"Jharna, aku tahu kau sedang dalam kesulitan," kata Agustine dengan lembut.
"Aku memiliki tawaran untukmu." Mereka duduk di ruang tamu, dan Jharna merasa suasana tegang saat Agustine memulai percakapan. Jharna mengernyit keheranan. "Tawaran apa, Nyonya?" Agustine menarik napas dalam-dalam. "Menikahlah dengan anakku, dan semua hutang mendiang suamimu akan aku anggap lunas." Jharna tertegun. Lantas bertanya, "Menikah? Dengan anak Anda? Tapi kenapa saya?" Agustine menatapnya dengan penuh keyakinan tanpa ragu. "Aku sudah memeriksa latar belakangmu. Kau wanita yang kuat dan berdedikasi. Anakku membutuhkan seseorang seperti dirimu." Jharna merasa dadanya sesak. "Tapi saya seorang janda dan memiliki anak yang masih kecil. Kenapa Anda memilih saya?" Agustine tersenyum lagi. "Karena aku melihat potensi dalam dirimu. Anak-anakku membutuhkan pendamping yang kuat dan penuh kasih." Jharna terdiam, mencoba mencerna semua informasi. "Tapi apakah anak Anda setuju dengan ini?" "Dia akan mengerti," jawab Agustine. "Ini demi kebaikannya juga." Jharna merasa bingung dan tertekan. Tawaran ini seperti jalan keluar dari kemiskinan, tetapi juga penuh dengan ketidakpastian. Semua harus ditimang secara matang. "Saya butuh waktu untuk memikirkannya," kata Jharna akhirnya. "Tentu, ambillah waktu yang kau butuhkan," kata Agustine sambil bangkit dari duduknya. Sebuah lembar kartu nama tertulis nama serta alamat tertera di sana, diletakkan oleh Agustine. "Tapi ingat, tawaran ini bisa mengubah hidupmu dan anakmu." Setelah Agustine pergi, Jharna duduk termenung. Tawaran itu menggemakan dirinya, membawa harapan baru di tengah kegelapan, namun juga membawa kekhawatiran akan masa depan yang tidak pasti. Jharna menghela napas panjang dan melihat putranya yang tidur nyenyak. "Demi kamu, nak. Apa yang harus ibu lakukan?" Suara gumaman lirih tersirat keputusasaan, di tengah realita rumit. Antara menolak atau menerima, menerima pun keuntungannya lebih besar, namun Jharna cukup ragu walau itu menggiurkan. Kedua tangan menangkup wajah lelahnya, dia mencoba untuk tenang dan memilih pilihan tepat. Semua keputusan kini berada di tangannya sendiri. Masa depan cerah sang anak turut diperkirakan, mana yang lebih baik, sedangkan bertahan di jalan kemiskinan adalah pilihan buruk. Ya, mungkin Jharna akan memberikan jawabannya. *** Ini adalah hari yang sama. Jharna tak ingin berlama membuang waktu, karena bisa saja Agustine merubah keputusannya, dari penawaran menjadi hutang yang memang harus dibayar lunas. Kini sekitar jam 7 malam, dirinya memberanikan diri bertamu ke kediaman Agustine. Secangkir teh hangat disuguhkan, tetapi tidak menarik minatnya sama sekali, lantaran tergugup. "Aku tau kau pasti akan datang," ucap Agustine, yang muncul menyambut Jharna. "Kebetulan sekali, makan malam sebentar lagi dimulai, ikutlah denganku ke ruang makan." Tangan Agustine menggandeng lengan Jharna tanpa persetujuannya. "B—baik, Nyonya." "Aku harap sesuai dengan seleramu." Seulas senyum terpatri di wajah Agustine ketika mendengar jawaban Jharna. Jharna sendiri merasa tak enak kalau menolak tawaran tuan rumah, apa lagi Agustine yang menggiringnya langsung ke ruang makan. Di ruang makan. Agustine dan Jharna memakan hidangan yang tersedia di atas meja, dengan suasana canggung melingkupi Jharna seorang diri. Selang berapa menit kemudian mereka memutuskan ke ruang tamu. "Jadi, bagaimana jawabanmu?" tanya Agustine pada topik perbincangan. Matanya menatap Jharna, terlihat gugup menjawab pertanyaan tersebut, membuat tangan Agustine mengusap lembut