Patah hati membuat Allan memilih hidup seolah menjadi pertapa. Hanya tinggal di dalam kamar dan rumahnya, enggan bergaul dengan siapapun. Hatinya begitu terluka dikhianati wanita yang dia yakin akan menjadi pendamping hidupnya. Kehadiran Mimi, gadis lulusan SMA, anak sahabat mamanya, yang tinggal di rumahnya karena harus kuliah di kota tempatnya tinggal, memberi warna yang berbeda. Perlahan cinta kembali hadir di hati Allan. Sayang, Mimi justru jatuh hati pada kakak tingkatnya di kampus, Nehan. Bisakah Allan meraih hati Mimi? Mungkinkah Mimi akan meninggalkan Nehan demi Allan, agar pria itu bisa mendapatkan kehidupannya kembali? Ikuti kisah manis Allan dan Mimi, penuh liku, haru, dan kejutan tak terduga.
View MoreBrraaakkk!!!
Terdengar suara seperti benda dilempar dengan keras dari arah kamar depan rumah mungil dan cantik itu. Segera Velia mematikan kompor dan lari menuju kamar depan.
Dia membuka pintu dan masuk ke dalam. Berbagai benda berserakan di lantai. Sedangkan anaknya, Allan, duduk bersandar di dinding, sambil menutup wajahnya dan menangis. Perlahan, Velia mendekati Allan, berjongkok di sisinya. Dia sentuh lembut pundak pria muda yang gagah, anaknya satu-satunya itu.
"Allan ...," panggil Velia lembut.
"Biarkan aku sendiri, Ma. Biarkan aku sendiri." Allan menjawab panggilan Velia, dengan tangan masih ada di depan wajahnya.
"Mana bisa aku tinggal kamu dengan keadaan seperti ini? Allan, ayo, bangun. Jangan begini. Tidak ada gunanya kamu tangisi." Velia tidak tahu harus bagaimana menghadapi Allan. Hatinya terasa tersayat setiap melihat Allan kacau begini.
Sudah hampir setahun, Allan masih belum bisa melupakan kejadian mengerikan yang dia alami. Allan begitu marah dan terluka hingga memilih menutup diri dari semuanya. Bahkan dengan Velia, ibunya, Allan juga memilih lebih banyak diam. Dunia Allan benar-benar runtuh dan hancur berkeping-keping. Itu yang tampak di mata Velia.
Putranya yang penuh semangat, hanya menjadi penghuni kamar dan rumah ini. Tidak pernah sekalipun dia mau keluar dari pagar rumah mereka. Bahkan ke teras rumah saja bisa dihitung dengan jari. Rumah ini seolah-olah menjadi gua pertapaan Allan.
"Mama ga paham yang aku rasakan. Mama ga akan ngerti." Allan mengusap wajahnya, memandang mamanya yang duduk bersimpuh di sisinya. Gemuruh di dada Allan menekan seperti akan meledak setiap ingat luka yang tertoreh di sana.
"Mama tahu, Lan. Dikhianati orang yang kita sayang, itu sangat menyakitkan. Mama sangat tahu. Tapi apa mau tetap begini? Hidup kamu masih berlanjut. Dan ..."
"Mama kalau cuma mau kuliahin aku, mending aku keluar. Aku ga butuh." Nada suara Allan meninggi dan ketus. Allan berdiri, berjalan meninggalkan kamarnya.
Velia hanya menatapnya dengan gamang. Sedih, kuatir, dan jujur saja, sedikit putus asa menghadapi Allan. Velia berdiri dan mulai membereskan barang-barang yang berserakan di mana-mana itu. Buku-buku, peralatan gambar dan tulis, satu per satu Velia merapikannya lagi.
"Ya Tuhan ... Beri aku kesabaran yang berlimpah menghadapi Allan. Aku harus berbuat apa agar dia berani menghadapi kenyataan, lalu mau menjalani hidupnya lagi?" bisik hati Velia. Hampir putus asa rasanya berharap Allan bisa kembali baik seperti dulu.
Selesai dengan kamar Allan, dengan hati yang masih pedih, Velia kembali ke dapur. Dia meneruskan memasak menyiapkan makan siang untuknya dan Allan.
Untung saja kantornya hanya berjarak dua blok dari rumah. Dia bisa dengan mudah menengok Allan ketika ada waktu, setidaknya saat istirahat siang. Setelah kejadian kematian kekasih Allan yang tragis, dan Allan begitu terpuruk, Velia memang minta waktu untuk dia bisa lebih memberikan perhatian pada Allan.
