Tiga bulan kemudian ....
"Jangan bilang ke siapa pun kalau kamu hamil."
"Ke Mamaku?"
Jevin menggeleng.
"Ke Mama kamu?"
Dia menggeleng lagi.
"Kenapa, Mas? Bukannya waktu itu kamu sendiri yang minta aku supaya cepat-cepat hamil? Terus kenapa sekarang aku diminta menyembunyikan kehamilanku seakan ini adalah aib?"
Aku benar-benar bingung dengan pola pikir Jevin-unique, complicated, and unpredictable. Aku tidak pernah mengerti apa yang dia pikirkan. Kenapa ketika aku menunjukkan test pack dengan hasil positif dia tidak segembira yang kubayangkan? Kupikir dia akan mengangkat tubuhku tinggi-tinggi dan berputar-putar sembari mengucapkan terima kasih, lalu mengecup bibirku. Ya, seperti adegan klise yang dilakukan romantic couple dalam novel atau drama Korea. Namun, kenyataan yang terjadi justru di luar prediksi.
Untuk apa dia memintaku menyembunyikan kehamilan dari orang-orang? Bukankah kami sudah menikah? Bukankah dia sendiri yang ingin cepat-cepat memiliki anak? Ah, apa jangan-jangan dia ingin menyelidiki terlebih dahulu, siapa ayah dari janin yang kukandung sekarang? Apa dia meragukan kesetiaanku? Hei! Aku tidak pernah berhubungan dengan lelaki mana pun kecuali dia! Tidak cukupkah dia melihat bercak darah di sprei hotel dua bulan lalu ketika dia merenggut keperawananku?
"Please come out!" pintanya datar. Tidak ada nada bentakan, tapi tetap terdengar tegas dan tidak terbantahkan.
Tck-tck-tck! Lihatlah kelakuannya sekarang! Bisa-bisanya dia mengusirku dari ruang kerjanya tanpa menatapku sedikit pun! Hah! Benar-benar kurang ajar! Kalau saja di sini ada kaleng biskuit, mungkin aku akan melemparkannya ke wajah Jevin sekarang juga.
Aku meninggalkan ruang CEO terkutuk itu dengan hati yang dongkol setengah mati. Aku sampai menepuk dadaku keras-keras agar kesesakanku dapat terurai.
"Sabar, Jena! Sabaaar!" pintaku pada diri sendiri.
Aku berhenti, lalu menoleh menatap pintu besar dan tinggi yang terbuat dari kayu itu. Seandainya ini bukan kantor dan seandainya aku kehilangan kewarasan, mungkin wedges yang kukenakan saat ini akan melayang ke pintu itu. Ah, bukan ke pintunya, melainkan ke wajah lelaki yang berada di balik pintu itu.
"Dasar kanebo kering! Enggak punya hati! Enggak punya ot-astaga!"
Tanganku refleks membekap mulut dan meraba perutku yang masih rata. Aku kehilangan kontrol sehingga tanpa sadar telah mencaci maki papa dari anakku sendiri.
"Gimana kalau si kecil dengar? Gimana kalau pas dia gede nanti, dia bakal suka maki-maki papanya juga?" Aku meringis kecut. "Ah, jangan sampai!" Aku menggeleng. "Anak gue harus sopan. Mulutnya enggak boleh-"
"Ngapain lo, Na?"
Napasku tersekat. "Astaganagabonar!" Kini tanganku berpindah memegang dada yang berdegup kencang. Pertanyaan yang mengagetkanku itu seolah hampir saja membuat jantungku gugur dari tempat persemayamannya. "Ngagetin banget, sih!" Aku menyemprot dan memukul orang yang membuat semangatku berkibar.
Armand, rekanku sesama graphic designer meringis setelah mendapat pukulan di lengannya. Hukuman itu mungkin tidak seberapa jika dibandingkan dengan jantungku yang sekarang kelabakan gara-gara ulahnya.
"Lagian lo ngapain ngomel-ngomel sendiri, sih? Tuyul lo gagal ngambil duit bos?"
"Astagaaa! Gue selepet juga, tuh, mulut!"
Dia refleks mundur saat tangan kananku melayang ke arah mulutnya. Aku memang hendak memukulnya lagi, tapi batal begitu melihatnya menghindar.
"Lo enggak ada elegan-elegannya, ya, Na. Masih aja ringan tangan kayak preman. Udah jadi istri bos juga," keluhnya tersungut-sungut.
