Rahim Penebus Dosa

Rahim Penebus Dosa

last updateLast Updated : 2021-07-28
By:  Snow WhiteOngoing
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
10
5 ratings. 5 reviews
35Chapters
8.6Kviews
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Synopsis

Jevin mengajukan tiga persyaratan aneh kepada Jena setelah resepsi pernikahan. Pertama, tidak boleh bertanya ke mana, di mana, dan bersama siapa. Ke dua, bersedia digauli setiap hari Senin dan Kamis. Ke tiga, dalam waktu setahun Jena harus mengandung anaknya. Ketika Jena hamil, Jevin memintanya untuk merahasiakan berita tersebut dari keluarganya. Anehnya, seorang perempuan bernama Vivian justru diberi tahu oleh Jevin perihal kehamilan Jena. Awalnya Jena mengira bahwa Jevin berselingkuh dengan Vivian. Namun, Jevin akhirnya memberi tahu bahwa bayi yang dilahirkan Jena nantinya akan diserahkan kepada Vivian sebagai penebus dosanya pada Vivian di masa lalu. Apakah Jena menyetujui keputusan Jevin?

View More

Chapter 1

AFTER AGREEMENT

"Satu. Tidak boleh bertanya ke mana, di mana dan bersama siapa."

Aku terdiam setelah membaca paragraf isi dari post-marriage requirements. Kutarik mataku dari lembaran kertas. Kutatap lelaki yang duduk di sofa seberang. Lelaki yang masih mengenakan setelan tuxedo lengkap dengan dasi kupu-kupu itu menyatukan kedua tangan di bawah dada.

"Perlu banget, ya, Mas, pakai beginian?"

Kuguncang kertas HVS yang tidak berharga ini. Mungkin akan berharga jika isinya adalah pernyataan kepemilikan tanah. Kenyataannya, kertas ini hanyalah sampah tidak berguna dan justru menjadi momok yang menggelikan untukku.

"Masa aku enggak boleh nanya kamu ke mana, dengan siapa, dan semalam berbuat apa?"

Ah, sepertinya otakku sedang melawak di situasi yang tidak tepat. Bagaimana bisa aku berhalusinasi mendengar reffrain lagu Kangen Band berjudul Yolanda, padahal tidak ada HP yang mengumandangkan playlist secara nyata? Bahkan tidak ada benda elektronik di atas meja tempatku menumpukan kedua siku saat ini.

Lucunya, lelaki yang kuajak bicara tidak menanggapi pertanyaanku sama sekali. Mata sayu dengan kelopak monolid itu hanya menatapku datar. Mungkin baginya suaraku hanyalah kicauan burung yang patut diabaikan.

Aku berdecak sebal seraya mengembalikan fokus mataku ke lembaran kertas. "Percuma ngomong sama batu," gumamku keras, sengaja ingin membuatnya tersinggung. Sayangnya, dia tidak merespons apa-apa. Mungkin hinaanku bukanlah masaalah besar baginya.

Dua. Bersedia 'digauli' sebanyak dua kali dalam seminggu, tepatnya di hari Senin dan Kamis.

Aku membenturkan kepala ke meja usai membaca paragraf isi yang kedua dalam hati. Geregetan, sebal, tapi rasanya tidak berdaya untuk mengajukan protes.

"Kenapa soal sex juga harus diatur, sih, Mas? Kita, 'kan, udah jadi suami-istri," rengekku sambil mengangkat kepala dan menatapnya. "Tujuan menikah, 'kan, supaya bebas berhubungan sex. Kalau dibatasi kayak gini, apa untungnya kita nikah?"

Lagi-lagi rengekanku diabaikan. Dia menatapku dengan netra sipitnya yang sayu.

Ya, ini memang salahku. Seharusnya sebelum menikah aku bertanya lebih dulu, apakah ada aturan yang ingin dia ajukan atau tidak. Aku yang menganggap pernikahan ini seperti pernikahan normal lantas setuju menikah tanpa mengetahui bahwa Jevin Putra Adendra-lelaki yang lima jam lalu mensahkan diri menjadi suamiku-telah mempersiapkan post-marriage requirements yang rumit. Ya, sebenarnya tidak rumit, mudah malah. Namun, tetap saja menurutku semua persyaratan yang dia ajukan tidak masuk akal. Kenapa dia enggak minta no sex aja sekalian?

