ada tanda kepemilikan di leher, bahkan dia tidak segan atau jijik memberikannya di pangkal paha sang wanita. Jharna kini ada digenggaman. Menyenangkan memandang berlama-lama, hingga dirinya tidak sadar, jika Jharna sudah bangun. "Apa kau tidak punya kerjaan? Ck, kau seperti pengangguran yang mempunyai banyak waktu luang," cibir Jharna. Suaranya serak dan menarik perhatian Max. "Karyawan dan uang, untuk apa kalau tak memanfaatkannya? Padahal mereka aku beri gaji. Tenang saja, sayang, aku tidak akan jatuh miskin wal
"Kenapa kau terus menatapku begitu, hmm?" Jharna menggeleng pelan, lalu dia mengalihkan tatapannya. "Benarkah cintamu untukku itu nyata?" lirih Jharna bertanya tanpa melirik Max di dekatnya. Kegundahan selalu bersemayam di hati, keyakinannya baru beberapa persen karena akhir-akhir kepalanya sakit luar biasa.Max sendiri terdiam, terbungkam keheningan di tengah-tengah pertanyaan yang semestinya tak perlu ditanyakan lagi. Sesaat dirinya hampir larut di lamunan semu, kemudian tersenyum tipis sambil menggapai dagu Jharna, membuat Jharna menengadahkan kepala supaya matanya menatap dirinya sepenuhnya sekarang. "Pertanyaan bodoh. Tentu aku mencintaimu sejak lama, kau sendiri memilih pergi dan tak percaya. Ya, aku harus apa?" Jharna tertegun. Lalu membuang pandangan ke samping, tetapi Max mencegah gerakkannya itu. "Mau mengelak serta berlari sejauh kau bisa, aku tetap akan menarikmu kembali, Jharna. Meyakinkan, jika perasaan ini nyata, walau kau sadar sendiri semuanya selalu kau tepis.""Ap
Jharna menerima beberapa suapan di waktu sarapannya pagi ini. Pria berstatus sebagai suaminya itu selalu melimpahkan perhatian sedari dirinya membuka mata, entah hanya mengantarkan dirinya ke kamar mandi atau perlakuan kecil lain. Padahal dia masih mempu melakukan semuanya sendiri, tapi Max gigih ingin memberikan hak terbaik untuknya. Ditambah lagi saat mendengar penjelasan dokter mengenai kesehatannya, ternyata Jharna terlalu lelah melakukan kegiatan ranjang dan Max sendiri selaku suami berterus terang tanpa ada yang ditutupi, meski jujur saja Jharna malu dibuatnya. Apa lagi dokter seolah memaklumi setiap Max menjelaskan. "Apa ada seseorang yang merawat Aidan di rumah?" Pergerakan tangan Max berhenti, mengambang di udara sebentar dan kembali menyuapi Jharna. "Tentu ada. Di sana banyak pelayan yang rela menjaga Aidan dua puluh empat jam," jawab Max tenang. "Ya, aku tahu itu. Namun, di mana keberadaan Bibi Rula sekarang? Sampai saat ini aku belum menerima kabar apapun darinya, M