Tiga hari kemudian.
Jharna dan Max kini berada di butik rekomendasi dari Agustine. Kualitas serta pelayanan di sana sangat bagus, terutama desain menarik sudah Agustine pilihkan secara khusus, lalu tinggal Jharna memilih yang mana akan dipakai nanti di hari pernikahan. Max sendiri tetap diam, mengiyakan saja sambil sibuk melanjutkan pekerjaan melalui ponsel. Sehingga tidak lama Jharna selesai, perhatian Max tak sedikitpun sepenuhnya ke arah Jharna. Pria itu juga memilih tuxedo senada dengan gaun pilihan Jharna, menyempatkan sedikit waktu hanya demi pakaian. Ada rasa kecewa mendapatkan perlakuan tersebut. Jharna berusaha abai dan fokus pada diri sendiri. "Bisakah kau pulang menaiki taksi?" tanya Max tiba-tiba. "Tentu saya bisa," jawab Jharna seadanya tanpa menatap Max. Sedangkan Max barusan memang bertanya sembari melirik sekilas ke Jharna, tapi berbeda hal oleh Jharna sendiri. "Kalau begitu—" "Saya permisi Tuan," putus Jharna cepat di saat sebuah taksi berhenti dan menurun penumpang di dekat mereka. Mengindahkan tangan Max yang memegang lembaran uang di tangan. Senyum miring tertarik di sudut bibir Max, matanya hampir mendelik karena menerima balasan Jharna, selaku calon istri. "Si*l, dia mengabaikan ku?" tanyanya, bermonolog. Di posisi Jharna. Di dalam taksi yang dirinya tumpangi, pikirannya terus melayang kepada perlakuan Max tiga hari yang lalu. Tidak ada kejelasan berlanjut sampai hari ini tiba, meski dirinya tak bertanya, seharusnya Max menyadari kesalahannya. Sejenak, dia merasakan ada sikap berlebihan dari dirinya, Jharna merutuki kebodohannya. Tidak seharusnya tingkahnya tak sopan begini, membuat Jharna menoleh ke belakang, di mana mobil Max mengikuti yang ditumpanginya. Keningnya berkerut samar, matanya pula memicing. Bahwasanya, tujuan mereka berlawanan arah dan setahunya Max akan kembali ke kantor. "Buat apa dia mengikuti ku?" Kemudian Jharna melihat mobil Max menyalip taksi yang dirinya tumpangi dan menghalangi jalannya sekarang. Si supir taksi melirik Jharna. "Maaf, Nyonya, tampaknya mobil itu ingin kita berhenti." "Ya sudah, berhentilah. Saya mengenal si pengemudi menyebalkan itu," sahut Jharna cepat. Mobil taksi berhenti, di ikuti mobil Max di depannya. Seorang pria bertubuh jangkung dan berwajah datar keluar dari sisi kemudi, berjalan menuju Jharna duduk di kursi penumpang. Sedangkan di posisi Jharna, dia lekas membayar penuh si supir taksir dan keluar tanpa mempedulikan si supir, karena uang yang diberi kelebihan. Tangan Max menyambar pergelangan tangan Jharna cukup kasar, mencekalnya, menariknya ke mobil mewah terparkir asal di depan sana. Jharna mencoba melepas tangan Max, walau hasilnya nihil, itu menimbulkan rasa perih serta ruam kemerahan di pergelangan tangannya. Brak! "Ternyata kita belum selesai, siang ini kau harus menemaniku di kantor—atas perintah Ibu," katanya, entah benar atau tidak. Cekalan tersebut terlepas dan mereka duduk tenang ketika mobil mulai melaju. Max tak mendengar Jharna membantah, apa lagi melayangkan protes. Lirikan matanya jatuh ke pergelangan tangan yang tampak memerah. Tiba-tiba mobil berhenti dan mengambil tangan Jharna, meniupnya pelan seraya mengusap lembut, hingga menciptakan sesuatu berdesir tidak nyaman di dalam dada. "Hah, maafkan aku. Seharusnya aku tak menarik mu sekencang itu," ucapnya bernada pelan. Helaan napas terdengar jelas di telinga Jharna, wajahnya pun kian memaling ke arah lain. "Aku juga salah, mari kita lanjutkan perjalanannya." Max melanjutkan perjalanannya, mengabaikan reaksi Jharna yang dia tahu tengah tersipu malu. Di lain tempat. Seorang pria meremat kuat lembaran foto berisi potret wanita dan pria asing yang baru saja mengunjungi butik ternama, guna memesan gaun pernikahan. Di samping itu, anak buah lainnya mengekori ke mana si wanita pergi. Alih-alih berhenti sampai situ, si pria ini malah menyuruh seseorang untuk