"Ibu!" seru seorang anak menghampiri Jharna, kaki kecilnya berlarian dan menabrakkan diri ke sang ibu di saat tubuh wanita itu direndahkan.
Jharna memilih berjongkok guna menyamakan tinggi sang anak. Memeluk erat buah hatinya sembari mengusap punggung mungil itu. "Ibu merindukanmu, sayang." "Aku juga, Bu!" balas anaknya riang. "Jharna, bisakah kita bicara sebentar? Sebelum itu, mari mengobrol di dalam," pinta seorang wanita, dia adalah bibinya Jharna. Jharna lumayan memahami situasi serta langsung menyetujui, sehingga dengan lembut dirinya membawa sang anak pula masuk ke rumah, ditambah malam kian larut. Setelah di dalam sana, Jharna menidurkan sang anak kala usai membersihkan diri, dia adalah Aidan Benjamin. Sesosok anak kecil lugu nan polos, hidup dalam penuh kesengsaraan akibat ulah dirinya dan mendiang suaminya sendiri. Kini Jharna bisa berekspektasi bagaimana mendambakan realitas sosial dengan lingkungan baik untuk Aidan. Namun, lamunan Jharna buyar ketika ketukan pintu kamar berbunyi. "Maaf telah merepotkan Bibi," sesal Jharna saat sudah ada di hadapan saudara mendiang ibunya itu. "Aku juga mempunyai kabar untukmu." Keduanya berjalan ke ruang tamu tampak minimalis milik Jharna. Rula Sterne adalah kerabat dekat tersisa hingga saat ini. Wanita hampir memasuki paruh baya tersebut duduk tenang di samping Jharna seraya menatap lekat sang ponakan. "Aku sebenarnya tak keberatan, Jharna. Tapi kau pun tahu aku tidak bisa secara terus menerus mengawasi Aidan, di umurku segini terlalu banyak bergerak membuat beberapa sendiku kian sakit." "Sekali lagi, maafkan aku, Bi. Untuk itu aku juga mau memberikan kabar, jika aku akan menikah dengan seseorang," ungkap Jharna sendu. Rula memiliki firasat ketika raut wajah tak bahagia itu muncul. Kegusaran mencuat keluar, tatkala melihat mata Jharna yang berkaca-kaca. "Mengapa tiba-tiba, apa kau ini perjodohan paksa?" cercanya. Kepala Jharna menggeleng lemah di iringi senyuman kecut. "Aku menerima tawaran pernikahan dari seseorang, agar hutang mendiang suami ku lunas dan kehidupan Aidan membaik." Rula menutup mulutnya. "Mengapa baru kau beritahu aku, Jharna? Kau anggap apa aku ini!" "Oh, astaga. Aku benar-benar gagal menjaga kalian," racaunya turut bersedih. Bayangan janji demi menjaga Jharna pun terlintas, mengikis pertahan seorang Rula. "Bagaimana kalau kau tidak bahagia? Jangan pikirkan Aidan saja, kau juga penting Jharna!" Jharna tetap terdiam. Mulutnya bungkam seribu kata dan bahasa. Dia tak sanggup menjelaskan secara detail, apa lagi perlakuan Max yang diyakini memang kurang setuju dengan perjodohan mendadak tersebut. "Bibi ... kau tak salah, hanya aku yang bodoh. Sejak awal aku memilih pria itu sebagai suami, ini adalah buah yang aku petik akibat menuai benih dari kesalahan," tutur Jharna berusaha menguatkan diri. "Kau sangat baik Jharna," ucap Rula bersuara parau. *** Keesokan harinya. Jharna menyiapkan segala kebutuhan untuk Aidan bawa. Anak kecil berumur lima tahun itu tampak tenang saat Rula menyuapi makanan. Ketika semua telah siap, Jharna mengambil alih Aidan, dan Rula pun membersihkan sisanya. Si kecil tersenyum manis sambil memeluk leher jenjang Jharna setelah membersihkan mulut Aidan. Rula menghampiri kedua insan berbeda generasi tersebut. Menunjuk keluar bermaksud memberitahu, jika seseorang telah datang. "Ada seorang pria berpakaian rapi, dia mencari mu," kata Rula sedikit bingung. "Yeah, dia adalah supir pribadi keluarga Kingston. Memang kewajibannya menjemput ku kerja sejak Nyonya Agustine memperkenalkan aku pada pekerja di sana," jelas Jharna singkat. Alis Rula terangkat, lalu mengernyit. Bergumam, "Kingston? Itu tampak familiar." Jharna tertawa kecil mendengar gumaman si bibi. "Tentu kau kenal, mereka adalah keluarga sukses karena sang anak pemegang perusahaan ternama yang telah diwariskan. Begitu juga dengan anak lain, mereka sukses di bidang masing-masing." Mulut Rula terbuka lebar saking terkejutnya. Kakinya mengikuti langkah Jharna saat keponakannya itu telah selesai dan mengunci pintu rumah. Rula mengatupkan mulut dan menggeleng tak habis pikir. 