'BRENGSEK! KANEBO SAMPAH! COWOK KURANG AJAR!'
Kurasa makian itu belum cukup untuk menggambarkan kekesalanku pada Jevin. Bisa-bisanya dia menyeretku seperti karung beras saat mendatangi Papa Adendra dan rombongan keluarga Vivian. Apa dia tidak tahu bagaimana susahnya perempuan saat berjalan memakai heels setinggi 10 senti?
“Pelan-pelan, dong, Mas! Aku jalannya susah, nih!” protesku yang tak digubrisnya. Jangankan memelankan langkah, dia justru mempercepat ritme ayunan kakinya.
'Bangsat banget, nih, cowok! Semoga aja anak gue nanti bukan cowok. Gue enggak mau dia hidup berhati dingin dan kasar kayak papanya. Duh! Amit-amit banget pokoknya!'
“Hello, Jevin! How are you?” tanya lelaki paruh baya yang mengenakan kacamata. Dia mengulurkan tangan dan tersenyum ramah kepada Jevin.
Jevin menyambut uluran tangan itu dan menciumnya dengan sopan.
'Ugh! Sok gentleman banget dia! Lagaknya udah kayak anak yang punya sopan santun aja! Mau cari muka di depan calon mertua ke dua?'
“Fine, Om. Om sendiri gimana?”
'Astaga! Bisa basa-basi juga ternyata. Sejak kapan? Sejak dia selingkuh sama Vivian?'
“Ya, seperti yang kamu lihat, Om makin tua,” jawab mertua Vivian sambil tertawa berat, khas bapak-bapak konglomerat.
Untuk pertama kalinya aku bersyukur karena Papaku jarang tertawa. Papaku itu nyaris sama seperti Jevin, jarang bicara dan tertawa.
Dulu aku sering protes dengan kekakuan Papa yang sangat kaku. Aku sempat heran, kenapa hidupku tidak mirip dengan pepatah ‘buah jatuh tidak jauh dari pohonnya’? Kenapa menantu Papaku lebih mirip dengannya dibandingkan aku yang jelas-jelas putri kandungnya?
Namun, pada hari ini aku merasa beruntung memiliki Papa yang berbeda dari bapak-bapak lain karena dia tidak pernah bersikap palsu di depan orang lain. Dia tidak pernah tertawa hanya untuk menyenangkan orang lain. Yaaa, contohnya seperti Om Konglomerat yang satu ini.
“Ini Jena, menantu saya.”
Papa Adendra ternyata lebih peka daripada putranya. Dia buru-buru memperkenalkanku kepada tamu-tamu itu sebelum aku canggung sendiri.
“Ooooh, jadi ini, toh, putrinya dokter Kevin?” Perempuan paruh baya langsung memegang kedua pundakku dan memindai tubuhku dari atas kepala sampai ujung kaki. Aku merasa seperti barcode barang yang sedang di-scan oleh kasir. “Cantik banget, ya!” Dia membimbingku ber-’cipika-cipiki’. “Mirip banget sama dokter Kania,” tambahnya lagi saat menangkup wajahku.
'Ya iyalah mirip. Namanya juga anak. Bisa aja basa-basinya.'
Aku hanya tersenyum sosial, malas menyanggah atau berterima kasih atas pujian itu. Aku tidak ingin bersikap munafik seperti kebanyakan orang, merendah atau menolak pujian hanya untuk mendapat sanjungan yang lebih. Aku lebih suka dibilang sombong, tapi tidak munafik, daripada rendah diri, tapi dalam hati minta sanjungan lebih.
Setelah bersaliman dengan Pak Angkasa Prima serta istri dan putranya, aku ber-’cipika-cipiki’ lagi dengan Vivian yang menyambutku bagaikan sahabat dekat.
'‘Peres’ banget, nih, cewek! Sok akrab!'
“Maaf banget, ya, Vin, pas nikahan kemarin Om sama Tante lagi ada urusan Singapura, jadi enggak bisa datang,” kata Pak Angkasa Pura seraya menatap aku dan Jevin secara bergantian.
“No problem, Om.” Jevin menanggapi singkat dan ekspresi yang tidak sosial.
