Share

Bab 4

Tiga hari kemudian.

Jharna dan Max kini berada di butik rekomendasi dari Agustine. Kualitas serta pelayanan di sana sangat bagus, terutama desain menarik sudah Agustine pilihkan secara khusus, lalu tinggal Jharna memilih yang mana akan dipakai nanti di hari pernikahan.

Max sendiri tetap diam, mengiyakan saja sambil sibuk melanjutkan pekerjaan melalui ponsel. Sehingga tidak lama Jharna selesai, perhatian Max tak sedikitpun sepenuhnya ke arah Jharna. Pria itu juga memilih tuxedo senada dengan gaun pilihan Jharna, menyempatkan sedikit waktu hanya demi pakaian.

Ada rasa kecewa mendapatkan perlakuan tersebut. Jharna berusaha abai dan fokus pada diri sendiri.

"Bisakah kau pulang menaiki taksi?" tanya Max tiba-tiba.

"Tentu saya bisa," jawab Jharna seadanya tanpa menatap Max.

Sedangkan Max barusan memang bertanya sembari melirik sekilas ke Jharna, tapi berbeda hal oleh Jharna sendiri. "Kalau begitu—"

"Saya permisi Tuan," putus Jharna cepat di saat sebuah taksi berhenti dan menurun penumpang di dekat mereka. Mengindahkan tangan Max yang memegang lembaran uang di tangan.

Senyum miring tertarik di sudut bibir Max, matanya hampir mendelik karena menerima balasan Jharna, selaku calon istri. "Si*l, dia mengabaikan ku?" tanyanya, bermonolog.

Di posisi Jharna. Di dalam taksi yang dirinya tumpangi, pikirannya terus melayang kepada perlakuan Max tiga hari yang lalu. Tidak ada kejelasan berlanjut sampai hari ini tiba, meski dirinya tak bertanya, seharusnya Max menyadari kesalahannya.

Sejenak, dia merasakan ada sikap berlebihan dari dirinya, Jharna merutuki kebodohannya. Tidak seharusnya tingkahnya tak sopan begini, membuat Jharna menoleh ke belakang, di mana mobil Max mengikuti yang ditumpanginya.

Keningnya berkerut samar, matanya pula memicing. Bahwasanya, tujuan mereka berlawanan arah dan setahunya Max akan kembali ke kantor. "Buat apa dia mengikuti ku?"

Kemudian Jharna melihat mobil Max menyalip taksi yang dirinya tumpangi dan menghalangi jalannya sekarang. Si supir taksi melirik Jharna. "Maaf, Nyonya, tampaknya mobil itu ingin kita berhenti."

"Ya sudah, berhentilah. Saya mengenal si pengemudi menyebalkan itu," sahut Jharna cepat.

Mobil taksi berhenti, di ikuti mobil Max di depannya. Seorang pria bertubuh jangkung dan berwajah datar keluar dari sisi kemudi, berjalan menuju Jharna duduk di kursi penumpang. Sedangkan di posisi Jharna, dia lekas membayar penuh si supir taksir dan keluar tanpa mempedulikan si supir, karena uang yang diberi kelebihan.

Tangan Max menyambar pergelangan tangan Jharna cukup kasar, mencekalnya, menariknya ke mobil mewah terparkir asal di depan sana. Jharna mencoba melepas tangan Max, walau hasilnya nihil, itu menimbulkan rasa perih serta ruam kemerahan di pergelangan tangannya.

Brak!

"Ternyata kita belum selesai, siang ini kau harus menemaniku di kantor—atas perintah Ibu," katanya, entah benar atau tidak.

Cekalan tersebut terlepas dan mereka duduk tenang ketika mobil mulai melaju.

Max tak mendengar Jharna membantah, apa lagi melayangkan protes. Lirikan matanya jatuh ke pergelangan tangan yang tampak memerah. Tiba-tiba mobil berhenti dan mengambil tangan Jharna, meniupnya pelan seraya mengusap lembut, hingga menciptakan sesuatu berdesir tidak nyaman di dalam dada.

"Hah, maafkan aku. Seharusnya aku tak menarik mu sekencang itu," ucapnya bernada pelan.

Helaan napas terdengar jelas di telinga Jharna, wajahnya pun kian memaling ke arah lain. "Aku juga salah, mari kita lanjutkan perjalanannya."

Max melanjutkan perjalanannya, mengabaikan reaksi Jharna yang dia tahu tengah tersipu malu.

Di lain tempat. Seorang pria meremat kuat lembaran foto berisi potret wanita dan pria asing yang baru saja mengunjungi butik ternama, guna memesan gaun pernikahan. Di samping itu, anak buah lainnya mengekori ke mana si wanita pergi.

