Beranda / Romansa / Hatimu Bukan Sebongkah Batu / 119. Hari-hari Penuh Kejutan

Share

119. Hari-hari Penuh Kejutan

Penulis: Ayunina Sharlyn
last update Terakhir Diperbarui: 2021-08-30 21:32:44
Hari-hari penuh kejutan seolah tiada habisnya. Itu yang Mimi rasakan. Kejutan baik dan menyenangkan, tetapi juga kejutan yang membuat hati rasa tidak karuan. Semua itu membuat up and down hari-hari yang dilalui.

Megi, kejutan terakhir yang sempat membuat Mimi galau. Keinginannya untuk bersimpati membuka pintu lain yang tidak dia duga. Allan bertemu sahabat lamanya. Megi, yang Allan kenal dengan panggilan Rere. Setelah kunjungan ke rumah sakit hari itu, Allan terus berkomunikasi dengan Megi.

Mimi tidak bisa melarang. Bagaimanapun mereka teman lama dan Megi sedang butuh bantuan. Allan juga selalu memberitahu Mimi apa saja yang Allan komunikasikan dengan temannya itu. Allan tidak ingin Mimi salah paham lalu hubungan mereka yang menjadi tidak baik.

"Kamu yakin ga masalah Kak Allan dekat sama Megi?" Dayinta menimpali apa yang Mimi katakan padanya.

"Aku harus larang? Hanya karena cemburu? Aku ga cemburu juga, sih. Hanya ada rasa ga nyaman saja." Mimi menelusuri hatinya. Dia harus percaya
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   120. Hari Itu

    Allan berdiri di altar menunggu Mimi akan masuk bersama Hendra. Hatinya berdetak makin kencang setiap melihat arloji di pergelangan tangannya, memastikan menit berjalan dan tidak lama lagi pengantinnya akan datang menemui dia. Velia duduk di kursi di deretan pertama. Ferdinand di sisinya. Momen yang tak pernah terpikir oleh Velia, mereka duduk bersama, menyaksikan putra mereka menikah. Kalaupun ada pikiran itu, Velia membuangnya jauh-jauh. Ferdinand suami orang lain. Dia singkirkan semua bayangan Ferdinand. Siapa yang tahu yang akan terjadi dalam hidup. Velia dan Ferdinand menjadi teman. Perlahan, Velia mampu mengubah sakit hati jadi pengalaman yang mendewasakannya. Cinta yang dalam pada Ferdinand, dia ubah menjadi rasa sayang pada seorang kakak. Lea duduk di belakang mereka bersama Astari, Devis, dan putra mereka yang lucu. Sayang, Andini tidak bisa datang pada acara pemberkatan. Dia mengatakan akan menyusul saat resepsi. "Mari hadirin sekalian, kita akan menyambut mempelai wanita

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-31
  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   1. Biarkan Aku Sendiri

    Brraaakkk!!! Terdengar suara seperti benda dilempar dengan keras dari arah kamar depan rumah mungil dan cantik itu. Segera Velia mematikan kompor dan lari menuju kamar depan. Dia membuka pintu dan masuk ke dalam. Berbagai benda berserakan di lantai. Sedangkan anaknya, Allan, duduk bersandar di dinding, sambil menutup wajahnya dan menangis. Perlahan, Velia mendekati Allan, berjongkok di sisinya. Dia sentuh lembut pundak pria muda yang gagah, anaknya satu-satunya itu. "Allan ...," panggil Velia lembut. "Biarkan aku sendiri, Ma. Biarkan aku sendiri." Allan menjawab panggilan Velia, dengan tangan masih ada di depan wajahnya. "Mana bisa aku tinggal kamu dengan keadaan seperti ini? Allan, ayo, bangun. Jangan begini. Tidak ada gunanya kamu tangisi." Velia tidak tahu harus bagaimana menghadapi Allan. Hatinya terasa tersayat setiap melihat Allan kacau begini. Sudah hampir setahun, Allan masih belum bisa melupakan kejadian mengerikan yang dia alami. Allan begitu marah dan terluka hing

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-12
  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   2. Kenangan yang Bergantian Datang

    Pesona Yashinta memang tidak bisa ditolak. Tapi untungnya, otak Allan masih waras. Dia selalu bisa menahan diri tidak sampai melakukan hal yang tak sepatutnya pada Yashinta. "Aku heran sama kamu, Lan. Cowok lain tuh, kalau pacaran mau ini itu dari kekasihnya. Biar makin mesra dan lengket. Kamu kenapa sih, ga mau mesra dikit lagi?" Satu kali Yashinta mencoba merayu Allan. "Aku sayang kamu, Yash. Makanya aku jaga kamu. Ga boleh aku ambil sesuatu yang belum saatnya. Kamu ngerti, kan?" Allan mengusap pipi Yashinta. "Aku jadi malu, aku kok rasanya agresif banget sama kamu." Yashinta melingkarkan kembali tangannya di leher Allan. Allan, memang sangat memegang teguh prinsip yang mamanya selalu tanamkan padanya. Jangan melakukan hubungan bebas dengan wanita. Tunggu hingga sah. Itu artinya Allan sayang setulus hati. Siapa yang mengira justru Yashinta, yang menipu Allan. Betapa sakit hati Allan ketika mengetahui kenyataan itu. Yashinta, menjalin hubungan dengan laki-laki lain, Yudha. Yang t

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-15
  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   3. Welcome, Mimi!