Setelah itu, Papa Adendra menggiring kami semua menuju ruang tamu. Aku dan Jevin berjalan paling belakang, tepat di belakang Vivian dan suami.
Aku sempat menyikut Jevin yang kembali menggenggam tanganku. Namun, dia hanya melirikku dari ekor matanya.
“Lepasin!” pintaku tanpa suara, hanya gerakan bibir yang kubuat sejelas-jelasnya. Aku juga mengangkat gengganggam tangan kami agar dia mengerti, apa yang kumaksud. Namun, dosa besar kalau Jevin sampai menuruti perintahku. Dia bahkan dengan mudahnya mendelik dan mengabaikanku dengan ekspresi yang anteng.
'Berengsek! Okay kalau lo maunya begini. Gue enggak bakal tanggung-tanggung dalam berakting.'
Kusentak tangannya secara kasar hingga genggamannya berhasil terlepas. Aku sempat melihat ekspresi kekagetan di wajahnya meski hanya sekejap. Wajah itu kembali kaku beberapa saat kemudian.
Namun, ekspresi kaget itu kembali lagi dengan durasi yang cukup lama ketika aku menarik tangannya dan menaruhnya di pinggangku. Dia sempat menarik tangannya, tapi tanganku menahannya lebih kuat. Kami juga beradu pelototan mata sebagai isyarat bahwa kami saling menentang. Namun, Jevin kali ini harus menerima kekalahan saat langkah orang-orang di depan kami sudah disambut oleh keluarganya yang lain.
“Kalau akting, tuh, jangan tanggung-tanggung!” bisikku ke telinganya dengan gerakan bibir yang kuminimalisir. “Kalau mau buat Vivian cemburu, Mas harus kerja lebih ekstra,” tambahku yang membuatnya menoleh dalam keadaan kening yang berkerut samar.
Detik berikutnya, sebelah alisnya terangkat. Ekspresi itu kumaknai bahwa dia berpura-pura tidak mengerti atau menyangkal ucapanku.
"Ngawur!"
Tanggapannya hanya kutanggapi dengan decihan dan tawa miring.
'Ngawur katanya? Dia kira gue ini cewek yang gampang di-baperin? Oh, Big no!'
Tepat pada saat Papa Adendra menyuruhku dan Kevin duduk di sebelahnya, aku mendapat telepon dari Armand Mustafa, fans fanatik Ayu Ting-Ting. Teleponnya kusambut dengan suka cita yang tiada tara karena aku tidak harus berkumpul dengan orang-orang membosankan, macam keluarga Jevin. Aku mengasingkan diri ke kolam renang agar bisa leluasa berbicara dengan Armand.
[Hello, Babe! Where are you?]
Nada bicaranya yang sudah seperti lelaki setengah matang membuatku merinding jijik. “Sampah! Geli gue!” sungutku sembari duduk di kursi ayunan yang terbuat dari bambu. “Gue lagi di museum siksa kubur,” tambahku sambil menopangkan kaki kanan di atas kaki kiri.
[Owh! Seru enggak, Babe? Ikutan, dong!]
“Cuss! OTW aja langsung. Gue tunggu!”
[HA-HA! Lo di mana, sih? Rumah mertua?]
“Di mana lagi?”
Aku balas bertanya dengan nada malas.
[Roman-romannya, lo kayak lagi bete banget, nih.]
“Bukan roman-romannya lagi, Mustafa. Gue memang bete banget.”
[Why?]
“Biasalah. Gedeg gue sama kanebo kering. Dia manfaatin gue buat bikin selingkuhannya 'cembokir'.”
[WHAT? Selingkuhan? Demi apa lo? Siapa orangnya?]
Aku menjauhkan HP dari telinga untuk menjaga gendang telingaku dari kerusakan akibat nyaringnya suara Armand.
“Enggak demi siapa-siapa dan bukan siapa-siapa juga,” jawabku sambil memindah posisi HP dari telinga kanan ke telinga kiri.
[Lo serius, Na?]
“Serius, bangsat!”
[Astaga! Gue benar-benar enggak nyangka kalau Bos Jevin berani selingkuh. Ck-ck-ck! Kasian banget lo, Na.]
