Hari pernikahan.
Janji suci tersebut berikrar di depan pendeta dan para tamu undangan. Jharna dan Max akhirnya resmi menjadi sepasang suami istri dengan ikatan janji suci dibeberapa menit yang lalu.Kini perasaan gusar tergantikan debaran hebat. Jharna sulit menampik seberapa gugup dirinya, yang jelas semuanya tampak seperti mimpi.Acara resepsi pun tiba. Di mana sepasang pengantin berdiri dan menerima ucapan selamat dari para tamu atau sanak keluarga atas pernikahan mereka.Ada sepasang mata menatap terpesona, bercampur kecewa amat kental di sorot kedua netra berwarna langit malam itu. Dirinya kira Max bercanda kalau mereka adalah calon—ah, dia lupa, jika sekarang Jharna resmi menjadi istri pria lain.Lura berjalan ke arah Theodor, menepuk pelan pundak pria itu, hingga lamunannya buyar dalam sekejap. "Bibi menunggumu menyusul Jharna ke pelaminan, Theo.""Tenang saja, aku akan menikahi wanita cantik dan baik hati seperti Jhar"Kalian benar-benar pasangan serasi. Ibu senang melihat kalian berdua berdampingan begini." Senyum merekah dari bibir Agustine hanya dibalas senyuman tipis oleh Jharna, Max sendiri masih mempertahankan ekspresi datarnya itu. William di sisi lain meja makan tampak tidak berminat lagi sarapan, alat makannya dia hempas kasar dan meninggalkan ruangan tersebut. Dentingan alat makan terpusat ke arah William. Agustine terkejut karena mendadak William pergi begitu saja. Menghadirkan rasa cemas, lalu memutuskan menyusul anak bungsunya itu. Kini tinggal Max dan Jharna serta Aidan. Anak kecil itu lebih diam dari biasanya, membuat Jharna mencoba membuka suara dan tak memperhatikan Max di sampingnya. "Apa kau mau memakan yang lain?" tawar Jharna, sebab anaknya terlihat tak nafsu makan. Sedangkan Aidan menggeleng pelan, lalu menatap Jharna dengan tatapan polos. "Bu, bolehkah kita pulang saja?" "Kenapa kau tiba-tiba mau pulang, hmm? Mansion ini sekarang menjadi tempat tinggal kita, N
Kegiatan monoton setiap hari dijalani seorang Jharna. Sejak tempo hari, lebih tepatnya delapan hari lalu, dirinya hanya berdiam diri di kediaman Kingston. Ditambah ada berita hangat tentang dirinya yang ternyata pernah menjadi pasangan pesta bersama Theodor di pesta gala. Gunjingan serta kehidupan lama menyeruak bagai gas bumi yang coba ditimbun, sayangnya seseorang seperti menggalinya secara dalam, sehingga orang-orang beserta wartawan mendapatkan informasi hasil yang tak tahu dari mana datangnya. Jharna menghela napas ketika mematikan televisi. "Puaskan saja diri kalian, dasar pembual."Kemudian Jharna bangkit dan berjalan ke arah ruangan Aidan belajar. Di sana ada seorang guru wanita mengajarkan segala sesuatu kepada sang anak, mau itu pelajaran umu ataupun etika. "Setidaknya, pendidikan anakku sejak dini terjamin," gumam Jharna sembari tersenyum tipis. "Ternyata kau di sini." Jharna menoleh mendengar seseorang di belakang tubuhnya mengeluarkan suara. "Aku dan Mac ingin berbinc
Suasana akhir pekan yang penuh ketenangan di kediaman Kingston. Agustine sudah lama tak terlihat, wanita paruh baya itu pergi setelah mendapat kabar, bahwa anak sulungnya akan pulang. Jharna mengingatnya jadi iba, dimusuhi oleh anak sendiri yang dia lahir 'kan, sungguh menyakitkan hati seorang ibu. Dari Agustine pula tiada upaya berarti untuk memperbaiki semuanya, seakan menerima takdir dengan lapang dada. Agustine sebelum pergi sempat berbincang dengannya. Kebingungan pun akhirnya melanda kembali saat kalimat ambigu dari Agustine amat kentara. "Cintailah putraku seperti dulu, dia selalu menantimu walau mulutnya terus memilih bungkam. Aku percaya padamu, Jharna." Itu kalimat pertama Agustine sebelum Jharna benar-benar sadar. "Jadi kalian mengenalku? Seberapa lama?" tanya Jharna kala itu. Agustine tersenyum tipis menanggapi, lalu berkata, "Tidak perlu aku jawab sekarang. Kau akan menemukan jawabannya send
Dentuman benda tumpul jatuh menghantam lantai, karena bobotnya dan tekstur yang padat, membuat retakan sekitar benda itu timbul ke permukaan. Tidak, itu bukan terjatuh ternyata.Lebih tepatnya baru saja terlempar dan melewati pembatas pelindung lantai. Suara geraman menyusul setelahnya, alat angkat beban ringan seperti barbel ukuran sedang melayang ke arah kaca. Prang! "Sialan, aku lebih dulu memasuki kehidupannya. Mengapa wanita yang aku cintai tidak berakhir denganku!" teriaknya mengeluarkan amarah. Asisten pribadi yang biasa mengikuti kegiatan sang tuan pun terlonjak kaget, akibat suara memekakkan telinga di dekatnya amat lantang. Di tambah pecahan kaca serta lantai hampir mengenainya barusan. "Katakan, ada kabar apa lagi?" tanya pria bertubuh atletis tersebut. "Non—nona Mackenzie tampaknya tidak setuju dengan pernikahan Tuan Kingston sampai sekarang, Tuan. Dan Nona dari keluarga Marleigh juga mempunyai perasaan khusus untuk Tuan Kingston sendiri," jelas si asisten, panggil sa