Sebelum akad, dia tidak mengungkit adanya perjanjian tertulis seperti ini, jadi kupikir pernikahan kami akan baik-baik saja dan berjalan normal seperti pasangan pada umumnya. Seandainya aku mengetahui tentang persyaratan ini aku pasti akan menolak menikahinya. Buat apa menikah kalau untuk berhubungan badan aja waktunya musti dibatasi?

Sekarang aku sudah kepalang basah. Sudah menikah, tapi baru tahu bahwa ada persyaratan-persyaratan-tidak wajar-yang harus kupatuhi. Rasanya ingin sekali menolak, tapi takut menghadapi konsekuensinya. Aku belum membaca post-marriage requirements ini sampai habis, jadi aku belum mengetahui risiko apa yang akan kuhadapi jika menolak menuruti semua persyaratan ini.

Ah, sudahlah! Percuma bernegosiasi dengan kayu mati. Iyakan saja maka semuanya akan selesai. Toh, dia masih memberiku jatah sex.

Aku kembali menekuri kertas. Tiga. Istri diwajibkan melahirkan empat anak dalam kurun waktu lima tahun. Jika dalam waktu setahun pernikahan Istri tidak kunjung menunjukkan tanda-tanda kehamilan, Suami berhak menjatuhkan talak satu.

"Astaghfirullaaah!" Aku mengurut dahi. Mendadak kepalaku terasa pusing. "Belum apa-apa kamu udah ngomongin soal talak, Mas?" tanyaku tak habis pikir. "Sebenarnya, pernikahan model apa, sih, yang lagi kamu rancang?"

Jevin merapatkan punggungnya ke sandaran sofa, masih dengan kedua tangan yang menyatu di bawah dada. "Saya sudah pernah ngomong, 'kan, kalau pernikahan kita enggak bakal sama dengan pernikahan orang-orang. Saya butuh anak secepatnya. Saya enggak mau buang-buang waktu menunggu. Jadi, kalau kamu enggak bisa menghasilkan ...." Dia menggantungkan penjelasan dan mengangkat bahu.

Menghasilkan? Menghasilkan katanya? Aku tertawa miris. Apa dia menyamakan rahim gue dengan ladang sawah?

"Jadi, kamu cuma menjadikan aku sebagai pabrik anak dan babumu, Mas?" tanyaku dengan nada sinis.

"Pabrik anak, yes. But, babu, no! Saya mempekerjakan beberapa ART, jadi kamu enggak perlu menyentuh pekerjaan rumah tangga."

Aku menggaruk alis dan memejamkan mata, mencoba untuk berpikir dari sudut pandangnya. Sayangnya, semakin aku berusaha memahami maka semakin buntulah otakku. Aku tidak bisa menebak, apa sebenarnya masalah dan keinginan lelaki ini.

"Tapi, Mas, aku masih muda. Usiaku masih 25. Aku belum siap punya anak."

Aku memang ingin berhubungan sex, tapi jujur aku belum siap memiliki anak. Tanggung jawabnya berat. Belum lagi derita yang harus kuhadapi saat hamil, melahirkan, dan menyusui, semuanya butuh kesiapan mental.

"Kamu lupa usia saya berapa?"

Pundakku merosot lesu. Ya, aku memang lupa kalau usianya sudah menginjak 32 tahun. Aku pernah tertipu mengira usianya sepantaran denganku karena wajahnya kelihatan jauh lebih muda dari usianya. Tidak ada kerutan di wajahnya. Kulitnya masih kencang, putih, dan tampak sangat mulus, jauh dari komedo, apalagi komodo.

"Memangnya Mama Papa kamu udah kebelet nimang cucu, ya, Mas?"

Setahuku, faktor yang menyebabkan lelaki ingin menikah dan segera memiliki momongan salah satunya adalah karena desakan orang tua. Namun, sejauh pengamatanku selama enam bulan sebelum pernikahan ini, kedua orang tua Jevin tidak sekuno orang tua lainnya. Mereka orang tua yang open minded, slow, tidak otoriter, dan membebaskan putra mereka mengambil keputusan semaunya.

