"Malam banget pulangnya, Mas?" kataku seraya membuka pintu kamar lebar-lebar, mempersilahkan pria berwajah istimewa itu masuk. "Banyak pekerjaan, Ra," katanya datar. Mas Raffi membuka kemejanya, lalu melemparkannya ke keranjang pakaian kotor.Mata ini masih memerhatikan dia yang mengganti celana panjangnya dengan celana piyama. Bokong kujatuhkan di ujung ranjang dengan tangan dilipat di perut."Enggak mandi?" tanyaku kemudian. Pasalnya, dia langsung naik ke atas ranjang dan membaringkan tubuh di sana. "Enggaklah, ini sudah malam banget. Besok aja aku mandinya. Kenapa? Kamu gak mau tidur sama aku karena gak mandi?" Aku menarik tubuh ke belakang dengan tatapan menyipit ke arahnya. "Aku enggak bilang gitu, loh. Kepikiran ke sana juga enggak," kataku. "Yasudah, sini tidur kalau enggak jijik sama aku." Mas Raffi kembali berucap dengan kata-kata yang membuatku tak habis pikir. Dia sensi sekali. Mungkin karena terlalu lelah bekerja, dan aku memaklumi itu. Aku tidak banyak lagi bicara
"Ibu ...." Aku menutup mulut menahan isak saat wajah Ibu nampak begitu pucat di seberang sana. Tahan. Sudah berusaha kutahan air mata untuk tidak jatuh, tapi nyatanya aku tak mampu. Buliran bening terus keluar membuatku tak bisa lagi mengendalikannya. "Jangan nangis, Ra .... Ibu, baik-baik saja, kok. Ibu hanya sakit biasa." Paham dengan reaksiku, Ibu langsung berucap dengan suara lemahnya. Namun, bukannya berhenti menangis, aku malah semakin tersedu dengan layar ponsel tetap di hadapanku. Setelah menunaikan salat subuh, Mimi mengirimkan pesan yang katanya Ibu sudah bangun dan mau ditelepon. Aku pun tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Aku langsung menghubungi Ibu lewat video call. "Gimana kabar kamu, Nak?" tanya Ibu lagi, semakin membuatku terluka. Bukan aku yang menanyakan kabar Ibu, malah sebaliknya. Dalam keadaan lemah tak berdaya saja, Ibu masih menanyakan keadaanku. Sedangkan aku, sangat jarang melakukan itu. "Aku baik, Bu. Ibu ... kenapa bisa seperti itu? Ibu gak makan?
Kaki kuayun pelan menapaki jalanan menuju restoran. Sengaja, aku turun dari mobil Pak Tarmin sedikit jauh dari tempatku bekerja, hanya demi menumpahkan rasa kecewa lewat air mata. Orang yang aku harapkan bisa membawaku bertemu Ibu, tidak sama sekali mau mendengarkan keluh kesahku. Mas Raffi. Dia berangkat ke tempat kerjanya sangat pagi, setelah Mas Daffa dan Mbak Syahida pergi mengantarkan Syakila ke pesantren. Bahkan, sebelum aku mengatakan kondisi Ibu di kampung. "Maafkan Raya, Bu ...." Aku bergumam seraya mengusap mata yang basah. Ingin rasanya pergi hari ini ke rumah Ibu tanpa izin dari suami, tapi itu tidak bisa aku lakukan. Aku tidak berani pergi begitu saja, aku takut malah menambah masalah dalam hidupku. "Sabar .... Sabar, Raya ...." Aku berhenti melangkah, mengusap dada seraya menepuk-nepuk dada yang masih terasa sesak. Restoran tempatku bekerja sudah di depan mata, tapi aku tak langsung masuk ke sana. Sengaja aku duduk terlebih dahulu di bangku panjang yang ada di depa
