"Mama ...." Tangisku pecah kembali dalam pelukan ibu mertua. Aku tidak menyangka jika Mama akan datang ke sini memberikan kekuatan pada menantunya yang rapuh ini. Seperti anak kecil yang kehilangan mainan, aku meringkuk menangis di pangkuan ibu mertua yang sudah kuanggap ibu kandung sendiri. "Sabar, Sayang .... Allah lebih cinta pada ibumu, Allah lebih sayang dia, hingga membebaskannya dari rasa sakit yang diderita," tutur Mama seraya mengusap-usap pucuk kepalaku yang berbalut hijab instan. "Ibu gak pamit, Mah. Dia bilang baik-baik saja, tapi malah pergi," racauku dalam isak. "Itu kehendak Gusti Allah. Jika bisa meminta, ibumu juga inginnya pulang setelah pamit pada kita. Tapi, waktunya tidak cukup, Ra. Allah tidak mengizinkan itu."Aku semakin menangis tergugu. Kutumpahkan unek-unek dalam dada, mengabaikan orang-orangnya yang mungkin melihatku dengan iba. Mama sama sekali tidak menyuruhku berhenti menangis. Dia membiarkan menantunya ini mengeluarkan air mata hingga akhirnya aku
"Tidak ada. Ibumu tidak punya utang. Dia tidak pernah ngutang."Ini orang ke tiga yang aku tanyai tentang utang Ibu. Dan semuanya mengaku tidak pernah diutangi Ibu. Alhamdulillah, berarti Ibu tidak punya masalah piutang yang akan memberatkannya di sana. Lelah menyusuri kampung, aku pun memutuskan pulang. Aku tak sendiri. Ada Mbak Kinanti dan Mbak Cindy yang ikut menemani. "Mbak, gak bisa lama-lama di sini, Ra. Besok pagi, Mbak dan suami harus kembali ke Jakarta," tutur Mbak Kinanti padaku. "Iya, Mbak. Terima kasih, sudah menyempatkan untuk datang. Ngomong-ngomong, apa enggak ada yang mau main ke pantai dulu, gitu? Mumpung di sini, kan?" Kedua wanita itu tersenyum tipis. Aku tahu, sebenarnya mereka mau, tapi tak enak denganku. Padahal, aku sama sekali tidak akan berpikir buruk jika kakak-kakak suamiku ingin bersenang-senang dengan berliburan di sini. Itu hak mereka. Aku yang sedang berduka, bukan berarti harus melarang mereka untuk berbahagia. "Pergilah sore ini ke pantai untuk
"Ke rumah kita, Mas. Di sini, aku inget Ibu terus, aku mau Ibu bangun dan kembali. Padahal, aku kan gak boleh seperti ini, Mas. Aku gak mau bikin Ibu susah di sana karena sedihku ini."Mas Raffi langsung memelukku. Dia membelai kepalaku yang kini kembali tersedu. Aku benci dengan air mata ini. Kenapa sangat mudah jatuh dan membanjiri pipi? Aku ingin tegar. Aku ingin kuat dan tidak cengeng seperti sekarang ini. Kenapa? Kenapa selalu sakit jika mengingat Ibu? Tuhan .... Kenapa harus mengambil Ibu secepat ini? "Sabar, Sayang .... Ikhlas ...," tutur Mas Raffi. "Aku sudah ikhlas, aku ridho Ibu pergi, Mas. Tapi, tapi kenapa rasanya dadaku sesak mengingat Ibu, Mas? Aku merasa gagal jadi anak, aku gak bisa menemani dia dan membisikkan kalimat syahadat di telinganya. Aku bukan anak yang baik, Mas. Aku gagal.""Enggak. Kamu tidak gagal, Ra. Ini masalah waktu. Waktu yang tidak mengizinkan kita bertemu dulu dengan Ibu saat sakitnya dia. Buang rasa sesalmu, Sayang. Kamu anak terbaik, kamu su
"Bu Fatimah, hari ini kami akan pulang. Insya Allah, lain waktu kami akan kembali lagi ke sini. Jangan khawatirkan Raya, putri semata wayangmu. Kami akan menjaganya seperti putri kami sendiri."Aku tersenyum getir, merasakan dada yang berdenyut ketika Papa bicara di depan pusara Ibu. Hari ini keluarga suamiku akan pulang. Tapi, mereka menyempatkan diri untuk ke peristirahatan terakhir Ibu, mendoakannya seraya berpamitan. "Bu Fatimah, terima kasih sudah melahirkan Raya, mengizinkan dia berada di tengah-tengah kami. Seperti kamu yang tidak pernah menyia-nyiakan kehadirannya, begitu pun dengan kami. Ketulusan hatimu dan hatinya dalam menerima pinangan putra kami, tidak akan kami anggap sebelah mata. Jangan risau, Bu Fatimah .... Kami akan menyayanginya sampai kapan pun." Kali ini aku tersedu mendengar Mama yang berucap. Bayangan senyum Ibu saat aku jadi pengantin, hadir seperti potongan film yang mengingatkan aku akan masa itu. Pelukan serta usapan lembut di punggung Mas Raffi berika