menyusup dan kerja di perusahaan si pria asing, yang kini menjadi calon suami wanita pujaannya. Matanya menghunus tajam ke arah foto. Perasaan tidak rela bergemuruh layaknya badai di tengah lautan lepas. Dia ingin sekali merebut wanitanya, pujaan dan dambaannya selama ini. Jharna adalah cinta di beberapa tahun silam, sampai sekarang. Ironisnya, selalu saja dirinya terhalang ketika ingin semakin dekat oleh Jharna. "Aku mencintaimu, Jharna Obelia." "Mengapa perjuanganku, kau anggap sekedar bantuan teman dekat? Apakah hubungan spesial dulu tak begitu berarti bagimu?" lirihnya bergumam. Tatapan berubah sendu sembari mengusap foto lain berisi dirinya dan Jharna. Kecupan lembut dia sematkan secara penuh ke arah foto tersebut dengan waktu singkat. "Tuhan, aku sungguh mencintainya." *** "Aku rasa, aku tak menarik daun telingamu," ucap Max, tatkala melihat Jharna kesal sendiri sambil mengusap telinganya dan bersin tiba-tiba. "Bersikap seperti biasalah, Tuan," cetus Jharna tak biasa mendapatkan perhatian, walau sedikit. Sebenarnya Jharna kurang memahami bagaimana sifat Max sebenarnya, ditambah calon suaminya sering bersikap dingin dan bermulut pedas. Entah harus menyikapi seperti apa, jelasnya Max di bawah pengaruh perintah Agustine. "Kau bisa duduk di mana pun. Jangan keluar ruangan tanpa persetujuan dariku," titah Max sambil menggertak. "Jika saya ingin ke toilet bagaimana?" tanya Jharna. "Di ruangan ini ada kamar mandi pribadi, kau tinggal masuk ke pintu di samping rak buku, ada lagi?" tunjuk Max tenang. Jharna berpikir sejenak, lalu mengangkat pandangannya menatap Max. "Kalau saya lapar bagaimana? Tidak mungkin bukan saya keluar ruangan dan pastinya anda sudah melarang seperti sebelumnya." Mendengar perkataan Jharna, Max jadi tertawa sinis dan melipat kedua tangan di depan dada. Tangannya bergerak memegang telepon di meja kerja miliknya sembari membalas tatapan Jharna. "Aku tak semiskin itu, untuk tidak mempekerjakan seseorang. Seseorang bisa membawa pesananmu, jika kau meminta makanan sesuai seleramu." Bibir Jharna terkatup rapat. Dia melupakan itu, kemudian mengangguk mengerti. Sedangkan Max melengos begitu saja, melanjutkan kegiatan di meja kerjanya. Selang satu jam lamanya, saking seriusnya Max pada pekerjaan. Dirinya sampai lupa kalau ada Jharna di dekatnya yang sedang menunggu. Wanita itu tertidur dengan posisi duduk sambil kepala tertunduk. "Ck, merepotkan," decak Max kesal. Max menghampiri Jharna. Mencoba memapah, namun berat badannya sangat ringan, hingga Max memilih menggendongnya saja. "Apa dia makan sesuatu? Ini—terlalu ringan, aku juga bisa meremukkan tubuhnya kapan aku mau." Entah Max berbicara kepada siapa, tetapi perhatiannya mulai teralih akan raut wajah Jharna, yang tampak pulas. Di kamar pribadinya inilah Max membiarkan calon istrinya beristirahat, selagi dirinya melanjutkan pekerjaan. Tatapan masih datar dan sesekali wajahnya mengernyit. Jika seseorang melihat ekspresinya mungkin akan salah, menilai kalau Max menaruh dendam pada Jharna, tapi kenyataannya bukanlah begitu. Kini Max melangkah untuk pergi, di ambang pintu yang mau Max tutup, matanya sempat memandang Jharna. "Jangan berharap lebih pada siapapun, aku pula bukan orang baik." Kalimat membingungkan sangat jelas di telinga Jharna. Ya, dirinya memang sempat tertidur, tetapi dia terbangun kala Max menggendongnya. Betapa membingungkannya hubungan mereka berdua. Antara menaruh hati atau masih tak setuju melalui penilaian Jharna, dirinya kembali menepis kenyataan yang bisa terjadi di masa depan. Berusaha menerima lapang dada, kalau Max sampai kapanpun tak pernah bisa membuka hati untuk dirinya seorang. Walau Jharna nampaknya sudah terlanjur jatuh. "Tenggelam dalam kesedihan itu, sering biasa terjadi. Larangan menaruh hati hanya menghadirkan luka, namun segala harapan harus terhapus. Jalani semuanya tanpa perasaan juga adalah keputusan