Sekarang Jevin dan Vivian telah bertukar tempat. Jevin duduk di pinggir ranjang dalam posisi menghadapku, sementara Vivian berdiri di samping nakas. Dia tidak bergerak jauh dari kami.
Jujur, saat ini hatiku ditikam oleh rasa sakit. Aku seorang istri dan calon mama. Saat pertama kali melihat hasil test pack, aku sudah berfantasi menimang dan menyusui anak. Aku bukan jenis perempuan yang tidak menyukai anak kecil. Pertumbuhan janin di rahimku begitu kutunggu-tunggu. So, wajar rasanya kalau pada detik ini aku merasa sakit hati mengetahui suamiku berpikir untuk menyerahkan anak kami kepada perempuan lain. Terlebih aku juga belum mengetahui apa alasan Jevin melakukan hal ini.
“Jangan bilang kalau sejak awal alasan kamu menikahiku juga untuk ini, membantu Mbak Vivian?” tanyaku lagi, masih berharap bahwa setidaknya Jevin akan menggelengkan kepala meskipun tidak berkata ‘enggak’.
“Sorry.”
Satu kata itu seperti mantra sihir yang
Makan berdua, tapi rasanya seperti sendirian. Gara-gara pengakuan Armand yang mengejutkan, semua kosakata dalam otakku raib entah ke mana. Aku juga tidak tahu bagaimana harus bersikap. Daripada salah bertindak dan menyakiti perasaannya, diam adalah solusi terbaik sepanjang masa.Selesai menghabiskan dua burger, satu porsi kentang goreng, serta satu paket nasi dan ayam kentaki, aku benar-benar kekenyangan. Sepertinya Armand juga sama. Dia bersendawa nyaring sambil mengelus perutnya yang begah.Aku membereskan bekas kemasan makanan, sementara Armand pergi ke toilet. Kepergiannya membuatku menghela napas lega. Bukan apa-apa. Sepanjang acara makan, aku rasanya begitu sulit bernapas, khawatir jika adegan-adegan khilaf yang sering dikisahkan dalam novel terjadi dalam kisahku. Maksudku, aku takut Arman menciumku dan aku keenakan hingga kami terjerumus dalam perselingkuhan. Aku ke sini hanya untuk menghilangkan rasa sedihku, bukan menambah permasalahan baru dengan pria yang su
Aku membuka mata dalam keadaan disorientasi waktu dan tempat. Aku sempat lupa di mana tempatku berada saat ini sampai kemudian bau balsem yang terendus hidungku membuatku teringat dengan Armand.Aku tidak sadar, sejak kapan mulai tertidur. Aku hanya tahu, ketika membuka mata, semua badanku justru terasa semakin pegal dari sebelumnya. Suasana kamar juga tampak temaram. Hanya sedikit cahaya kuning yang masuk melalui kaca jendela yang belum tertutup tirai.Kutengok jam bulat yang menempel tinggi di tembok seberang kasur. Ternyata sudah jam enam.'Udah sore ternyata. Berarti gue lama banget tidurnya.'Aku bangun dalam keadaan kepala yang pening. Sebenarnya aku ingin kembali berbaring. Namun, mengingat Armand terpaksa mengungsi ke kamar tetangga demi memberikanku tempat yang nyaman untuk tidur, aku jadi merasa tidak memiliki waktu untuk hanya sekadar menunggu peningku reda.Aku turun dari kasur, menyalakan lampu, dan menutup tirai. Aku juga merapikan ka
