"Apa berita tempo hari cukup menghibur anda, Tuan?" Seseorang yang sedang dia tanya tak langsung menoleh.Max, dirinya tengah memandangi foto cantik Jharna melalui ponselnya. Perhatiannya harus teralihkan, karena pertanyaan menarik dari Austin barusan. "Ya, lumayan. Apa ada masukkan tentang bumbu tambahan?"Austin diam-diam tersenyum miring. "Tentu ada, Tuan-ku. Bumbu penyedap mana yang paling bagus, agar masakan tersebut kian sedap dirasa?""Saya menyarankan pemanis, seperti gula," tambah Austin bersemangat.Kening Max berkerut sesaat, lalu tak lama kepalanya mengangguk. Benaknya sampai membayangkan, rasa puas hasil kinerja anak buahnya satu ini. Perlahan-lahan bibirnya membentuk seringai menyeramkan. Dia gemar sekali hal yang menurutnya pantas dimasak. Contohnya, yang sedang mereka perbincangkan sekarang."Tampaknya aku mesti memberikan bonus untukmu, Austin," cetus Max sempat berpikir. "Lakukan apa maumu terhadap masakan yang sedang kau pegang. Janjikan aku hasil memuaskan nantinya
"Jharna, aku tahu kau sedang dalam kesulitan," kata Agustine dengan lembut. "Aku memiliki tawaran untukmu." Mereka duduk di ruang tamu, dan Jharna merasa suasana tegang saat Agustine memulai percakapan. Jharna mengernyit keheranan. "Tawaran apa, Nyonya?" Agustine menarik napas dalam-dalam. "Menikahlah dengan anakku, dan semua hutang mendiang suamimu akan aku anggap lunas." Jharna tertegun. Lantas bertanya, "Menikah? Dengan anak Anda? Tapi kenapa saya?" Agustine menatapnya dengan penuh keyakinan tanpa ragu. "Aku sudah memeriksa latar belakangmu. Kau wanita yang kuat dan berdedikasi. Anakku membutuhkan seseorang seperti dirimu." Jharna merasa dadanya sesak. "Tapi saya seorang janda dan memiliki anak yang masih kecil. Kenapa Anda memilih saya?" Agustine tersenyum lagi. "Karena aku melihat potensi dalam dirimu. Anak-anakku membutuhkan pendamping yang kuat dan penuh kasih." Jharna terdiam, mencoba mencerna semua informasi. "Tapi apakah anak Anda setuju dengan ini?" "Dia
Keesokan harinya. Tepatnya sore ini Jharna dijemput supir dari kediaman Agustine. Tepat saat sampai, Agustine sendiri yang menyambutnya dan memberikan pelukan hangat selamat datang. Keduanya berjalan masuk dengan tangan Agustine senantiasa menggandeng Jharna, memperlakukannya hangat selayaknya keluarga sungguhan. "Anakku masih berada di ruang kerja, mungkin nanti saat jam makan malam tiba dia akan keluar," ungkap Agustine sambil tersenyum kecil. "Baiklah, Bu. Aku mengerti." Masih ada rasa tak rela akibat perjodohan ini, dia takut kebebasannya semakin tipis sekedar mengekspresikan diri. Namun, Jharna tetap pada tujuan utama, membalas Agustine semampunya melalui calon suaminya nanti. Sedangkan Agustine menuntun Jharna ke lantai atas tempat atap yang telah di desain nyaman, guna bersantai. Di sana ternyata ada meja bundar berukuran sedang, beserta camilan dan teh. Keduanya duduk seraya menikmati pemandangan langit yang semakin larut berubah, menjadikan warna jingga menciptakan sen
"Ibu!" seru seorang anak menghampiri Jharna, kaki kecilnya berlarian dan menabrakkan diri ke sang ibu di saat tubuh wanita itu direndahkan. Jharna memilih berjongkok guna menyamakan tinggi sang anak. Memeluk erat buah hatinya sembari mengusap punggung mungil itu. "Ibu merindukanmu, sayang." "Aku juga, Bu!" balas anaknya riang. "Jharna, bisakah kita bicara sebentar? Sebelum itu, mari mengobrol di dalam," pinta seorang wanita, dia adalah bibinya Jharna. Jharna lumayan memahami situasi serta langsung menyetujui, sehingga dengan lembut dirinya membawa sang anak pula masuk ke rumah, ditambah malam kian larut. Setelah di dalam sana, Jharna menidurkan sang anak kala usai membersihkan diri, dia adalah Aidan Benjamin. Sesosok anak kecil lugu nan polos, hidup dalam penuh kesengsaraan akibat ulah dirinya dan mendiang suaminya sendiri. Kini Jharna bisa berekspektasi bagaimana mendambakan realitas sosial dengan lingkungan baik untuk Aidan. Namun, lamunan Jharna buyar ketika ketukan pintu k
