Jam makan siang akhirnya tiba. Karena memang tak bisa tidur lagi, Jharna memutuskan keluar kamar. Satu jam lamanya dirinya di dalam sana sembari melamun, memikirkan apa saja yang membuatnya tenang sendiri. Setiap orang mempunyai caranya, dan itulah caranya sendiri.
Di ruangan Max ternyata ada seorang wanita cantik, berpostur tubuh indah sempurna, lalu menatapnya yang baru keluar dari kamar pribadi si CEO. Dari cara bicaranya 'lah langsung ketebak bagaimana watak si wanita. "Aku baru tahu jika Max berani menyewa jal*ng," tuduhnya sinis, bermaksud merendahkan Jharna. Apakah Jharna mau membalas? Oh, tentu tidak. Dia mengabaikan wanita asing tersebut sambil melangkah ingin keluar. Bertepatan oleh Max yang masuk kembali dan menarik lembut Jharna. Menyuruhnya duduk di depan si wanita tadi. Jharna menghela napas dan malas berdebat. Wanita berpenampilan glamor serta sangatlah fashion able itu mengangkat dagu angkuh, matanya menelisik cara berpakaian Jharna dari kepala hingga ujung kaki. "Mengapa kau masih menempatkan jal*ng ini di ruangan mu, Max?" Max merasa diajak berbicara pun menoleh ke si wanita depan Jharna. "Oh, aku membiarkanmu sadar diri. Siapa jal*ng sebenarnya di sini," balasnya enteng. Wanita itu mengangkat kedua alisnya dan menunjuk dirinya sendiri. "Maksudmu, aku?" "Sayang, coba kau lihat orang bodoh di depanmu. Jangan biarkan dia merebut calon suamimu ini," ucap Max pada Jharna sangat lembut, membuat Jharna terkesiap karena tak biasa. Mengerti kalau Max sedang bersandiwara, Jharna mengangguk paham. "Sejak tadi dia juga merendahkan ku, padahal kami baru bertatap muka. Sungguh rendah sekali tingkah manusia ini, ck ... ck ...." "Hey, jaga bicaramu!" sentak si wanita. "Stt, pergilah Helena. Kau telah mengusik calon istriku," sela Max memperjelas. Wanita bernama Helena itu mematung setelah Max memberitahu secara jelas siapa wanita di depannya untuk kedua kali. Hatinya sungguh sakit dirundung kekecewaan. Kepalanya menoleh ke arah Jharna yang tampak tenang, tengah memandanginya amat datar. "Dasar perebut!" makinya dan berlalu pergi. Jharna melemaskan bahunya, bernapas lega karena wanita bernama Helena sudah benar-benar pergi. Sedangkan Max berdiri tegak 'tuk berjalan, lalu berpindah duduk di depan Jharna. "Makanan akan segera datang." Hanya satu kalimat terlontar, tak menjelaskan kenapa ada wanita asing di ruangannya itu. Jharna berdeham saja untuk mempersingkat perbincangan. Jujur, dirinya tidak nyaman berlama-lama di samping Max. Hawa pria itu seakan mencengkeram kuat lehernya, membuatnya menunduk atau memalingkan wajah. Jharna ingin pulang dan bertemu sang anak. Bersama Max menimbulkan kesalahan pahaman sepihak. Andai ada Agustine di sisi mereka, pasti Jharna takkan berpikiran macam-macam. "Ibu mempercepat pernikahan, minggu depan, akhir pekan." "Bisa jelaskan kenapa?" pinta Jharna bersuara kecil. Max mencondongkan tubuh dan menopang dagu menggunakan tangan kanan. "Cari tahu sendiri." *** Keesokan harinya. Hampir setiap hari Jharna dan Max bersama atas permintaan Agustine. Seperti sekarang ini, mereka dijadwalkan untuk kembali mendekat diri beserta Aidan diboyong oleh Jharna, itupun juga permintaan Agustine. Karena Max harus berkenalan secara resmi kepada calon anaknya. Max sendiri tampak kaku, disuruh senyum saja, justru seringai mengerikan yang keluar. Membuat Aidan ketakutan bukan main, dan lagi cerita anak bagi Max dikeluarkan, semakin takutlah Aidan. Akibat Max menceritakan tentang peperangan abad pertengahan dan menjelaskan secara detail bagaimana korban mengalami kerugian besar secara fisik, hingga kehilangan nyawa. Jharna menutup telinga sang anak dan menatap Max sengit. Menegur, "Bisakah kau menceritakan hal normal, layaknya cerita dongeng sungguhan pada umumnya?" "Dia tak bisa terhibur, aku