Share

Bab 5

Jam makan siang akhirnya tiba. Karena memang tak bisa tidur lagi, Jharna memutuskan keluar kamar. Satu jam lamanya dirinya di dalam sana sembari melamun, memikirkan apa saja yang membuatnya tenang sendiri. Setiap orang mempunyai caranya, dan itulah caranya sendiri.

Di ruangan Max ternyata ada seorang wanita cantik, berpostur tubuh indah sempurna, lalu menatapnya yang baru keluar dari kamar pribadi si CEO. Dari cara bicaranya 'lah langsung ketebak bagaimana watak si wanita.

"Aku baru tahu jika Max berani menyewa jal*ng," tuduhnya sinis, bermaksud merendahkan Jharna.

Apakah Jharna mau membalas? Oh, tentu tidak. Dia mengabaikan wanita asing tersebut sambil melangkah ingin keluar. Bertepatan oleh Max yang masuk kembali dan menarik lembut Jharna. Menyuruhnya duduk di depan si wanita tadi. Jharna menghela napas dan malas berdebat.

Wanita berpenampilan glamor serta sangatlah fashion able itu mengangkat dagu angkuh, matanya menelisik cara berpakaian Jharna dari kepala hingga ujung kaki. "Mengapa kau masih menempatkan jal*ng ini di ruangan mu, Max?"

Max merasa diajak berbicara pun menoleh ke si wanita depan Jharna. "Oh, aku membiarkanmu sadar diri. Siapa jal*ng sebenarnya di sini," balasnya enteng.

Wanita itu mengangkat kedua alisnya dan menunjuk dirinya sendiri. "Maksudmu, aku?"

"Sayang, coba kau lihat orang bodoh di depanmu. Jangan biarkan dia merebut calon suamimu ini," ucap Max pada Jharna sangat lembut, membuat Jharna terkesiap karena tak biasa.

Mengerti kalau Max sedang bersandiwara, Jharna mengangguk paham. "Sejak tadi dia juga merendahkan ku, padahal kami baru bertatap muka. Sungguh rendah sekali tingkah manusia ini, ck ... ck ...."

"Hey, jaga bicaramu!" sentak si wanita.

"Stt, pergilah Helena. Kau telah mengusik calon istriku," sela Max memperjelas.

Wanita bernama Helena itu mematung setelah Max memberitahu secara jelas siapa wanita di depannya untuk kedua kali. Hatinya sungguh sakit dirundung kekecewaan.

Kepalanya menoleh ke arah Jharna yang tampak tenang, tengah memandanginya amat datar. "Dasar perebut!" makinya dan berlalu pergi.

Jharna melemaskan bahunya, bernapas lega karena wanita bernama Helena sudah benar-benar pergi.  Sedangkan Max berdiri tegak 'tuk berjalan, lalu berpindah duduk di depan Jharna.

"Makanan akan segera datang." Hanya satu kalimat terlontar, tak menjelaskan kenapa ada wanita asing di ruangannya itu.

Jharna berdeham saja untuk mempersingkat perbincangan. Jujur, dirinya tidak nyaman berlama-lama di samping Max. Hawa pria itu seakan mencengkeram kuat lehernya, membuatnya menunduk atau memalingkan wajah.

Jharna ingin pulang dan bertemu sang anak. Bersama Max menimbulkan kesalahan pahaman sepihak. Andai ada Agustine di sisi mereka, pasti Jharna takkan berpikiran macam-macam.

"Ibu mempercepat pernikahan, minggu depan, akhir pekan."

"Bisa jelaskan kenapa?" pinta Jharna bersuara kecil.

Max mencondongkan tubuh dan menopang dagu menggunakan tangan kanan. "Cari tahu sendiri."

***

Keesokan harinya.

Hampir setiap hari Jharna dan Max bersama atas permintaan Agustine. Seperti sekarang ini, mereka dijadwalkan untuk kembali mendekat diri beserta Aidan diboyong oleh Jharna, itupun juga permintaan Agustine.

Karena Max harus berkenalan secara resmi kepada calon anaknya. Max sendiri tampak kaku, disuruh senyum saja, justru seringai mengerikan yang keluar. Membuat Aidan ketakutan bukan main, dan lagi cerita anak bagi Max dikeluarkan, semakin takutlah Aidan.

Akibat Max menceritakan tentang peperangan abad pertengahan dan menjelaskan secara detail bagaimana korban mengalami kerugian besar secara fisik, hingga kehilangan nyawa.

Jharna menutup telinga sang anak dan menatap Max sengit. Menegur, "Bisakah kau menceritakan hal normal, layaknya cerita dongeng sungguhan pada umumnya?"

