Share

Bab 3

"Ibu!" seru seorang anak menghampiri Jharna, kaki kecilnya berlarian dan menabrakkan diri ke sang ibu di saat tubuh wanita itu direndahkan.

Jharna memilih berjongkok guna menyamakan tinggi sang anak. Memeluk erat buah hatinya sembari mengusap punggung mungil itu. "Ibu merindukanmu, sayang."

"Aku juga, Bu!" balas anaknya riang.

"Jharna, bisakah kita bicara sebentar? Sebelum itu, mari mengobrol di dalam," pinta seorang wanita, dia adalah bibinya Jharna.

Jharna lumayan memahami situasi serta langsung menyetujui, sehingga dengan lembut dirinya membawa sang anak pula masuk ke rumah, ditambah malam kian larut. Setelah di dalam sana, Jharna menidurkan sang anak kala usai membersihkan diri, dia adalah Aidan Benjamin.

Sesosok anak kecil lugu nan polos, hidup dalam penuh kesengsaraan akibat ulah dirinya dan mendiang suaminya sendiri. Kini Jharna bisa berekspektasi bagaimana mendambakan realitas sosial dengan lingkungan baik untuk Aidan. Namun, lamunan Jharna buyar ketika ketukan pintu kamar berbunyi.

"Maaf telah merepotkan Bibi," sesal Jharna saat sudah ada di hadapan saudara mendiang ibunya itu. "Aku juga mempunyai kabar untukmu."

Keduanya berjalan ke ruang tamu tampak minimalis milik Jharna. Rula Sterne adalah kerabat dekat tersisa hingga saat ini. Wanita hampir memasuki paruh baya tersebut duduk tenang di samping Jharna seraya menatap lekat sang ponakan.

"Aku sebenarnya tak keberatan, Jharna. Tapi kau pun tahu aku tidak bisa secara terus menerus mengawasi Aidan, di umurku segini terlalu banyak bergerak membuat beberapa sendiku kian sakit."

"Sekali lagi, maafkan aku, Bi. Untuk itu aku juga mau memberikan kabar, jika aku akan menikah dengan seseorang," ungkap Jharna sendu.

Rula memiliki firasat ketika raut wajah tak bahagia itu muncul. Kegusaran mencuat keluar, tatkala melihat mata Jharna yang berkaca-kaca. "Mengapa tiba-tiba, apa kau ini perjodohan paksa?" cercanya.

Kepala Jharna menggeleng lemah di iringi senyuman kecut. "Aku menerima tawaran pernikahan dari seseorang, agar hutang mendiang suami ku lunas dan kehidupan Aidan membaik."

Rula menutup mulutnya. "Mengapa baru kau beritahu aku, Jharna? Kau anggap apa aku ini!"

"Oh, astaga. Aku benar-benar gagal menjaga kalian," racaunya turut bersedih.

Bayangan janji demi menjaga Jharna pun terlintas, mengikis pertahan seorang Rula. "Bagaimana kalau kau tidak bahagia? Jangan pikirkan Aidan saja, kau juga penting Jharna!"

Jharna tetap terdiam. Mulutnya bungkam seribu kata dan bahasa. Dia tak sanggup menjelaskan secara detail, apa lagi perlakuan Max yang diyakini memang kurang setuju dengan perjodohan mendadak tersebut.

"Bibi ... kau tak salah, hanya aku yang bodoh. Sejak awal aku memilih pria itu sebagai suami, ini adalah buah yang aku petik akibat menuai benih dari kesalahan," tutur Jharna berusaha menguatkan diri.

"Kau sangat baik Jharna," ucap Rula bersuara parau.

***

Keesokan harinya. Jharna menyiapkan segala kebutuhan untuk Aidan bawa. Anak kecil berumur lima tahun itu tampak tenang saat Rula menyuapi makanan. Ketika semua telah siap, Jharna mengambil alih Aidan, dan Rula pun membersihkan sisanya.

Si kecil tersenyum manis sambil memeluk leher jenjang Jharna setelah membersihkan mulut Aidan. Rula menghampiri kedua insan berbeda generasi tersebut. Menunjuk keluar bermaksud memberitahu, jika seseorang telah datang.

"Ada seorang pria berpakaian rapi, dia mencari mu," kata Rula sedikit bingung.

"Yeah, dia adalah supir pribadi keluarga Kingston. Memang kewajibannya menjemput ku kerja sejak Nyonya Agustine memperkenalkan aku pada pekerja di sana," jelas Jharna singkat.

Alis Rula terangkat, lalu mengernyit. Bergumam, "Kingston? Itu tampak familiar."

Jharna tertawa kecil mendengar gumaman si bibi. "Tentu kau kenal, mereka adalah keluarga sukses karena sang anak pemegang perusahaan ternama yang telah diwariskan. Begitu juga dengan anak lain, mereka sukses di bidang masing-masing."