takut kalau Aidan akan trauma karena perkataan mu!" desis Jharna kepalang kesal. "Kau bisa bersikap informal? Ya, aku tak masalah," sahut Max mengindahkan ocehan Jharna sambil mengedikkan bahu acuh. Hembusan napas jengah dapat Max dengar, tetapi dirinya biasa saja dan mengajak keduanya ke arah taman di mansion miliknya ini. Kebetulan sekali sang ibu tidak ada di kediaman, jadi Max sepenuhnya mengambil alih pertemuan. "Apa bocah itu menyukai sesuatu?" tanya Max memecahkan keheningan. "Namanya Aidan," tegas Jharna. "Dia suka melihat langit dan mendengarkan musik." "Cita-citanya pasti menjadi musisi—" "Cita-cita ku mau menjadi pembalap seperti di televisi," cicit Aidan tiba-tiba. Max mengangguk pelan. "Jadi aku salah?" "Sudah tahu salah, seharusnya Paman tak bertanya lagi." Jharna mendengar perkataan anaknya hampir menyemburkan tawa, raut wajah merenggut dan seluruh wajahnya di tenggelamkan ke ceruk leher Jharna. "Ibu, aku lelah." Jharna tersenyum kecil sembari menepuk lembut punggung Aidan. "Istirahatlah, sebentar lagi kita akan pulang." Pemandangan tersebut dipandang baik oleh Max. Bekas kenangan masa kecil tentang sang ibu menyayanginya terngiang hingga kalbu. Perhatiannya tidak beda jauh seperti Jharna sekarang. Mengingat kenangan penuh kedamaian, semakin menimbulkan masalah di hatinya untuk sekarang. 'Dia adalah orang sama, tapi aku tak bisa menerimanya sebelum semua terjadi kembali,' batinnya bimbang. "Apa dia tertidur?" Max melirik ke Aidan yang tampak tenang. "Ya, dia terasa nyaman jika aku menggendongnya begini," balas Jharna seraya mengulas senyum menatap sang buah hati. "Apa keuntunganku nanti, kalau pernikahan itu benar terjadi?" Pertanyaan terlampau di luar perkiraan kejadian, tapi Jharna tak memikirkan hal ini. "Hutangmu lunas dan aku hanya mendapatkan dirimu, apa ada lagi yang bisa menjadi keuntunganku?" Seketika senyuman Jharna luntur. Terganti debaran jantung yang dirinya kendalikan sekedar berusaha tenang. Max sudah mengetahui awal pernikahan mereka terjadi, ini penyebab Jharna kepikiran pula sejak awal. Takut jika Max semena-mena dan memperlakukan Aidan layaknya hewan, bahkan barang. Membayanginya saja membuat dada Jharna sesak, beserta pening merambah ke kepala. "Anda—tidak. Kau boleh memilikiku seutuhnya, tapi jangan Aidan, dia harta paling berharga dan tak ternilai milikku, jangan dia sebagai ganti." Max tersenyum miring, tangannya mengambang di udara, lalu mengusap pipi Jharna sangat lembut. "Aku suka ekspresi mukamu yang mudah ditundukkan, Jharna." Bulir kilauan jatuh tanpa permisi. Jharna memandang Max tanpa gentar. "Jika masih kurang, anggap aku barang yang bisa kau mainkan sampai puas. Kau juga boleh membuang ku kalau rasa bosan telah menghampiri." Max terdiam, wajahnya kembali datar dan mendekat pada Jharna. Jharna sendiri memejamkan matanya erat, enggan melihat perlakuan Max. Cup! "Tapi bukan itu yang aku mau, Jharna Obelia." Kecupan lembut nan ringan hinggap di bibir Jharna. Suaranya seakan putus asa. Kejadian itu terjadi secara singkat, saat Jharna membuka matanya, ternyata Max sudah berjalan menjauhi dirinya berada. Tubuhnya luruh perlahan sambil mempererat dekapannya pada sang anak. Kepalanya menunduk dalam, hingga tangisnya teredam. Sayangnya, tubuh gemetaran itu sulit dihalau. Aidan terbangun dan mendapatkan ibunya menangis. Anak kecil polos tersebut ikut menangis, tidak kuasa melihat sang ibu sesenggukan. Dari kejauhan, Max memandang keduanya dengan tatapan rumit. Selalu ada cara Tuhan mempertemukan dan memisahkan, akan tetapi Max gagal berkali-kali. Mungkin Tuhan sedang berbaik hati, mengizinkan mereka bertemu, namun tak tahu akan disatukan atau tidak. "Maafkan aku, Jharna.""Jharna!" panggil seseorang.Jharna dan Aidan menoleh kompak ke asal suara di balik punggung