"Ibu ...." Aku menutup mulut menahan isak saat wajah Ibu nampak begitu pucat di seberang sana. Tahan. Sudah berusaha kutahan air mata untuk tidak jatuh, tapi nyatanya aku tak mampu. Buliran bening terus keluar membuatku tak bisa lagi mengendalikannya. "Jangan nangis, Ra .... Ibu, baik-baik saja, kok. Ibu hanya sakit biasa." Paham dengan reaksiku, Ibu langsung berucap dengan suara lemahnya. Namun, bukannya berhenti menangis, aku malah semakin tersedu dengan layar ponsel tetap di hadapanku. Setelah menunaikan salat subuh, Mimi mengirimkan pesan yang katanya Ibu sudah bangun dan mau ditelepon. Aku pun tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Aku langsung menghubungi Ibu lewat video call. "Gimana kabar kamu, Nak?" tanya Ibu lagi, semakin membuatku terluka. Bukan aku yang menanyakan kabar Ibu, malah sebaliknya. Dalam keadaan lemah tak berdaya saja, Ibu masih menanyakan keadaanku. Sedangkan aku, sangat jarang melakukan itu. "Aku baik, Bu. Ibu ... kenapa bisa seperti itu? Ibu gak makan?
Kaki kuayun pelan menapaki jalanan menuju restoran. Sengaja, aku turun dari mobil Pak Tarmin sedikit jauh dari tempatku bekerja, hanya demi menumpahkan rasa kecewa lewat air mata. Orang yang aku harapkan bisa membawaku bertemu Ibu, tidak sama sekali mau mendengarkan keluh kesahku. Mas Raffi. Dia berangkat ke tempat kerjanya sangat pagi, setelah Mas Daffa dan Mbak Syahida pergi mengantarkan Syakila ke pesantren. Bahkan, sebelum aku mengatakan kondisi Ibu di kampung. "Maafkan Raya, Bu ...." Aku bergumam seraya mengusap mata yang basah. Ingin rasanya pergi hari ini ke rumah Ibu tanpa izin dari suami, tapi itu tidak bisa aku lakukan. Aku tidak berani pergi begitu saja, aku takut malah menambah masalah dalam hidupku. "Sabar .... Sabar, Raya ...." Aku berhenti melangkah, mengusap dada seraya menepuk-nepuk dada yang masih terasa sesak. Restoran tempatku bekerja sudah di depan mata, tapi aku tak langsung masuk ke sana. Sengaja aku duduk terlebih dahulu di bangku panjang yang ada di depa
Aku memundurkan tubuh menempelkan punggung pada sandaran kursi. Udara kuhirup perlahan untuk memenuhi rongga dada yang terasa sesak. Sepenting itu pekerjaan untuk Mas Raffi, hingga dia menyuruh orang lain untuk pergi ke kampung halamanku? "Gimana, mau pergi sekarang?" Reyhan kembali bertanya. Aku menelan ludah dengan kasar, lalu menatap pria di depanku sekilas. "Aku pikir-pikir dulu, Rey.""Mikir apa lagi? Kalau ibumu kenapa-kenapa gimana? Nanti kamu nyesel, loh. Lagipula Raffi sudah memberikan izin juga." Hening. Aku diam seraya berpikir langkah apa yang harus aku ambil. Haruskah pergi bersama Reyhan? Akan tetapi .... Rasanya tidak pantas.Aku kembali melempar pandangan pada Reyhan yang menunggu jawaban. Tatapannya penuh harap. Dia ingin membantuku, tapi aku gamang. Seperti ada sesuatu yang melarangku pergi. Dan perasaan aneh membuatku berat menerima tawaran baik Reyhan. Benarkah Mas Raffi menyuruhnya mengantarku? Kenapa? Kenapa Mas Raffi percaya pada Reyhan, sedangkan aku
Hari ini kuputuskan pulang lebih awal. Niatku sudah bulat, aku akan pergi bersama Reyhan menengok Ibu yang sakit. Namun, aku harus bicara dahulu pada Mama, meminta pengertiannya untuk mengizinkan Rayyan ikut serta denganku. Ibu, neneknya juga. Dia pun menyayangi Rayyan dan pasti akan merindukan cucunya itu. Dalam perjalanan, ponselku berdenting. Nama Mas Raffi sebagai pengirim, membuatku cepat-cepat membuka untuk membaca pesan tersebut. Tumben sekali dia mengirim pesan di jam kerja. Tidak biasanya. [Sayang, maaf tadi pagi aku tidak mendengarkan apa yang ingin kamu sampaikan. Aku kira bukan tentang Ibu. Dan saat tadi aku menelpon Ibu untuk menanyakan kabarnya, ternyata Ibu sedang sakit. Besok kita ke ke Garut, ya, buat jenguk Ibu. Maaf untuk hari ini, Mas tidak bisa membatalkan meeting dengan klien. Tapi janji, besok kita pergi. Mas sudah atur ulang pertemuan dengan klien untuk beberapa hari ke depan.]Aku meraba dada merasakan butiran es yang menyejukkan hati setelah membaca pesa