Baiknya, pimpinan tempat kerja Velia memaklumi. Asal pekerjaan Velia tetap bagus, dia diberi keleluasaan untuk menolong Allan agar bisa pulih.
Di kamar belakang rumah itu, ada sebuah ruangan yang cukup luas, dengan banyak jendela kaca di sekelilingnya, tetapi gorden kamar itu hampir tak pernah dibuka.
Allan masuk ke ruangan itu yang sebenarnya adalah ruang kerjanya. Semacam galeri kecil tempat Allan membuat karyanya. Allan adalah mahasiswa seni lukis. Dia sudah di semester terakhir waktu dia mengalami tragedi tahun lalu. Karena kejadian itu Allan sudah tidak berpikir menuntaskan studinya.
Di sisi lain, Allan juga sudah mulai dikenal. Beberapa lukisannya bahkan sudah dijual ke luar negeri. Sayang, pada akhirnya Allan lebih banyak memakai ruangan itu untuk melamun dan meratapi nasibnya.
"Lann ... All ... lannn ... tolong ..." Suara itu masih sering muncul mengganggu di kepala Allan.
"To ... loonngg ... aku ... Lan ..." Lagi suara itu datang."Tidak! Kamu pantas mati, Yash! Kamu pantas mati!" Allan mengepalkan kedua tangannya, berkata dengan kesal dan marah.
Dia memandang sebuah lukisan yang masih belum selesai, yang ada di depannya. Masih seperti sketsa hitam putih saja. Seorang gadis terbaring, di dekat sebuah mobil, dengan posisi setengah tengkurap, sebelah tangannya terulur, seolah minta pertolongan.
"Apa salahku sama kamu, Yash? Apa? Kenapa kamu tega melukai aku seperti ini?" Wajah Allan terlihat begitu kusut. Wajah yang nenunjukkan kepedihan, kekecewaan, dan penyesalan yang dalam.
Kembali bayangan kecelakaan mengerikan itu terpampang di depan matanya. Sebuah mobil dengan cepat menabrak tubuh sintal Yashinta yang tengah menyeberang jalan. Gadis cantik itu berguling-guling di atas aspal beberapa kali. Lalu kepalanya membentur garis pembatas di tengah jalan.
Bersimbah darah, Yashinta meminta Allan menolongnya. Dan beberapa detik berikut dia tidak bergerak. Napas Yashinta putus dari raganya.
"Aahh ... Yash ... Kenapa? Kamu tahu aku sudah siapkan semua untuk masa depan kita. Yash ..." Suara Allan makin lirih. Ya, Allan berjuang dengan semangat menjadi pelukis sebelum tuntas kuliah, agar bisa menabung untuk persiapan membeli rumah buat Yashinta dan persiapan pernikahan mereka. Allan sangat serius dengan hubungan kasih di antara dia dan Yashinta.
Dia pegang pensil panjang dan mulai menorehkan goresan di atas kanvas. Tapi entah kenapa, rasa sakit dan marah membuat dia tak mampu meneruskan apa yang dia gambar. Dia letakkan lagi dengan kasar, pensil yang dipegangnya.
Terdengar pintu ruangan itu dibuka seseorang.
Klekk!
Allan tahu, mamanya datang mengajak dia makan siang.
"Aku ga lapar, Ma." Allan berkata tanpa menoleh. Matanya masih menatap lurus ke gambar di depannya.
"Pagi kamu juga ga sarapan. Ayolah. Jangan begini terus. Lan, kamu lihat Mama ... Jangan lihat yang lalu. Lihat Mama ..." Velia yang sudah berdiri di sisi Allan, bicara, sedikit memohon.
"Nanti aku makan. Mama makan saja dulu." Masih sama, Allan tidak menoleh pada Velia.
"Huufhh ..." Velia mendesah. "Aku harus kembali ke kantor. Mungkin agak malam baru aku balik pulang. Please, jangan sampai ga makan."
"Hmm ..." Hanya gumaman yang terdengar dari Allan.
Velia memeluk pundak putranya, mengecup puncak kepalanya, lalu dia keluar dari ruangan itu, meninggalkan rumah, kembali ke kantor tempat dia bekerja.
Hingga lebih satu jam kemudian, baru Allan bangun dan berdiri, lalu dia ke ruang makan. Dia lihat, mamanya masak ayam bumbu pedas kesukaannya. Mama selalu mencoba membuat Allan nyaman dan senang.
Ada perasaan bersalah dalam hati Allan. Sungguh, sebetulnya ia tidak mau menyakiti perasaan wanita yang sudah melahirkannya ke dunia ini. Tapi, rasa itu tidak pernah mau pergi. Sekuat apapun dia berusaha untuk melupakan Yashinta, bayangan gadis itu tidak pernah mau pergi.