"Lah? Apa hubungannya jadi istri bos sama keeleganan? Apa gue harus berubah jadi perempuan sosialita yang anggun dan kemayu cuma buat mengharumkan nama baik kanebo kering itu?" Aku menunjuk ke arah pintu. "Ho-ho-ho! No-no-no! Gue, ya, gue. Sampai kapan pun gue enggak bakal berubah. Gue tetaplah Jena Dheandra Pratama yang banyak ngomong dan enggak suka ribet."
Pada detik berikutnya, entah kenapa aku menyesali ucapanku tadi. Aku merasa bahwa ucapanku terkesan seperti menghina diri sendiri. Aku lupa meluruskan bagian keeleganan. Seharusnya aku mengatakan bahwa aku adalah perempuan yang elegan di mana pun dan kapan pun. Yaaa, setidaknya hanya di depan suami dan mertuaku.
"Udah, ah! Serah lo aja." Armand mengibaskan tangan. "Gue nyariin lo karena ada kepentingan, nih. Template buat edisi Imlek udah kelar belum? Bos Yudha nanyain, tuh."
Spontan tanganku menepuk dahi seraya beristighfar penuh penghayatan. "Lupa gue, yang buat kategori medsos belum kelar."
"Nah, 'kan? Lupa dipelihara. Mending lo taubat, deh, menernak kutu. Kasian kepala lo, kesedot terus darahnya."
"Apaan, sih? Enggak lucu tau enggak!"
"Ya, iyalah enggak lucu. Gue, 'kan, memang enggak lagi melawak."
Aku terdiam dan menggigit kuku telunjukku. Aku mulai panik kalau sudah mendengar berita bahwa atasanku menagih job. Berita seperti ini selalu terdengar lebih mengerikan ketimbang ditagih cicilan utang oleh debtcollector.
"Bantuin, dong, Man," bujukku sambil mengguncang lengannya dan menghentakkan kaki.
"Cih! Enggak sudi gue. Lo lupa kalau tadi habis menindas gue?" tolaknya sebagai upaya pembalasan dendam.
"Yaelah, Man. Gitu doang baperan banget, sih, lo! Nanti gue orderin pizza, deh." Aku tersenyum lima jari sambil mengedap-ngedipkan mata. Budaya sogok-menyogok sudah sangat lumrah di kantor ini. Tak ada istilah gotong-royong tanpa upah.
"Triple box baru deal gue."
Aku berdecak. Meski tak rela, akhirnya kuiakan saja daripada terkena omelan bos Yudha.
"Uwuuuw! Thankyou so m-"
"Jena!"
Armand membeku dengan kedua tangan menglingkari angin. Dia batal memelukku setelah mendengar suara yang memanggil namaku. Si kanebo kering itu berdiri di ambang pintu raksasa yang daunnya hanya terbuka salah satunya saja.
"Kenapa, Pak?" tanyaku tanpa beranjak.
Ya, meskipun dia suamiku, di kantor dia tetaplah bosku. Panggilan 'Mas' hanya berlaku di luar jam kerja saja.
"Masuk!" Dia menggerakkan wajahnya seolah menunjuk ke dalam ruang kerjanya.
Halah! Tadi ngusir. Sekarang nyuruh masuk lagi. Maunya apa, sih?
Armand menepuk bahuku. "Gue balik dulu, ya." Kemudian dia mendekatkan wajah ke telingaku. "Ingat, ya, triple box-nya," bisiknya sebelum melenggang pergi.
Aku mendesah jengah gara-gara kelakuan dua lelaki ini-yang satu plin-plan dan merepotkan, sedangkan yang satu lagi hanya mau menolong bila ada sogokan.
"Kenapa lagi?" tanyaku malas ketika menutup pintu. Kudatangi lelaki yang berdiri membelakangi meja. Lelaki itu menyatukan kedua tangannya di bawah dada.
"Mulai besok kamu WFH aja," ucapnya yang membuat langkahku membeku sesaat.
Apalagi ini? Kenapa tiba-tiba aku diminta WFH? Apa dia mengkhawatirkan kehamilanku? Apa dia tidak ingin melihatku kelelahan bekerja?
"Kenapa?" tanyaku seraya melanjutkan langkah.
Aku menarik salah satu kursi dan duduk bersandar. Kulipat kedua tanganku di bawah dada. Kusilangkan kedua kakiku dengan elegan. Kuangkat daguku untuk menunjukkan bahwa aku perempuan yang percaya diri dan tidak takut dengan apa pun.
"Kamu bisa bikin geger semua orang kalau nanti tiba-tiba mual di kantor."
"Astaga!" desisku sambil menggelengkan kepala. "Jadi itu alasannya?"