“Makasih, loh, ya, atas keprihatinannya, tapi sayang gue enggak butuh. By the way, ada apa lo nelpon gue?”
[Tadinya gue mau ngajakin hangout. Tapi, yaaa, berhubung lo lagi di museum siksa kubur, ya, 'udin'-lah, gue cari partner yang free aja.]
“Lo enggak mau nyelametin gue dari situasi yang menyiksa jiwa ini, gitu?”
Entah kenapa ketika aku bertanya dengan niatan bercanda seperti ini hatiku malah terasa tercubit. Aku benar-benar berharap, ada seorang pahlawan yang membawaku pergi dari rumah keluarga Jevin Putra Adendra. Aku sudah tidak betah di sini. Apalagi semenjak kedatangan Vivian.
[Bentar-bentar! Lo bilang jiwa lo tersiksa? Lo serius, Na?]
Aku bisa mendengar nada keseriusan Armand. Sepertinya dia tidak menyangka bahwa aku berkata demikian.
[Jangan bilang lo udah jatuh ....]
“Tck! Jangan ngadi-ngadi, deh, Man!” Aku sudah bisa menebak lanjutan dari kalimatnya yang menggantung. “Ya, udah, deh. Kalau enggak ada yang mau diomongin lagi, gue mau menghadap—”
[Et-et-et! Don’t close my call! Gue masih mau ngobrol.]
Aku diam-diam tersenyum, senang karena akhirnya dia mau menyita waktuku agar bisa menghindari Jevin dan Vivian.
Wait-wait! Kenapa aku harus menghindari dua manusia itu? Memangnya apa salahku?
[Jujur, deh, Na, sebenarnya lo udah mulai suka, ‘kan, sama Bos Jevin?]
Aku mengembuskan napas melalui hidung sembari melipat tangan kanan di bawah dada. Aku juga menyandarkan punggungku agar lebih rileks dalam menghadapi pertanyaannya.
Armand adalah satu-satunya orang yang mengetahui perjanjianku dan Jevin—kecuali soal kehamilanku. Armand adalah wadah sampah terbaik yang selalu kugunakan untuk menumpahkan uneg-uneg-ku pada Jevin. Aku selalu curhat dengannya mengenai riak rumah tanggaku.
Yaaa, sebenarnya tidak banyak yang ku-curhat-kan karena aku dan Jevin memang jarang bertengkar dan jarang bicara. Dia hanya berbicara saat ada hal penting yang ingin disampaikan, sementara aku sering mengoceh, tapi sering pula diabaikan. Keabaian Jevinlah yang sering membuatku kesal hingga akhirnya menumpahkannya kepada Armand.
Armand juga mengetahui soal ketidakadaan cinta di antara kami. Aku menikah dengan Jevin hanya karena aji mumpung. Yaaa, mumpung ada yang melamar. Mumpung yang melamar adalah lelaki dari keluarga tajir melintir yang bibit, bebet, dan bobotnya terjamin. Kalau lamaran mamanya kutolak, aku khawatir menjadi perawan tua. Memangnya mertua mana yang mau meminangku jadi menantu sedangkan aku tidak memiliki modal apa pun selain rupa yang cantik, body yang sexy, karir yang pasti, dan orang tua yang berjabatan tinggi. Aku bahkan tidak bisa memasak, mencuci pakaian, mencuci piring, dan pekerjaan rumah lainnya. Jika mendapat menantu sepertiku, mertua lain di luar sana sudah pasti akan langsung menyuruh putranya menalakku.
“Gue suka uangnya,” jawabku diplomatis.
[Enggak! Lo suka orangnya!]
Aku mengernyit mendengar bantahannya. Namun, beberapa detik kemudian kernyitanku terurai dengan sendirinya.
“Semua orang juga suka Jevin kali, Man. Cuma cewek bego yang enggak suka sama dia. Dia punya segalanya kecuali kepekaan dan keramahan.”
[Enggak-enggak-enggak! Bukan suka dalam konteks tertarik yang gue maksud. Maksud gue, lo udah sayang sama dia. Bahkan mungkin lo udah ... cinta sama dia.]
Aku menggosok hidungku yang mendadak terasa gatal. Kuusap wajahku sembari memikirkan ‘tuduhan’ Armand yang semena-mena. Aku tidak bisa menjawab dengan cepat karena tidak ingin salah menyusun kalimat.
“Kalau sayang mungkin iya, Man,” akuku realistis. “Dia suami gue. Dia enggak pernah hitung-hitungan kalau soal kasih nafkah. Kalau soal kewajiban, dia udah menjalankan sesuai aturan hukum dan agama. Cuma cewek yang enggak punya hati yang enggak sayang sama suami kayak dia.” Aku sempat menjeda sebentar karena bingung sendiri dengan jawabanku. “Eh, by the way, kenapa kita jadi ngomong ini, sih? Alih topik aja, deh! Enggak seru!”
[Kenapa, sih, lo mau nikah sama dia?]
[Kenapa, sih, lo mau nikah sama dia?]'Astaga! Dia masih aja bahas kanebo kering.'“Lo kenapa nanya gitu, sih? Lo, ‘kan, udah tau jawabannya. Lagipula mana ada, sih, cowok yang mau sama gue? Cowok lain yang melihat gue pasti takut duluan. Takut di-matrein, takut diporotin, takut diinjak-injak sama keluarga besar gue. Kalau sama Jevin, ‘kan, aman. Starata status sosial gue ada di bawahnya dia. Jadi, dia enggak bakal merasa terinjak-injak sama keluarga gue.”Aku penggemar novel yang menceritakan tentang CEO-CEO yang jatuh cinta pada gadis miskin. Aku juga sudah sering menonton drakor dengan tema serupa. Permasalahan yang mereka hadapi pasti tidak jauh dari harga diri.Keluargaku bukan keluarga rakyat jelata yang kekurangan harta. Papaku direktur rumah sakit, sedangkan Mamaku dokter spesialis penyakit dalam. Intinya, keluargaku cukup terpandang di mata warga se-Kelurahan.Sementara itu, aku lebih banyak bergaul dengan kalangan
Meski sudah berusaha meyakinkan, nyatanya kedua wanita berstatus ‘Mama’ itu menertawakanku. Mungkin terlihat jelas di mata mereka bahwa aku sedang berbohong.Sekarang aku hanya bisa mengalihkan perhatian pada cangkir kosong di sebelah tangan kananku. Aku memanggil seseorang dan memintanya menuangkan kopi hitam di cangkirku. Setelah dituang, aku menenggaknya selagi panas. Aku tidak peduli dengan lidah dan tenggorokanku yang rasanya seperti terbakar.Saat kopiku habis, aku tertawa miris melihat Jevin dan Vivian keluar dari lift yang sama. Ketika itu, tidak hanya perutku yang terasa diaduk, tapi hatiku juga terasa ngilu, bahkan kepalaku mendadak pusing.Perutku bergejolak saat Jevin menarik kursi dan duduk di sebelahku. Aku langsung berdiri saat itu juga, membuat Mama, Mama Jennie, dan Jevin mendongak menatapku.“Sorry, Ma,” aku menatap Mamaku dan Mama Jennie secara bergantian, “aku sakit perut, nih,” dustaku sambil memega
“Lo kenapa mau-mau aja, sih, disuruh resign? Kalau lo enggak mau, harusnya lo berontak, dong! Bukannya lo udah mahir, ya, kalau soal pemberontakan?”Duduk memangku kardus berisi barang-barang, aku hanya bisa menghela napas mendengar pertanyaan atasan yang biasa kupanggil Bos Yudha. Dia sedang duduk bersandar di kursinya yang berukuran jumbo, itu pun masih tampak sesak karena bobot tubuhnya memang di ambang batas wajar. Dia seperti kesulitan duduk tegap karena perutnya yang buncit.'Ngomong-ngomong soal buncit, beberapa bulan ke depan mungkin perut gue bakalan sama kayak Bos Yudha. Bahkan mungkin lebih gede. Ah, bayanginnya aja rasanya begah banget.'“Woy!” tegurnya yang membuatku sedikit tersentak. “Yeee, malah melamun! Dengar enggak gue ngomong apa barusan?”“Dengar, Bos,” jawabku malas. “Tapi, ya, mau gimana lagi? Mas Jevin kalau udah ngomong A sampai kiamat pun enggak bakal berubah jadi B. Gue juga