Allan melangkah kembali ke dalam kamarnya yang kini terlihat rapi. Dia tau, pasti mamanya yang sudah merapikan kamar itu untuknya. Pemuda itu membanting tubuhnya ke atas kasur, dia berusaha untuk memejamkan matanya dan tidur. Allan berharap dengan tidur dia dapat menghilangkan kenangan bersama Yashinta. Tapi, bukan pergi wajah perempuan itu malah datang dalam mimpi.
"Haa ... haa ... Pria bodoh! Siapa yang cinta sama kamu!? Haa ... haa ... Aku cuma mau main-main sama kamu! Allan, Allan ..." Tawa lebar dari gadis berkulit putih dan bersih. Tinggi dan bagus posturnya.
Sakit, perih, saat gadis yang paling Allan cintai mengucapkan itu dengan senyum dan tawa menyeringai.
Yashinta. Siapa saja akan mudah jatuh hati padanya. Ramah, cerdas, penuh semangat, dan berprestasi. Allan merasa sangat beruntung saat Yashinta, primadona kampusnya, mendekatinya. Allan yang awalnya malu melangkah, dengan tangan terbuka menerima Yashinta dan menjalin hubungan asmara dengan gadis itu.
Hampir dua tahun, semua berjalan menyenangkan. Hari-hari penuh warna, meski sibuk dengan tuntutan akademik, tidak membuat Allan lelah. Semakin dalam cintanya pada Yashinta, saat gadis itu mengatakan akan berikan apapun yang Allan mau.
"Aku cinta kamu, Lan. Sangat. Aku rela jika kamu minta diriku seutuhnya sekalipun. Karena aku tahu, kamu tidak akan meninggalkan aku." Mesra dan lembut, Yashinta berbisik.
Allan melambung menembus angkasa rasanya. Yashinta yang memberinya ciuman pertama yang belum pernah dia lakukan. Gadis yang pertama dia cintai. Tapi Allan tidak mau melakukan lebih. Dia ingin menjaga Yashinta sepenuh hati.
"Kamu takut? Ini pembuktian cinta kita, Lan." Yashinta sesekali membuka peluang Allan bisa merenggut dirinya.
Allan menatap mata indah kekasihnya itu. Dadanya berdegup kencang, saat Yashinta memeluknya erat. Kedua tangan Yashinta melingkar di leher Allan.
"Lan ..." Pesona Yashinta makin kuat.
Makin tajam Allan menghujamkan pandangan pada gadis cantik itu.
*
Reading next chapter, ya ...
Allan berdiri di altar menunggu Mimi akan masuk bersama Hendra. Hatinya berdetak makin kencang setiap melihat arloji di pergelangan tangannya, memastikan menit berjalan dan tidak lama lagi pengantinnya akan datang menemui dia. Velia duduk di kursi di deretan pertama. Ferdinand di sisinya. Momen yang tak pernah terpikir oleh Velia, mereka duduk bersama, menyaksikan putra mereka menikah. Kalaupun ada pikiran itu, Velia membuangnya jauh-jauh. Ferdinand suami orang lain. Dia singkirkan semua bayangan Ferdinand. Siapa yang tahu yang akan terjadi dalam hidup. Velia dan Ferdinand menjadi teman. Perlahan, Velia mampu mengubah sakit hati jadi pengalaman yang mendewasakannya. Cinta yang dalam pada Ferdinand, dia ubah menjadi rasa sayang pada seorang kakak. Lea duduk di belakang mereka bersama Astari, Devis, dan putra mereka yang lucu. Sayang, Andini tidak bisa datang pada acara pemberkatan. Dia mengatakan akan menyusul saat resepsi. "Mari hadirin sekalian, kita akan menyambut mempelai wanita
Hari-hari penuh kejutan seolah tiada habisnya. Itu yang Mimi rasakan. Kejutan baik dan menyenangkan, tetapi juga kejutan yang membuat hati rasa tidak karuan. Semua itu membuat up and down hari-hari yang dilalui. Megi, kejutan terakhir yang sempat membuat Mimi galau. Keinginannya untuk bersimpati membuka pintu lain yang tidak dia duga. Allan bertemu sahabat lamanya. Megi, yang Allan kenal dengan panggilan Rere. Setelah kunjungan ke rumah sakit hari itu, Allan terus berkomunikasi dengan Megi. Mimi tidak bisa melarang. Bagaimanapun mereka teman lama dan Megi sedang butuh bantuan. Allan juga selalu memberitahu Mimi apa saja yang Allan komunikasikan dengan temannya itu. Allan tidak ingin Mimi salah paham lalu hubungan mereka yang menjadi tidak baik. "Kamu yakin ga masalah Kak Allan dekat sama Megi?" Dayinta menimpali apa yang Mimi katakan padanya. "Aku harus larang? Hanya karena cemburu? Aku ga cemburu juga, sih. Hanya ada rasa ga nyaman saja." Mimi menelusuri hatinya. Dia harus percaya