Aku memundurkan tubuh menempelkan punggung pada sandaran kursi. Udara kuhirup perlahan untuk memenuhi rongga dada yang terasa sesak. Sepenting itu pekerjaan untuk Mas Raffi, hingga dia menyuruh orang lain untuk pergi ke kampung halamanku? "Gimana, mau pergi sekarang?" Reyhan kembali bertanya. Aku menelan ludah dengan kasar, lalu menatap pria di depanku sekilas. "Aku pikir-pikir dulu, Rey.""Mikir apa lagi? Kalau ibumu kenapa-kenapa gimana? Nanti kamu nyesel, loh. Lagipula Raffi sudah memberikan izin juga." Hening. Aku diam seraya berpikir langkah apa yang harus aku ambil. Haruskah pergi bersama Reyhan? Akan tetapi .... Rasanya tidak pantas.Aku kembali melempar pandangan pada Reyhan yang menunggu jawaban. Tatapannya penuh harap. Dia ingin membantuku, tapi aku gamang. Seperti ada sesuatu yang melarangku pergi. Dan perasaan aneh membuatku berat menerima tawaran baik Reyhan. Benarkah Mas Raffi menyuruhnya mengantarku? Kenapa? Kenapa Mas Raffi percaya pada Reyhan, sedangkan aku
Hari ini kuputuskan pulang lebih awal. Niatku sudah bulat, aku akan pergi bersama Reyhan menengok Ibu yang sakit. Namun, aku harus bicara dahulu pada Mama, meminta pengertiannya untuk mengizinkan Rayyan ikut serta denganku. Ibu, neneknya juga. Dia pun menyayangi Rayyan dan pasti akan merindukan cucunya itu. Dalam perjalanan, ponselku berdenting. Nama Mas Raffi sebagai pengirim, membuatku cepat-cepat membuka untuk membaca pesan tersebut. Tumben sekali dia mengirim pesan di jam kerja. Tidak biasanya. [Sayang, maaf tadi pagi aku tidak mendengarkan apa yang ingin kamu sampaikan. Aku kira bukan tentang Ibu. Dan saat tadi aku menelpon Ibu untuk menanyakan kabarnya, ternyata Ibu sedang sakit. Besok kita ke ke Garut, ya, buat jenguk Ibu. Maaf untuk hari ini, Mas tidak bisa membatalkan meeting dengan klien. Tapi janji, besok kita pergi. Mas sudah atur ulang pertemuan dengan klien untuk beberapa hari ke depan.]Aku meraba dada merasakan butiran es yang menyejukkan hati setelah membaca pesa
Ibu terkekeh, lalu menyuruh Mimi menjauhkan ponsel dari wajahnya. Keinginan Ibu, sama seperti mauku. Aku ingin segera berangkat ke sana dan memijit kakinya seperti dahulu ketika ia sakit. Namun, kami harus sama-sama sabar untuk kebahagiaan di hari yang akan datang. "Aku seneng kamu akan datang, Ra. Kita lihat besok, ya, pasti rame ini rumah dikunjungi banyak orang. Bukan untuk menjenguk yang sakit, tapi melihat kamu," ujar Mimi setelah menjauhkan ponsel dari Ibu. Aku sengaja pergi ke kolam untuk bisa bicara empat mata dengan temanku itu. Apa yang Mimi sampaikan tentang saudara Ibu di kampung, tidak boleh didengar Mama. Bukan apa-apa, tapi aku malu saja memiliki kerabat yang tidak sebaik tetangga. Bisa dihitung jari yang peduli, dan selebihnya hanya manis di depan mata saja. "Biarin Mi, mungkin itu memang hiburan mereka," kataku seraya menempelkan bokong pada kursi kayu jati. "Biarin, sih biarin. Tapi aku suka kesel sama mereka yang sok paling dekat, sok paling peduli, sok palin
"Mas, makasih, ya sudah mau menyempatkan waktu buat pergi ke rumah Ibu. Aku pikir ....""Kamu pikir aku akan diam saja dan melarangmu pergi ke sana?" tanya Mas Raffi, memotong ucapanku yang menggantung. Aku mengangguk. Menaikan selimut hingga batas dada, menutup tubuh polos tanpa busana. "Mana mungkin aku setega itu, Ra. Selain sama kamu, aku juga harus bertanggung jawab akan kesehatan Ibu. Dia tinggal sendirian, karena kamu aku bawa ke sini. Dan ... aku harap, Ibu mau diboyong ke sini biar kita kumpul di sini. Dia juga bisa ketemu Rayyan tiap hari.""Mana mau, Ibu tinggal di sini, Mas.""Enggak di sini juga, Sayang ...." Mas Raffi menyanggah ucapanku, kemudian ia beringsut duduk. Aku pun mengikutinya. Aku menyandarkan tubuh di dadanya setelah Mas Raffi menarik bahuku. "Aku akan sisakan satu rumah untuk Ibu. Khusus untuk Ibu," ujarnya kemudian. Aku mendongak. Melihat wajah Mas Raffi yang barusan berucap dengan jelas. "Mas, yakin?" tanyaku memastikan. "Yakin, Sayang. Asal Ibunya