Aku sudah telanjur geer karena mengira si kanebo kering mengkhawatirkan kondisi kesehatanku selama hamil. Ternyata .... Tck!
Aku ingin sekali menulis kisah tentang penindasan Jevin padaku dan mengirimkannya ke redaksi fiksi di TV. Siapa tahu ada tim kreatif atau produser yang tertarik menjadikannya sinema azab Ilahi. Judulnya mungkin 'Suami yang Menyembunyikan Kehamilan Istrinya Mati dikemuni Semut Rangrang dan Jenazahnya Berbau Arang'.
Eh, buset! Panjang banget judulnya? Au, ah! Bodo amat!
"Okay," putusku tanpa negosiasi yang melelahkan. Aku tahu bahwa keputusan Jevin adalah mutlak, sebagaimana sabdaraja atau keputusan Presiden, tidak bisa ditawar atau ditolak.
Sekarang dia membalikkan badan. Kedua tangannya bertumpu di atas meja. Dia menatapku sayu seperti orang yang mengantuk.
"Apalagi?" tanyaku malas. Bila dia menatapku seperti itu, pasti ada maunya lagi.
"The end. Please come out!"
Aku mendesah seraya merotasikan bola mata. Kenapa, sih, dia hobi banget manggil orang, terus diusir langsung tanpa dikasih pesangon? Apa dia enggak merasa bersalah udah menyita waktu gue yang sangat berharga?
Aku sudah hendak bangkit dari kursi saat pikiranku memberikan interupsi mendadak. Aku batal berdiri dan kembali duduk.
"Mas!" panggilku saat Jevin duduk di kursinya yang super nyaman.
Dia tidak menjawab, apalagi menatapku. Dia malah berputar ke kiri, menekuri PC all in one.
"Mas aku boleh minta uang jajan lagi enggak?"
Sebenarnya awal bulan tadi dia sudah mentransfer puluhan juta ke rekeningku. Sisa tabunganku pun masih banyak. Hanya saja, kali ini aku ingin minta uang tunai.
Alih-alih menjawab, dia malah mengambil HP yang tergeletak di samping wadah pulpen. Tanpa menghiraukanku yang masih menatap dan menunggu jawabannya, dia malah asyik mengutak-atik HP-nya.
"Mas! Dengar aku enggak, sih?" Aku mulai kesal diabaikan. "Aku minta sejuta doang, Mas. Tapi, cash. Kalau Mas enggak mau, jawab aja enggak-"
"Sudah saya transfer."
"Hah?" Alisku terangkat. "Tapi aku minta cash, Mas. Bukan transfer. Kalau transfer, nanti aku musti ke ATM lagi. Aku malas."
Dia merotasikan bola mata seraya mengembuskan napas. Dia meletakkan HP ke samping mouse wireless dan merogoh dompet di saku celana belakang. Dia mengeluarkan sejumput uang ratusan ribu yang tidak dihitung, lalu memberikannya padaku.
Aku tersenyum setelah menghitung jumlahnya yang tepat 10 lembar. "Bisa pas gitu, ya, Mas? Padahal kamu enggak hitung," candaku yang lagi-lagi tak dihiraukan karena dia sibuk menyimpan dompet.
"Pulang kerja nanti aku ke mall dulu, ya, Mas. Enggak usah nungguin aku. Aku mau bakar duit kamu," ujarku riang sambil menyimpan uang ke dalam saku celana.
Memang gampang menyenangkan perempuan-ralat-maksudku menyenangkan hatiku. Beri saja aku segepok uang-entah itu cash atau transfer-maka senyumku akan terbit secerah mentari pagi, meskipun cuaca di luar sedang suram-suramnya.
Aku meninggalkan ruangan bos-yang tadinya kumaki-maki-dengan hati yang riang. Aku bersiul membaca SMS-banking yang memberitahukan transferan masuk. Tak tanggung-tanggung, lima juta masuk ke rekeningku dalam sekejap mata. Jujur saja aku sedikit tidak menyangka bahwa sekali meminta aku akan mendapatkan transferan dan uang cash dengan mudah.
"Jevin loyal banget kalau soal duit," pujiku sambil menyimpan HP di kantong celana. Dia cuma pelit ngomong dan senyum.
Aku berlari penuh irama sambil terus bersiul menuju tempat kerjaku. Aku tidak peduli dengan gelengan rekan-rekan kantor yang mungkin menganggapku gila. Aku tidak peduli pada omongan mereka. Aku hanya tahu, uang membuat hatiku berbunga-bunga.
Baru saja duduk di depan kubikel, aku mendapat telepon dari Mamaku tercinta.