Mimi, Allan, dan Velia mengantar Ferdinand, Lea, dan Astari, serta Bintang yang tampan ke bandara. Mereka akhirnya balik ke Bandung. Astari sudah cukup kuat. Begitu juga bayinya. Perusahaan juga sudah menunggu Astari kembali menata pekerjaan di sana. Melepaskan mereka pulang ternyata cukup mengharukan. Apalagi Mimi mulai terbiasa mendengar suara tangis bayi mungil itu. Mendengar Velia atau Lea menyanyi saat menggendong Bintang hingga bayi itu tidur dalam dekaoan mereka. Pasti akan lama bisa melihatnya lagi. Dari bandara, Allan meluncur menuju kantor Velia. Memang hari Sabtu, tetapi ada yang harus Velia kerjakan. Sedang Allan dan Mimi, meneruskan perjalanan kemudian ke rumah sakit. Mimi terus memikirkan Megi. Sejak tahu wanita itu kecelakaan, dia merasa iba dan ingin tahu seperti apa kondisinya. "Kamu mau menjenguk Megi? Dia yang selama ini bersikap mengesalkan sama kamu? Yakin?" Itu yang Allan katakan waktu mendengar permintaan Mimi. Mimi dengan mantap mengatakan memang ingin menje
Hati Mimi berdetak kencang. Pesan yang dia terima dari Megi membuat semua kegembiraannya seketika lenyap. Megi dipecat. Tentu saja dia sangat marah. Dia punya posisi dengan prospek bagus di kantor, sebagai asisten bagian pemasaran. Kalau sampai tiba-tiba itu lepas, dia harus mulai di tempat lain, tentu tidak mudah. Yang menjadi masalah adalah Mimi yang Megi anggap sebagai biang keladi! Sangat tidak masuk akal. Mimi ada di bagian lain di kantor itu. Dengan Megi juga jarang berurusan. Bagaimana bisa Mimi yang bersalah kalau Megi dipecat? Mimi berpikir, apa yang terjadi? Di mana letak kesalahannya? Dia bicara apa dengan Pak Guntur? Mimi tidak mengerti. Sepanjang malam Mimi jadi tidak tenang. Beberapa kali dia terbangun karena mimpi buruk. "Ah, Mi, kenapa kamu jadi takut kayak gini. Megi uda ga akan balik kantor. Tenang saja." Mimi menenangkan dirinya sendiri. Dia tegaskan kalau Megi hanya mengancam, karena dia kesal. Bisa jadi dia begitu kepada orang lain juga, bukan hanya Mimi. Mimi
Tangan Allan terulur, meraih jemari Mimi dan menyematkan cincin mungil di jari manis tangan kiri gadis berbalut gaun warna salem itu. Cantik, sangat pas buat dirinya. Mimi terlihat lebih dewasa tapi tidak terkesan lebih tua dari umurnya. Dengan senyum manis, sementara jantung yang terus meletup, Mimi ganti memasangkan cincin di jari manis tangan kiri Allan. Jarinya kuat, besar, dan panjang. Tangan Mimi terlihat begitu mungil berpegangan pada tangan Allan. Tepuk tangan terdengar dari keluarga yang hadir. Senyum menghiasi wajah orang tua Mimi, Viviana dan Hendra. Velia dan Ferdinand, kali ini duduk berdampingan. Ini hari istimewa Allan. Putra mereka resmi bertunangan dengan Mimi. Ferdinand tidak mengira, dia bisa hadir dan menyaksikan hari berharga ini. "Selamat ya ... makin sayang satu sama lain. Biar angin ribut menderu, tetap kokoh cintanya!" Melisa, kakak Mimi nyeletuk, membuat yang lain tertawa, sementara Mimi makin tersipu. Doa dinaikkan untuk keduanya. Agar dengan memasuki hub