Perjalanan kali ini begitu menyenangkan, tapi lumayan lama. Karena kami membawa balita, jadinya sering berhenti untuk sekadar meluruskan pinggang. Namun, meskipun begitu aku tetap merasa senang. Lelahku akan terbayarkan dengan bertemu Ibu di rumah. Ponsel berdenting satu kali tanda ada pesan yang masuk. Aku pun meraihnya, membaca isi dari pesan tersebut. [Sudah sampai mana, Ra? Ibu nanyain terus,] ujar Mimi. [Sudah masuk Kota Garut, Mi. Bilang sama Ibu, mau dibelikan dodol, gak?] "Siapa?" Mas Raffi bertanya dengan pandangan yang fokus pada jalanan. "Mimi, Mas. Katanya Ibu nanyain kita sudah di mana. Oh, iya Mas. Bisa berhenti sebentar di tempat oleh-oleh, gak? Aku mau beli dodol Garut buat Ibu.""Tentu, Sayang. Kita cari tempat yang luas, biar Rayyan enggak rewel, ya?" ucap Mas Raffi. Aku mengangguk mengiyakan. Pandangan kembali kualihkan pada layar ponsel, menunggu pesan balasan dari Mimi. Namun, tidak ada. Temanku itu bahkan belum membaca pesan yang aku kirim. Mungkin dia s
"Raihanum." Aku menyebut nama dari bayi perempuan yang sedang menggeliat di tempat tidurnya. Bibirku tersenyum manis menatap sepasang mata yang mulai melihat dunia. "Selamat pagi, Sayang ...." Aku mengusap pelan pipinya dengan jari telunjukku. Dia menggoyangkan kepalanya seolah merasa terganggu dengan sentuhan lembutku. Bibirnya bergerak seperti mengemut sesuatu. Dan aku semakin gemas melihat itu. "Hey, princess Papa sudah bangun ternyata?" Aku menoleh pada Mas Raffi yang baru saja datang, dan langsung menghampiriku. Bukan. Bukan aku yang dia datangi, melainkan putri kecilnya. "Sepertinya dia haus, Sayang," ujarnya lagi. "Iya. Dia cari sesuatu.""Kasihlah. Kasihan dia."Aku pun mengambil bayi perempuan berusia empat puluh hari itu. Kini, dia menggeliat dalam gendongan, lalu kepalanya ke kanan dan kiri mencari sarapan paginya. Aku membuka kancing piyamaku, kemudian memberikan asupan gizi untuk putriku tercinta. "Persiapan di bawah gimana, Mas?" Aku melihat pada Mas Raffi. "
"Sayang ... udah belum?" "Belum!" Aku berteriak menjawab pertanyaan Mas Raffi. Saat ini aku tengah mondar-mandir di kamar mandi seraya memegang testpack. Sudah lima belas menit aku di dalam sini, tapi benda kecil itu belum menyentuh urinku. Rasanya campur aduk antara takut tidak sesuai dengan ekspektasi, juga penasaran yang luar biasa. "Sayang, ayo, dong! Masa dari tadi belum terus!" Mas Raffi kembali berujar. "Iya, bentar, Mas!"Dengan tangan yang bergetar, aku memasukkan testpack ke dalam urin yang sudah aku tampung dalam wadah. Setelah beberapa detik menunggu, aku mengangkatnya dengan mata terpejam. Sebelah mata aku buka sedikit, mencari garis yang menjadi penentu aku hamil atau tidaknya. Samar-samar aku melihat garis itu, hingga akhirnya mata kubuka lebar-lebar untuk memastikan penglihatanku tidaklah salah. "Dua?" gumamku, kemudian bibir tersenyum. Aku menutup mulut dengan mata yang berkaca-kaca. Ini memang bukan kehamilan pertama, tapi rasanya masih sama seperti waktu tah