lengan Jharna agar memberikan ketenangan. "Apapun keputusanmu, aku akan menghargainya, Jharna, katakanlah." Jharna mengambil napas dalam-dalam, matanya terpejam sejenak dan membalas tatapan Agustine. "Saya menerima tawaran anda, Nyonya." "Apakah kau sudah yakin akan keputusan itu?" Jharna menganggukkan kepala cepat. Senyum merekah ditampilkan oleh Agustine, secara reflek pula dirinya memeluk Jharna. Inilah pilihannya, berharap sang anak bisa menerima kehadiran Jharna supaya tidak keasikan melajang. "Terima kasih telah menerimanya, untuk itu, mohon tunggulah calon suami mu. Dia sedang pergi keluar kota karena pekerjaannya." "Baik Nyonya—" "Bukan Nyonya, Jharna. Aku adalah calon mertuamu," sela Agustine mengoreksi setelah melepas pelukan tersebut. Mata Jharna mengerjap pelan sambil mengangguk kaku. Agustine berkata, "Panggil aku ibu." "Ya, Ibu, aku mengerti," sahut Jharna bernada lembut. Keduanya pun berbincang ringan mengenai anak Jharna atau anak Agustine. Agustine membuka pintu untuk buah hati Jharna di mansion ini, begitu juga penghuni lainnya, dan Jharna amat terharu atas usaha Agustine untuk membuat dirinya nyaman di sana. Saran Agustine didengar baik oleh wanita yang terpaut jauh dengan Agustine itu, setiap kali membayangkan anaknya sendiri, pasti Agustine menaruh harapan supaya kedua hubungan Jharna dan anaknya terjalin baik atau harmonis hingga akhir hayat. Dikarenakan malam kian larut, Jharna diizinkan untuk menginap atas perintah dari Agustine sendiri. Mau ditolak sedemikian rupa pun, Agustine tetap gigih menyuruhnya istirahat di kamar tamu. Kebaikan wanita paruh baya itu hanya menimbulkan rasa tak enak hati. Namun Jharna berusaha menyikapinya sesopan mungkin, seperti halnya Agustine memperlakukan dirinya. "Terima kasih, Bu. Padahal anda hanya perlu menyuruh salah satu pelayan, tetapi diri anda sendiri yang mengantarkan saya ke kamar." "Sama-sama Jharna, jangan sungkan kepadaku. Aku adalah Ibumu sekarang," ucap Agustine tulus. Hati Jharna terenyuh mendengar itu. Dia tidak mampu membalas semua kebaikan Agustine secara setimpal. Setidaknya, dirinya akan mengabdikan diri untuk calon suaminya nanti sebagai balasan, tiada lain dan bukan adalah anak Agustine sendiri. Kini keduanya saling berpamitan dan istirahat di kamar masing-masing, terutama Jharna. Fasilitas kamar tamu layaknya hotel berbintang, kemewahan di seluruh mansion tak terlepas dari ornamen berharga fantastis. Sungguh bak mimpi berada di dalam kediaman ini. *** Pagi harinya. Agustine baru saja menginjakkan kakinya di ruang makan, sayup-sayup suara tawa para pelayan terdengar dari arah dapur kotor. Saking penasaran dan tak biasanya, dia pun memeriksa keadaan dapur. "Loh, Jharna? Kau sedang apa, Nak?" Dirinya terkejut mendapati calon menantunya bergulat di depan kompor sembari bersenda gurau bersama beberapa pelayan. Kepala Jharna menoleh, ada rasa bersalah akibat kemunculan Agustine kala memasuki dapur secara tiba-tiba, karena melakukan sesuatu tanpa izin. "Aku sedang membantu mereka memasak, Bu," cicitnya. Agustine melihat Jharna mematikan kompor dan menundukkan kepala, diikuti oleh beberapa pelayan di dekatnya sambil memasang wajah ketakutan. Agustine pun menghela napas. "Mereka dibayar untuk itu, kau seharusnya bersantai. Dan kalian, lanjutkan 'lah sendiri, Jharna adalah calon Nyonya di rumah ini. Paham?" "Paham Nyonya!" jawab mereka serentak, lalu Jharna diajak Agustine ke arah ruang makan. Jharna padahal sudah tampak cantik dan anggun karena pakaian pemberiannya semalam, ketika mengantar ke kamar tamu. Tapi