"Jangan bawa-bawa orang tua saya. Ini enggak ada hubungannya sama mereka."

Jawaban Jevin menegaskan bahwa orang tuanya tidak menuntut apa pun pada pernikahan kami. Namun, hal ini justru semakin membuatku bingung, gerangan apa yang membuatnya ingin cepat-cepat memiliki anak? Setahuku dia bahkan tidak menyukai anak kecil.

Ah, ya, sudahlah! Turuti saja! Kepalaku sudah pusing gara-gara tiara yang masih terpasang di atas sasakan rambutku. Aku ingin cepat-cepat masuk kamar, melepas gaun pengantin yang ribet ini, menggantinya dengan lingerie yang sexy, lalu menggoda Jevin untuk segera menyetubuhiku. Kebetulan hari ini juga hari Kamis. Sesuai persyaratan ke dua, bukankah seharusnya hari ini aku diberi jatah?

"Okay, I agree," putusku daripada pembicaraan ini berlarut-larut. Aku tidak ingin mencari gara-gara dengan mengatakan tidak setuju. Aku tidak ingin menjanda di usia pernikahan yang baru menginjak angka 5 jam. Bukankah akan sangat merugikan kalau aku mendapat talak sebelum merasakan nikmatnya malam pertama?

Aku memukul meja dengan kedua telapak tanganku, sekalian menjadikannya tumpuan saat hendak bangkit. 45 menit duduk bersila-meski di atas sofa tetap saja membuat kakiku keram dan kesemutan. Pinggangku juga terasa kaku. Mungkin efek kelelahan karena kesibukan resepsi seharian ini.

"Tanda tangan dulu!" titahnya sambil menggelindingkan signature pen ke hadapanku. Ketika itu, posisiku masih setengah bangun, bahkan kedua kakiku belum berdiri lurus.

"Ya ampun, Mas, aku udah setuju. Ngapain musti tanda tangan lagi, sih? Ini bukan perjanjian kerjasama, 'kan?" tanyaku setelah mengempaskan pantat kembali ke sofa.

Sayangnya, lelaki yang begitu irit bicara ini tak menggubris keluhanku. Mata sipitnya masih menatapku sayu.

Meski meringis kesal, aku akhirnya mengalah dan mengambil signature pen itu. Kububuhkan tanda tanganku di atas nama Jena Dheandra Pratama yang diapit tanda kurung.

Usai tanda tangan, kulempar signature pen itu ke sofa, tepatnya ke samping kanannya. Benda tak berdosa itu berakhir tragis dengan terjepit di antara punggung dan pantat sofa.

"Puas, 'kan, Mas? Udah, ya! Aku mandi dulu! Capek!"

"Kamu enggak ada permintaan?" tanyanya sambil menarik punggung dari sandaran dan mengurai lipatan kakinya. Dia mengulurkan tangan untuk mengambil kertas yang telah kutandatangani.

"Enggak ada," jawabku ketus, lalu bangkit dan ngacir ke kamar mandi. Namun, belum sampai setengah menit, aku kembali keluar untuk mengambil koper. Kuseret koperku ke dalam kamar mandi, lalu kubanting pintu keras-keras.

"Brengsek banget! Tau gini, enggak bakal gue terima lamaran orang tuanya. Udah kaku kayak kanebo kering, pelit ngomong, eh banyak aturan pula." Aku mendecakkan lidah seraya menggelengkan kepala. "Kayaknya gue harus mempersiapkan diri buat jadi janda kapan aja," ucapku pesimis sambil berlutut untuk membuka koper.

Aku dan Jevin sebenarnya satu kantor. Lebih tepatnya, dia adalah atasan dari atasannya atasanku-dengan kata lain dia adalah bos tertinggi alias CEO di Stencilindo. Stencilindo adalah tools desain grafis berbasis web, desktop, dan android. Aku bekerja di badan usaha ini sebagai graphic designer sejak usiaku masih 21 tahun, artinya sudah 4 tahun aku mengabdikan diri untuk kemajuan perusahaan Jevin.