mereka. Seorang pria dengan lesung pipi tengah berlari menghampiri. "Aku menunggu kalian, mengapa baru pulang di jam segini?" cecar Theodor sambil melihat arloji di pergelangan tangan kiri. "Hampir saja aku pulang, kalau tak sabar."Gurat sesal amat ketara di wajah Jharna. "Maaf, kami baru saja pergi ke suatu tempat. Aku bahkan lupa memeriksa jam, sehingga tak terasa waktu berlalu begitu cepat, Theo."Theodor tersenyum kecil, lalu melirik Aidan yang sedang menahan kantuk. "Ya sudah, tampaknya kalian butuh istirahat.""Maaf kalau aku datang tanpa mengabarkan mu," lanjutnya seraya mengusap kepala Aidan. "Tunggulah sebentar, aku akan menaruh Aidan terlebih dahulu," putus Jharna, langsung membalikkan badan dan masuk ke rumah. Theodor tak memungkiri jika ada hal penting yang ingin dirinya sampaikan. Apa lagi Jharna seperti tidak ke
Sejak hari di mana Jharna kepergok oleh sang calon suami, dirinya kini merasa selalu diawasi setiap pergi keluar rumah. Perihal itu pula, dirinya harus menghadapi hari menjelang pernikahan, dengan hanya menghitung hari menggunakan jari. Kegiatannya pun di atur. Jharna juga sudah tidak diperbolehkan bekerja di kafe, walau dirinya sendiri masih ingin. Meski begitu, atas perintah Agustine, Jharna akhirnya mengikuti kemauan wanita paruh baya tersebut. Di lain sisi, dirinya merasa tak enak hati, karena hutang bank dan rentenir telah dilunasi oleh Agustine. Hutangnya jadi tidak menumpuk di mana-mana. Akan tetapi justru berat di diri Jharna tentang balas budi. Memikirkan hal itu membuat dia menghela napas. "Bahkan, jika aku menggantikan semua uangnya, pasti butuh waktu seumur hidup.""Kau menaruh hutang di mana lagi?" Jharna terkesiap mendengar pertanyaan seseorang. Kepalanya menoleh, lalu menatap pria yang enggan dirinya pikirkan sedari kem
Di hari ketiga Jharna tinggal bersama keluarga kecil Kingston, dirinya diperlakukan selayaknya tuan rumah. Para pelayan ataupun pengawal menunduk hormat kepada Jharna. Di hari yang sama pula, kini dirinya tengah menghibur diri menonton sebuah berita di salah satu saluran televisi yang menayangkan tentang seorang pengusaha muda sukses. Nama Maximilian Kingston muncul beserta foto tampannya di layar. Mata Jharna terbuka sempurna setelah si pembawa berita menampilkan cuplikan sesi wawancaranya bersama Max. Namun bukan itu, akan tetapi, apa yang Max sampaikan sungguh membuat dirinya tak menyangka. Ia kira Max tidak mau memberitahukannya kepada publik. "Jadi, apa rencana anda selanjutnya ke depan, mengenai bisnis yang sudah berkembang pesat hingga ke mancanegara?" tanya si pembawa berita cukup antusias. Max tampak berpikir sejenak. "Untuk sekarang saya tidak memikirkan rencana khusus, tapi ada yang mesti saya sampaikan pada khalayak." Raut wajah pembawa itu mengernyitkan. Rasa pe
Dua hari sebelum pernikahan. Di kediaman Kingston terdapat seorang wanita bertamu di pagi hari dengan raut wajah datar, tatapannya tampak tajam pada siapa saja yang melihatnya. "Nona selamat datang—""Di mana wanita tua itu?" tanyanya menyela cepat. Si pelayan menjawab cepat sambil menundukkan kepala. "Nyonya berada di ruang pribadinya, Nona."Tanpa menyahut lagi, wanita itu melenggang pergi ke arah ruangan yang dituju. Setiap pelayan atau pengawal dilewatinya akan memberikan tundukkan kepala, tidak berani menatap, bahkan sekedar melirik jika tak diberi izin. Wanita itu melangkah menggunakan kaki jenjangnya. Di depan matanya sebuah pintu besar tertutup, dengan cepat dia membuka kasar dan membantingnya, hingga suara benturan gagang pintu bersama dinding terdengar. Agustine terlonjak kaget dibuatnya, saat waktu membaca bukunya terganggu oleh seseorang. Namun kala matanya bergulir ke ambang pintu, seorang wanita berumur tiga pul