'Pantas dia rela mengorbankan diri demi membayar hutang dan hidupnya untuk kebaikan Aidan, ternyata calon suaminya adalah orang terpandang,' pikir Rula mulai cemas. Kini tanpa sadar dia mengangguk pelan ketika Jharna berpamitan. Otaknya membayangkan sesulit apa hidup di lingkungan orang-orang penting, masalahnya keponakannya itu tidak suka dikekang, walau penampilannya terlihat sekali penurut. Wanita penurut selalu mempunyai hal luar biasa di baliknya, sama dengan Jharna, dia pun begitu. Rula hanya bisa berdoa agar kehidupan pernikahan Jharna kali ini tak seperti sebelumnya. Di sisi Jharna. Selang waktu, sekarang Jharna dan Aidan tiba di kafe. Semua pekerja di sana mengenal Aidan, ada yang menyukai kehadirannya saat mengikuti Jharna, dan ada pula yang menatapnya sinis. "Tunggu sampai Paman Wycliff menjemput, selagi menunggu, mainkan ini dulu ya?" Jharna tersenyum senang melihat sang anak mengangguk patuh dengan gerakan lucu. Kemudian pekerjaan pun dimulai. Segelintir pelanggan datang dan pergi silih berganti. Hingga tak lama pria yang ditunggu datang sesuai janji di tempo hari. Jharna tersenyum lebar seraya melambaikan tangan, meminta izin sebentar pada bosnya supaya bisa menitipkan Aidan terlebih dahulu, dan untungnya si bos berbaik hati untuk mengizinkan Jharna. "Wah, lihat siapa yang datang!" Tangan besar menyambut tubuh Aidan, sampai Aidan terangkat dan digendong secara nyaman di dekapan Tuan Wycliff, alias Theodor Wycliff. Jharna mengajak keduanya keluar kafe dan berjalan bersama-sama ke arah parkiran tepat sebuah mobil mewah datang memarkirkan mobil di samping Jharna. "Kalau begitu aku dan Aidan pergi dulu. Nak, katakan sesuatu pada ibumu," ucap Theodor. "Ibu, aku akan pergi bersama Paman dan pulang esok hari. Boleh?" cicit Aidan bersuara kecil. Tawa renyah Jharna melayang di udara, hingga orang lain di antara mereka mendengarnya sedari awal datang dan menunggu. "Ya, tentu. Jangan nakal, kasihan Paman Wycliff, dia mudah terkena sakit pinggang," guraunya jahil. "Yang benar saja, aku masih sanggup jika harus menggendong mu juga, Jharna," dengus Theodor kurang terima. "Baiklah, mari kita pergi dan biarkan ibumu bekerja." "Ibu sampai jumpa!" Lambaian tangan mungil Aidan mencuri perhatian seseorang. Theodor baru menyadari ada orang lain selain mereka bertiga, namun dirinya telat karena Jharna sudah terlebih dahulu sadar dan membuang pandangan. Pria ini akhirnya benar-benar pergi bersama Aidan ke kediamannya. Sedangkan Jharna dan Max tampak sangat canggung, atau itu hanya dirasakan Jharna saja? Entahlah. Max memandang Jharna dengan tatapan tajam bak elang. "Apa aku mesti mengingatkan dirimu, kendati pernikahan ini berlangsung karena perjodohan?" "Aku tahu kau mengerti, kalau ini adalah kesalahan pahaman. Tetapi—" "Aku tidak banyak bicara. Namun aku tegaskan sekarang, agar kau mengingat statusmu itu. Jangan pernah melewati batas kesabaranku, pernikahan ini terjadi karena dirimu, kau harus tahu di mana kau berpijak, Jharna Obelia. Aku senantiasa mengawasi segala kau bernapas atau bergerak sekalipun." "Saya tak mengerti Tuan," sahut Jharna cepat. "Maka gunakan otakmu untuk mencerna semuanya." Perkataan pedas terlontar lancar lewat bibir indah si pria, ringannya kata, ringan pula perlakuan. Max memilih masuk kembali ke mobil dan melaju meninggal Jharna sendirian. Sedangkan Jharna masih tertegun dengan perkataan Max barusan, setiap kalimat dan kata ada maksud yang kurang dipahami. Dirinya layaknya orang bodoh tanpa diberitahu secara jelas tentang inti permasalahan, mengapa perlakuan Max berlebihan begini. Padahal Max sendiri memasang dinding tinggi di antara keduanya seakan tak mau mengenal. Andai kata Jharna mempunyai uang sebanyak hutang piutang suaminya saja, mungkin