Delapan bulan yang lalu, kantorku mengadakan anniversary party yang ke delapan. Pada momen itu, tasku dan tas mamanya Jevin tidak sengaja tertukar saat kami di toilet. Beliau yang lebih dulu pergi sambil berteleponan dengan seseorang tidak menyadari bahwa tas yang dijinjing bukanlah tasnya. Aku mengejarnya untuk mengembalikan tas kami.

Hal gila yang membuatku stress adalah saat mamanya Jevin mengaku kehilangan dompet. Menurut pengakuannya, dompet itu tadinya masih tersimpan dalam tas. Secara otomatis, aku merasa tertuduh sebagai tersangka karena akulah orang yang terakhir kali memegang tasnya.

"Sumpah, Bu. Saya enggak buka tas Ibu. Apalagi sampai ngambil dompetnya."

Begitulah klarifikasiku yang gugup dan panik. Aku bahkan sudah terbayang diseret ke kantor polisi dan menghabiskan malam di sel tahanan.

"Eh, enggak, kok. Saya enggak nuduh kamu yang ngambil," sangkalnya seraya mengibaskan kedua tangan. "Kalau kamu yang ambil, enggak mungkin kamu mau mengembalikan ke saya, 'kan?"

Meski beliau tidak menuduh, tetap saja aku merasa tidak enak hati. Aku sampai kebingungan memikirkan langkah apa yang bisa kuperbuat untuk membersihkan nama baikku dan menemukan dompet beliau.

Di momen genting itulah Jevin datang sebagai penyelamatku. Dia menghampirinya mamanya dan memberikan dompet-yang katanya tercecer di kursi penonton. Pada detik itu juga akhirnya aku mengetahui bahwa aku berurusan dengan mamanya bosku.

Sejak hari itu, entah kenapa aku dan mamanya Jevin kerap bertemu secara tidak sengaja, baik itu di mall ataupun salon kecantikan langgananku. Kami cocok dalam mengobrol hingga beberapa kali beliau mengajakku makan bersama.

Dua bulan kemudian beliau mengungkapkan keinginan untuk menjadikanku sebagai menantu. Waktu itu, aku senang sekali membayangkan diriku menjadi istri CEO setelah jomlo menahun. Kupikir dengan menjadi istri CEO kehidupanku akan menjadi lebih mudah dan santai. Aku lupa bahwa bosku ini memiliki karakter yang unik dan aneh.

"Kalau tau bakalan kayak gini, mending jomlo seumur hidup, deh. Soal sex gampang. Sekarang, 'kan, banyak jasa penyedia lelaki panggilan yang bisa memuaskan perempuan gatal sepertiku."

Ya, sefrustrasi inilah aku sekarang. Namun, apa hendak dikata? Pisang sudah terlanjur menjadi smoothies. Aku tidak mungkin meminta cerai saat aku sendiri belum 'mencicipinya'. Lagipula kasihan Papa dan Mamaku. Mereka pasti malu gara-gara putrinya menjadi janda setelah lima jam resepsi usai.

"Okay, you're so beautiful, Jena! You're sexy!" pujiku sambil meraba lekuk pinggangku. Pantulan diriku dalam cermin begitu memuaskan. Memakai lingerie hitam, ketat, dan kurang bahan membuat kepercayaan diriku bangkit. Jade double V bodysuit ini membuatku merasakan sensasi menjepit-jepit di bawah sana.

"Now it's time to let go of my virginity," gumamku mantap sambil memutar badan tanpa mengalihkan pandangan dari cermin.

Puas menyaksikan kecantikan diri, aku melenggang keluar kamar mandi dan mendapati Jevin sudah duduk bersandar dan berselonjor kaki di tengah ranjang. Dia sudah melepaskan tuxedo, menyisakan kemeja putih yang kedua lengannya ditarik sampai ke siku. Pandangannya terfokus pada tablet yang dipegang.

"Mas!" panggilku sensual sambil berjalan meliuk-liuk seperti wanita penggoda. Aku juga memilin-milin rambutku dengan telunjuk.