Suara tangis bayi kembali terdengar, tapi kemudian hilang. Andini berdiri dan mendekat ke ruang bersalin. Dia yakin itu bayi Astari yang sudah lahir. Tangis yang membawa kebahagiaan. Sebuah kehidupan baru yang hadir. Mengubah banyak hal dalam kehidupan sebuah keluarga. "Suaranya kencang sekali. Pasti dia anak laki-laki yang kuat." Andini tersenyum. Hatinya campur aduk dengan kejadian tiba-tiba ini. Senang, tapi masih sedikit cemas. Apakah Astari baik-baik saja? Bayinya juga, apakah benar-benar sehat? Allan memandang Andini yang masih gelisah, tetapi senyum Andini belum hilang dari bibirnya. "Sudah tahu nama anaknya Kak Tari?" Allan bertanya. Andini kembali mendekati Allan, duduk di tempatnya semula. "Ya. Kak Tari pernah bilang, Bintang. Baru itu yang aku tahu, belum tahu lengkapnya. Aku ga sabar mau lihat dia." Pintu ruangan itu terbuka. Velia keluar dari sana. Allan dan Andini memandang Velia yang berjalan ke arah mereka. "Tan, gimana?" Andini menatap Velia. Velia tersenyum. "T
Allan kembali ke ruangan. Andini dan Yudha tampak tersenyum satu sama lain. Allan mencoba mencermati wajah mereka. Tampak biasa saja. Tidak ada yang aneh. Allan juga mendengar pembicaraan mereka bukan tentang sesuatu yang khusus di antara mereka. Tidak lama kemudian, Allan dan Andini pamitan, meninggalkan Yudha. Dalam perjalanan pulang, ingin sekali Allan bertanya, tapi dia merasa tidak nyaman. Bagaimanapun, Andini pernah ada rasa padanya. Dia mengenal Andini sebagai kakak belum begitu lama. Kikuk dan canggung bertanya hal-hal semacam itu. Allan mengantar Andini ke hotel lalu dia kembali pulang. Baru selesai mandi, dering ponsel terdengar keras. Cepat-cepat dia menerima panggilan itu. Yudha yang menghubunginya. Dengan semangat Yudha menceritakan apa yang terjadi pada pertemuan terakhirnya dengan Andini. Gadis itu menerima Yudha. Mata Allan melebar, dadanya berdegup kencang. Kenapa dia yang merasa tidak karuan padahal Yudha yang mendapat jawaban cinta? "Yudha, serius? Ini beneran?" A
Mimi memperhatikan dua design yang ada di tangannya. Keduanya sangat manis dan Mimi suka. Allan ternyata punya selera bagus juga dalam mode. Mimi memilih gaun dengan model slim di badan, lengan sampai di siku, dari pinggang higga selutut melebar. Allan tersenyum saat Mimi menunjuk design yang dia pilih. Benar-benar mewakili karakter Mimi. Imut, ceria, tetapi juga cerdas. Allan makin tidak sabar segera melihat Mimi memakainya. Dan itu di hari istimewa mereka. Allan sudah menyiapkan hari dia akan datang menemui orang tua Mimi di Surabaya, menggelar pertunangan di sana. "Kak, makasih banget. Aku ga mikir apapun soal pertunangan. Tapi Kak Allan, astaga, aku benar-benar terkejut," ujar Mimi sambil tersenyum senang. Mata cerah Mimi membuat Allan ikut tersenyum lebar. Keluar dari butik itu, Allan langsung membawa Mimi pulang ke salah satu hotel tak jauh dari situ. Kejutan apa lagi yang Allan siapkan? Mimi merasa sore itu Allan bertingkah begitu berbeda. "Kak Astari dan Kak Andin datang. B
Seketika Mimi mengangkat wajahnya mendengar pertanyaan Guntur. Dia menggigit bibirnya dan memandang sedikit takut pada pimpinannya itu. "Katakan saja yang kamu tahu. Aku tahu kamu gadis yang jujur. Aku juga berharap kamu gadis yang berani." Tatapan Guntur tertuju pada Mimi. Makin berdesir hati Mimi. Seperti yang Guntur pikirkan, memang ada masalah dengan pelaporan itu. Mimi merasa makin sulit situasinya. Ini akan menjadi kesempatan dia jadi pahlawan atau di sisi lain, dia akan menjadi musuh beberapa orang di kantor itu. Yang pasti, Mimi tidak mungkin tidak mengatakan yang dia temukan. Jika dia mengatakan yang berbeda karena ingin aman, bisa jadi dia dinilai sebagai pegawai yang buruk. "Mimi, waktu kita tidak banyak." Guntur menegaskan karena Mimi tidak segera menjawab. "Saya minta maaf, Pak, ini ..." Mimi mendekat dan menunjukkan yang dia lihat pada laporan itu. Dag dig di dadanya bukan makin surut. Dalam hati Mimi terus berdoa hari ini menjadi hari baik buatnya. Kalaupun yang ter
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments