"Kau pembohong mahir. Memainkan peran penting, demi memuaskan hati sendiri. Menikmati kelemahan serta ketidak berdayaan orang lain, begitulah dirimu," paparnya bersuara kecil. Sepasang mata memandang dirinya di dalam sebuah tatapan tenang nan menusuk. Dirinya seolah terjerat di tengah-tengah kubangan lumpur hisap pemakan jiwa, gambaran miris pada posisinya saat ini. Mau berpijak di mana pun, jika itu terlihat jelas di mata seorang Max, dipastikan dia telah di ambang kehidupan. Dua pilihan yang selalu menjadi tumpuan terakhir, antara menerima atau kembali mencoba pergi. Menerima sama saja seperti mengikhlaskan semua keadaan, sedangkan mencoba pergi layaknya terperangkap ke permainan serupa. Tiada pilihan terbaik. Hanya hati di suruh memaksa sadar, bahwa dia tidak memiliki pilihan lain."Apa salahnya, Jharna, kau cukup menerimanya. Jangan salahkan aku menjeratmu berkali-kali, mendapatkan sesuatu juga butuh pengorbanan," sahut Max santai. Tangannya memperdalam pelukan mereka. Jharna mu
Hari terus berlalu. Jharna tidak tahu Max membawa Aidan dan Rula ke mana, sampai saat ini Max juga enggan memberitahu hal tersebut. Kendati mendapatkan jawaban, justru keduanya berakhir melakukan kegiatan di atas ranjang beberapa kali. Bahkan, kejadian di ruang kerja empat hari lalu terngiang jelas di benak Jharna, bagaimana panasnya permainan mereka berdua di meja kerja Max sendiri. Mengingatnya sungguh memancing Jharna untuk memaki, tapi dia takkan melakukannya. Sejenak wanita beranak satu itu menghela napas panjang. Punggung serta pinggang sakitnya luar biasa, disebabkan Max menggempurnya bukan dengan waktu sebentar saja, melainkan berjam-jam lamanya. Lagi dan lagi dia mengingatnya, seolah Max telah mendoktrin isi kepalanya sekarang. "Haa, pria sialan! Bisa-bisanya kau muncul memenuhi isi kepalaku!" rutuknya pelan, terkadang tangannya memukul atau menjambak sedikit rambutnya. Dia mencoba bersantai di kamar mereka berdua. Tapi di san
Keesokan harinya di kediaman Max. Pria itu sedang berjalan santai menuju ke kamar mandi tanpa menggunakan baju atasan yang menutupi tubuh atletisnya. Pahatan menggoda tersebut terus bertambah sempurna, terlebih dirinya tak pernah absen olahraga, seperti bercinta contohnya. "Bangunlah, sayang, pagi telah datang menyambut mu," ucap Max perlahan setelah kegiatannya selesai. Dia memandang kagum karya tercetak di kulit putih Jharna, sebab ada tanda kepemilikan di leher, bahkan dia tidak segan atau jijik memberikannya di pangkal paha sang wanita. Jharna kini ada digenggaman. Menyenangkan memandang berlama-lama, hingga dirinya tidak sadar, jika Jharna sudah bangun. "Apa kau tidak punya kerjaan? Ck, kau seperti pengangguran yang mempunyai banyak waktu luang," cibir Jharna. Suaranya serak dan menarik perhatian Max. "Karyawan dan uang, untuk apa kalau tak memanfaatkannya? Padahal mereka aku beri gaji. Tenang saja, sayang, aku tidak akan jatuh miskin wal
"Kenapa kau terus menatapku begitu, hmm?" Jharna menggeleng pelan, lalu dia mengalihkan tatapannya. "Benarkah cintamu untukku itu nyata?" lirih Jharna bertanya tanpa melirik Max di dekatnya. Kegundahan selalu bersemayam di hati, keyakinannya baru beberapa persen karena akhir-akhir kepalanya sakit luar biasa.Max sendiri terdiam, terbungkam keheningan di tengah-tengah pertanyaan yang semestinya tak perlu ditanyakan lagi. Sesaat dirinya hampir larut di lamunan semu, kemudian tersenyum tipis sambil menggapai dagu Jharna, membuat Jharna menengadahkan kepala supaya matanya menatap dirinya sepenuhnya sekarang. "Pertanyaan bodoh. Tentu aku mencintaimu sejak lama, kau sendiri memilih pergi dan tak percaya. Ya, aku harus apa?" Jharna tertegun. Lalu membuang pandangan ke samping, tetapi Max mencegah gerakkannya itu. "Mau mengelak serta berlari sejauh kau bisa, aku tetap akan menarikmu kembali, Jharna. Meyakinkan, jika perasaan ini nyata, walau kau sadar sendiri semuanya selalu kau tepis.""Ap