Jevin hanya melirikku sebentar, tapi kemudian kembali fokus pada tablet-nya. Dia tidak terganggu ketika aku merangkak naik, duduk di sebelahnya, dan meraba-raba dadanya.

"Hari ini Kamis, 'kan, Mas?" tanyaku yang masih betah menggunakan nada sensual. Aku bahkan berani menyandarkan kepala di pundaknya tanpa permisi.

"Kamu enggak malu, ya, kayak pelacur gitu?" tanyanya datar tanpa memindahkan fokus dari dokumen yang sedang dibaca.

"Enggak, dong! Aku, 'kan, sekarang istrimu, Mas," jawabku seraya menciumi curuk lehernya.

Perempuan lain mungkin akan tersinggung dengan sebutan 'pelacur' tadi. Namun, hatiku tidak sesensitif itu. Aku justru sengaja bersikap seperti pelacur agar bisa memuaskan libidoku yang tidak pernah tersalurkan demi mematuhi larangan agama dan adat istiadat. Masa bodoh dengan lidahnya yang tajam. Lagipula bukankah dia ingin segera mempunyai anak? Jadi, bukankah sekarang kami harus cepat-cepat memulai penyemaian benih?

Tapi, memang dasar kanebo kering! Aku sudah meraba-raba dan menciuminya di segala titik yang terbuka, tapi dia masih saja bergeming. Dia bahkan tidak terganggu saat menandatangani dokumen digital.

Kalau gini caranya, lama-lama gue bisa basah sendirian, nih. Duh, udah enggak tahan! Ini cowok kapan, sih, mau bereaksi?

Aku benar-benar heran, kenapa Jevin masih bisa terlihat tenang, padahal aku sudah memastikan bahwa miliknya sudah mengeras di bawah sana. Apakah dia tidak merasa sesak? Apakah dia belum tergoda untuk-

"Kamu enggak bisa sabar dikit, ya? Saya masih sibuk. Wait five minutes!" pintanya yang masih betah menatap layar gawai.

Baiklah. Asalkan bukan hitungan jam, aku rela menunggu.

Kira-kira adegannya bakal sama enggak, ya, kayak di film-film biru? Ah, kalau sama, gue khawatir kalau desahan gue bakal-eits! Hotel ini kedap suara, 'kan? Jadi, harusnya gue enggak perlu khawatir sama tetangga kamar sebelah. Gue bisa teriak sepuas hati.

Asyik! Akhirnya Jevin mematikan tablet dan meletakkannya di atas nakas sisi kiri. Aku sudah kegirangan karena mengira dia akan langsung mencumbuku. Ternyata, dia cukup lama berdiam diri dan menatapku datar tanpa ekspresi. Aku kehilangan semangat begitu mencapai menit ke tiga. Kupikir dia akan mengutarakan penolakan dengan alasan lelah untuk menghindari malam pertama, tapi ternyata ....

Kucing mana tahan kalau diiming-imingi ikan? Sekenyang-kenyangnya, dia pasti nyambar, kok.

Aku tertawa dalam hati saat merasakan keganasannya meraup bibirku. Dia seperti pemain pro yang baru saja dilepas untuk melawan si amatir.

Jika tadi aku berusaha mengitimidasi, sekarang justru akulah yang merasa terintimidasi. Cumbuannya benar-benar melelahkan dan tanpa jeda, membuatku kewalahan untuk hanya sekadar bernapas.

"Are you ready to start now?" tanyanya saat berhenti sejenak dengan napas tersengal-sengal.

Bukannya menjawab aku justru terperangkap ke dalam tatapan mata sipitnya. Kubelai pipinya, kusapu keringat di dahinya, lalu kuraup bibirnya. Semoga saja dia paham bahwa tindakanku adalah jawaban yes atas pertanyaannya.