"Pagi, Sayang ...."Sepasang tangan melingkar di pinggang, disusul dengan kecupan kecil di pipi. Aku yang tengah berkutat dengan alat masak, membalas sapaan Mas Raffi dengan usapan pelan di lengannya. Hal seperti ini bukan terjadi sekarang, tapi setiap pagi datang. Sikap Mas Raffi selalu hangat dan tambah romantis sejak kami tinggal di rumah ini. Itu mengapa, aku memperkejakan asisten rumah tangga yang pulang pergi. Aku tidak ingin melewatkan keromantisan ini karena ada orang lain di istana kami. "Sudah aku siapkan teh di atas meja. Mas duduk, sebentar lagi gorengan yang aku buat akan matang," ujarku. "Emh ... enggak mau. Aku mau tetap meluk kamu sampai gorengan itu pindah ke meja makan." Mas Raffi berucap manja. "Nanti kamu kecipratan minyak, Mas.""Biarin. Jangankan minyak, percikan api asmara dari luar pun bisa aku padamkan demi kamu.""Hah, gimana-gimana?" Aku menoleh, mencari wajah Mas Raffi yang menyusup di tengkuk leherku. Dia tidak berani mengangkat kepala. Malah semaki
"Gini aja, deh, Fi. Daripada kamu jual perhiasan Raya, mendingan kamu pinjem uang aja dari Mama." Aku yang tadi sudah berpikiran buruk, merasa lebih tenang saat mendengar suara Mama. Ternyata yang masuk tadi bukan Reyhan, melainkan Mama dan Mas Raffi yang membahas perhiasan. Oh, ya ampun. Mas Raffi ketahuan Mama akan menjual perhiasan? Aku berjalan mendekati mereka yang berada di ruang tamu. Pandanganku mengarah pada Mas Raffi yang memberikan isyarat dengan menempelkan jari telunjuk di bibirnya. Aku mengangguk kecil, lalu meraih tangan Mama dan menciumnya. "Rayyan mana, Ra?" tanya Mama tanpa melepaskan tanganku. "Lagi main di ruang tengah, Mah.""Kalau gitu, kamu duduk di sini, Mama mau bicara dengan kalian."Aku dan Mas Raffi saling pandang, lalu aku pun duduk di samping Mama. Begitu pun Mas Raffi. Kami mengapit Mama yang berada di tengah-tengah. "Fi, Ra, kalian ini masih punya orang tua. Ada Mama dan Papa, yang masih bisa bantu kalian. Bukan Mama mau sombong, soal uang, insya
"Semalam aku kaget banget, loh saat Mas Bayu membekap mulutku. Aku kira itu Reyhan."Aku menyeruput jus alpukat seraya memperhatikan Rayyan yang bermain. "Tadi malam, saat aku menyuruh kamu tidur, emang sudah merasakan ketidakberesan di rumah kita. Yang kata aku melihat kucing di kosan, itu sebenarnya yang aku lihat emang manusia.""Kok, gak bilang ke aku?" tanyaku. Saat ini, aku dan Mas Raffi masih membahas kejadian semalam yang membuat tubuh ini bergetar ketakutan. Kami duduk lesehan di teras depan seraya mengasuh Rayyan yang bermain di halaman. "Aku tidak mau kamu takut, Ra. Makanya aku menyuruh kamu tidur cepat. Dan setelah kami tidur, aku langsung menelepon polisi untuk datang secara diam-diam. Dan Bayu juga.""Terus, saat aku bangun dan ke lantai bawah, kamu kan tidak ada. Itu ke mana?" Aku masih bertanya karena penasaran. "Aku di luar. Secara tidak langsung, aku menggiring Reyhan masuk ke kamar tamu lewat jendela. Dan Bayu, saat itu sudah ada di dalam rumah ini. Dia aku su
"Mas Bayu ngapain di sini?" tanyaku, saat dia melepaskan tangannya dari bibirku. "Aku diminta Raffi datang ke sini. Dan kamu tahu, yang ada di kamar itu siapa? Si Reyhan. Dia nyusup masuk ke rumahmu lewat jendela kamar yang tidak dikunci.""Apa?" Rasa terkejutku bertambah berkali lipat. Jika saja tadi aku masuk ke sana, habislah riwayatku. Reyhan pasti akan dengan mudah melakukan perbuatan jahatnya padaku. Suara gagang pintu yang diputar dari dalam kamar tamu, membuatku dan Bayu menoleh. Semakin lama, suara di sana semakin keras. Karena mungkin Reyhan sudah menyadari jika dia masuk perangkap. "Mas Raffi, mana?" tanyaku, karena tak kulihat keberadaan suamiku. "Dia di luar.""Sendirian?" tanyaku lagi. "Temenin, Mas. Aku takut Reyhan menyerang Mas Raffi. Dia belum pulih." Aku panik. Bayu hendak melangkah menjauh dariku, tapi dia urungkan saat ada bayangan yang berjalan mendekat ke arah kami. Tidak lama kemudian, lampu pun menyala membuat ruangan yang gelap menjadi terang. Aku lan