"Hello, Mom! How are you?" sapaku ceria sambil memegang mouse yang berkelap-kelip.
[I'am fine, and you?]
"I'am happy, Mom. Mas Jevin habis kasih duit soalnya."
Aku terkikik sendiri, menebak apa yang akan dikatakan Mamaku setelah ini. Pasti dia akan mengataiku ....
[Dasar matre kamu!]
Nah, benar, 'kan? Tapi tidak masalah. Aku pun menganggap diriku demikian.
"Aku mau ke mall habis pulang kerja. Mama mau ikut?"
[Enggak. Mama nelpon karena mau kasih tau, besok Mama dan Papa mau ke Medan. Papa ngisi seminar IDI di sana.]
Aku ber-oh panjang sedikit kecewa. "Berapa hari?"
[Mungkin sekitar 3-4 hari. Kamu mau titip oleh-oleh?]
Aku bergumam sambil berpikir. "Cariin lingerie aja, deh, Ma. Yang bagus dan belum pernah masuk koleksiku."
[Kamu ini lingerie terus, kayak bisa dimakan aja. Sekali-sekali titip oleh-oleh itu makanan kek, kue kek, cendera mata kek.]
Aku tertawa, sudah terbiasa menghadapi tanggapan Mamaku. "Ya, udah, deh, Ma. Nanti kita ngobrol lagi. Aku mau kerja dulu. Banyak deadline soalnya."
[Hm, jangan lupa makan, ya, Na. Sesibuk apa pun, kamu harus makan tepat waktu. Ingat lambungmu.]
"Iya, Ma. Dah, ya! Bye!"
Setelah aku memutuskan panggilan, lelaki yang duduk di kubikel sebelah bertepuk tangan. "Enak banget lo, ya, telpon-telponan! Enggak aware banget sama teman yang lagi riweuh ngerjain kerjaan lo. Istri sultan kadang memang kebangetan kalau bertingkah," sindirnya blak-blakkan.
"Tenang, Babe!" Kuelus kepalanya dengan santai. "Triple box siap meluncur ke meja lo," lanjutku seraya tersenyum dan menaik-turunkan alis.
"Nah, gitu, dong!" Dia menarik kursinya memasuki bawah meja lebih dalam. Dia juga mengusap-usap telapak tangan dengan penuh semangat. "Gue, 'kan, jadi semangat kerja kalau ada pengganjal perut."
Aku tak lagi menanggapi ucapannya, bersiap untuk melanjutkan pekerjaanku. Namun, baru beberapa detik menatap monitor perutku terasa bergejolak, seperti habis memakan sambal uleg di malam hari. Awalnya terasa biasa saja, tapi lama-kelamaan, air liurku mendesak keluar.
Gawat! Ini enggak aman!
Aku bangkit dan buru-buru ke toilet. Di kloset, aku menumpahkan cairan yang mengganggu kedamaian perutku. Ah, sepertinya aku mulai mengalami gejala kehamilan. Benar kata Jevin. Jika aku tetap bekerja, bukan tidak mungkin orang satu kantor akan mengetahui berita kehamilanku.
"Aaah, please, deh! Jangan pusing sekarang! Gue banyak kerjaan!" rengekku sambil mengurut pangkal hidung.