“Mas aku enggak mau pergi,” rengekku sambil mengguncang lengan Jevin yang sudah terlihat tampan dan rapi dengan setelan jas formal. Aku sendiri sudah mengenakan dress longgar warna hitam. Aku berubah pikiran di detik-detik terakhir menjelang kepergian kami ke pesta syukuran kehamilan—palsu—Vivian.Kemarin malam, Jevin mendapat telepon dari Dewa--suaminya Vivian. Dia mengundang kami ke pestanya. Jevin yang ketika itu menyalakan loadspeaker membuatku yang berbaring di sampingnya ikut mendengar semua yang dikatakan Dewa. Lelaki itu kedengarannya sangat senang dan excited dengan kabar kehamilan-palsu-sang istri. Dia sampai mencurhatkan momen bahagia yang dia rasakan ketika Vivian memperlihatkan test pack positif. Entah dari mana Vivian mendapatkan test pack palsu itu.“Mas,” rengekku lagi. Kali ini sambil menghentak kaki. “Aku pengin rebahan aja di kamar. Mas aja, ya, yang pergi.” Aku kembali membujuknya agar tidak membawaku
Selesai merapikan diri, kami keluar mobil berbarengan. Syukurlah supir tidak sok mengide membukakan pintu sejak mobil berhenti. Kalau tidak, aku dan Jevin mungkin sama-sama kelabakan saat menaikkan underwear. Supir yang pengertian itu ternyata sabar menunggu di depan pintuku.Sesampainya di ballroom hotel yang didekorasi dengan mewah, aku kembali manyun saat Vivian dan Dewa menyambut kedatangan kami.“Kirain enggak datang, habisnya ditungguin dari tadi enggak nongol-nongol,” kata Vivian seraya menarikku untuk cipika-cipiki.Aku tidak menjawab. Bahkan tersenyum pun malas. Ya, walaupun aku menyetujui memberikan anakku padanya, tetap saja aku tidak menyukai tindakannya yang membohongi suami, mertua, dan seluruh keluarga besarnya.Menurutku, dia akan mendapat masalah besar jika kebohongannya terbongkar. Permasalahan itu juga bisa menyeretku dan Jevin. Hal itulah yang membuatku tidak bisa tersenyum palsu lagi kepada Vivian. Aku muak melihatnya.
“Mas! Mas Jevin! Maaaaaas!”Aku meringis sebal karena panggilanku tak ditanggapi, padahal lelaki itu tidak sibuk. Dia justru sedang menonton berita politik yang menyebalkan.“Mas, kalau istri manggil itu nyahut, dong! Aku, ‘kan, butuh perhatian,” protesku yang pada akhirnya ditanggapi dengan lirikan datar. Itu pun singkat saja. Setelah itu, dia kembali menatap layar datar di depan sana.Aku menghela napas, lalu menopang pipi sambil memasang muka cemberut. Aku menyerah. Mengajak Jevin bicara di saat dia tidak mau hanya akan membuang waktuku. Mending aku mengisi kekosongan waktu dengan mengkhayal makan durian atau minum air kelapa sambil memandangi gulungan ombak di laut.Aku beranjak dari sofa. Niatnya, sih, ingin mengambil HP yang tertinggal di kamar, lalu kembali lagi. Namun, langkahku tercekal gara-gara tangan yang mencengkeram pergelanganku. Tentu saja tangan itu milik Jevin.“Kalau mau bicara atau minta sesua
“Tck! Kok, kepala gue pusing banget, sih?” dumalku sambil memijat dahi. Aku sedang berdiri di depan wastafel kamar mandi. Salah satu tanganku berpegangan di putaran keran karena sebelumnya tubuhku sempat merasa oleng.Sebelumnya, setelah sarapan bubur ayam buatan Bi Rahmah, aku memuntahkan semua isi perutku. Biasalah, morning sick.Setelah merasa lebih baik, rencananya aku ingin meninggalkan kamar mandi. Nyatanya hingga detik ini aku masih terkurung dalam kamar mandi yang terkunci karena tubuhku merasa terombang-ambing seperti terbawa arus ombak ketika berada dalam kapal.Ini memang bukan yang pertama kali. Mual, muntah, dan pusing adalah makanan sehari-hariku sejak hamil. Namun, kali ini rasa pusingku lebih parah dari sebelumnya. Aku bahkan merasa gemetaran. Debaran jantungku pun lebih cepat dari keadaan normal.“Duduk dulu, deh,” putusku sambil berpindah perlahan ke bawah wastafel. Aku duduk dengan kaki berselonjor, mata terpejam
HB rendah. Itulah satu-satunya alasan pihak rumah sakit menyarankanku di-opname. Alasan itu jugalah yang katanya membuatku mengalami pusing parah.Sebenarnya jika tidak ada alasan itu pun Jevin akan tetap menginapkanku di rumah sakit ini. Dia pasti malas merawatku sendirian. Setidaknya kalau di sini, ‘kan, ada suster-suster cantik yang stand bymerawatku.Oh, ya. Soal bercak kecokelatan di celana dalamku, kata dokter itu bukanlah masalah besar. Janinku baik-baik saja. Aku hanya perlu beristirahat dan menerima beberapa suntikan untuk menaikkan HB-ku.“Mas, kamu enggak ngomong sama Mama-Papaku, ‘kan?” tanyaku ketika Jevin masuk kamar inap sambil memainkan HP. Barusan dia keluaruntuk menjawab telepon. Entah dari siapa.Jevin menggeleng. “Mau saya kasih tau?”“Kalau kamu mau aku ketahuan hamil sih, it’s okay,” tantangku sambil menggedikkan bahu.Kupikir Jevin tidak memberikan balas
Aku :Kangeeeeeeen!Pulang dong MasGak ada kamu, gak ada yg enak dipelukAku membekap mulut, malu sendiri membaca chat yang kukirimkan pada Jevin.“Gatel banget, sih, gue? Iiii!” Aku bergidik, merasa jijik pada diri sendiri.Ini adalah hari ke dua Jevin berada di Jepang. Katanya, sih, ada pertemuan dengan calon investor yang tertarik ingin memberikan modal tambahan kepada Stencilindo. Aku tidak bertanya dia pergi bersama siapa karena teringat dengan syarat pernikahan. Aku juga tidak ingin menanyakan berapa lama dia di sana. Aku takut jika mengetahuinya maka aku akan menghabiskan hari untuk menghitung mundur waktu yang terasa lambat. So,kupikir lebih baik tidak tahu daripada terus menunggu.Aku meletakkan HP-ku di meja, lalu mengambil remote untuk menyalakan TV. Kebetulan saat TV menyala, drama favoritku sedang tayang, Mr. Queen. Aku langsung exciteddan memasang mode menyimak. Ya, walaupun aku tid
“Lah? Kok, ke sini? Mau jemput siapa?”Aku terheran-heran saat mobil berhenti di depan pelataran airport. Saat mengajakku pergi, Jevin memang tidak mengatakan ke mana tujuan kami. Bahkan ketika kutanya, dia mengeluarkan jurus andalannya, yakni diam seribu bahasa. Dia hanya menyuruhku mengenakan jaket dan membalut Levin dengan beberapa lapis selimut. Sekarang bayiku itu tertidur lelap di kursi paling belakang bersama Hanin, baby sitter-nya.Saat aku dirawat di rumah sakit, Jevin memutusan memakai jasa baby sitteruntuk meringankan bebanku. Aku setuju-setuju saja karena waktu itu kondisiku memang tidak bisa berbuat banyak untuk merawat Levin.“Enggak jemput siapa-siapa,” jawabnya tanpa mengalihkan fokus dari tablet. Entah apa yang dikerjakannya sejak tadi.“Enggak jemput siapa-siapa, kok, ke sini? Mau makan di sini? Atau jangan-jangan ... kamu mau pergi ke luar negeri lagi?”Ketika itu rasa bingungku bertambah
Aku dan Vivian berhadapan. Saling melemparkan tatapan kebencian dan kemarahan.“Coba ulangi lagi!” pintanya menggeram.“Iblis. Man-dul,” ulangku penuh penekanan dan kuakhiri dengan seringaian.Pada situasi seperti ini aku tidak ingin terlihat lemah. Aku bukan bawang putih atau cinderella yang bisa diinjak-injak. Aku Jena Dheandra Pratama, pendatang baru dalam dunia peribuan yang rela melakukan apa saja demi mendapatkan kembali anak pertamanya. Rela melakukan apa saja itu termasuk ...“Oh my God!LEPASIN RAMBUT GUE, JENA!”Menjambak rambut musuh dengan penuh nafsu. Seperti mencabut rumput.“Lepas aja sendiri kalau bisa,” balasku santai, tapi sambil mengejan untuk mengumpulkan seluruh tenaga ke cengkeraman kedua tanganku di rambutnya. Aku tidak peduli dengan rasa sakit yang menyodok-nyodok jahitan perutku. Aku juga tidak peduli pada teriakan Dewa yang memintaku melepaskan rambut istrinya. &l
Demi Tuhan aku berjanji tidak akan pernah meragukan ucapan orang lagi.Sesaat sebelum melangkahi pintu vila, aku meragukan cerita Jevin. Hatiku menolak percaya kalau Dewa memegang senjata api dan pecahan guci berserakan di mana-mana.Menurutku, ceritanya sangatlah tidak realistis. Di kehidupan nyata seperti ini mana ada orang yang mau berurusan dengan senjata api? Ini bukan era peperangan! Bukankah kepemilikan senjata api termasuk tindakan ilegal di Indonesia? Kurasa Dewa masih cukup waras untuk tidak melanggar hukum. Lagipula apa yang terjadi sampai pecahan guci berserakan di mana-mana? Apakah Dewa menembak guci itu sampai hancur lebur untuk menakuti semua orang? Atau Vivian mengamuk seperti orang gila karena tidak mau melepaskan Levin?Semua pertanyaan yang berjubelan dalam pikiran membuatku nyaris kehilangan kepercayaan kepada Jevin. Aku bahkan percaya kalau semua ini hanyalah prank.Semua orang berkomplot mengerjaiku. Semua polisi yang kutemui tadi hany
[Kamu ke mana, Na?]“Nyusul Jevin.”Aku memutar setir saat melintasi tikungan. Berkendara seorang diri tanpa penumpang. Mamaku menelpon ke HP-nya yang kucuri saat kabur dari rumah. Sementara HP-ku kutinggalkan di laci kamar yang kuncinya kubawa pergi.Sebenarnya bukan hanya HP Mama yang kubawa kabur, HP Mama Jennie, bibi-bibi di rumah, bahkan milik security pun kuboyong pergi. Total ada 8 HP di kursi sebelah yang kunonaktifkan semuanya.Kenapa aku mencuri? Nanti kujelaskan. Sekarang aku sedang membagi fokus menyalip truk dan bicara dengan Mama di telepon.[Astagaaaa! Anak ini bener-bener ... hish! Kamu, tuh, nyusahin orang tau enggak? Kenapa enggak duduk di rumah aja, sih? Jevin sama Papa pasti bisa bawa Levin pulang!]Aku berhasil menyalip truk. Beberapa meter di depan ada taksi argo dan mobil hitam yang menjadi sasaran selanjutnya.“Apa jaminannya, Ma?”Kuinjak pedal gas lebih dalam. Laju mobilku pun s
“I follow you.”Aku menggenggam pergelangan Jevin. Dia nyaris melangkah mengikuti rombongan tetua lainnya yang hendak berpencar ke jalanan mencari Vivian dan Dewa. Oh, bukan pasangan itu yang ingin dicari, melainkan Levinku. Persetan dengan pasangan sedeng itu. Kami semua tidak peduli. Fokus kami hanya berpusat pada keturunan Adendra dan Pratama.“No!” tolak Jevin, lengkap dengan gelengan.“Aku juga mau nyari Levin, Mas.” Aku memelas dan bangkit dari undakan tangga.“Jena! Nurut sama suami!” tegur Mamaku.“Iya. Kamu habis operasi, loh, kalau kamu lupa.” Mama Jennie ikut mengeroyokku.“Tapi, Maaa ....”“You must rest, Jena!Jangan nyusahin! Kalau kamu keras kepala dan tiba-tiba tumbang gimana? Pencarian Levin bisa terhambat gara-gara sebagian orang sibuk ngurusin kamu.”Okay,sepertinya Mamaku sudah tidak bisa dibantah. Matanya sudah me