    Pagi cerah sekali. Matahari bersinar terang. Tetapi udara terasa dingin. Begitulah musim kemarau. Memang panas terik di siang hari, namun dingin sekali saat malam hingga pagi. Velia sudah sibuk membereskan rumah. Ini hari Sabtu, dia tidak ke kantor. Kesempatan dia membersihkan bagian mana yang tak tersentuh saat dia sibuk di hari kerja. Allan masih tidur di kamarnya. Semalam setidaknya tiga kali dia terbangun karena mimpi buruk, seperti malam-malam sebelumnya. Jadi ketika pagi datang, saat hari baru dimulai, dia justru kelelahan dan terlelap. Sejak matahari baru menyeruak dan menebarkan cahaya merah, Velia sudah sibuk. Ruang depan hingga ke dapur. Semua dia bersihkan. Terasa nyaman dan lega, melihat rumah bersih. "Ruang depan dan tengah beres. Ruang makan dan dapur juga tuntas, tinggal taman belakang." Velia dengan semangat menuju taman belakang. Dia mengambil selang air dan mulai menyiram bunga-bunga di taman itu. Satu dua mulai menampakkan kelopaknya, bermekaran. Cantik. Ra

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-16
  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   4. Jangan Masuk Tempat Ini!

    Senyum getir Velia muncul di ujung bibirnya. Dia perhatikan Mimi, gadis cantik yang mulai menginjak dewasa ini menunggu Velia menjawab pertanyaannya. "Allan ... patah hati. Kekasihnya mengkhianati dia ..." Velia menjawab. Lebih baik dari awal Mimi tahu situasi Allan, karena toh mereka akan tinggal di bawah satu atap. Mimi mendengarkan, tidak bereaksi kecuali tatapan matanya sedikit berubah. Yang jelas, dia masih ingin dapat penjelasan lebih lanjut. "Allan terlalu cinta pada Yashinta. Yashinta ternyata hanya mempermainkan perasaannya. Lalu ... Yashinta meninggal ditabrak oleh pria yang juga dia lukai sama seperti Allan ... Dan itu terjadi di depan mata Allan. Sangat tragis ... Sampai sekarang, Allan belum bisa melepas kepedihannya." Velia melanjutkan. "Oohh ..." Mimi cukup terkejut dengan apa yang Velia katakan. Dia memang tidak pernah pacaran, belum juga merasa jatuh cinta hingga begitu dalam, tetapi Mimi bisa memahami yang terjadi pada Allan. "Jadi, kamu maklum, ya ... Misal

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-17
  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   5. Harus Tahu Membawa Diri

    Perkuliahan dimulai. Mimi merasa dia seolah masuk ke dunia baru dengan menjadi seorang mahasiswi. Suasana belajar sangat berbeda dengan saat Mimi masih duduk di bangku SMA dan disebut siswa. Awalnya aneh juga tidak dipanggil anak-anak atau murid-murid, tetapi saudara. Belum lagi kelas yang jumlahnya besar, isinya makin beragam orang yang asalnya dari berbagai kota di Indonesia. Malah tidak sedikit yang berasal dari pulau lain. Mimi bersemangat dengan situasi baru ini meski dia harus belajar cepat untuk menyesuaikan diri. Berjalan dua minggu kuliah, Mimi sudah mulai kenal sebagian besar teman sekelasnya. Dua yang cukup akrab. Dayinta dan Ricky. Mereka teman yang mengasyikkan. Mimi merasa ada yang menyemangati dia. Di rumah suasana selalu tegang karena harus menjaga perasaan Allan, maka di kampus, Mimi melepas semuanya. Dia bisa mengekspresikan dirinya. Mau tertawa, melucu, bercanda, bebas, jadi dirinya sendiri. Dayinta berasal dari kota Cilacap. Kota kecil di perbatasan Jawa Tengah

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-19
  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   6. Senyum Allan