Ibu terkekeh, lalu menyuruh Mimi menjauhkan ponsel dari wajahnya. Keinginan Ibu, sama seperti mauku. Aku ingin segera berangkat ke sana dan memijit kakinya seperti dahulu ketika ia sakit. Namun, kami harus sama-sama sabar untuk kebahagiaan di hari yang akan datang. "Aku seneng kamu akan datang, Ra. Kita lihat besok, ya, pasti rame ini rumah dikunjungi banyak orang. Bukan untuk menjenguk yang sakit, tapi melihat kamu," ujar Mimi setelah menjauhkan ponsel dari Ibu. Aku sengaja pergi ke kolam untuk bisa bicara empat mata dengan temanku itu. Apa yang Mimi sampaikan tentang saudara Ibu di kampung, tidak boleh didengar Mama. Bukan apa-apa, tapi aku malu saja memiliki kerabat yang tidak sebaik tetangga. Bisa dihitung jari yang peduli, dan selebihnya hanya manis di depan mata saja. "Biarin Mi, mungkin itu memang hiburan mereka," kataku seraya menempelkan bokong pada kursi kayu jati. "Biarin, sih biarin. Tapi aku suka kesel sama mereka yang sok paling dekat, sok paling peduli, sok palin
"Mas, makasih, ya sudah mau menyempatkan waktu buat pergi ke rumah Ibu. Aku pikir ....""Kamu pikir aku akan diam saja dan melarangmu pergi ke sana?" tanya Mas Raffi, memotong ucapanku yang menggantung. Aku mengangguk. Menaikan selimut hingga batas dada, menutup tubuh polos tanpa busana. "Mana mungkin aku setega itu, Ra. Selain sama kamu, aku juga harus bertanggung jawab akan kesehatan Ibu. Dia tinggal sendirian, karena kamu aku bawa ke sini. Dan ... aku harap, Ibu mau diboyong ke sini biar kita kumpul di sini. Dia juga bisa ketemu Rayyan tiap hari.""Mana mau, Ibu tinggal di sini, Mas.""Enggak di sini juga, Sayang ...." Mas Raffi menyanggah ucapanku, kemudian ia beringsut duduk. Aku pun mengikutinya. Aku menyandarkan tubuh di dadanya setelah Mas Raffi menarik bahuku. "Aku akan sisakan satu rumah untuk Ibu. Khusus untuk Ibu," ujarnya kemudian. Aku mendongak. Melihat wajah Mas Raffi yang barusan berucap dengan jelas. "Mas, yakin?" tanyaku memastikan. "Yakin, Sayang. Asal Ibunya
Perjalanan kali ini begitu menyenangkan, tapi lumayan lama. Karena kami membawa balita, jadinya sering berhenti untuk sekadar meluruskan pinggang. Namun, meskipun begitu aku tetap merasa senang. Lelahku akan terbayarkan dengan bertemu Ibu di rumah. Ponsel berdenting satu kali tanda ada pesan yang masuk. Aku pun meraihnya, membaca isi dari pesan tersebut. [Sudah sampai mana, Ra? Ibu nanyain terus,] ujar Mimi. [Sudah masuk Kota Garut, Mi. Bilang sama Ibu, mau dibelikan dodol, gak?] "Siapa?" Mas Raffi bertanya dengan pandangan yang fokus pada jalanan. "Mimi, Mas. Katanya Ibu nanyain kita sudah di mana. Oh, iya Mas. Bisa berhenti sebentar di tempat oleh-oleh, gak? Aku mau beli dodol Garut buat Ibu.""Tentu, Sayang. Kita cari tempat yang luas, biar Rayyan enggak rewel, ya?" ucap Mas Raffi. Aku mengangguk mengiyakan. Pandangan kembali kualihkan pada layar ponsel, menunggu pesan balasan dari Mimi. Namun, tidak ada. Temanku itu bahkan belum membaca pesan yang aku kirim. Mungkin dia s
Mimpi. Aku harap apa yang tadi terjadi hanyalah sebuah bunga tidur. Namun, tidak. Itu nyata, ibuku memang benar-benar telah tiada. "Maafkan aku, Ra. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku tidak bisa mencegah kepergian Ibu. Sudah berulang kali aku bisikan di telinga dia, jika kamu akan segera tiba. Tapi ...."Mimi terisak, ia tidak mampu lagi mengucapkan kata selanjutnya. Wanita yang sehari-harinya dihabiskan mengurus ibuku, sama terpukulnya denganku. Mimi tersedu di sebelahku yang meringkuk memeluk kain jarik bekas penutup jasad Ibu. Satu jam yang lalu, Ibu sudah dikebumikan. Aku melihat dengan jelas bagaimana tubuh itu ditimbun tanah hingga tak ada celah untukku melihatnya lagi. Aku dan Ibu benar-benar sudah berpisah. "Kenapa kamu tidak membawanya ke rumah sakit, Mi?" Pertanyaan itu seperti kalimat menyalahkan, tapi tidak menurutku. Aku hanya ingin tahu awal Ibu pergi, dan tindakan yang dilakukan orang-orang di sekitarnya tadi."Demi Allah, Ra. Aku sudah membujuk Ibu untuk itu. T