pagi sekali malah berkutat di dapur, membuat Agustine tidak kuasa melihat calon menantunya tersebut. "Nyo—ibu, aku tidak bisa berlama-lama di sini. Ada tanggung jawab yang mesti aku jalankan," ucap Jharna. "Memang kau mau ke mana? Anakku akan datang siang nanti," balas Agustine cukup kecewa. "Apa ini mengenai pekerjaanmu?" "Benar, nanti aku bisa dipecat kalau tidak rajin, Bu." Agustine mendengarkannya menautkan alis. "Oh, astaga ... apa kau lupa siapa calon suami, Nak?" "Dia mempunyai uang yang banyak, bahkan bisa membuatkan sesuatu luar biasa jika kau meminta, tak perlu memeras keringat kembali seperti biasa," lanjut Agustine. Jharna mendengar perkataan Agustine justru tersenyum kecil, kemudian kepalanya menggeleng pelan. Ada rasa tak setuju kala perkataan calon mertuanya bicara secara demikian. "Itu bukan uangku, Bu. Hutang di antara kita jangan dilupakan, aku ingin Ibu terus mengingatnya, agar aku tidak lupa tempat." Hati Agustine tertegun sejenak. Berpikir kalau Jharna salah menanggapi ucapannya barusan, mestinya dirinya harus lebih lembut dalam bertutur kata, mau bagaimana juga permasalahan mereka berawal dari hutang-piutang. Satu jam kemudian. Jharna baru saja berpamitan kepada Agustine. Kini dirinya di antar oleh salah satu supir pribadi beliau ke tempatnya bekerja, demi mengais rezeki. Mengingat perbincangan bersama Agustine, Jharna merasa kecil. Dia diharuskan menggunakan segala fasilitas yang diberikan Agustine untuk dirinya pakai. Kali ini memang dirinya tak menolak, namun Jharna membatasi dirinya sendiri tanpa Agustine ketahui. Sebuah kartu hitam khas orang kaya yang biasa untuk bertransaksi, sekarang ada di dalam tas selempangnya. Degup jantung bertalu ribut akibat pertama kali mendapatkan sesuatu hal besar seperti ini. Sungguh tadi Jharna hampir saja melempar kartu kredit tersebut ke arah lain, jika tak ingat kalau itu adalah pemberian Agustine. Di tempat kerja. Jharna melanjutkan aktivitasnya. Seiring berjalannya waktu, jam terus berputar, tidak terasa jarum jam mengarah pada angka satu siang. Hingga dirinya sadar kala bunyi lonceng di atas pintu berbunyi. "Selamat siang, Tuan—" "Satu kopi americano," balasnya cepat. "Baik, atas nama?" Jharna kembali bertanya sambil memandang si pelanggan. Untungnya wajah minim ekspresi itu tak mengganggunya sama sekali. "Max." Kemudian pria bernama Max itu membayar kopi, lalu duduk di salah satu kursi di meja kosong, sembari menunggu pesanannya selesai. Jharna hampir salah fokus kala melihat pria tadi, ini bukan pertama kali pria bernama Max datang membeli kopi, tetapi sebelum ini sudah sering. Dengan cekatan Jharna menyelesaikan pesanan pria asing barusan, dan memanggilnya lewat meja di tempatnya berdiri. Suara bariton terdengar di telinga Jharna. "Terima kasih." Senyuman ramah Jharna terukir sekilas. "Sama-sama, Tuan. Semoga hari anda menyenangkan!"Keesokan harinya. Tepatnya sore ini Jharna dijemput supir dari kediaman Agustine. Tepat saat sampai, Agustine sendiri yang menyambutnya dan memberikan pelukan hangat selamat datang. Keduanya berjalan masuk dengan tangan Agustine senantiasa menggandeng Jharna, memperlakukannya hangat selayaknya keluarga sungguhan. "Anakku masih berada di ruang kerja, mungkin nanti saat jam makan malam tiba dia akan keluar," ungkap Agustine sambil tersenyum kecil. "Baiklah, Bu. Aku mengerti." Masih ada rasa tak rela akibat perjodohan ini, dia takut kebebasannya semakin tipis sekedar mengekspresikan diri. Namun, Jharna tetap pada tujuan utama, membalas Agustine semampunya melalui calon suaminya nanti. Sedangkan Agustine menuntun Jharna ke lantai atas tempat atap yang telah di desain nyaman, guna bersantai. Di sana ternyata ada meja bundar berukuran sedang, beserta camilan dan teh. Keduanya duduk seraya menikmati pemandangan langit yang semakin larut berubah, menjadikan warna jingga menciptakan sen