akan langsung Jharna bayar kontan, sehingga pernikahan antara dirinya dan Max tidak terjadi nantinya.Tiga hari kemudian. Jharna dan Max kini berada di butik rekomendasi dari Agustine. Kualitas serta pelayanan di sana sangat bagus, terutama desain menarik sudah Agustine pilihkan secara khusus, lalu tinggal Jharna memilih yang mana akan dipakai nanti di hari pernikahan. Max sendiri tetap diam, mengiyakan saja sambil sibuk melanjutkan pekerjaan melalui ponsel. Sehingga tidak lama Jharna selesai, perhatian Max tak sedikitpun sepenuhnya ke arah Jharna. Pria itu juga memilih tuxedo senada dengan gaun pilihan Jharna, menyempatkan sedikit waktu hanya demi pakaian. Ada rasa kecewa mendapatkan perlakuan tersebut. Jharna berusaha abai dan fokus pada diri sendiri. "Bisakah kau pulang menaiki taksi?" tanya Max tiba-tiba. "Tentu saya bisa," jawab Jharna seadanya tanpa menatap Max. Sedangkan Max barusan memang bertanya sembari melirik sekilas ke Jharna, tapi berbeda hal oleh Jharna sendiri. "Kalau begitu—" "Saya permisi Tuan," putus Jharna cepat di saat sebuah taksi berhenti dan menurun
Jam makan siang akhirnya tiba. Karena memang tak bisa tidur lagi, Jharna memutuskan keluar kamar. Satu jam lamanya dirinya di dalam sana sembari melamun, memikirkan apa saja yang membuatnya tenang sendiri. Setiap orang mempunyai caranya, dan itulah caranya sendiri. Di ruangan Max ternyata ada seorang wanita cantik, berpostur tubuh indah sempurna, lalu menatapnya yang baru keluar dari kamar pribadi si CEO. Dari cara bicaranya 'lah langsung ketebak bagaimana watak si wanita. "Aku baru tahu jika Max berani menyewa jal*ng," tuduhnya sinis, bermaksud merendahkan Jharna. Apakah Jharna mau membalas? Oh, tentu tidak. Dia mengabaikan wanita asing tersebut sambil melangkah ingin keluar. Bertepatan oleh Max yang masuk kembali dan menarik lembut Jharna. Menyuruhnya duduk di depan si wanita tadi. Jharna menghela napas dan malas berdebat. Wanita berpenampilan glamor serta sangatlah fashion able itu mengangkat dagu angkuh, matanya menelisik cara berpakaian Jharna dari kepala hingga ujung kaki
"Jharna!" panggil seseorang.Jharna dan Aidan menoleh kompak ke asal suara di balik punggung mereka. Seorang pria dengan lesung pipi tengah berlari menghampiri. "Aku menunggu kalian, mengapa baru pulang di jam segini?" cecar Theodor sambil melihat arloji di pergelangan tangan kiri. "Hampir saja aku pulang, kalau tak sabar."Gurat sesal amat ketara di wajah Jharna. "Maaf, kami baru saja pergi ke suatu tempat. Aku bahkan lupa memeriksa jam, sehingga tak terasa waktu berlalu begitu cepat, Theo."Theodor tersenyum kecil, lalu melirik Aidan yang sedang menahan kantuk. "Ya sudah, tampaknya kalian butuh istirahat.""Maaf kalau aku datang tanpa mengabarkan mu," lanjutnya seraya mengusap kepala Aidan. "Tunggulah sebentar, aku akan menaruh Aidan terlebih dahulu," putus Jharna, langsung membalikkan badan dan masuk ke rumah. Theodor tak memungkiri jika ada hal penting yang ingin dirinya sampaikan. Apa lagi Jharna seperti tidak ke
Sejak hari di mana Jharna kepergok oleh sang calon suami, dirinya kini merasa selalu diawasi setiap pergi keluar rumah. Perihal itu pula, dirinya harus menghadapi hari menjelang pernikahan, dengan hanya menghitung hari menggunakan jari. Kegiatannya pun di atur. Jharna juga sudah tidak diperbolehkan bekerja di kafe, walau dirinya sendiri masih ingin. Meski begitu, atas perintah Agustine, Jharna akhirnya mengikuti kemauan wanita paruh baya tersebut. Di lain sisi, dirinya merasa tak enak hati, karena hutang bank dan rentenir telah dilunasi oleh Agustine. Hutangnya jadi tidak menumpuk di mana-mana. Akan tetapi justru berat di diri Jharna tentang balas budi. Memikirkan hal itu membuat dia menghela napas. "Bahkan, jika aku menggantikan semua uangnya, pasti butuh waktu seumur hidup.""Kau menaruh hutang di mana lagi?" Jharna terkesiap mendengar pertanyaan seseorang. Kepalanya menoleh, lalu menatap pria yang enggan dirinya pikirkan sedari kem