"Thankyou, Mas. Kamu baik juga ternyata," ucapku seraya menyandarkan punggung dan kepala ke dashboard ranjang.Aku membenahi jubah lingerie-ku yang terbuka di bagian paha. Sebenarnya aku bisa membiarkannya terbuka begitu saja. Namun, mengingat hari ini bukan hari dimana aku seharusnya mendapat jatah 'kepuasan', maka aku memilih menjaga diri. Jika mengumbar tubuh seperti tadi maka akulah yang tersiksa karena tidak mendapatkan jamahannya. Jevin benar-benar tidak menyentuhku selain hari Senin dan Kamis."Duuuuh, kamu, kok, sweet banget, sih, Mas? Coba kamu sering-sering kayak gini. Bisa mealting terus aku," ucapku saat Jevin menutupi kaki sampai pangkal pahaku dengan selimut.Seperti biasa, lelaki itu tak berniat menanggapi ocehanku yang tidak bermutu. Mata sipit itu jarang menatapku sekalipun kami berhadapan sedekat sekarang. Ekspresinya juga tak berubah, masih kaku seperti
“Hah? Tiga hari?”Aku memekik tak percaya. Kukorek kuping kananku yang sedang ditempeli HP. Semoga saja tadi aku salah dengar.[Iya, Jena. Tiga hari.]Aku berdecak kesal, lalu menjatuhkan diri ke sofa ruang keluarga yang berada di sebelah kamar.“Enggak bisa, Man. Tiga hari itu terlalu mepet. Kategori yang dikerjakan juga banyak banget, ‘kan? Medsos, photo collage, greeting card. Bisa keder gue kalau ngerjain itu semua sendirian dalam waktu tiga hari. Mana masing-masing kategori minimal 5 desain. Wah! Ini kelihatan banget, sih, pengin bunuh gue.”Beberapa saat yang lalu, aku sedang asyik mendesain template cover book untuk edisi bulan Maret nanti. Aku mendapat mandat dari Bos Yudha by phone karena mulai Senin kemarin aku sudah Work from Home alias bekerja dari rumah. Tidak sulit bagiku mendapat izin WFH karena Jevinlah yang turun ta
Apa yang ada di pikiran kalian saat mengetahui suami dekat dengan perempuan lain, padahal dia tidak dekat dengan kita? Kurasa normalnya kalian akan menduga adanya tindak perselingkuhan. Benar, ‘kan? Kemudian kalian akan mengamuk, menjambak si wanita dan menendang organ penting suami, atau mungkin kalian hanya bisa menangis-nangis meminta diceraikan? Oh, come on, girls!Jangan lemah seperti itu! Dalam hidup ini, cinta yang murni dan sejati itu hanya ditujukan kepada Tuhan. Tidak perlu mencintai suami seluas samudera! Asalkan transferan tiap bulan tetap jalan, no problem!Abaikan saja! Toh, bukan kita yang rugi, ‘kan? Ya, kecuali kalau jatah uang bulanan berkurang, bolehlah kalian potong ‘itu’-nya. Ha-ha-ha! Intinya, sebagai perempuan yang merasakan kecurigaan adanya perselingkuhan, aku tidak ingin bersikap lemah. Aku juga tidak ingin menyelidiki atau membalasnya karena tindakan itu sangat sia-sia dan membuang tenaga. Lebih baik aku memikirkan bagaimana
“Hello, Mam!” sapaku seraya ber-cipika-cipikidengan Mama mertua yang cantik membahana. Dia langsung menyambutku yang baru saja melangkahi pintu. Dia bahkan tidak menyapa putranya yang ‘nyelonong’masuk tanpa menyapa.'Huh! Dasar anak 'dulhakim'! Masa orang tua sendiri enggak disapa?'“How are you, Honey? Fine?Jevin kasih treatmentdengan baik, ‘kan?” tanyanya sembari memegang kedua lenganku.“Yes, of course, Mam!Coba aja kalau misalkan dia enggak nge-treataku dengan baik, huh! Aku bejek-bejek,tuh, pasti,” jawabku senormal mungkin.Aku ini bukan anak remaja labil yang suka mencurhatkan praduga kelakuan busuk suamiku kepada mamanya. Aku bukan perempuan melodrama yang cocok meniti peran sebagai sosok protagonist. Aku adalah Jena, perempuan selowdan santuyyang menghadapi masalah tanpa menimbulkan masalah. Anti diinjak-injak, tapi tidak balas menginjak-inj