Hari pernikahan. Janji suci tersebut berikrar di depan pendeta dan para tamu undangan. Jharna dan Max akhirnya resmi menjadi sepasang suami istri dengan ikatan janji suci dibeberapa menit yang lalu. Kini perasaan gusar tergantikan debaran hebat. Jharna sulit menampik seberapa gugup dirinya, yang jelas semuanya tampak seperti mimpi.Acara resepsi pun tiba. Di mana sepasang pengantin berdiri dan menerima ucapan selamat dari para tamu atau sanak keluarga atas pernikahan mereka. Ada sepasang mata menatap terpesona, bercampur kecewa amat kental di sorot kedua netra berwarna langit malam itu. Dirinya kira Max bercanda kalau mereka adalah calon—ah, dia lupa, jika sekarang Jharna resmi menjadi istri pria lain. Lura berjalan ke arah Theodor, menepuk pelan pundak pria itu, hingga lamunannya buyar dalam sekejap. "Bibi menunggumu menyusul Jharna ke pelaminan, Theo.""Tenang saja, aku akan menikahi wanita cantik dan baik hati seperti Jhar
"Kalian benar-benar pasangan serasi. Ibu senang melihat kalian berdua berdampingan begini." Senyum merekah dari bibir Agustine hanya dibalas senyuman tipis oleh Jharna, Max sendiri masih mempertahankan ekspresi datarnya itu. William di sisi lain meja makan tampak tidak berminat lagi sarapan, alat makannya dia hempas kasar dan meninggalkan ruangan tersebut. Dentingan alat makan terpusat ke arah William. Agustine terkejut karena mendadak William pergi begitu saja. Menghadirkan rasa cemas, lalu memutuskan menyusul anak bungsunya itu. Kini tinggal Max dan Jharna serta Aidan. Anak kecil itu lebih diam dari biasanya, membuat Jharna mencoba membuka suara dan tak memperhatikan Max di sampingnya. "Apa kau mau memakan yang lain?" tawar Jharna, sebab anaknya terlihat tak nafsu makan. Sedangkan Aidan menggeleng pelan, lalu menatap Jharna dengan tatapan polos. "Bu, bolehkah kita pulang saja?" "Kenapa kau tiba-tiba mau pulang, hmm? Mansion ini sekarang menjadi tempat tinggal kita, N
Kegiatan monoton setiap hari dijalani seorang Jharna. Sejak tempo hari, lebih tepatnya delapan hari lalu, dirinya hanya berdiam diri di kediaman Kingston. Ditambah ada berita hangat tentang dirinya yang ternyata pernah menjadi pasangan pesta bersama Theodor di pesta gala. Gunjingan serta kehidupan lama menyeruak bagai gas bumi yang coba ditimbun, sayangnya seseorang seperti menggalinya secara dalam, sehingga orang-orang beserta wartawan mendapatkan informasi hasil yang tak tahu dari mana datangnya. Jharna menghela napas ketika mematikan televisi. "Puaskan saja diri kalian, dasar pembual."Kemudian Jharna bangkit dan berjalan ke arah ruangan Aidan belajar. Di sana ada seorang guru wanita mengajarkan segala sesuatu kepada sang anak, mau itu pelajaran umu ataupun etika. "Setidaknya, pendidikan anakku sejak dini terjamin," gumam Jharna sembari tersenyum tipis. "Ternyata kau di sini." Jharna menoleh mendengar seseorang di belakang tubuhnya mengeluarkan suara. "Aku dan Mac ingin berbinc
Suasana akhir pekan yang penuh ketenangan di kediaman Kingston. Agustine sudah lama tak terlihat, wanita paruh baya itu pergi setelah mendapat kabar, bahwa anak sulungnya akan pulang. Jharna mengingatnya jadi iba, dimusuhi oleh anak sendiri yang dia lahir 'kan, sungguh menyakitkan hati seorang ibu. Dari Agustine pula tiada upaya berarti untuk memperbaiki semuanya, seakan menerima takdir dengan lapang dada. Agustine sebelum pergi sempat berbincang dengannya. Kebingungan pun akhirnya melanda kembali saat kalimat ambigu dari Agustine amat kentara. "Cintailah putraku seperti dulu, dia selalu menantimu walau mulutnya terus memilih bungkam. Aku percaya padamu, Jharna." Itu kalimat pertama Agustine sebelum Jharna benar-benar sadar. "Jadi kalian mengenalku? Seberapa lama?" tanya Jharna kala itu. Agustine tersenyum tipis menanggapi, lalu berkata, "Tidak perlu aku jawab sekarang. Kau akan menemukan jawabannya send