"Berani sekali kau mengatur kehidupanku. Memang siapa dirimu, jika tak ada marga Kingston di nama rendahan itu? Kau hanya sebagian debu tidak berarti di dunia ini!" bentak Mac habis-habisan, sambil jari telunjuknya mendorong bahu Agustine. Agustine menangis sesegukan, dia luruh ke lantai. Kedua tangan mengatup menjadi satu, seperti memohon seraya menundukkan kepalanya. "Jangan begini, Ibu tidak sanggup, Mac. Kau belum harus tahu semuanya, tapi tolong maafkan Ibu," pinta Agustine. "Cih, kau pikir aku akan percaya? Di mana otakmu sebagai orang tua? Merasa pantas mendapatkan karena telah melahirkan diriku?" cecar Mac tajam. Matanya mendelik seakan mau keluar dari tempatnya, bahkan Agustine sendiri sama sekali tak berani menatap sang anak barang sedetik pun. "Tidak. Justru aku menyesal, mengapa aku harus terlahir dari rahim kotor mu itu!""Haaa ... ah, Mac, kenapa kau jadi kasar seperti ini? Aku Ibumu, Nak!" sahut Agustine benar-benar merasakan sakit luar biasa. Kemudian Mac dengan ka
Suasana duka menyelimuti kediaman resmi Kingston. Terkecuali Mac, dia memasang wajah datar andalannya, sikap dinginnya pula menjadi sorotan ketika mengantarkan peti berisi sang ibu ke tempat tinggal terakhirnya. Max sendiri merasakan kehilangan untuk ketiga kalinya, dia harap sang ibu adalah hal terakhir dalam suatu kehilangan.William pun serupa, anak bungsu dari keluarga Kingston ini seakan masih tidak percaya, bahkan tatapan kosong sejak memakamkan ibunda tercinta terus saja bertahan sampai dirinya kembali ke mansion. Ada dua orang yang memilih diam dan mengasingkan diri seolah memang merasa takkan pernah pantas di keluarga itu. Jharna dan juga Aidan, ibu serta anaknya selalu mematuhi aturan langsung dari Mac. Alih-alih menolak, Jharna berpikir kalau lebih baik menurut. Di sini, di ruang keluarga mereka berkumpul. Kesunyian di awal bukanlah hal tidak biasa. "Pewaris sudah ditetapkan, tapi aku memberikan semua itu padamu, Max. Jadi, aku mau kau mengambil keputusan setelah kemati
Tubuh ringkihnya tersentak, karena lampu kamar mendadak menyala sendirinya. Kondisinya sekarang amat memalukan. Sehelai handuk membalut sederhana tubuh polos tanpa satu pakaian terpasang. Jharna membalikkan tubuhnya sambil mengeratkan handuk di depan dada, saat mengetahui siapa pelakunya. Membuat semuanya terpusat di sana, lalu lupa akan punggungnya juga terekspos bebas. Menampilkan betapa mulus kulitnya yang cerah. "Bagaimana jika orang lain masuk kamar? Dasar ceroboh," rutuk Max sembari menatap dalam sosok Jharna. "Maaf, tapi—bisakah kau keluar sebentar? Aku mau mengambil pakaian," cicit Jharna kepalang malu. Dia membeku, seolah seluruh anggota tubuhnya benar-benar lumpuh seketika. Max mengangkat satu alisnya. "Buat apa? Kita 'kan suami istri."Jharna memaki kebodohannya. Di posisi berjongkok seraya menenggelamkan muka, Jharna enggan menoleh. "Pakai bajumu, malam kian larut dan angin semakin dingin," tegur Max melangkah mendekat. "Se—sebentar saja, aku mohon keluar," pinta Jha
"Eugh ... pinggangku sakit sekali rasanya," keluh Jharna mengernyitkan wajah. Di sampingnya, sang anak menatap khawatir ibunya, karena sejak tadi siang ibunya selalu berjalan tertatih. "Ibu, apa sangat sakit?" Jharna menoleh ke Aidan. Dia tersenyum kecil seraya tangannya mengusap lembut kepala sang anak. "Sakitnya akan hilang dengan sendirinya, sayang." "Benarkah, Bu?" tanya Aidan memastikan. Jharna mengangguk dan membantu Aidan duduk di kursinya. Mereka berdua melanjutkan perbincangan ringan tentang Jharna menanyakan kegiatan Aidan seharian ini. Aidan menceritakan jika masih tetap dapat bimbingan dari guru etika. Terkadang anak kecil itu sempat mengeluh, karena lelah dan menghafalkan banyak aturan di kalangan atas. Jharna pun tidak dapat memungkiri, kalau didikan Agustine layaknya kaum bangsawan, namun ketat. Sedangkan untuk Aidan sendiri menurutnya terlalu dini. Apa lagi nanti Aidan memasuki sekolah bergengsi, itulah mengapa Aidan harus dididik sejak awal, agar tak mem