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

user avatar
titik wahyuni
bagus...suka bgt ma ceritanya......
2022-01-24 23:44:25
0
user avatar
Junita Pardede
semangat thor.....up lg donk
2021-12-01 16:33:05
0
user avatar
Lysi galaxy
kak.... kapan update lagi? di tunggu ya
2021-09-21 08:58:38
0
user avatar
LysiGalaxy
bagus banget ceritanya kak.... lanjut
2021-07-22 23:48:21
2
default avatar
Kkey
Ceritany seru kak
2021-07-09 00:00:03
0
35 Chapters
AFTER AGREEMENT
"Satu. Tidak boleh bertanya ke mana, di mana dan bersama siapa."Aku terdiam setelah membaca paragraf isi dari post-marriage requirements. Kutarik mataku dari lembaran kertas. Kutatap lelaki yang duduk di sofa seberang. Lelaki yang masih mengenakan setelan tuxedo lengkap dengan dasi kupu-kupu itu menyatukan kedua tangan di bawah dada."Perlu banget, ya, Mas, pakai beginian?"Kuguncang kertas HVS yang tidak berharga ini. Mungkin akan berharga jika isinya adalah pernyataan kepemilikan tanah. Kenyataannya, kertas ini hanyalah sampah tidak berguna dan justru menjadi momok yang menggelikan untukku."Masa aku enggak boleh nanya kamu ke mana, dengan siapa, dan semalam berbuat apa?"Ah, sepertinya otakku sedang melawak di situasi yang tidak tepat. Bagaimana bisa aku berhalusinasi mendengar reffrain lagu Kangen Band berjudul Yolanda, padahal tidak ad
last updateLast Updated : 2021-04-17
Read more
MENYEMBUNYIKAN KEHAMILAN
Tiga bulan kemudian ...."Jangan bilang ke siapa pun kalau kamu hamil.""Ke Mamaku?"Jevin menggeleng."Ke Mama kamu?"Dia menggeleng lagi."Kenapa, Mas? Bukannya waktu itu kamu sendiri yang minta aku supaya cepat-cepat hamil? Terus kenapa sekarang aku diminta menyembunyikan kehamilanku seakan ini adalah aib?"Aku benar-benar bingung dengan pola pikir Jevin-unique, complicated, and unpredictable. Aku tidak pernah mengerti apa yang dia pikirkan. Kenapa ketika aku menunjukkan test pack dengan hasil positif dia tidak segembira yang kubayangkan? Kupikir dia akan mengangkat tubuhku tinggi-tinggi dan berputar-putar sembari mengucapkan terima kasih, lalu mengecup bibirku. Ya, seperti adegan klise yang dilakukan romantic couple dalam novel atau drama Korea. Namun, kenyataan yang terjadi justru di luar prediksi.Untuk ap
last updateLast Updated : 2021-04-17
Read more
TERTANTANG
"Thankyou, Mas. Kamu baik juga ternyata," ucapku seraya menyandarkan punggung dan kepala ke dashboard ranjang.Aku membenahi jubah lingerie-ku yang terbuka di bagian paha. Sebenarnya aku bisa membiarkannya terbuka begitu saja. Namun, mengingat hari ini bukan hari dimana aku seharusnya mendapat jatah 'kepuasan', maka aku memilih menjaga diri. Jika mengumbar tubuh seperti tadi maka akulah yang tersiksa karena tidak mendapatkan jamahannya. Jevin benar-benar tidak menyentuhku selain hari Senin dan Kamis."Duuuuh, kamu, kok, sweet banget, sih, Mas? Coba kamu sering-sering kayak gini. Bisa mealting terus aku," ucapku saat Jevin menutupi kaki sampai pangkal pahaku dengan selimut.Seperti biasa, lelaki itu tak berniat menanggapi ocehanku yang tidak bermutu. Mata sipit itu jarang menatapku sekalipun kami berhadapan sedekat sekarang. Ekspresinya juga tak berubah, masih kaku seperti
last updateLast Updated : 2021-04-17
Read more
TAMU MENYEBALKAN