“Loh? Kok, enggak ada?” tanyaku lebih kepada diri sendiri. Tidak ada satu batang hidung manusia pun yang kutemui di kamar Levin ketika Jevin membukakan pintu. Kami masih berpegangan tangan saat memeriksa boxLevin dan mendapati kekosongan di sana. Hanya ada bau minyak telon yang tertinggal di sana.“Pada ke mana, tuh, Pasutribawa anak kita?” tanyaku yang kali ini menatap Jevin.“Mas!” tegurku sambil mengguncang tangan kami. Anehnya dia masih bergeming seolah guncanganku tak berarti apa-apa.Ini aneh. Sekilas tatapan Jevin terlihat kosong, tapi saat kutelaah lebih lanjut sepertinya ada sorot kekhawatiran yang tersirat dalam matanya.'Ada apa? Apa dia mengkhawatirkan hal yang sama kayak yang gue rasain?'Ah, baiklah! Saat ini tidak ada gunanya menebak-nebak isi hati dan pikiran Jevin. Aku harus mencari Levin supaya bisa menyalurkan air susuku. Payudaraku sekarang lagi penuh-penuhnya dan itu membuatku mer
Sebenarnya aku tahu bahwa Jevin tipe lelaki yang masa bodoh dengan omongan orang. Kalau hanya dikatai ‘enggak kreatif’ dan ‘malas mikir’ kurasa hal itu tidak termasuk dalam kategori hinaan baginya. Lihatlah sekarang, wajahnya flat seperti biasa.Aku memberikan klarifikasi seperti tadi hanya sekadar menanggapi ucapan Dewa saja. Kasihan, ‘kan, kalau dia sudah berusaha memancing obrolan, tapi tidak ada yang mematuk umpan yang dia berikan?“Anak-anak desain nungguin di bawah, mau pamitan,” kata Jevin saat hendak mengambil alih Levin yang masih menyusu.“Lah? Mereka belum pulang, ya?”Kurasa sangat wajar jika Jevin mengabaikan pertanyaan yang jawabannya sudah terang benderang. Jelas-jelas Jevin baru saja bilang bahwa mereka mau pamitan, jadi bukankah itu artinya mereka belum pulang?Sekarang Levin sudah berpindah tangan kepada Jevin. Aku melepas apron setelah memastikan kancing bajuku sudah tertutup
“Boleh gendong enggak?”“Boleh, Mbak. Tapi saya kasih tarif, ya. Sejam 10 juta. Biar saya makin kaya, Mbak. Mau beli DisneylandHongkong soalnya.”Vivian terkekeh. “Sejuta, mah, gampang.”“Uwuw! Susah, ya, tawar-menawar sama menantu sultan, berapa aja dihajar asalkan pengin.”Aku dan Vivian tertawa bersama. Tentu saja obrolan tadi hanya bercanda. Mana mungkin aku menjadikan Levin Putra Adendra—putraku—sebagai alat penghasil uang? Toh, aku juga tidak kekurangan uang.Setelah 48 jam dikurung di inkubator dan menginap 3 hari di rumah sakit sambil menunggu pulihnya tenagaku, hari ini aku dan Levin sudah diperbolehkan pulang. Keluarga besarku mempersiapkan syukuran besar-besaran untuk menyambut kepulangan kami. Ya, sekalian dengan acara tasmiyah dan akikah katanya.Acara diadakan di kediaman Papaku, mengingat aku harus tinggal sementara dengan Mamaku untuk mempelajari cara merawat b
“Sorry,saya enggak bisa nepati janji.”Ucapan pembuka dari Jevin disambut gelengan kepala Vivian. Sejak lima menit yang lalu, Vivian dan Dewa datang ke kamarku. Tepatnya, Jevinlah yang memanggil mereka untuk menyelesaikan permasalahan anak yang masih mengambang.Vivian dan Dewa duduk di sofa, sementara Jevin berdiri tanpa menyandar pada apa pun. Dia berdiri tidak jauh dari ranjangku. Kedua tangannya terkantongi dengan baik.Aku nyaris tertawa saat tadi Vivian masuk kamar masih mengenakan bantalan fake pregnant.Besar perut palsunya itu kalah kecil dibandingkan perut asliku sebelum operasi. Hal yang membuat perutku tergelitik adalah cara berjalannya yang benar-benar meniru perempuan hamil, sedikit mengangkang dan memegang belakang pinggang seakan perut palsu itu benar-benar berat dan menyulitkannya dalam berjalan.Hal yang membuatku bertanya-tanya adalah apakah atribut itu masih diperlukan mengingat Dewa sudah mengetahui semua keboho