Mulut Rula terbuka lebar saking terkejutnya. Kakinya mengikuti langkah Jharna saat keponakannya itu telah selesai dan mengunci pintu rumah. Rula mengatupkan mulut dan menggeleng tak habis pikir.

'Pantas dia rela mengorbankan diri demi membayar hutang dan hidupnya untuk kebaikan Aidan, ternyata calon suaminya adalah orang terpandang,' pikir Rula mulai cemas.

Kini tanpa sadar dia mengangguk pelan ketika Jharna berpamitan. Otaknya membayangkan sesulit apa hidup di lingkungan orang-orang penting, masalahnya keponakannya itu tidak suka dikekang, walau penampilannya terlihat sekali penurut.

Wanita penurut selalu mempunyai hal luar biasa di baliknya, sama dengan Jharna, dia pun begitu. Rula hanya bisa berdoa agar kehidupan pernikahan Jharna kali ini tak seperti sebelumnya.

Di sisi Jharna. Selang waktu, sekarang Jharna dan Aidan tiba di kafe. Semua pekerja di sana mengenal Aidan, ada yang menyukai kehadirannya saat mengikuti Jharna, dan ada pula yang menatapnya sinis.

"Tunggu sampai Paman Wycliff menjemput, selagi menunggu, mainkan ini dulu ya?" Jharna tersenyum senang melihat sang anak mengangguk patuh dengan gerakan lucu.

Kemudian pekerjaan pun dimulai. Segelintir pelanggan datang dan pergi silih berganti. Hingga tak lama pria yang ditunggu datang sesuai janji di tempo hari. Jharna tersenyum lebar seraya melambaikan tangan, meminta izin sebentar pada bosnya supaya bisa menitipkan Aidan terlebih dahulu, dan untungnya si bos berbaik hati untuk mengizinkan Jharna.

"Wah, lihat siapa yang datang!" Tangan besar menyambut tubuh Aidan, sampai Aidan terangkat dan digendong secara nyaman di dekapan Tuan Wycliff, alias Theodor Wycliff.

Jharna mengajak keduanya keluar kafe dan berjalan bersama-sama ke arah parkiran tepat sebuah mobil mewah datang memarkirkan mobil di samping Jharna.

"Kalau begitu aku dan Aidan pergi dulu. Nak, katakan sesuatu pada ibumu," ucap Theodor.

"Ibu, aku akan pergi bersama Paman dan pulang esok hari. Boleh?" cicit Aidan bersuara kecil.

Tawa renyah Jharna melayang di udara, hingga orang lain di antara mereka mendengarnya sedari awal datang dan menunggu. "Ya, tentu. Jangan nakal, kasihan Paman Wycliff, dia mudah terkena sakit pinggang," guraunya jahil.

"Yang benar saja, aku masih sanggup jika harus menggendong mu juga, Jharna," dengus Theodor kurang terima. "Baiklah, mari kita pergi dan biarkan ibumu bekerja."

"Ibu sampai jumpa!" Lambaian tangan mungil Aidan mencuri perhatian seseorang.

Theodor baru menyadari ada orang lain  selain mereka bertiga, namun dirinya telat karena Jharna sudah terlebih dahulu sadar dan membuang pandangan. Pria ini akhirnya benar-benar pergi bersama Aidan ke kediamannya.

Sedangkan Jharna dan Max tampak sangat canggung, atau itu hanya dirasakan Jharna saja? Entahlah.

Max memandang Jharna dengan tatapan tajam bak elang. "Apa aku mesti mengingatkan dirimu, kendati pernikahan ini berlangsung karena perjodohan?"

"Aku tahu kau mengerti, kalau ini adalah kesalahan pahaman. Tetapi—"

"Aku tidak banyak bicara. Namun aku tegaskan sekarang, agar kau mengingat statusmu itu. Jangan pernah melewati batas kesabaranku, pernikahan ini terjadi karena dirimu, kau harus tahu di mana kau berpijak, Jharna Obelia. Aku senantiasa mengawasi segala kau bernapas atau bergerak sekalipun."

"Saya tak mengerti Tuan," sahut Jharna cepat.

"Maka gunakan otakmu untuk mencerna semuanya." Perkataan pedas terlontar lancar lewat bibir indah si pria, ringannya kata, ringan pula perlakuan. Max memilih masuk kembali ke mobil dan melaju meninggal Jharna sendirian.

Sedangkan Jharna masih tertegun dengan perkataan Max barusan, setiap kalimat dan kata ada maksud yang kurang dipahami. Dirinya layaknya orang bodoh tanpa diberitahu secara jelas tentang inti permasalahan, mengapa perlakuan Max berlebihan begini.

Padahal Max sendiri memasang dinding tinggi di antara keduanya seakan tak mau mengenal. Andai kata Jharna mempunyai uang sebanyak hutang piutang suaminya saja, mungkin akan langsung Jharna bayar kontan, sehingga pernikahan antara dirinya dan Max tidak terjadi nantinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status