Alih-alih berhenti sampai situ, si pria ini malah menyuruh seseorang untuk menyusup dan kerja di perusahaan si pria asing, yang kini menjadi calon suami wanita pujaannya.

Matanya menghunus tajam ke arah foto. Perasaan tidak rela bergemuruh layaknya badai di tengah lautan lepas. Dia ingin sekali merebut wanitanya, pujaan dan dambaannya selama ini. Jharna adalah cinta di beberapa tahun silam, sampai sekarang.

Ironisnya, selalu saja dirinya terhalang ketika ingin semakin dekat oleh Jharna. "Aku mencintaimu, Jharna Obelia."

"Mengapa perjuanganku, kau anggap sekedar bantuan teman dekat? Apakah hubungan spesial dulu tak begitu berarti bagimu?" lirihnya bergumam.

Tatapan berubah sendu sembari mengusap foto lain berisi dirinya dan Jharna. Kecupan lembut dia sematkan secara penuh ke arah foto tersebut dengan waktu singkat.

"Tuhan, aku sungguh mencintainya."

***

"Aku rasa, aku tak menarik daun telingamu," ucap Max, tatkala melihat Jharna kesal sendiri sambil mengusap telinganya dan bersin tiba-tiba.

"Bersikap seperti biasalah, Tuan," cetus Jharna tak biasa mendapatkan perhatian, walau sedikit.

Sebenarnya Jharna kurang memahami bagaimana sifat Max sebenarnya, ditambah calon suaminya sering bersikap dingin dan bermulut pedas. Entah harus menyikapi seperti apa, jelasnya Max di bawah pengaruh perintah Agustine.

"Kau bisa duduk di mana pun. Jangan keluar ruangan tanpa persetujuan dariku," titah Max sambil menggertak.

"Jika saya ingin ke toilet bagaimana?" tanya Jharna.

"Di ruangan ini ada kamar mandi pribadi, kau tinggal masuk ke pintu di samping rak buku, ada lagi?" tunjuk Max tenang.

Jharna berpikir sejenak, lalu mengangkat pandangannya menatap Max. "Kalau saya lapar bagaimana? Tidak mungkin bukan saya keluar ruangan dan pastinya anda sudah melarang seperti sebelumnya."

Mendengar perkataan Jharna, Max jadi tertawa sinis dan melipat kedua tangan di depan dada. Tangannya bergerak memegang telepon di meja kerja miliknya sembari membalas tatapan Jharna.

"Aku tak semiskin itu, untuk tidak mempekerjakan seseorang. Seseorang bisa membawa pesananmu, jika kau meminta makanan sesuai seleramu."

Bibir Jharna terkatup rapat. Dia melupakan itu, kemudian mengangguk mengerti. Sedangkan Max melengos begitu saja, melanjutkan kegiatan di meja kerjanya.

Selang satu jam lamanya, saking seriusnya Max pada pekerjaan. Dirinya sampai lupa kalau ada Jharna di dekatnya yang sedang menunggu. Wanita itu tertidur dengan posisi duduk sambil kepala tertunduk.

"Ck, merepotkan," decak Max kesal.

Max menghampiri Jharna. Mencoba memapah, namun berat badannya sangat ringan, hingga Max memilih menggendongnya saja.

"Apa dia makan sesuatu? Ini—terlalu ringan, aku juga bisa meremukkan tubuhnya kapan aku mau." Entah Max berbicara kepada siapa, tetapi perhatiannya mulai teralih akan raut wajah Jharna, yang tampak pulas.

Di kamar pribadinya inilah Max membiarkan calon istrinya beristirahat, selagi dirinya melanjutkan pekerjaan. Tatapan masih datar dan sesekali wajahnya mengernyit.

Jika seseorang melihat ekspresinya mungkin akan salah, menilai kalau Max menaruh dendam pada Jharna, tapi kenyataannya bukanlah begitu. Kini Max melangkah untuk pergi, di ambang pintu yang mau Max tutup, matanya sempat memandang Jharna.

"Jangan berharap lebih pada siapapun, aku pula bukan orang baik."

Kalimat membingungkan sangat jelas di telinga Jharna. Ya, dirinya memang sempat tertidur, tetapi dia terbangun kala Max menggendongnya. Betapa membingungkannya hubungan mereka berdua.

Antara menaruh hati atau masih tak setuju melalui penilaian Jharna, dirinya kembali menepis kenyataan yang bisa terjadi di masa depan. Berusaha menerima lapang dada, kalau Max sampai kapanpun tak pernah bisa membuka hati untuk dirinya seorang. Walau Jharna nampaknya sudah terlanjur jatuh.

"Tenggelam dalam kesedihan itu, sering biasa terjadi. Larangan menaruh hati hanya menghadirkan luka, namun segala harapan harus terhapus. Jalani semuanya tanpa perasaan juga adalah keputusan yang baik."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status