Tidak ikut andil dia bilang? Oh, ya ampun, ringan sekali bibir Naima dalam berucap. Aku pikir, dia sudah berubah dan lebih dewasa dari sebelumnya. Namun, pemikiranku salah. Naima masih sama seperti dulu. Bibirnya masih begitu pedas dalam berkomentar. "Raya, jangan dengerin si Nai. Sudah, mendingan kamu segera berangkat saja, itu suamimu sudah menunggu." Bibi menyenggol lengan putrinya, kemudian menyuruhku tidak meladeni ocehan Naima. Aku juga tidak punya banyak waktu itu berdebat dengan Naima. Malah akan buang-buang waktu dan tenagaku saja. Seperti permintaan Bibi, aku pun masuk lagi ke dalam mobil dengan wajah ditekuk. Mas Raffi yang menyadari perubahan wajahku, dia mempertanyakan yang terjadi antara aku dan Naima tadi. "Tidak ada apa-apa, Mas. Sebaiknya kita berangkat sekarang," kataku pada Mas Raffi. Pria penyuka warna hitam itu segera melajukan mobil meninggalkan Bibi dan Naima di teras rumah. Entahlah mereka akan tetap di sana atau tidak saat nanti kami pulang, tapi kube
"Masya Allah, Ra .... Mertuamu baik banget! Mau atuh dibagi mertua macam mereka itu.""Hush! Kalau ngomong suka lolos rem. Sampai mati pun, Ibu enggak akan ridho, jika kamu jadi istri keduanya Nak Raffi. Enak aja, mau jadi pelakornya teman sendiri. Ibu gantung kamu di pohon pepaya." Mia yang tadi berucap lantang, kini bersembunyi di balik tubuhku setelah Bu Maeni mengecam ucapan bernada candaan putrinya itu. Saat pulang dari restoran A Yusuf tadi, ternyata di rumah sudah ada Mia dan ibunya. Karena mereka sudah kuanggap keluarga, aku pun menceritakan tentang kebaikan ayah dan ibu mertuaku kepada mereka. Hingga akhirnya Mia menanggapi curhatanku dengan guyonan. "Canda, Bu. Aku cuma becanda doang, kok," tutur Mia, dengan bibirnya yang mengerucut. "Lagipula, anaknya mertua Raya, kan bukan cuma Raffi, Bu. Ada dua kakaknya yang dokter itu.""Mikiiiiirr .... Mereka sudah punya anak istri. Lagipula, mana mungkin mereka melepaskan istrinya yang pada pintar dan cantik demi kamu yang burik."
"Mi, titip rumah, ya? Kalau kamu mau tinggal di sini, tinggallah. Aku tidak keberatan. Justru senang, karena ada yang ngurusi rumah peninggalan orang tuaku." Tanganku dan Mimi saling berpegangan, tubuh berhadapan dengan mata saling memandang. Setelah dari makam Ibu, kini aku pamit pada Mimi, yang datang membawa beras untuk kubawa ke kota. Sudah ditolak, tapi ia dan ibunya kekeh ingin memberikannya. Aku dan Mas Raffi pun menerima pemberian Mimi dan keluarganya yang sudah teramat baik. "Enggak, Ra. Aku gak mau tinggal di sini, aku takut keinget Ibu terus. Tapi aku janji, akan rutin bersihin biar tetap terawat," ujar Mimi. Aku berterima kasih untuk itu. Selain Mimi dan ibunya, Bibi dan Naima pun turut hadir dalam perpisahan ini. Adik dan keponakan Ibu itu, terlihat sedih karena tidak bisa memberikan apa-apa untukku. Sejak Bibi sakit stroke ringan, dia jadi tidak bisa bertani dan berkebun. Alhasil, sawahnya pun harus digadai ke orang untuk pengobatan. "Bi, aku ada sedikit rezeki b
"Bicara, dong, Ra. Perasaan sejak berangkat tadi, kamu diam terus."Aku melirik Mas Raffi, lalu tersenyum simpul. Masih dengan tanpa suara. Apa yang harus aku bicarakan? Tentang apa? Kami? Aku sedang tidak ingin membahas apa pun. Aku tengah menikmati perjalanan yang sunyi ini. Apalagi, hujan turun ringan, membuat suasana semakin terasa syahdu. "Bicara, Sayang .... Sepi banget." Mas Raffi kembali memancingku. "Bicara apa, sih, Mas? Gak ada yang harus dibicarakan," kataku seraya memperbaiki duduk. "Apa sajalah. Aku jadi ngantuk kalau kamu diam saja seperti itu."Hening kembali. Aku benar-benar tidak ada hasrat untuk membahas sesuatu dengan Mas Raffi. Aku hanya ingin merenung, membayangkan kenangan-kenangan indah yang pernah aku lalui bersama Ibu. Apakah saat ini aku sedang berada dalam fase penyesalan? Mungkin iya. Aku menyesali waktu, kenapa tidak menghubungi Ibu setiap hari ketika ia masih hidup. Tidak menanyakan kabarnya, sehat atau sakitnya dia saat itu. Sekarang, baru ak