"Mas, makasih, ya sudah mau menyempatkan waktu buat pergi ke rumah Ibu. Aku pikir ....""Kamu pikir aku akan diam saja dan melarangmu pergi ke sana?" tanya Mas Raffi, memotong ucapanku yang menggantung. Aku mengangguk. Menaikan selimut hingga batas dada, menutup tubuh polos tanpa busana. "Mana mungkin aku setega itu, Ra. Selain sama kamu, aku juga harus bertanggung jawab akan kesehatan Ibu. Dia tinggal sendirian, karena kamu aku bawa ke sini. Dan ... aku harap, Ibu mau diboyong ke sini biar kita kumpul di sini. Dia juga bisa ketemu Rayyan tiap hari.""Mana mau, Ibu tinggal di sini, Mas.""Enggak di sini juga, Sayang ...." Mas Raffi menyanggah ucapanku, kemudian ia beringsut duduk. Aku pun mengikutinya. Aku menyandarkan tubuh di dadanya setelah Mas Raffi menarik bahuku. "Aku akan sisakan satu rumah untuk Ibu. Khusus untuk Ibu," ujarnya kemudian. Aku mendongak. Melihat wajah Mas Raffi yang barusan berucap dengan jelas. "Mas, yakin?" tanyaku memastikan. "Yakin, Sayang. Asal Ibunya
Perjalanan kali ini begitu menyenangkan, tapi lumayan lama. Karena kami membawa balita, jadinya sering berhenti untuk sekadar meluruskan pinggang. Namun, meskipun begitu aku tetap merasa senang. Lelahku akan terbayarkan dengan bertemu Ibu di rumah. Ponsel berdenting satu kali tanda ada pesan yang masuk. Aku pun meraihnya, membaca isi dari pesan tersebut. [Sudah sampai mana, Ra? Ibu nanyain terus,] ujar Mimi. [Sudah masuk Kota Garut, Mi. Bilang sama Ibu, mau dibelikan dodol, gak?] "Siapa?" Mas Raffi bertanya dengan pandangan yang fokus pada jalanan. "Mimi, Mas. Katanya Ibu nanyain kita sudah di mana. Oh, iya Mas. Bisa berhenti sebentar di tempat oleh-oleh, gak? Aku mau beli dodol Garut buat Ibu.""Tentu, Sayang. Kita cari tempat yang luas, biar Rayyan enggak rewel, ya?" ucap Mas Raffi. Aku mengangguk mengiyakan. Pandangan kembali kualihkan pada layar ponsel, menunggu pesan balasan dari Mimi. Namun, tidak ada. Temanku itu bahkan belum membaca pesan yang aku kirim. Mungkin dia s
Mimpi. Aku harap apa yang tadi terjadi hanyalah sebuah bunga tidur. Namun, tidak. Itu nyata, ibuku memang benar-benar telah tiada. "Maafkan aku, Ra. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku tidak bisa mencegah kepergian Ibu. Sudah berulang kali aku bisikan di telinga dia, jika kamu akan segera tiba. Tapi ...."Mimi terisak, ia tidak mampu lagi mengucapkan kata selanjutnya. Wanita yang sehari-harinya dihabiskan mengurus ibuku, sama terpukulnya denganku. Mimi tersedu di sebelahku yang meringkuk memeluk kain jarik bekas penutup jasad Ibu. Satu jam yang lalu, Ibu sudah dikebumikan. Aku melihat dengan jelas bagaimana tubuh itu ditimbun tanah hingga tak ada celah untukku melihatnya lagi. Aku dan Ibu benar-benar sudah berpisah. "Kenapa kamu tidak membawanya ke rumah sakit, Mi?" Pertanyaan itu seperti kalimat menyalahkan, tapi tidak menurutku. Aku hanya ingin tahu awal Ibu pergi, dan tindakan yang dilakukan orang-orang di sekitarnya tadi."Demi Allah, Ra. Aku sudah membujuk Ibu untuk itu. T
"Tekanan darahnya rendah, mungkin Mimi kelelahan," ujar bidan yang menangani Mimi. Tidak ada dokter di kampung ini. Adanya hanya mantri dan bidan yang bisa kami mintai tolong. "Tapi, Mimi akan baik-baik saja, kan Bu Bidan?" tanya ibu dari temanku itu. Dia sangat mengkhawatirkan keadaan putri bungsunya. "Tidak apa-apa, sebentar lagi juga dia bangun. Kalau sudah bangun, berikan dia makan, dan obat tambah darah yang saya berikan, ya?" Bu Maeni, ibunya Mimi mengangguk paham. Aku yang tadi menemukan Mimi tak sadarkan diri, merasa bersalah sekaligus malu pada temanku itu. Harusnya aku tidak memberikan pertanyaan yang menyudutkan. Harusnya aku berterima kasih, bukan malah menyalahkan dia. Mimi sudah menjaga ibuku dengan kemampuan dia. Menggantikan aku, yang harusnya berada di sisi Ibu di saat-saat terakhirnya. Bidan tadi pamit pulang dengan diantar Mas Raffi hingga ambang pintu. Karena beliau datang dengan suaminya ke sini. Seiring dengan itu, mata Mimi mulai terbuka. Dia melihatku