'BRENGSEK! KANEBO SAMPAH! COWOK KURANG AJAR!'Kurasa makian itu belum cukup untuk menggambarkan kekesalanku pada Jevin. Bisa-bisanya dia menyeretku seperti karung beras saat mendatangi Papa Adendra dan rombongan keluarga Vivian. Apa dia tidak tahu bagaimana susahnya perempuan saat berjalan memakai heels setinggi 10 senti?“Pelan-pelan, dong, Mas! Aku jalannya susah, nih!” protesku yang tak digubrisnya. Jangankan memelankan langkah, dia justru mempercepat ritme ayunan kakinya.'Bangsat banget, nih, cowok! Semoga aja anak gue nanti bukan cowok. Gue enggak mau dia hidup berhati dingin dan kasar kayak papanya. Duh! Amit-amit banget pokoknya!'“Hello, Jevin! How are you?”tanya lelaki paruh baya yang mengenakan kacamata. Dia mengulurkan tangan dan tersenyum ramah kepada Jevin.Jevin menyambut uluran tangan itu dan menciumnya dengan sopan.'Ugh! Sok gentleman banget dia! Lagaknya udah kayak anak yang punya sopan
[Kenapa, sih, lo mau nikah sama dia?]'Astaga! Dia masih aja bahas kanebo kering.'“Lo kenapa nanya gitu, sih? Lo, ‘kan, udah tau jawabannya. Lagipula mana ada, sih, cowok yang mau sama gue? Cowok lain yang melihat gue pasti takut duluan. Takut di-matrein, takut diporotin, takut diinjak-injak sama keluarga besar gue. Kalau sama Jevin, ‘kan, aman. Starata status sosial gue ada di bawahnya dia. Jadi, dia enggak bakal merasa terinjak-injak sama keluarga gue.”Aku penggemar novel yang menceritakan tentang CEO-CEO yang jatuh cinta pada gadis miskin. Aku juga sudah sering menonton drakor dengan tema serupa. Permasalahan yang mereka hadapi pasti tidak jauh dari harga diri.Keluargaku bukan keluarga rakyat jelata yang kekurangan harta. Papaku direktur rumah sakit, sedangkan Mamaku dokter spesialis penyakit dalam. Intinya, keluargaku cukup terpandang di mata warga se-Kelurahan.Sementara itu, aku lebih banyak bergaul dengan kalangan
Meski sudah berusaha meyakinkan, nyatanya kedua wanita berstatus ‘Mama’ itu menertawakanku. Mungkin terlihat jelas di mata mereka bahwa aku sedang berbohong.Sekarang aku hanya bisa mengalihkan perhatian pada cangkir kosong di sebelah tangan kananku. Aku memanggil seseorang dan memintanya menuangkan kopi hitam di cangkirku. Setelah dituang, aku menenggaknya selagi panas. Aku tidak peduli dengan lidah dan tenggorokanku yang rasanya seperti terbakar.Saat kopiku habis, aku tertawa miris melihat Jevin dan Vivian keluar dari lift yang sama. Ketika itu, tidak hanya perutku yang terasa diaduk, tapi hatiku juga terasa ngilu, bahkan kepalaku mendadak pusing.Perutku bergejolak saat Jevin menarik kursi dan duduk di sebelahku. Aku langsung berdiri saat itu juga, membuat Mama, Mama Jennie, dan Jevin mendongak menatapku.“Sorry, Ma,” aku menatap Mamaku dan Mama Jennie secara bergantian, “aku sakit perut, nih,” dustaku sambil memega
“Lo kenapa mau-mau aja, sih, disuruh resign? Kalau lo enggak mau, harusnya lo berontak, dong! Bukannya lo udah mahir, ya, kalau soal pemberontakan?”Duduk memangku kardus berisi barang-barang, aku hanya bisa menghela napas mendengar pertanyaan atasan yang biasa kupanggil Bos Yudha. Dia sedang duduk bersandar di kursinya yang berukuran jumbo, itu pun masih tampak sesak karena bobot tubuhnya memang di ambang batas wajar. Dia seperti kesulitan duduk tegap karena perutnya yang buncit.'Ngomong-ngomong soal buncit, beberapa bulan ke depan mungkin perut gue bakalan sama kayak Bos Yudha. Bahkan mungkin lebih gede. Ah, bayanginnya aja rasanya begah banget.'“Woy!” tegurnya yang membuatku sedikit tersentak. “Yeee, malah melamun! Dengar enggak gue ngomong apa barusan?”“Dengar, Bos,” jawabku malas. “Tapi, ya, mau gimana lagi? Mas Jevin kalau udah ngomong A sampai kiamat pun enggak bakal berubah jadi B. Gue juga
“Lah? Kok, ke sini? Mau jemput siapa?”Aku terheran-heran saat mobil berhenti di depan pelataran airport. Saat mengajakku pergi, Jevin memang tidak mengatakan ke mana tujuan kami. Bahkan ketika kutanya, dia mengeluarkan jurus andalannya, yakni diam seribu bahasa. Dia hanya menyuruhku mengenakan jaket dan membalut Levin dengan beberapa lapis selimut. Sekarang bayiku itu tertidur lelap di kursi paling belakang bersama Hanin, baby sitter-nya.Saat aku dirawat di rumah sakit, Jevin memutusan memakai jasa baby sitteruntuk meringankan bebanku. Aku setuju-setuju saja karena waktu itu kondisiku memang tidak bisa berbuat banyak untuk merawat Levin.“Enggak jemput siapa-siapa,” jawabnya tanpa mengalihkan fokus dari tablet. Entah apa yang dikerjakannya sejak tadi.“Enggak jemput siapa-siapa, kok, ke sini? Mau makan di sini? Atau jangan-jangan ... kamu mau pergi ke luar negeri lagi?”Ketika itu rasa bingungku bertambah