“Hah? Tiga hari?”Aku memekik tak percaya. Kukorek kuping kananku yang sedang ditempeli HP. Semoga saja tadi aku salah dengar.[Iya, Jena. Tiga hari.]Aku berdecak kesal, lalu menjatuhkan diri ke sofa ruang keluarga yang berada di sebelah kamar.“Enggak bisa, Man. Tiga hari itu terlalu mepet. Kategori yang dikerjakan juga banyak banget, ‘kan? Medsos, photo collage, greeting card. Bisa keder gue kalau ngerjain itu semua sendirian dalam waktu tiga hari. Mana masing-masing kategori minimal 5 desain. Wah! Ini kelihatan banget, sih, pengin bunuh gue.”Beberapa saat yang lalu, aku sedang asyik mendesain template cover book untuk edisi bulan Maret nanti. Aku mendapat mandat dari Bos Yudha by phone karena mulai Senin kemarin aku sudah Work from Home alias bekerja dari rumah. Tidak sulit bagiku mendapat izin WFH karena Jevinlah yang turun ta
last updateLast Updated : 2021-04-17
Read more
TALAK SAJA SEKARANG!
Apa yang ada di pikiran kalian saat mengetahui suami dekat dengan perempuan lain, padahal dia tidak dekat dengan kita? Kurasa normalnya kalian akan menduga adanya tindak perselingkuhan. Benar, ‘kan? Kemudian kalian akan mengamuk, menjambak si wanita dan menendang organ penting suami, atau mungkin kalian hanya bisa menangis-nangis meminta diceraikan? Oh, come on, girls! Jangan lemah seperti itu! Dalam hidup ini, cinta yang murni dan sejati itu hanya ditujukan kepada Tuhan. Tidak perlu mencintai suami seluas samudera! Asalkan transferan tiap bulan tetap jalan, no problem! Abaikan saja! Toh, bukan kita yang rugi, ‘kan? Ya, kecuali kalau jatah uang bulanan berkurang, bolehlah kalian potong ‘itu’-nya. Ha-ha-ha!  Intinya, sebagai perempuan yang merasakan kecurigaan adanya perselingkuhan, aku tidak ingin bersikap lemah. Aku juga tidak ingin menyelidiki atau membalasnya karena tindakan itu sangat sia-sia dan membuang tenaga. Lebih baik aku memikirkan bagaimana
last updateLast Updated : 2021-06-10
Read more
JANGAN GEER
“Hello, Mam!” sapaku seraya ber-cipika-cipiki dengan Mama mertua yang cantik membahana. Dia langsung menyambutku yang baru saja melangkahi pintu. Dia bahkan tidak menyapa putranya yang ‘nyelonong’ masuk tanpa menyapa.'Huh! Dasar anak 'dulhakim'! Masa orang tua sendiri enggak disapa?'“How are you, Honey? Fine? Jevin kasih treatment dengan baik, ‘kan?” tanyanya sembari memegang kedua lenganku.“Yes, of course, Mam! Coba aja kalau misalkan dia enggak nge-treat aku dengan baik, huh! Aku bejek-bejek, tuh, pasti,” jawabku senormal mungkin.Aku ini bukan anak remaja labil yang suka mencurhatkan praduga kelakuan busuk suamiku kepada mamanya. Aku bukan perempuan melodrama yang cocok meniti peran sebagai sosok protagonist. Aku adalah Jena, perempuan selow dan santuy yang menghadapi masalah tanpa menimbulkan masalah. Anti diinjak-injak, tapi tidak balas menginjak-inj
last updateLast Updated : 2021-06-10
Read more
KENAPA MAU NIKAH?
'BRENGSEK! KANEBO SAMPAH! COWOK KURANG AJAR!'Kurasa makian itu belum cukup untuk menggambarkan kekesalanku pada Jevin. Bisa-bisanya dia menyeretku seperti karung beras saat mendatangi Papa Adendra dan rombongan keluarga Vivian. Apa dia tidak tahu bagaimana susahnya perempuan saat berjalan memakai heels setinggi 10 senti?“Pelan-pelan, dong, Mas! Aku jalannya susah, nih!” protesku yang tak digubrisnya. Jangankan memelankan langkah, dia justru mempercepat ritme ayunan kakinya.'Bangsat banget, nih, cowok! Semoga aja anak gue nanti bukan cowok. Gue enggak mau dia hidup  berhati dingin dan kasar kayak papanya. Duh! Amit-amit banget pokoknya!'“Hello, Jevin! How are you?” tanya lelaki paruh baya yang mengenakan kacamata. Dia mengulurkan tangan dan tersenyum ramah kepada Jevin.Jevin menyambut uluran tangan itu dan menciumnya dengan sopan.'Ugh! Sok gentleman banget dia! Lagaknya udah kayak anak yang punya sopan