Sepanjang perjalanan, entah sudah berapa kali supirku mendapat telepon dari Jevin. Ah, atau mungkin Vivian. Bahkan ada juga telepon dari rekan sesama supir di rumah. Mungkin Jevin yang memerintahkan semua supirnya untuk mencari keberadaan supirku.Ah, aku tidak peduli dengan Jevin. Dia tidak mungkin mengamuk hanya gara-gara aku tidak ke rumah sakit dan pergi tanpa izin, ‘kan?Sesampainya di Perpusda, aku mengambil beberapa buku fiksi agar terkesan seperti mayoritas pengunjung, padahal aku hanya ingin mendinginkan otak yang panas dan menenangkan hati yang gondok. Aku duduk di pojokan, tepatnya di meja panjang yang berada di bagian tengah. Aku membaringkan kepalaku di meja, tepatnya di atas tumpukan buku. Menghadapkan wajah ke dinding tembok. Juga memasang earphone wireless untuk mendengarkan musik. Kusetel lagu Geboy Mujaer milik Ayu Ting-Ting. Ini adalah lagu yang sering disetel Armand saat stress.'Digeboy-geboy mujaer, nang-ning-nong, nang-ning-nong, pat
“Jadi ngomong enggak, sih? Kok, pada diam?” Duduk di pinggir ranjangku, Vivian tampak bingung dan menggaruk kepala. Sementara itu, Jevin yang berdiri bersandar di lemari dengan kedua tangan terlipat di bawah dada juga tidak berkata apa-apa. Aku sudah tidak heran jika Jevin yang diam, tapi Vivian? Bukankah dia ke sini untuk memberitahuku sesuatu yang sulit dijelaskan Jevin sendirian? Lantas, kenapa dia ikut-ikutan diam? “Ini kalau enggak ada yang ngomong bakal kutinggal tidur, nih!” 'Emmmm, ancaman lo kayaknya enggak ekstrem, deh, Na. Masa ditinggal tidur doang? Ya, mana ngaruh? Coba kalau membunuh? Siapa tau ampuh.' Aku menggaruk rahang yang mendadak gatal. Sepertinya tidak ada gunanya mengancam kedua orang ini. Lihatlah! Keduanya masih bergeming. Bahkan tidak ada satu pun yang menatapku. Entah tidak berani atau belum siap. 'Kayaknya musti gue, deh, yang mengorek informasi.' “Kalian pernah pacaran, ya?” tanyaku seraya menatap k
Sekarang Jevin dan Vivian telah bertukar tempat. Jevin duduk di pinggir ranjang dalam posisi menghadapku, sementara Vivian berdiri di samping nakas. Dia tidak bergerak jauh dari kami.Jujur, saat ini hatiku ditikam oleh rasa sakit. Aku seorang istri dan calon mama. Saat pertama kali melihat hasil test pack, aku sudah berfantasi menimang dan menyusui anak. Aku bukan jenis perempuan yang tidak menyukai anak kecil. Pertumbuhan janin di rahimku begitu kutunggu-tunggu. So, wajar rasanya kalau pada detik ini aku merasa sakit hati mengetahui suamiku berpikir untuk menyerahkan anak kami kepada perempuan lain. Terlebih aku juga belum mengetahui apa alasan Jevin melakukan hal ini.“Jangan bilang kalau sejak awal alasan kamu menikahiku juga untuk ini, membantu Mbak Vivian?” tanyaku lagi, masih berharap bahwa setidaknya Jevin akan menggelengkan kepala meskipun tidak berkata ‘enggak’.“Sorry.”Satu kata itu seperti mantra sihir yang