    Velia tersenyum manis. Dia duduk di sebelah Mimi. "Kamu kenapa?" Velia melihat Mimi tampak tegang. "Maaf, Tan, aku tadi ga kasih kabar kalau pulang agak malam. Habis kuliah jalan sama teman. Ada film bagus diajak nonton. Tante pasti kuatir aku ga ada kabar." Mimi menjelaskan. "Iya. Aku telpon beberapa kali kamu ga angkat. Mau memastikan saja, kamu ikut makan malam atau tidak," ujar Velia. "Ooh ... Lain kali aku pasti kasih tahu kalau pulang lebih lambat, Tan. Maaf." Mimi masih merasa bersalah. "Ga apa-apa." Kembali Velia tersenyum pada Mimi. "Gimana kuliah? Asyik, 'kan?" Velia mencoba mengalihkan pembicaraan agar Mimi lebih cair. "Iya. Masih penyesuaian sih, Tan. Tapi menyenangkan. Entah kalau udah jadwal mesti kumpul tugas-tugas nanti. Belum lagi kalau ikut kegiatan lainnya. Masih pendaftaran juga," jawab Mimi. Sedikit reda rasa tegang yang tadi mengocok dadanya. "Hmm ... Kamu mau ikut kegiatan apa?" tanya Velia. Dia menuang air di gelas, lalu meneguk beberapa kali. Tern

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-21
  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   7. Masih Ada Harapan

    Mimi tersentak. Pintu kamar Allan terbuka. Allan di balik pintu menatap pada Mimi. "Ngapain di sini?" Allan berkata dengan ketus. Mata galak muncul lagi dari dua bola mata hitam dan tegas itu. "Eh ... Ini ..." Mimi langsung gugup. Dia sampai bingung, mau bilang terima kasih, kata-kata itu seperti jauh sekali dari bibirnya. "Apa itu?" Allan melihat piring yang Mimi bawa. Harum masuk ke hidung Allan dan terbayang rasanya yang lezat. "Pancake. Buat Kak Allan ... ini ..." Mimi menyodorkan piring ke depan Allan. Melihat tatapan tajam Allan, Mimi makin ciut. "Cuma mau bilang terima kasih ... Eh, kalau ga suka ... Ga apa ..." Mimi menarik lagi tangannya. Dengan jantung berdetak tak beraturan, Mimi balik badan melangkah kembali menuju ke dapur. "Hei!" panggil Allan. Mimi seketika menghentikan langkahnya. Perlahan dia memutar tubuhnya. Allan berjalan ke arahnya. "Thank you." Allan mengambil piring di tangan Mimi. Dia membawa piring itu ke ruang belakang, ke tempat kerjanya.

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-22

Bab terbaru

  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   120. Hari Itu

    Allan berdiri di altar menunggu Mimi akan masuk bersama Hendra. Hatinya berdetak makin kencang setiap melihat arloji di pergelangan tangannya, memastikan menit berjalan dan tidak lama lagi pengantinnya akan datang menemui dia. Velia duduk di kursi di deretan pertama. Ferdinand di sisinya. Momen yang tak pernah terpikir oleh Velia, mereka duduk bersama, menyaksikan putra mereka menikah. Kalaupun ada pikiran itu, Velia membuangnya jauh-jauh. Ferdinand suami orang lain. Dia singkirkan semua bayangan Ferdinand. Siapa yang tahu yang akan terjadi dalam hidup. Velia dan Ferdinand menjadi teman. Perlahan, Velia mampu mengubah sakit hati jadi pengalaman yang mendewasakannya. Cinta yang dalam pada Ferdinand, dia ubah menjadi rasa sayang pada seorang kakak. Lea duduk di belakang mereka bersama Astari, Devis, dan putra mereka yang lucu. Sayang, Andini tidak bisa datang pada acara pemberkatan. Dia mengatakan akan menyusul saat resepsi. "Mari hadirin sekalian, kita akan menyambut mempelai wanita

  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   119. Hari-hari Penuh Kejutan

    Hari-hari penuh kejutan seolah tiada habisnya. Itu yang Mimi rasakan. Kejutan baik dan menyenangkan, tetapi juga kejutan yang membuat hati rasa tidak karuan. Semua itu membuat up and down hari-hari yang dilalui. Megi, kejutan terakhir yang sempat membuat Mimi galau. Keinginannya untuk bersimpati membuka pintu lain yang tidak dia duga. Allan bertemu sahabat lamanya. Megi, yang Allan kenal dengan panggilan Rere. Setelah kunjungan ke rumah sakit hari itu, Allan terus berkomunikasi dengan Megi. Mimi tidak bisa melarang. Bagaimanapun mereka teman lama dan Megi sedang butuh bantuan. Allan juga selalu memberitahu Mimi apa saja yang Allan komunikasikan dengan temannya itu. Allan tidak ingin Mimi salah paham lalu hubungan mereka yang menjadi tidak baik. "Kamu yakin ga masalah Kak Allan dekat sama Megi?" Dayinta menimpali apa yang Mimi katakan padanya. "Aku harus larang? Hanya karena cemburu? Aku ga cemburu juga, sih. Hanya ada rasa ga nyaman saja." Mimi menelusuri hatinya. Dia harus percaya