"Mama ...." Tangisku pecah kembali dalam pelukan ibu mertua. Aku tidak menyangka jika Mama akan datang ke sini memberikan kekuatan pada menantunya yang rapuh ini. Seperti anak kecil yang kehilangan mainan, aku meringkuk menangis di pangkuan ibu mertua yang sudah kuanggap ibu kandung sendiri. "Sabar, Sayang .... Allah lebih cinta pada ibumu, Allah lebih sayang dia, hingga membebaskannya dari rasa sakit yang diderita," tutur Mama seraya mengusap-usap pucuk kepalaku yang berbalut hijab instan. "Ibu gak pamit, Mah. Dia bilang baik-baik saja, tapi malah pergi," racauku dalam isak. "Itu kehendak Gusti Allah. Jika bisa meminta, ibumu juga inginnya pulang setelah pamit pada kita. Tapi, waktunya tidak cukup, Ra. Allah tidak mengizinkan itu."Aku semakin menangis tergugu. Kutumpahkan unek-unek dalam dada, mengabaikan orang-orangnya yang mungkin melihatku dengan iba. Mama sama sekali tidak menyuruhku berhenti menangis. Dia membiarkan menantunya ini mengeluarkan air mata hingga akhirnya aku
"Tidak ada. Ibumu tidak punya utang. Dia tidak pernah ngutang."Ini orang ke tiga yang aku tanyai tentang utang Ibu. Dan semuanya mengaku tidak pernah diutangi Ibu. Alhamdulillah, berarti Ibu tidak punya masalah piutang yang akan memberatkannya di sana. Lelah menyusuri kampung, aku pun memutuskan pulang. Aku tak sendiri. Ada Mbak Kinanti dan Mbak Cindy yang ikut menemani. "Mbak, gak bisa lama-lama di sini, Ra. Besok pagi, Mbak dan suami harus kembali ke Jakarta," tutur Mbak Kinanti padaku. "Iya, Mbak. Terima kasih, sudah menyempatkan untuk datang. Ngomong-ngomong, apa enggak ada yang mau main ke pantai dulu, gitu? Mumpung di sini, kan?" Kedua wanita itu tersenyum tipis. Aku tahu, sebenarnya mereka mau, tapi tak enak denganku. Padahal, aku sama sekali tidak akan berpikir buruk jika kakak-kakak suamiku ingin bersenang-senang dengan berliburan di sini. Itu hak mereka. Aku yang sedang berduka, bukan berarti harus melarang mereka untuk berbahagia. "Pergilah sore ini ke pantai untuk
"Ke rumah kita, Mas. Di sini, aku inget Ibu terus, aku mau Ibu bangun dan kembali. Padahal, aku kan gak boleh seperti ini, Mas. Aku gak mau bikin Ibu susah di sana karena sedihku ini."Mas Raffi langsung memelukku. Dia membelai kepalaku yang kini kembali tersedu. Aku benci dengan air mata ini. Kenapa sangat mudah jatuh dan membanjiri pipi? Aku ingin tegar. Aku ingin kuat dan tidak cengeng seperti sekarang ini. Kenapa? Kenapa selalu sakit jika mengingat Ibu? Tuhan .... Kenapa harus mengambil Ibu secepat ini? "Sabar, Sayang .... Ikhlas ...," tutur Mas Raffi. "Aku sudah ikhlas, aku ridho Ibu pergi, Mas. Tapi, tapi kenapa rasanya dadaku sesak mengingat Ibu, Mas? Aku merasa gagal jadi anak, aku gak bisa menemani dia dan membisikkan kalimat syahadat di telinganya. Aku bukan anak yang baik, Mas. Aku gagal.""Enggak. Kamu tidak gagal, Ra. Ini masalah waktu. Waktu yang tidak mengizinkan kita bertemu dulu dengan Ibu saat sakitnya dia. Buang rasa sesalmu, Sayang. Kamu anak terbaik, kamu su
"Bu Fatimah, hari ini kami akan pulang. Insya Allah, lain waktu kami akan kembali lagi ke sini. Jangan khawatirkan Raya, putri semata wayangmu. Kami akan menjaganya seperti putri kami sendiri."Aku tersenyum getir, merasakan dada yang berdenyut ketika Papa bicara di depan pusara Ibu. Hari ini keluarga suamiku akan pulang. Tapi, mereka menyempatkan diri untuk ke peristirahatan terakhir Ibu, mendoakannya seraya berpamitan. "Bu Fatimah, terima kasih sudah melahirkan Raya, mengizinkan dia berada di tengah-tengah kami. Seperti kamu yang tidak pernah menyia-nyiakan kehadirannya, begitu pun dengan kami. Ketulusan hatimu dan hatinya dalam menerima pinangan putra kami, tidak akan kami anggap sebelah mata. Jangan risau, Bu Fatimah .... Kami akan menyayanginya sampai kapan pun." Kali ini aku tersedu mendengar Mama yang berucap. Bayangan senyum Ibu saat aku jadi pengantin, hadir seperti potongan film yang mengingatkan aku akan masa itu. Pelukan serta usapan lembut di punggung Mas Raffi berika