"Dia tak bisa terhibur, aku takut kalau Aidan akan trauma karena perkataan mu!" desis Jharna kepalang kesal.

"Kau bisa bersikap informal? Ya, aku tak masalah," sahut Max mengindahkan ocehan Jharna sambil mengedikkan bahu acuh.

Hembusan napas jengah dapat Max dengar, tetapi dirinya biasa saja dan mengajak keduanya ke arah taman di mansion miliknya ini. Kebetulan sekali sang ibu tidak ada di kediaman, jadi Max sepenuhnya mengambil alih pertemuan.

"Apa bocah itu menyukai sesuatu?" tanya Max memecahkan keheningan.

"Namanya Aidan," tegas Jharna. "Dia suka melihat langit dan mendengarkan musik."

"Cita-citanya pasti menjadi musisi—"

"Cita-cita ku mau menjadi pembalap seperti di televisi," cicit Aidan tiba-tiba.

Max mengangguk pelan. "Jadi aku salah?"

"Sudah tahu salah, seharusnya Paman tak bertanya lagi." Jharna mendengar perkataan anaknya hampir menyemburkan tawa, raut wajah merenggut dan seluruh wajahnya di tenggelamkan ke ceruk leher Jharna. "Ibu, aku lelah."

Jharna tersenyum kecil sembari menepuk lembut punggung Aidan. "Istirahatlah, sebentar lagi kita akan pulang."

Pemandangan tersebut dipandang baik oleh Max. Bekas kenangan masa kecil tentang sang ibu menyayanginya terngiang hingga kalbu. Perhatiannya tidak beda jauh seperti Jharna sekarang.

Mengingat kenangan penuh kedamaian, semakin menimbulkan masalah di hatinya untuk sekarang. 'Dia adalah orang sama, tapi aku tak bisa menerimanya sebelum semua terjadi kembali,' batinnya bimbang.

"Apa dia tertidur?" Max melirik ke Aidan yang tampak tenang.

"Ya, dia terasa nyaman jika aku menggendongnya begini," balas Jharna seraya mengulas senyum menatap sang buah hati.

"Apa keuntunganku nanti, kalau pernikahan itu benar terjadi?" Pertanyaan terlampau di luar perkiraan kejadian, tapi Jharna tak memikirkan hal ini. "Hutangmu lunas dan aku hanya mendapatkan dirimu, apa ada lagi yang bisa menjadi keuntunganku?"

Seketika senyuman Jharna luntur. Terganti debaran jantung yang dirinya kendalikan sekedar berusaha tenang. Max sudah mengetahui awal pernikahan mereka terjadi, ini penyebab Jharna kepikiran pula sejak awal.

Takut jika Max semena-mena dan memperlakukan Aidan layaknya hewan, bahkan barang. Membayanginya saja membuat dada Jharna sesak, beserta pening merambah ke kepala.

"Anda—tidak. Kau boleh memilikiku seutuhnya, tapi jangan Aidan, dia harta paling berharga dan tak ternilai milikku, jangan dia sebagai ganti."

Max tersenyum miring, tangannya mengambang di udara, lalu mengusap pipi Jharna sangat lembut. "Aku suka ekspresi mukamu yang mudah ditundukkan, Jharna."

Bulir kilauan jatuh tanpa permisi. Jharna memandang Max tanpa gentar. "Jika masih kurang, anggap aku barang yang bisa kau mainkan sampai puas. Kau juga boleh membuang ku kalau rasa bosan telah menghampiri."

Max terdiam, wajahnya kembali datar dan mendekat pada Jharna. Jharna sendiri memejamkan matanya erat, enggan melihat perlakuan Max.

Cup!

"Tapi bukan itu yang aku mau, Jharna Obelia."

Kecupan lembut nan ringan hinggap di bibir Jharna. Suaranya seakan putus asa. Kejadian itu terjadi secara singkat, saat Jharna membuka matanya, ternyata Max sudah berjalan menjauhi dirinya berada.

Tubuhnya luruh perlahan sambil mempererat dekapannya pada sang anak. Kepalanya menunduk dalam, hingga tangisnya teredam. Sayangnya, tubuh gemetaran itu sulit dihalau.

Aidan terbangun dan mendapatkan ibunya menangis. Anak kecil polos tersebut ikut menangis, tidak kuasa melihat sang ibu sesenggukan.

Dari kejauhan, Max memandang keduanya dengan tatapan rumit. Selalu ada cara Tuhan mempertemukan dan memisahkan, akan tetapi Max gagal berkali-kali. Mungkin Tuhan sedang berbaik hati, mengizinkan mereka bertemu, namun tak tahu akan disatukan atau tidak.

"Maafkan aku, Jharna."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status