Jharna menerima beberapa suapan di waktu sarapannya pagi ini. Pria berstatus sebagai suaminya itu selalu melimpahkan perhatian sedari dirinya membuka mata, entah hanya mengantarkan dirinya ke kamar mandi atau perlakuan kecil lain. Padahal dia masih mempu melakukan semuanya sendiri, tapi Max gigih ingin memberikan hak terbaik untuknya. Ditambah lagi saat mendengar penjelasan dokter mengenai kesehatannya, ternyata Jharna terlalu lelah melakukan kegiatan ranjang dan Max sendiri selaku suami berterus terang tanpa ada yang ditutupi, meski jujur saja Jharna malu dibuatnya. Apa lagi dokter seolah memaklumi setiap Max menjelaskan. "Apa ada seseorang yang merawat Aidan di rumah?" Pergerakan tangan Max berhenti, mengambang di udara sebentar dan kembali menyuapi Jharna. "Tentu ada. Di sana banyak pelayan yang rela menjaga Aidan dua puluh empat jam," jawab Max tenang. "Ya, aku tahu itu. Namun, di mana keberadaan Bibi Rula sekarang? Sampai saat ini aku belum menerima kabar apapun darinya, M
Sepasang mata memicing tajam menilai ingatan yang lama tenggelam akibat larut dalam waktu. Alisnya menukik seraya menggigit kuku jari, merupakan kegiatan ini biasa dirinya lakukan. Kendati usai, dia justru semakin memikirkan jika ada kegagalan saat rencananya dimulai."Tidak, aku tidak boleh teralihkan. Dulu Max dan aku memang mempunyai kehidupan damai disertai canda-tawa menghias hubungan kami, meski itu terjadi pada waktu remaja," gumamnya, bermonolog. Kini kedua tangan terlipat di depan dada, matanya tergambar jelas hati yang tengah was-was entah mengarah tak tentu. Helena berharap Max melirik dirinya seperti dulu mereka menghabiskan masa remaja. Dia jadi ingat setelah mengulik ingatan lampau pada masa itu. Sesosok remaja perempuan perempuan berhasil merebut hati Max."Wajahnya samar sekali. Ingatlah, Helena, siapa dia!" rutuknya berusaha mengingat wajah remaja perempuan, yang mengalihkan perhatian sang pujaan."Aku hanya mengingat warna rambutnya, coklat. Tidak lainnya," lirih He
Pada malam harinya di restoran mewah berbintang lima. Max memutuskan mengajak Jharna menikmati suasana malam, hitung-hitung melepaskan penat setelah rasa letih mempengaruhi akibat kegiatan di kantor memuakkan. Rencananya Max mengajak Jharna ke tempat lain selain restoran nantinya. Jharna sendiri menuruti apa kemauan Max, sampai keduanya tak perlu pulang dan hanya membersihkan diri di kamar pribadi milik Max di ruang kerjanya. Terlebih, di sana sudah tersedia sebuah gaun indah nan anggun. Sama sekali tidak menunjukkan desain lekukan tubuh berlebih, tampak sangat sopan seperti gaun formal. Kini Jharna telah siap. Wajahnya di poles tipes dengan riasan sederhana, di tambah max juga baru keluar dari kamar mandi, mampu mengalihkan sebentar pandangan Jharna. "Apa gaun ini kau yang memilihnya?" Max berjalan menghampiri sang istri sembari mematri senyuman di bibirnya. "Tentu, khusus untukmu, hanya boleh aku menilai seberapa layak pakaian melekat di tubuh ini. Sekarang kau adalah istriku,
Setelah sekian lama tidak memberi waktu pada dirinya sendiri, terutama mengistirahatkan mentalnya agar selalu terkendali dengan baik, Jharna kini tahu permasalahan tersebut selama dirinya sudah menerima Max kembali. Tanpa sadar dia menyisihkan celah buat mengaturnya sesuai keinginannya sendiri. Memanipulasi car berpikirnya dan tak serta-merta turut andil dalam permainan emosi. Sehingga menciptakan ruang di hati Jharna supaya mau terbuka, terlebih memaafkan atas kesalahan pria selaku suaminya. Entah itu perbuatan masa lalu atau masa sekarang yang tengah mereka jalani. Rasanya helaan napas berat adalah isyarat kurang tak nyaman, gambaran tepat mengenai suasana hati. Bahkan, raut wajah tanpa ekspresi enggan sekali menampilkan sedikit empati. Sayangnya, semua tidak bertahan lama. Jharna mempunyai sisi berpasrah serta firasatnya mengatakan, harus mau bersabar menghadapi Max. Dikarenakan pria itu pintu masuk penderitaan juga pintu keluar menuju kebahagiaan. Dia harap pun begitu. "Apa