Makan berdua, tapi rasanya seperti sendirian. Gara-gara pengakuan Armand yang mengejutkan, semua kosakata dalam otakku raib entah ke mana. Aku juga tidak tahu bagaimana harus bersikap. Daripada salah bertindak dan menyakiti perasaannya, diam adalah solusi terbaik sepanjang masa.Selesai menghabiskan dua burger, satu porsi kentang goreng, serta satu paket nasi dan ayam kentaki, aku benar-benar kekenyangan. Sepertinya Armand juga sama. Dia bersendawa nyaring sambil mengelus perutnya yang begah.Aku membereskan bekas kemasan makanan, sementara Armand pergi ke toilet. Kepergiannya membuatku menghela napas lega. Bukan apa-apa. Sepanjang acara makan, aku rasanya begitu sulit bernapas, khawatir jika adegan-adegan khilaf yang sering dikisahkan dalam novel terjadi dalam kisahku. Maksudku, aku takut Arman menciumku dan aku keenakan hingga kami terjerumus dalam perselingkuhan. Aku ke sini hanya untuk menghilangkan rasa sedihku, bukan menambah permasalahan baru dengan pria yang su
Aku membuka mata dalam keadaan disorientasi waktu dan tempat. Aku sempat lupa di mana tempatku berada saat ini sampai kemudian bau balsem yang terendus hidungku membuatku teringat dengan Armand.Aku tidak sadar, sejak kapan mulai tertidur. Aku hanya tahu, ketika membuka mata, semua badanku justru terasa semakin pegal dari sebelumnya. Suasana kamar juga tampak temaram. Hanya sedikit cahaya kuning yang masuk melalui kaca jendela yang belum tertutup tirai.Kutengok jam bulat yang menempel tinggi di tembok seberang kasur. Ternyata sudah jam enam.'Udah sore ternyata. Berarti gue lama banget tidurnya.'Aku bangun dalam keadaan kepala yang pening. Sebenarnya aku ingin kembali berbaring. Namun, mengingat Armand terpaksa mengungsi ke kamar tetangga demi memberikanku tempat yang nyaman untuk tidur, aku jadi merasa tidak memiliki waktu untuk hanya sekadar menunggu peningku reda.Aku turun dari kasur, menyalakan lampu, dan menutup tirai. Aku juga merapikan ka
“Lah? Kok, ke sini? Mau jemput siapa?”Aku terheran-heran saat mobil berhenti di depan pelataran airport. Saat mengajakku pergi, Jevin memang tidak mengatakan ke mana tujuan kami. Bahkan ketika kutanya, dia mengeluarkan jurus andalannya, yakni diam seribu bahasa. Dia hanya menyuruhku mengenakan jaket dan membalut Levin dengan beberapa lapis selimut. Sekarang bayiku itu tertidur lelap di kursi paling belakang bersama Hanin, baby sitter-nya.Saat aku dirawat di rumah sakit, Jevin memutusan memakai jasa baby sitteruntuk meringankan bebanku. Aku setuju-setuju saja karena waktu itu kondisiku memang tidak bisa berbuat banyak untuk merawat Levin.“Enggak jemput siapa-siapa,” jawabnya tanpa mengalihkan fokus dari tablet. Entah apa yang dikerjakannya sejak tadi.“Enggak jemput siapa-siapa, kok, ke sini? Mau makan di sini? Atau jangan-jangan ... kamu mau pergi ke luar negeri lagi?”Ketika itu rasa bingungku bertambah
Aku dan Vivian berhadapan. Saling melemparkan tatapan kebencian dan kemarahan.“Coba ulangi lagi!” pintanya menggeram.“Iblis. Man-dul,” ulangku penuh penekanan dan kuakhiri dengan seringaian.Pada situasi seperti ini aku tidak ingin terlihat lemah. Aku bukan bawang putih atau cinderella yang bisa diinjak-injak. Aku Jena Dheandra Pratama, pendatang baru dalam dunia peribuan yang rela melakukan apa saja demi mendapatkan kembali anak pertamanya. Rela melakukan apa saja itu termasuk ...“Oh my God!LEPASIN RAMBUT GUE, JENA!”Menjambak rambut musuh dengan penuh nafsu. Seperti mencabut rumput.“Lepas aja sendiri kalau bisa,” balasku santai, tapi sambil mengejan untuk mengumpulkan seluruh tenaga ke cengkeraman kedua tanganku di rambutnya. Aku tidak peduli dengan rasa sakit yang menyodok-nyodok jahitan perutku. Aku juga tidak peduli pada teriakan Dewa yang memintaku melepaskan rambut istrinya. &l