Aku dan Vivian berhadapan. Saling melemparkan tatapan kebencian dan kemarahan.“Coba ulangi lagi!” pintanya menggeram.“Iblis. Man-dul,” ulangku penuh penekanan dan kuakhiri dengan seringaian.Pada situasi seperti ini aku tidak ingin terlihat lemah. Aku bukan bawang putih atau cinderella yang bisa diinjak-injak. Aku Jena Dheandra Pratama, pendatang baru dalam dunia peribuan yang rela melakukan apa saja demi mendapatkan kembali anak pertamanya. Rela melakukan apa saja itu termasuk ...“Oh my God!LEPASIN RAMBUT GUE, JENA!”Menjambak rambut musuh dengan penuh nafsu. Seperti mencabut rumput.“Lepas aja sendiri kalau bisa,” balasku santai, tapi sambil mengejan untuk mengumpulkan seluruh tenaga ke cengkeraman kedua tanganku di rambutnya. Aku tidak peduli dengan rasa sakit yang menyodok-nyodok jahitan perutku. Aku juga tidak peduli pada teriakan Dewa yang memintaku melepaskan rambut istrinya. &l
Demi Tuhan aku berjanji tidak akan pernah meragukan ucapan orang lagi.Sesaat sebelum melangkahi pintu vila, aku meragukan cerita Jevin. Hatiku menolak percaya kalau Dewa memegang senjata api dan pecahan guci berserakan di mana-mana.Menurutku, ceritanya sangatlah tidak realistis. Di kehidupan nyata seperti ini mana ada orang yang mau berurusan dengan senjata api? Ini bukan era peperangan! Bukankah kepemilikan senjata api termasuk tindakan ilegal di Indonesia? Kurasa Dewa masih cukup waras untuk tidak melanggar hukum. Lagipula apa yang terjadi sampai pecahan guci berserakan di mana-mana? Apakah Dewa menembak guci itu sampai hancur lebur untuk menakuti semua orang? Atau Vivian mengamuk seperti orang gila karena tidak mau melepaskan Levin?Semua pertanyaan yang berjubelan dalam pikiran membuatku nyaris kehilangan kepercayaan kepada Jevin. Aku bahkan percaya kalau semua ini hanyalah prank.Semua orang berkomplot mengerjaiku. Semua polisi yang kutemui tadi hany
[Kamu ke mana, Na?]“Nyusul Jevin.”Aku memutar setir saat melintasi tikungan. Berkendara seorang diri tanpa penumpang. Mamaku menelpon ke HP-nya yang kucuri saat kabur dari rumah. Sementara HP-ku kutinggalkan di laci kamar yang kuncinya kubawa pergi.Sebenarnya bukan hanya HP Mama yang kubawa kabur, HP Mama Jennie, bibi-bibi di rumah, bahkan milik security pun kuboyong pergi. Total ada 8 HP di kursi sebelah yang kunonaktifkan semuanya.Kenapa aku mencuri? Nanti kujelaskan. Sekarang aku sedang membagi fokus menyalip truk dan bicara dengan Mama di telepon.[Astagaaaa! Anak ini bener-bener ... hish! Kamu, tuh, nyusahin orang tau enggak? Kenapa enggak duduk di rumah aja, sih? Jevin sama Papa pasti bisa bawa Levin pulang!]Aku berhasil menyalip truk. Beberapa meter di depan ada taksi argo dan mobil hitam yang menjadi sasaran selanjutnya.“Apa jaminannya, Ma?”Kuinjak pedal gas lebih dalam. Laju mobilku pun s
“I follow you.”Aku menggenggam pergelangan Jevin. Dia nyaris melangkah mengikuti rombongan tetua lainnya yang hendak berpencar ke jalanan mencari Vivian dan Dewa. Oh, bukan pasangan itu yang ingin dicari, melainkan Levinku. Persetan dengan pasangan sedeng itu. Kami semua tidak peduli. Fokus kami hanya berpusat pada keturunan Adendra dan Pratama.“No!” tolak Jevin, lengkap dengan gelengan.“Aku juga mau nyari Levin, Mas.” Aku memelas dan bangkit dari undakan tangga.“Jena! Nurut sama suami!” tegur Mamaku.“Iya. Kamu habis operasi, loh, kalau kamu lupa.” Mama Jennie ikut mengeroyokku.“Tapi, Maaa ....”“You must rest, Jena!Jangan nyusahin! Kalau kamu keras kepala dan tiba-tiba tumbang gimana? Pencarian Levin bisa terhambat gara-gara sebagian orang sibuk ngurusin kamu.”Okay,sepertinya Mamaku sudah tidak bisa dibantah. Matanya sudah me