"Ibu!" seru seorang anak menghampiri Jharna, kaki kecilnya berlarian dan menabrakkan diri ke sang ibu di saat tubuh wanita itu direndahkan. Jharna memilih berjongkok guna menyamakan tinggi sang anak. Memeluk erat buah hatinya sembari mengusap punggung mungil itu. "Ibu merindukanmu, sayang." "Aku juga, Bu!" balas anaknya riang. "Jharna, bisakah kita bicara sebentar? Sebelum itu, mari mengobrol di dalam," pinta seorang wanita, dia adalah bibinya Jharna. Jharna lumayan memahami situasi serta langsung menyetujui, sehingga dengan lembut dirinya membawa sang anak pula masuk ke rumah, ditambah malam kian larut. Setelah di dalam sana, Jharna menidurkan sang anak kala usai membersihkan diri, dia adalah Aidan Benjamin. Sesosok anak kecil lugu nan polos, hidup dalam penuh kesengsaraan akibat ulah dirinya dan mendiang suaminya sendiri. Kini Jharna bisa berekspektasi bagaimana mendambakan realitas sosial dengan lingkungan baik untuk Aidan. Namun, lamunan Jharna buyar ketika ketukan pintu k
Tiga hari kemudian. Jharna dan Max kini berada di butik rekomendasi dari Agustine. Kualitas serta pelayanan di sana sangat bagus, terutama desain menarik sudah Agustine pilihkan secara khusus, lalu tinggal Jharna memilih yang mana akan dipakai nanti di hari pernikahan. Max sendiri tetap diam, mengiyakan saja sambil sibuk melanjutkan pekerjaan melalui ponsel. Sehingga tidak lama Jharna selesai, perhatian Max tak sedikitpun sepenuhnya ke arah Jharna. Pria itu juga memilih tuxedo senada dengan gaun pilihan Jharna, menyempatkan sedikit waktu hanya demi pakaian. Ada rasa kecewa mendapatkan perlakuan tersebut. Jharna berusaha abai dan fokus pada diri sendiri. "Bisakah kau pulang menaiki taksi?" tanya Max tiba-tiba. "Tentu saya bisa," jawab Jharna seadanya tanpa menatap Max. Sedangkan Max barusan memang bertanya sembari melirik sekilas ke Jharna, tapi berbeda hal oleh Jharna sendiri. "Kalau begitu—" "Saya permisi Tuan," putus Jharna cepat di saat sebuah taksi berhenti dan menurun
Jam makan siang akhirnya tiba. Karena memang tak bisa tidur lagi, Jharna memutuskan keluar kamar. Satu jam lamanya dirinya di dalam sana sembari melamun, memikirkan apa saja yang membuatnya tenang sendiri. Setiap orang mempunyai caranya, dan itulah caranya sendiri. Di ruangan Max ternyata ada seorang wanita cantik, berpostur tubuh indah sempurna, lalu menatapnya yang baru keluar dari kamar pribadi si CEO. Dari cara bicaranya 'lah langsung ketebak bagaimana watak si wanita. "Aku baru tahu jika Max berani menyewa jal*ng," tuduhnya sinis, bermaksud merendahkan Jharna. Apakah Jharna mau membalas? Oh, tentu tidak. Dia mengabaikan wanita asing tersebut sambil melangkah ingin keluar. Bertepatan oleh Max yang masuk kembali dan menarik lembut Jharna. Menyuruhnya duduk di depan si wanita tadi. Jharna menghela napas dan malas berdebat. Wanita berpenampilan glamor serta sangatlah fashion able itu mengangkat dagu angkuh, matanya menelisik cara berpakaian Jharna dari kepala hingga ujung kaki