"Berani sekali kau mengatur kehidupanku. Memang siapa dirimu, jika tak ada marga Kingston di nama rendahan itu? Kau hanya sebagian debu tidak berarti di dunia ini!" bentak Mac habis-habisan, sambil jari telunjuknya mendorong bahu Agustine. Agustine menangis sesegukan, dia luruh ke lantai. Kedua tangan mengatup menjadi satu, seperti memohon seraya menundukkan kepalanya. "Jangan begini, Ibu tidak sanggup, Mac. Kau belum harus tahu semuanya, tapi tolong maafkan Ibu," pinta Agustine. "Cih, kau pikir aku akan percaya? Di mana otakmu sebagai orang tua? Merasa pantas mendapatkan karena telah melahirkan diriku?" cecar Mac tajam. Matanya mendelik seakan mau keluar dari tempatnya, bahkan Agustine sendiri sama sekali tak berani menatap sang anak barang sedetik pun. "Tidak. Justru aku menyesal, mengapa aku harus terlahir dari rahim kotor mu itu!""Haaa ... ah, Mac, kenapa kau jadi kasar seperti ini? Aku Ibumu, Nak!" sahut Agustine benar-benar merasakan sakit luar biasa. Kemudian Mac dengan ka
Suasana duka menyelimuti kediaman resmi Kingston. Terkecuali Mac, dia memasang wajah datar andalannya, sikap dinginnya pula menjadi sorotan ketika mengantarkan peti berisi sang ibu ke tempat tinggal terakhirnya. Max sendiri merasakan kehilangan untuk ketiga kalinya, dia harap sang ibu adalah hal terakhir dalam suatu kehilangan.William pun serupa, anak bungsu dari keluarga Kingston ini seakan masih tidak percaya, bahkan tatapan kosong sejak memakamkan ibunda tercinta terus saja bertahan sampai dirinya kembali ke mansion. Ada dua orang yang memilih diam dan mengasingkan diri seolah memang merasa takkan pernah pantas di keluarga itu. Jharna dan juga Aidan, ibu serta anaknya selalu mematuhi aturan langsung dari Mac. Alih-alih menolak, Jharna berpikir kalau lebih baik menurut. Di sini, di ruang keluarga mereka berkumpul. Kesunyian di awal bukanlah hal tidak biasa. "Pewaris sudah ditetapkan, tapi aku memberikan semua itu padamu, Max. Jadi, aku mau kau mengambil keputusan setelah kemati
Tubuh ringkihnya tersentak, karena lampu kamar mendadak menyala sendirinya. Kondisinya sekarang amat memalukan. Sehelai handuk membalut sederhana tubuh polos tanpa satu pakaian terpasang. Jharna membalikkan tubuhnya sambil mengeratkan handuk di depan dada, saat mengetahui siapa pelakunya. Membuat semuanya terpusat di sana, lalu lupa akan punggungnya juga terekspos bebas. Menampilkan betapa mulus kulitnya yang cerah. "Bagaimana jika orang lain masuk kamar? Dasar ceroboh," rutuk Max sembari menatap dalam sosok Jharna. "Maaf, tapi—bisakah kau keluar sebentar? Aku mau mengambil pakaian," cicit Jharna kepalang malu. Dia membeku, seolah seluruh anggota tubuhnya benar-benar lumpuh seketika. Max mengangkat satu alisnya. "Buat apa? Kita 'kan suami istri."Jharna memaki kebodohannya. Di posisi berjongkok seraya menenggelamkan muka, Jharna enggan menoleh. "Pakai bajumu, malam kian larut dan angin semakin dingin," tegur Max melangkah mendekat. "Se—sebentar saja, aku mohon keluar," pinta Jha
"Eugh ... pinggangku sakit sekali rasanya," keluh Jharna mengernyitkan wajah. Di sampingnya, sang anak menatap khawatir ibunya, karena sejak tadi siang ibunya selalu berjalan tertatih. "Ibu, apa sangat sakit?" Jharna menoleh ke Aidan. Dia tersenyum kecil seraya tangannya mengusap lembut kepala sang anak. "Sakitnya akan hilang dengan sendirinya, sayang." "Benarkah, Bu?" tanya Aidan memastikan. Jharna mengangguk dan membantu Aidan duduk di kursinya. Mereka berdua melanjutkan perbincangan ringan tentang Jharna menanyakan kegiatan Aidan seharian ini. Aidan menceritakan jika masih tetap dapat bimbingan dari guru etika. Terkadang anak kecil itu sempat mengeluh, karena lelah dan menghafalkan banyak aturan di kalangan atas. Jharna pun tidak dapat memungkiri, kalau didikan Agustine layaknya kaum bangsawan, namun ketat. Sedangkan untuk Aidan sendiri menurutnya terlalu dini. Apa lagi nanti Aidan memasuki sekolah bergengsi, itulah mengapa Aidan harus dididik sejak awal, agar tak mem