Demi Tuhan aku berjanji tidak akan pernah meragukan ucapan orang lagi.Sesaat sebelum melangkahi pintu vila, aku meragukan cerita Jevin. Hatiku menolak percaya kalau Dewa memegang senjata api dan pecahan guci berserakan di mana-mana.Menurutku, ceritanya sangatlah tidak realistis. Di kehidupan nyata seperti ini mana ada orang yang mau berurusan dengan senjata api? Ini bukan era peperangan! Bukankah kepemilikan senjata api termasuk tindakan ilegal di Indonesia? Kurasa Dewa masih cukup waras untuk tidak melanggar hukum. Lagipula apa yang terjadi sampai pecahan guci berserakan di mana-mana? Apakah Dewa menembak guci itu sampai hancur lebur untuk menakuti semua orang? Atau Vivian mengamuk seperti orang gila karena tidak mau melepaskan Levin?Semua pertanyaan yang berjubelan dalam pikiran membuatku nyaris kehilangan kepercayaan kepada Jevin. Aku bahkan percaya kalau semua ini hanyalah prank.Semua orang berkomplot mengerjaiku. Semua polisi yang kutemui tadi hany
[Kamu ke mana, Na?]“Nyusul Jevin.”Aku memutar setir saat melintasi tikungan. Berkendara seorang diri tanpa penumpang. Mamaku menelpon ke HP-nya yang kucuri saat kabur dari rumah. Sementara HP-ku kutinggalkan di laci kamar yang kuncinya kubawa pergi.Sebenarnya bukan hanya HP Mama yang kubawa kabur, HP Mama Jennie, bibi-bibi di rumah, bahkan milik security pun kuboyong pergi. Total ada 8 HP di kursi sebelah yang kunonaktifkan semuanya.Kenapa aku mencuri? Nanti kujelaskan. Sekarang aku sedang membagi fokus menyalip truk dan bicara dengan Mama di telepon.[Astagaaaa! Anak ini bener-bener ... hish! Kamu, tuh, nyusahin orang tau enggak? Kenapa enggak duduk di rumah aja, sih? Jevin sama Papa pasti bisa bawa Levin pulang!]Aku berhasil menyalip truk. Beberapa meter di depan ada taksi argo dan mobil hitam yang menjadi sasaran selanjutnya.“Apa jaminannya, Ma?”Kuinjak pedal gas lebih dalam. Laju mobilku pun s
“I follow you.”Aku menggenggam pergelangan Jevin. Dia nyaris melangkah mengikuti rombongan tetua lainnya yang hendak berpencar ke jalanan mencari Vivian dan Dewa. Oh, bukan pasangan itu yang ingin dicari, melainkan Levinku. Persetan dengan pasangan sedeng itu. Kami semua tidak peduli. Fokus kami hanya berpusat pada keturunan Adendra dan Pratama.“No!” tolak Jevin, lengkap dengan gelengan.“Aku juga mau nyari Levin, Mas.” Aku memelas dan bangkit dari undakan tangga.“Jena! Nurut sama suami!” tegur Mamaku.“Iya. Kamu habis operasi, loh, kalau kamu lupa.” Mama Jennie ikut mengeroyokku.“Tapi, Maaa ....”“You must rest, Jena!Jangan nyusahin! Kalau kamu keras kepala dan tiba-tiba tumbang gimana? Pencarian Levin bisa terhambat gara-gara sebagian orang sibuk ngurusin kamu.”Okay,sepertinya Mamaku sudah tidak bisa dibantah. Matanya sudah me