"Mas, kenapa liatin aku terus?" Mama dan Papa, serta semua kakak Mas Raffi sudah pergi beberapa menit yang lalu. Sekarang, tinggallah kami berdua, dan Rayyan yang sudah tidur. Hari memang sudah malam. Perabot pemberian kakak-kakak Mas Raffi pun, sudah disimpan ke tempat yang semestinya. Dibantu kakak dan kakak iparku tentunya. Saat ini, aku dan Mas Raffi tengah duduk berdua di lantai dua rumah kami. Aku dan dia sedang menikmati malam, melihat bintang dan bulan yang bersinar bersamaan. Gorden kaca sengaja dibuka agar langit terlihat jelas. Di depan kami, dua cangkir teh menjadi pelengkap kebersamaanku dengan Mas Raffi. "Malu, ih diliatin terus," kataku lagi, memalingkan wajah ke arah lampu hias berbentuk hati yang berada di sudut ruangan. Mas Raffi menyentuh daguku. Menariknya sangat pelan, agar tatapanku kembali padanya. "Karena aku kagum pada kecantikan istriku ini. Makanya, aku pandang terus.""Ih, gombal, deh," ujarku. Padahal dalam hati, aku bahagia mendapatkan pujian dari
"Saat di hotel waktu itu, sebenarnya Mbak percaya jika kamu tidak melakukan apa-apa dengan Reyhan. Kalau kamu selingkuh dengan Reyhan, untuk apa kamu meminta Mbak datang? Iya, kan?"Aku mengangguk saat Mbak Kinara menjeda ucapannya. Saat ini, hanya ada aku dan dia. Kami duduk berhadapan di meja makan, setelah tadi Mbak Nara memintaku bicara berdua. "Saat kamu pergi dari hotel itu, sebenarnya Mbak masih ada di sana. Mbak menemui Reyhan setelah melihatmu benar-benar keluar dan pergi. Aku meminta Reyhan mengatakan apa yang terjadi antara kami dengannya, versi dia. Meskipun aku tidak percaya pada Reyhan, tapi aku tetap mendengarkan dan merekam pengakuannya. Kamu tahu kenapa?" Mbak Kinara melempar tanya. Aku menggelengkan kepala. Aku tidak mau menduga-duga dan mengatakan yang tidak ada dalam pikiran."Aku cemburu padamu, Ra. Aku iri melihat kedekatan kamu dengan Mama, juga perhatian Mama pada Rayyan.""Ya Allah, Mbak ...." Aku menatap sendu pada Mbak Kinara yang menunduk. "Maafkan Mbak
"Ini untuk kami, Mah?" tanyaku pada Mama, yang tengah membereskan sayuran serta buah segar ke dalam kulkas. Tidak hanya itu, Mama juga membeli bermacam bumbu dapur, juga perlengkapan lainnya. "Iya, Ra. Kalau untuk Mama, tidak mungkin dikeluarkan dari mobil. Ini semua untuk kalian. Mama juga beli vitamin penambah nafsu makan untuk kamu. Tapi, Raffi enggak boleh minum vitamin ini, ya? Dia punya vitamin sendiri dari dokternya," ujar Mama. Aku mengiyakan. Meskipun malu karena keluar dari kamar dalam keadaan rambut yang basah, aku tetap menemui ibu mertua yang tengah berbenah di dapur. Sedangkan Mas Raffi, dia masih di kamar. Sedang berpakaian setelah pada akhir tadi kami mandi bersama. Untunglah, kedua mertuaku paham situasi. Dari mereka tidak ada yang mengetuk pintu kamar sejak kedatangannya. Keduanya kompak membawa bermain Rayyan agar tidak mencari keberadaan orang tuanya. Ck, malu ... aku malu. Tapi, mau gimana lagi? Semuanya gara-gara ... ah, masa iya aku harus menyalahkan Mas