“Loh? Kok, enggak ada?” tanyaku lebih kepada diri sendiri. Tidak ada satu batang hidung manusia pun yang kutemui di kamar Levin ketika Jevin membukakan pintu. Kami masih berpegangan tangan saat memeriksa boxLevin dan mendapati kekosongan di sana. Hanya ada bau minyak telon yang tertinggal di sana.“Pada ke mana, tuh, Pasutribawa anak kita?” tanyaku yang kali ini menatap Jevin.“Mas!” tegurku sambil mengguncang tangan kami. Anehnya dia masih bergeming seolah guncanganku tak berarti apa-apa.Ini aneh. Sekilas tatapan Jevin terlihat kosong, tapi saat kutelaah lebih lanjut sepertinya ada sorot kekhawatiran yang tersirat dalam matanya.'Ada apa? Apa dia mengkhawatirkan hal yang sama kayak yang gue rasain?'Ah, baiklah! Saat ini tidak ada gunanya menebak-nebak isi hati dan pikiran Jevin. Aku harus mencari Levin supaya bisa menyalurkan air susuku. Payudaraku sekarang lagi penuh-penuhnya dan itu membuatku mer
Sebenarnya aku tahu bahwa Jevin tipe lelaki yang masa bodoh dengan omongan orang. Kalau hanya dikatai ‘enggak kreatif’ dan ‘malas mikir’ kurasa hal itu tidak termasuk dalam kategori hinaan baginya. Lihatlah sekarang, wajahnya flat seperti biasa.Aku memberikan klarifikasi seperti tadi hanya sekadar menanggapi ucapan Dewa saja. Kasihan, ‘kan, kalau dia sudah berusaha memancing obrolan, tapi tidak ada yang mematuk umpan yang dia berikan?“Anak-anak desain nungguin di bawah, mau pamitan,” kata Jevin saat hendak mengambil alih Levin yang masih menyusu.“Lah? Mereka belum pulang, ya?”Kurasa sangat wajar jika Jevin mengabaikan pertanyaan yang jawabannya sudah terang benderang. Jelas-jelas Jevin baru saja bilang bahwa mereka mau pamitan, jadi bukankah itu artinya mereka belum pulang?Sekarang Levin sudah berpindah tangan kepada Jevin. Aku melepas apron setelah memastikan kancing bajuku sudah tertutup
“Boleh gendong enggak?”“Boleh, Mbak. Tapi saya kasih tarif, ya. Sejam 10 juta. Biar saya makin kaya, Mbak. Mau beli DisneylandHongkong soalnya.”Vivian terkekeh. “Sejuta, mah, gampang.”“Uwuw! Susah, ya, tawar-menawar sama menantu sultan, berapa aja dihajar asalkan pengin.”Aku dan Vivian tertawa bersama. Tentu saja obrolan tadi hanya bercanda. Mana mungkin aku menjadikan Levin Putra Adendra—putraku—sebagai alat penghasil uang? Toh, aku juga tidak kekurangan uang.Setelah 48 jam dikurung di inkubator dan menginap 3 hari di rumah sakit sambil menunggu pulihnya tenagaku, hari ini aku dan Levin sudah diperbolehkan pulang. Keluarga besarku mempersiapkan syukuran besar-besaran untuk menyambut kepulangan kami. Ya, sekalian dengan acara tasmiyah dan akikah katanya.Acara diadakan di kediaman Papaku, mengingat aku harus tinggal sementara dengan Mamaku untuk mempelajari cara merawat b
“Sorry,saya enggak bisa nepati janji.”Ucapan pembuka dari Jevin disambut gelengan kepala Vivian. Sejak lima menit yang lalu, Vivian dan Dewa datang ke kamarku. Tepatnya, Jevinlah yang memanggil mereka untuk menyelesaikan permasalahan anak yang masih mengambang.Vivian dan Dewa duduk di sofa, sementara Jevin berdiri tanpa menyandar pada apa pun. Dia berdiri tidak jauh dari ranjangku. Kedua tangannya terkantongi dengan baik.Aku nyaris tertawa saat tadi Vivian masuk kamar masih mengenakan bantalan fake pregnant.Besar perut palsunya itu kalah kecil dibandingkan perut asliku sebelum operasi. Hal yang membuat perutku tergelitik adalah cara berjalannya yang benar-benar meniru perempuan hamil, sedikit mengangkang dan memegang belakang pinggang seakan perut palsu itu benar-benar berat dan menyulitkannya dalam berjalan.Hal yang membuatku bertanya-tanya adalah apakah atribut itu masih diperlukan mengingat Dewa sudah mengetahui semua keboho