“Loh? Kok, enggak ada?” tanyaku lebih kepada diri sendiri. Tidak ada satu batang hidung manusia pun yang kutemui di kamar Levin ketika Jevin membukakan pintu. Kami masih berpegangan tangan saat memeriksa boxLevin dan mendapati kekosongan di sana. Hanya ada bau minyak telon yang tertinggal di sana.“Pada ke mana, tuh, Pasutribawa anak kita?” tanyaku yang kali ini menatap Jevin.“Mas!” tegurku sambil mengguncang tangan kami. Anehnya dia masih bergeming seolah guncanganku tak berarti apa-apa.Ini aneh. Sekilas tatapan Jevin terlihat kosong, tapi saat kutelaah lebih lanjut sepertinya ada sorot kekhawatiran yang tersirat dalam matanya.'Ada apa? Apa dia mengkhawatirkan hal yang sama kayak yang gue rasain?'Ah, baiklah! Saat ini tidak ada gunanya menebak-nebak isi hati dan pikiran Jevin. Aku harus mencari Levin supaya bisa menyalurkan air susuku. Payudaraku sekarang lagi penuh-penuhnya dan itu membuatku mer
Sebenarnya aku tahu bahwa Jevin tipe lelaki yang masa bodoh dengan omongan orang. Kalau hanya dikatai ‘enggak kreatif’ dan ‘malas mikir’ kurasa hal itu tidak termasuk dalam kategori hinaan baginya. Lihatlah sekarang, wajahnya flat seperti biasa.Aku memberikan klarifikasi seperti tadi hanya sekadar menanggapi ucapan Dewa saja. Kasihan, ‘kan, kalau dia sudah berusaha memancing obrolan, tapi tidak ada yang mematuk umpan yang dia berikan?“Anak-anak desain nungguin di bawah, mau pamitan,” kata Jevin saat hendak mengambil alih Levin yang masih menyusu.“Lah? Mereka belum pulang, ya?”Kurasa sangat wajar jika Jevin mengabaikan pertanyaan yang jawabannya sudah terang benderang. Jelas-jelas Jevin baru saja bilang bahwa mereka mau pamitan, jadi bukankah itu artinya mereka belum pulang?Sekarang Levin sudah berpindah tangan kepada Jevin. Aku melepas apron setelah memastikan kancing bajuku sudah tertutup
“Boleh gendong enggak?”“Boleh, Mbak. Tapi saya kasih tarif, ya. Sejam 10 juta. Biar saya makin kaya, Mbak. Mau beli DisneylandHongkong soalnya.”Vivian terkekeh. “Sejuta, mah, gampang.”“Uwuw! Susah, ya, tawar-menawar sama menantu sultan, berapa aja dihajar asalkan pengin.”Aku dan Vivian tertawa bersama. Tentu saja obrolan tadi hanya bercanda. Mana mungkin aku menjadikan Levin Putra Adendra—putraku—sebagai alat penghasil uang? Toh, aku juga tidak kekurangan uang.Setelah 48 jam dikurung di inkubator dan menginap 3 hari di rumah sakit sambil menunggu pulihnya tenagaku, hari ini aku dan Levin sudah diperbolehkan pulang. Keluarga besarku mempersiapkan syukuran besar-besaran untuk menyambut kepulangan kami. Ya, sekalian dengan acara tasmiyah dan akikah katanya.Acara diadakan di kediaman Papaku, mengingat aku harus tinggal sementara dengan Mamaku untuk mempelajari cara merawat b
“Sorry,saya enggak bisa nepati janji.”Ucapan pembuka dari Jevin disambut gelengan kepala Vivian. Sejak lima menit yang lalu, Vivian dan Dewa datang ke kamarku. Tepatnya, Jevinlah yang memanggil mereka untuk menyelesaikan permasalahan anak yang masih mengambang.Vivian dan Dewa duduk di sofa, sementara Jevin berdiri tanpa menyandar pada apa pun. Dia berdiri tidak jauh dari ranjangku. Kedua tangannya terkantongi dengan baik.Aku nyaris tertawa saat tadi Vivian masuk kamar masih mengenakan bantalan fake pregnant.Besar perut palsunya itu kalah kecil dibandingkan perut asliku sebelum operasi. Hal yang membuat perutku tergelitik adalah cara berjalannya yang benar-benar meniru perempuan hamil, sedikit mengangkang dan memegang belakang pinggang seakan perut palsu itu benar-benar berat dan menyulitkannya dalam berjalan.Hal yang membuatku bertanya-tanya adalah apakah atribut itu masih diperlukan mengingat Dewa sudah mengetahui semua keboho