"Jharna!" panggil seseorang.Jharna dan Aidan menoleh kompak ke asal suara di balik punggung mereka. Seorang pria dengan lesung pipi tengah berlari menghampiri. "Aku menunggu kalian, mengapa baru pulang di jam segini?" cecar Theodor sambil melihat arloji di pergelangan tangan kiri. "Hampir saja aku pulang, kalau tak sabar."Gurat sesal amat ketara di wajah Jharna. "Maaf, kami baru saja pergi ke suatu tempat. Aku bahkan lupa memeriksa jam, sehingga tak terasa waktu berlalu begitu cepat, Theo."Theodor tersenyum kecil, lalu melirik Aidan yang sedang menahan kantuk. "Ya sudah, tampaknya kalian butuh istirahat.""Maaf kalau aku datang tanpa mengabarkan mu," lanjutnya seraya mengusap kepala Aidan. "Tunggulah sebentar, aku akan menaruh Aidan terlebih dahulu," putus Jharna, langsung membalikkan badan dan masuk ke rumah. Theodor tak memungkiri jika ada hal penting yang ingin dirinya sampaikan. Apa lagi Jharna seperti tidak ke
Sejak hari di mana Jharna kepergok oleh sang calon suami, dirinya kini merasa selalu diawasi setiap pergi keluar rumah. Perihal itu pula, dirinya harus menghadapi hari menjelang pernikahan, dengan hanya menghitung hari menggunakan jari. Kegiatannya pun di atur. Jharna juga sudah tidak diperbolehkan bekerja di kafe, walau dirinya sendiri masih ingin. Meski begitu, atas perintah Agustine, Jharna akhirnya mengikuti kemauan wanita paruh baya tersebut. Di lain sisi, dirinya merasa tak enak hati, karena hutang bank dan rentenir telah dilunasi oleh Agustine. Hutangnya jadi tidak menumpuk di mana-mana. Akan tetapi justru berat di diri Jharna tentang balas budi. Memikirkan hal itu membuat dia menghela napas. "Bahkan, jika aku menggantikan semua uangnya, pasti butuh waktu seumur hidup.""Kau menaruh hutang di mana lagi?" Jharna terkesiap mendengar pertanyaan seseorang. Kepalanya menoleh, lalu menatap pria yang enggan dirinya pikirkan sedari kem
Di hari ketiga Jharna tinggal bersama keluarga kecil Kingston, dirinya diperlakukan selayaknya tuan rumah. Para pelayan ataupun pengawal menunduk hormat kepada Jharna. Di hari yang sama pula, kini dirinya tengah menghibur diri menonton sebuah berita di salah satu saluran televisi yang menayangkan tentang seorang pengusaha muda sukses. Nama Maximilian Kingston muncul beserta foto tampannya di layar. Mata Jharna terbuka sempurna setelah si pembawa berita menampilkan cuplikan sesi wawancaranya bersama Max. Namun bukan itu, akan tetapi, apa yang Max sampaikan sungguh membuat dirinya tak menyangka. Ia kira Max tidak mau memberitahukannya kepada publik. "Jadi, apa rencana anda selanjutnya ke depan, mengenai bisnis yang sudah berkembang pesat hingga ke mancanegara?" tanya si pembawa berita cukup antusias. Max tampak berpikir sejenak. "Untuk sekarang saya tidak memikirkan rencana khusus, tapi ada yang mesti saya sampaikan pada khalayak." Raut wajah pembawa itu mengernyitkan. Rasa pe
Dua hari sebelum pernikahan. Di kediaman Kingston terdapat seorang wanita bertamu di pagi hari dengan raut wajah datar, tatapannya tampak tajam pada siapa saja yang melihatnya. "Nona selamat datang—""Di mana wanita tua itu?" tanyanya menyela cepat. Si pelayan menjawab cepat sambil menundukkan kepala. "Nyonya berada di ruang pribadinya, Nona."Tanpa menyahut lagi, wanita itu melenggang pergi ke arah ruangan yang dituju. Setiap pelayan atau pengawal dilewatinya akan memberikan tundukkan kepala, tidak berani menatap, bahkan sekedar melirik jika tak diberi izin. Wanita itu melangkah menggunakan kaki jenjangnya. Di depan matanya sebuah pintu besar tertutup, dengan cepat dia membuka kasar dan membantingnya, hingga suara benturan gagang pintu bersama dinding terdengar. Agustine terlonjak kaget dibuatnya, saat waktu membaca bukunya terganggu oleh seseorang. Namun kala matanya bergulir ke ambang pintu, seorang wanita berumur tiga pul