yang baik."Jam makan siang akhirnya tiba. Karena memang tak bisa tidur lagi, Jharna memutuskan keluar kamar. Satu jam lamanya dirinya di dalam sana sembari melamun, memikirkan apa saja yang membuatnya tenang sendiri. Setiap orang mempunyai caranya, dan itulah caranya sendiri. Di ruangan Max ternyata ada seorang wanita cantik, berpostur tubuh indah sempurna, lalu menatapnya yang baru keluar dari kamar pribadi si CEO. Dari cara bicaranya 'lah langsung ketebak bagaimana watak si wanita. "Aku baru tahu jika Max berani menyewa jal*ng," tuduhnya sinis, bermaksud merendahkan Jharna. Apakah Jharna mau membalas? Oh, tentu tidak. Dia mengabaikan wanita asing tersebut sambil melangkah ingin keluar. Bertepatan oleh Max yang masuk kembali dan menarik lembut Jharna. Menyuruhnya duduk di depan si wanita tadi. Jharna menghela napas dan malas berdebat. Wanita berpenampilan glamor serta sangatlah fashion able itu mengangkat dagu angkuh, matanya menelisik cara berpakaian Jharna dari kepala hingga ujung kaki
"Jharna!" panggil seseorang.Jharna dan Aidan menoleh kompak ke asal suara di balik punggung mereka. Seorang pria dengan lesung pipi tengah berlari menghampiri. "Aku menunggu kalian, mengapa baru pulang di jam segini?" cecar Theodor sambil melihat arloji di pergelangan tangan kiri. "Hampir saja aku pulang, kalau tak sabar."Gurat sesal amat ketara di wajah Jharna. "Maaf, kami baru saja pergi ke suatu tempat. Aku bahkan lupa memeriksa jam, sehingga tak terasa waktu berlalu begitu cepat, Theo."Theodor tersenyum kecil, lalu melirik Aidan yang sedang menahan kantuk. "Ya sudah, tampaknya kalian butuh istirahat.""Maaf kalau aku datang tanpa mengabarkan mu," lanjutnya seraya mengusap kepala Aidan. "Tunggulah sebentar, aku akan menaruh Aidan terlebih dahulu," putus Jharna, langsung membalikkan badan dan masuk ke rumah. Theodor tak memungkiri jika ada hal penting yang ingin dirinya sampaikan. Apa lagi Jharna seperti tidak ke
Sejak hari di mana Jharna kepergok oleh sang calon suami, dirinya kini merasa selalu diawasi setiap pergi keluar rumah. Perihal itu pula, dirinya harus menghadapi hari menjelang pernikahan, dengan hanya menghitung hari menggunakan jari. Kegiatannya pun di atur. Jharna juga sudah tidak diperbolehkan bekerja di kafe, walau dirinya sendiri masih ingin. Meski begitu, atas perintah Agustine, Jharna akhirnya mengikuti kemauan wanita paruh baya tersebut. Di lain sisi, dirinya merasa tak enak hati, karena hutang bank dan rentenir telah dilunasi oleh Agustine. Hutangnya jadi tidak menumpuk di mana-mana. Akan tetapi justru berat di diri Jharna tentang balas budi. Memikirkan hal itu membuat dia menghela napas. "Bahkan, jika aku menggantikan semua uangnya, pasti butuh waktu seumur hidup.""Kau menaruh hutang di mana lagi?" Jharna terkesiap mendengar pertanyaan seseorang. Kepalanya menoleh, lalu menatap pria yang enggan dirinya pikirkan sedari kem
Di hari ketiga Jharna tinggal bersama keluarga kecil Kingston, dirinya diperlakukan selayaknya tuan rumah. Para pelayan ataupun pengawal menunduk hormat kepada Jharna. Di hari yang sama pula, kini dirinya tengah menghibur diri menonton sebuah berita di salah satu saluran televisi yang menayangkan tentang seorang pengusaha muda sukses. Nama Maximilian Kingston muncul beserta foto tampannya di layar. Mata Jharna terbuka sempurna setelah si pembawa berita menampilkan cuplikan sesi wawancaranya bersama Max. Namun bukan itu, akan tetapi, apa yang Max sampaikan sungguh membuat dirinya tak menyangka. Ia kira Max tidak mau memberitahukannya kepada publik. "Jadi, apa rencana anda selanjutnya ke depan, mengenai bisnis yang sudah berkembang pesat hingga ke mancanegara?" tanya si pembawa berita cukup antusias. Max tampak berpikir sejenak. "Untuk sekarang saya tidak memikirkan rencana khusus, tapi ada yang mesti saya sampaikan pada khalayak." Raut wajah pembawa itu mengernyitkan. Rasa pe