Pantai adalah tujuan mereka, dikarenakan Max sudah mengaturnya. Begitu cepat pria itu menyiapkan segalanya untuk mereka berdua. Apa lagi binar kebahagiaan sangat kentara di ekspresi Aidan, membuat Jharna ikut merasa senang atas semua ini. "Aku mau berdamai," kata Max tiba-tiba. "Berdamai untuk apa? Apa ini karena kepergian Ibu?" Pria selaku suaminya menggeleng pelan dan menoleh seutuhnya ke arah Jharna. Max kemudian memandang lurus kembali ke depan. Di mana Aidan ditemani pelayan, sedangkan mereka beristirahat sebentar. Senyuman tipis tertarik dari kedua sudut bibir Max sekarang. "Atas sikap dan tingkahku, entah menyakiti dirimu tanpa tahu disengaja atau bukan sekalipun. Jelasnya, aku meminta maaf untuk semuanya. Sedari awal kita mengenal, kesan buruk selalu kau terima. Aku harap kau mau menerima kata maaf sederhana ini. Sebab, aku bukanlah pria romantis." Perasaan aneh itu muncul kembali. Desiran dan degup jantung kian jelas, namun Jharna tak mau menyalahkan arti mengapa semu
Pada keesokan harinya, ranjang berukuran besar berisikan dua insan manusia berbeda gender tengah terlelap. Salah satunya perlahan membuka mata dan barulah dia merasakan hangatnya sinar matahari menyelinap nakal ke dalam kamar. Saat kesadarannya terkumpul, tubuhnya terasa begitu hangat, kemudian kepalanya menunduk karena ada suatu beban ringan menimpa dada bidangnya. Jharna tertidur pulas dalam keadaan memeluk Max. Wanita itu belum merasa terganggu oleh sinar matahari, bahkan Max masih mendengar denguran halus dari Jharna sendiri. Sosoknya terlihat cantik dan tenang saat tertidur. Max rela diam menjadi patung berjam-jam agar Jharna tidak terbangun. Alih-alih merenggangkan semua anggota tubuh, Max justru memejamkan mata kembali sambil membalas perlahan pelukan Jharna, supaya wanita itu tak terganggu atau terbangun. Namun, sayangnya Jharna menggeliat. Lambat laun matanya terbuka, mengumpulkan kesadaran sedikit demi sedikit."Max? Sejak kapan aku memeluknya?" gumam Jharna pelan, bermono
Keesokan harinya. Ekspresi datar Max kembali seperti semula. Sifat dinginnya serta tatapan tajam bak elang menatap geram pada seorang wanita yang tengah duduk santai di hadapannya sekarang. Jharna jadi memilih menjauh, enggan membuang waktu, terlebih di dekat mereka ada Aidan.Bisa saja wanita itu mendoktrin pikiran polos Aidan, membuat kedua pasangan suami istri itu setuju menjauh satu sama lain, lantaran sudah menyuarakan ketidaknyamanannya langsung atas kedatangan tamu tak diundang ini. "Aaa ... Max, aku merindukanmu!" rengek Helena. Yang entah dia tahu dari mana keberadaan sepasang insan ini. "Berlibur tanpa mengajakku itu jahat, padahal aku juga mau liburan, tahu!""Lalu, mengapa wanita itu ada sini? Tatapannya sedari aku datang sangatlah tidak bersahabat," tambahnya berceloteh ria. Alis Max menukik. "Siapa yang memberitahumu tentang keberadaanku di sini?"Helena mengernyit, kemudian tertawa kecil. "Kebetulan aku sedang berkunjung di sekitar sini, karena pantainya sangat indah.
"Kalian butuh istirahat. Jika kau mencariku, aku ada di ruang kerja," ucap Max menatap Jharna lalu beralih ke Aidan yang tertidur di gendongan sang istri. "Baiklah, kau juga, jangan terlalu lelah. Nanti aku antarkan kopi ke sana," balas Jharna tersenyum hangat. "Sampai jumpa, Max." Max mengangguk dan membalikkan tubuhnya, melangkah tegas ke arah ruang kerja. Ada sesuatu yang harus dirinya urus sesegera mungkin. Liburan memakan waktu sekitar empat hari usai, ketika Max mendapatkan panggilan telepon dari si tangan kanan. Perusahaan tengah tidak baik-baik saja. Semua itu adanya campur tangan Mac di dalamnya, jelas, itu menurut insting Max sendiri. Belum lagi rumor kian beredar luas, mengenai status Jharna, seolah seseorang menguak jati diri sang istri ke publik. Mendapatkan hal tersebut, membuat Max menggeram marah. Sumpah serapah di mulutnya tertahan, kala si tangan kanan tiba tepat waktu. Dia duduk di sofa ruang kerja Max sambil menatap laptopnya penuh terperangah. Tanpa meny