Di hari ketiga Jharna tinggal bersama keluarga kecil Kingston, dirinya diperlakukan selayaknya tuan rumah. Para pelayan ataupun pengawal menunduk hormat kepada Jharna. Di hari yang sama pula, kini dirinya tengah menghibur diri menonton sebuah berita di salah satu saluran televisi yang menayangkan tentang seorang pengusaha muda sukses. Nama Maximilian Kingston muncul beserta foto tampannya di layar. Mata Jharna terbuka sempurna setelah si pembawa berita menampilkan cuplikan sesi wawancaranya bersama Max. Namun bukan itu, akan tetapi, apa yang Max sampaikan sungguh membuat dirinya tak menyangka. Ia kira Max tidak mau memberitahukannya kepada publik. "Jadi, apa rencana anda selanjutnya ke depan, mengenai bisnis yang sudah berkembang pesat hingga ke mancanegara?" tanya si pembawa berita cukup antusias. Max tampak berpikir sejenak. "Untuk sekarang saya tidak memikirkan rencana khusus, tapi ada yang mesti saya sampaikan pada khalayak." Raut wajah pembawa itu mengernyitkan. Rasa pe
Dua hari sebelum pernikahan. Di kediaman Kingston terdapat seorang wanita bertamu di pagi hari dengan raut wajah datar, tatapannya tampak tajam pada siapa saja yang melihatnya. "Nona selamat datang—""Di mana wanita tua itu?" tanyanya menyela cepat. Si pelayan menjawab cepat sambil menundukkan kepala. "Nyonya berada di ruang pribadinya, Nona."Tanpa menyahut lagi, wanita itu melenggang pergi ke arah ruangan yang dituju. Setiap pelayan atau pengawal dilewatinya akan memberikan tundukkan kepala, tidak berani menatap, bahkan sekedar melirik jika tak diberi izin. Wanita itu melangkah menggunakan kaki jenjangnya. Di depan matanya sebuah pintu besar tertutup, dengan cepat dia membuka kasar dan membantingnya, hingga suara benturan gagang pintu bersama dinding terdengar. Agustine terlonjak kaget dibuatnya, saat waktu membaca bukunya terganggu oleh seseorang. Namun kala matanya bergulir ke ambang pintu, seorang wanita berumur tiga pul
Hari pernikahan. Janji suci tersebut berikrar di depan pendeta dan para tamu undangan. Jharna dan Max akhirnya resmi menjadi sepasang suami istri dengan ikatan janji suci dibeberapa menit yang lalu. Kini perasaan gusar tergantikan debaran hebat. Jharna sulit menampik seberapa gugup dirinya, yang jelas semuanya tampak seperti mimpi.Acara resepsi pun tiba. Di mana sepasang pengantin berdiri dan menerima ucapan selamat dari para tamu atau sanak keluarga atas pernikahan mereka. Ada sepasang mata menatap terpesona, bercampur kecewa amat kental di sorot kedua netra berwarna langit malam itu. Dirinya kira Max bercanda kalau mereka adalah calon—ah, dia lupa, jika sekarang Jharna resmi menjadi istri pria lain. Lura berjalan ke arah Theodor, menepuk pelan pundak pria itu, hingga lamunannya buyar dalam sekejap. "Bibi menunggumu menyusul Jharna ke pelaminan, Theo.""Tenang saja, aku akan menikahi wanita cantik dan baik hati seperti Jhar
"Kalian benar-benar pasangan serasi. Ibu senang melihat kalian berdua berdampingan begini." Senyum merekah dari bibir Agustine hanya dibalas senyuman tipis oleh Jharna, Max sendiri masih mempertahankan ekspresi datarnya itu. William di sisi lain meja makan tampak tidak berminat lagi sarapan, alat makannya dia hempas kasar dan meninggalkan ruangan tersebut. Dentingan alat makan terpusat ke arah William. Agustine terkejut karena mendadak William pergi begitu saja. Menghadirkan rasa cemas, lalu memutuskan menyusul anak bungsunya itu. Kini tinggal Max dan Jharna serta Aidan. Anak kecil itu lebih diam dari biasanya, membuat Jharna mencoba membuka suara dan tak memperhatikan Max di sampingnya. "Apa kau mau memakan yang lain?" tawar Jharna, sebab anaknya terlihat tak nafsu makan. Sedangkan Aidan menggeleng pelan, lalu menatap Jharna dengan tatapan polos. "Bu, bolehkah kita pulang saja?" "Kenapa kau tiba-tiba mau pulang, hmm? Mansion ini sekarang menjadi tempat tinggal kita, N