last updateLast Updated : 2021-06-10
Read more
MUNAFIK
[Kenapa, sih, lo mau nikah sama dia?]'Astaga! Dia masih aja bahas kanebo kering.'“Lo kenapa nanya gitu, sih? Lo, ‘kan, udah tau jawabannya. Lagipula mana ada, sih, cowok yang mau sama gue? Cowok lain yang melihat gue pasti takut duluan. Takut di-matrein, takut diporotin, takut diinjak-injak sama keluarga besar gue. Kalau sama Jevin, ‘kan, aman. Starata status sosial gue ada di bawahnya dia. Jadi, dia enggak bakal merasa terinjak-injak sama keluarga gue.”Aku penggemar novel yang menceritakan tentang CEO-CEO yang jatuh cinta pada gadis miskin. Aku juga sudah sering menonton drakor dengan tema serupa. Permasalahan yang mereka hadapi pasti tidak jauh dari harga diri.Keluargaku bukan keluarga rakyat jelata yang kekurangan harta. Papaku direktur rumah sakit, sedangkan Mamaku dokter spesialis penyakit dalam. Intinya, keluargaku cukup terpandang di mata warga se-Kelurahan.Sementara itu, aku lebih banyak bergaul dengan kalangan
last updateLast Updated : 2021-06-10
Read more
SIAPA YANG CERDAS?
Meski sudah berusaha meyakinkan, nyatanya kedua wanita berstatus ‘Mama’ itu menertawakanku. Mungkin terlihat jelas di mata mereka bahwa aku sedang berbohong.Sekarang aku hanya bisa mengalihkan perhatian pada cangkir kosong di sebelah tangan kananku. Aku memanggil seseorang dan memintanya menuangkan kopi hitam di cangkirku. Setelah dituang, aku menenggaknya selagi panas. Aku tidak peduli dengan lidah dan tenggorokanku yang rasanya seperti terbakar.Saat kopiku habis, aku tertawa miris melihat Jevin dan Vivian keluar dari lift yang sama. Ketika itu, tidak hanya perutku yang terasa diaduk, tapi hatiku juga terasa ngilu, bahkan kepalaku mendadak pusing.Perutku bergejolak saat Jevin menarik kursi dan duduk di sebelahku. Aku langsung berdiri saat itu juga, membuat Mama, Mama Jennie, dan Jevin mendongak menatapku.“Sorry, Ma,” aku menatap Mamaku dan Mama Jennie secara bergantian, “aku sakit perut, nih,” dustaku sambil memega
last updateLast Updated : 2021-06-10
Read more
AJAKAN CHECK UP
“Lo kenapa mau-mau aja, sih, disuruh resign? Kalau lo enggak mau, harusnya lo berontak, dong! Bukannya lo udah mahir, ya, kalau soal pemberontakan?”Duduk memangku kardus berisi barang-barang, aku hanya bisa menghela napas mendengar pertanyaan atasan yang biasa kupanggil Bos Yudha. Dia sedang duduk bersandar di kursinya yang berukuran jumbo, itu pun masih tampak sesak karena bobot tubuhnya memang di ambang batas wajar. Dia seperti kesulitan duduk tegap karena perutnya yang buncit.'Ngomong-ngomong soal buncit, beberapa bulan ke depan mungkin perut gue bakalan sama kayak Bos Yudha. Bahkan mungkin lebih gede. Ah, bayanginnya aja rasanya begah banget.'“Woy!” tegurnya yang membuatku sedikit tersentak. “Yeee, malah melamun! Dengar enggak gue ngomong apa barusan?”“Dengar, Bos,” jawabku malas. “Tapi, ya, mau gimana lagi? Mas Jevin kalau udah ngomong A sampai kiamat pun enggak bakal berubah jadi B. Gue juga
last updateLast Updated : 2021-06-10
Read more
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status