Tiga hari kemudian. Jharna dan Max kini berada di butik rekomendasi dari Agustine. Kualitas serta pelayanan di sana sangat bagus, terutama desain menarik sudah Agustine pilihkan secara khusus, lalu tinggal Jharna memilih yang mana akan dipakai nanti di hari pernikahan. Max sendiri tetap diam, mengiyakan saja sambil sibuk melanjutkan pekerjaan melalui ponsel. Sehingga tidak lama Jharna selesai, perhatian Max tak sedikitpun sepenuhnya ke arah Jharna. Pria itu juga memilih tuxedo senada dengan gaun pilihan Jharna, menyempatkan sedikit waktu hanya demi pakaian. Ada rasa kecewa mendapatkan perlakuan tersebut. Jharna berusaha abai dan fokus pada diri sendiri. "Bisakah kau pulang menaiki taksi?" tanya Max tiba-tiba. "Tentu saya bisa," jawab Jharna seadanya tanpa menatap Max. Sedangkan Max barusan memang bertanya sembari melirik sekilas ke Jharna, tapi berbeda hal oleh Jharna sendiri. "Kalau begitu—" "Saya permisi Tuan," putus Jharna cepat di saat sebuah taksi berhenti dan menurun
Jam makan siang akhirnya tiba. Karena memang tak bisa tidur lagi, Jharna memutuskan keluar kamar. Satu jam lamanya dirinya di dalam sana sembari melamun, memikirkan apa saja yang membuatnya tenang sendiri. Setiap orang mempunyai caranya, dan itulah caranya sendiri. Di ruangan Max ternyata ada seorang wanita cantik, berpostur tubuh indah sempurna, lalu menatapnya yang baru keluar dari kamar pribadi si CEO. Dari cara bicaranya 'lah langsung ketebak bagaimana watak si wanita. "Aku baru tahu jika Max berani menyewa jal*ng," tuduhnya sinis, bermaksud merendahkan Jharna. Apakah Jharna mau membalas? Oh, tentu tidak. Dia mengabaikan wanita asing tersebut sambil melangkah ingin keluar. Bertepatan oleh Max yang masuk kembali dan menarik lembut Jharna. Menyuruhnya duduk di depan si wanita tadi. Jharna menghela napas dan malas berdebat. Wanita berpenampilan glamor serta sangatlah fashion able itu mengangkat dagu angkuh, matanya menelisik cara berpakaian Jharna dari kepala hingga ujung kaki
"Jharna!" panggil seseorang.Jharna dan Aidan menoleh kompak ke asal suara di balik punggung mereka. Seorang pria dengan lesung pipi tengah berlari menghampiri. "Aku menunggu kalian, mengapa baru pulang di jam segini?" cecar Theodor sambil melihat arloji di pergelangan tangan kiri. "Hampir saja aku pulang, kalau tak sabar."Gurat sesal amat ketara di wajah Jharna. "Maaf, kami baru saja pergi ke suatu tempat. Aku bahkan lupa memeriksa jam, sehingga tak terasa waktu berlalu begitu cepat, Theo."Theodor tersenyum kecil, lalu melirik Aidan yang sedang menahan kantuk. "Ya sudah, tampaknya kalian butuh istirahat.""Maaf kalau aku datang tanpa mengabarkan mu," lanjutnya seraya mengusap kepala Aidan. "Tunggulah sebentar, aku akan menaruh Aidan terlebih dahulu," putus Jharna, langsung membalikkan badan dan masuk ke rumah. Theodor tak memungkiri jika ada hal penting yang ingin dirinya sampaikan. Apa lagi Jharna seperti tidak ke
Sejak hari di mana Jharna kepergok oleh sang calon suami, dirinya kini merasa selalu diawasi setiap pergi keluar rumah. Perihal itu pula, dirinya harus menghadapi hari menjelang pernikahan, dengan hanya menghitung hari menggunakan jari. Kegiatannya pun di atur. Jharna juga sudah tidak diperbolehkan bekerja di kafe, walau dirinya sendiri masih ingin. Meski begitu, atas perintah Agustine, Jharna akhirnya mengikuti kemauan wanita paruh baya tersebut. Di lain sisi, dirinya merasa tak enak hati, karena hutang bank dan rentenir telah dilunasi oleh Agustine. Hutangnya jadi tidak menumpuk di mana-mana. Akan tetapi justru berat di diri Jharna tentang balas budi. Memikirkan hal itu membuat dia menghela napas. "Bahkan, jika aku menggantikan semua uangnya, pasti butuh waktu seumur hidup.""Kau menaruh hutang di mana lagi?" Jharna terkesiap mendengar pertanyaan seseorang. Kepalanya menoleh, lalu menatap pria yang enggan dirinya pikirkan sedari kem