Dua hari sebelum pernikahan. Di kediaman Kingston terdapat seorang wanita bertamu di pagi hari dengan raut wajah datar, tatapannya tampak tajam pada siapa saja yang melihatnya. "Nona selamat datang—""Di mana wanita tua itu?" tanyanya menyela cepat. Si pelayan menjawab cepat sambil menundukkan kepala. "Nyonya berada di ruang pribadinya, Nona."Tanpa menyahut lagi, wanita itu melenggang pergi ke arah ruangan yang dituju. Setiap pelayan atau pengawal dilewatinya akan memberikan tundukkan kepala, tidak berani menatap, bahkan sekedar melirik jika tak diberi izin. Wanita itu melangkah menggunakan kaki jenjangnya. Di depan matanya sebuah pintu besar tertutup, dengan cepat dia membuka kasar dan membantingnya, hingga suara benturan gagang pintu bersama dinding terdengar. Agustine terlonjak kaget dibuatnya, saat waktu membaca bukunya terganggu oleh seseorang. Namun kala matanya bergulir ke ambang pintu, seorang wanita berumur tiga pul
Hari pernikahan. Janji suci tersebut berikrar di depan pendeta dan para tamu undangan. Jharna dan Max akhirnya resmi menjadi sepasang suami istri dengan ikatan janji suci dibeberapa menit yang lalu. Kini perasaan gusar tergantikan debaran hebat. Jharna sulit menampik seberapa gugup dirinya, yang jelas semuanya tampak seperti mimpi.Acara resepsi pun tiba. Di mana sepasang pengantin berdiri dan menerima ucapan selamat dari para tamu atau sanak keluarga atas pernikahan mereka. Ada sepasang mata menatap terpesona, bercampur kecewa amat kental di sorot kedua netra berwarna langit malam itu. Dirinya kira Max bercanda kalau mereka adalah calon—ah, dia lupa, jika sekarang Jharna resmi menjadi istri pria lain. Lura berjalan ke arah Theodor, menepuk pelan pundak pria itu, hingga lamunannya buyar dalam sekejap. "Bibi menunggumu menyusul Jharna ke pelaminan, Theo.""Tenang saja, aku akan menikahi wanita cantik dan baik hati seperti Jhar
"Kalian benar-benar pasangan serasi. Ibu senang melihat kalian berdua berdampingan begini." Senyum merekah dari bibir Agustine hanya dibalas senyuman tipis oleh Jharna, Max sendiri masih mempertahankan ekspresi datarnya itu. William di sisi lain meja makan tampak tidak berminat lagi sarapan, alat makannya dia hempas kasar dan meninggalkan ruangan tersebut. Dentingan alat makan terpusat ke arah William. Agustine terkejut karena mendadak William pergi begitu saja. Menghadirkan rasa cemas, lalu memutuskan menyusul anak bungsunya itu. Kini tinggal Max dan Jharna serta Aidan. Anak kecil itu lebih diam dari biasanya, membuat Jharna mencoba membuka suara dan tak memperhatikan Max di sampingnya. "Apa kau mau memakan yang lain?" tawar Jharna, sebab anaknya terlihat tak nafsu makan. Sedangkan Aidan menggeleng pelan, lalu menatap Jharna dengan tatapan polos. "Bu, bolehkah kita pulang saja?" "Kenapa kau tiba-tiba mau pulang, hmm? Mansion ini sekarang menjadi tempat tinggal kita, N
Kegiatan monoton setiap hari dijalani seorang Jharna. Sejak tempo hari, lebih tepatnya delapan hari lalu, dirinya hanya berdiam diri di kediaman Kingston. Ditambah ada berita hangat tentang dirinya yang ternyata pernah menjadi pasangan pesta bersama Theodor di pesta gala. Gunjingan serta kehidupan lama menyeruak bagai gas bumi yang coba ditimbun, sayangnya seseorang seperti menggalinya secara dalam, sehingga orang-orang beserta wartawan mendapatkan informasi hasil yang tak tahu dari mana datangnya. Jharna menghela napas ketika mematikan televisi. "Puaskan saja diri kalian, dasar pembual."Kemudian Jharna bangkit dan berjalan ke arah ruangan Aidan belajar. Di sana ada seorang guru wanita mengajarkan segala sesuatu kepada sang anak, mau itu pelajaran umu ataupun etika. "Setidaknya, pendidikan anakku sejak dini terjamin," gumam Jharna sembari tersenyum tipis. "Ternyata kau di sini." Jharna menoleh mendengar seseorang di belakang tubuhnya mengeluarkan suara. "Aku dan Mac ingin berbinc