  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   118. Ada Kenangan Di Antara Mereka

    Mimi, Allan, dan Velia mengantar Ferdinand, Lea, dan Astari, serta Bintang yang tampan ke bandara. Mereka akhirnya balik ke Bandung. Astari sudah cukup kuat. Begitu juga bayinya. Perusahaan juga sudah menunggu Astari kembali menata pekerjaan di sana. Melepaskan mereka pulang ternyata cukup mengharukan. Apalagi Mimi mulai terbiasa mendengar suara tangis bayi mungil itu. Mendengar Velia atau Lea menyanyi saat menggendong Bintang hingga bayi itu tidur dalam dekaoan mereka. Pasti akan lama bisa melihatnya lagi. Dari bandara, Allan meluncur menuju kantor Velia. Memang hari Sabtu, tetapi ada yang harus Velia kerjakan. Sedang Allan dan Mimi, meneruskan perjalanan kemudian ke rumah sakit. Mimi terus memikirkan Megi. Sejak tahu wanita itu kecelakaan, dia merasa iba dan ingin tahu seperti apa kondisinya. "Kamu mau menjenguk Megi? Dia yang selama ini bersikap mengesalkan sama kamu? Yakin?" Itu yang Allan katakan waktu mendengar permintaan Mimi. Mimi dengan mantap mengatakan memang ingin menje

  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   117. Kata Orang Senjata Makan Tuan

    Hati Mimi berdetak kencang. Pesan yang dia terima dari Megi membuat semua kegembiraannya seketika lenyap. Megi dipecat. Tentu saja dia sangat marah. Dia punya posisi dengan prospek bagus di kantor, sebagai asisten bagian pemasaran. Kalau sampai tiba-tiba itu lepas, dia harus mulai di tempat lain, tentu tidak mudah. Yang menjadi masalah adalah Mimi yang Megi anggap sebagai biang keladi! Sangat tidak masuk akal. Mimi ada di bagian lain di kantor itu. Dengan Megi juga jarang berurusan. Bagaimana bisa Mimi yang bersalah kalau Megi dipecat? Mimi berpikir, apa yang terjadi? Di mana letak kesalahannya? Dia bicara apa dengan Pak Guntur? Mimi tidak mengerti. Sepanjang malam Mimi jadi tidak tenang. Beberapa kali dia terbangun karena mimpi buruk. "Ah, Mi, kenapa kamu jadi takut kayak gini. Megi uda ga akan balik kantor. Tenang saja." Mimi menenangkan dirinya sendiri. Dia tegaskan kalau Megi hanya mengancam, karena dia kesal. Bisa jadi dia begitu kepada orang lain juga, bukan hanya Mimi. Mimi

  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   116. Janji Hati

    Tangan Allan terulur, meraih jemari Mimi dan menyematkan cincin mungil di jari manis tangan kiri gadis berbalut gaun warna salem itu. Cantik, sangat pas buat dirinya. Mimi terlihat lebih dewasa tapi tidak terkesan lebih tua dari umurnya. Dengan senyum manis, sementara jantung yang terus meletup, Mimi ganti memasangkan cincin di jari manis tangan kiri Allan. Jarinya kuat, besar, dan panjang. Tangan Mimi terlihat begitu mungil berpegangan pada tangan Allan. Tepuk tangan terdengar dari keluarga yang hadir. Senyum menghiasi wajah orang tua Mimi, Viviana dan Hendra. Velia dan Ferdinand, kali ini duduk berdampingan. Ini hari istimewa Allan. Putra mereka resmi bertunangan dengan Mimi. Ferdinand tidak mengira, dia bisa hadir dan menyaksikan hari berharga ini. "Selamat ya ... makin sayang satu sama lain. Biar angin ribut menderu, tetap kokoh cintanya!" Melisa, kakak Mimi nyeletuk, membuat yang lain tertawa, sementara Mimi makin tersipu. Doa dinaikkan untuk keduanya. Agar dengan memasuki hub

  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   115. Tangis yang Membawa Kegembiraan

    Suara tangis bayi kembali terdengar, tapi kemudian hilang. Andini berdiri dan mendekat ke ruang bersalin. Dia yakin itu bayi Astari yang sudah lahir. Tangis yang membawa kebahagiaan. Sebuah kehidupan baru yang hadir. Mengubah banyak hal dalam kehidupan sebuah keluarga. "Suaranya kencang sekali. Pasti dia anak laki-laki yang kuat." Andini tersenyum. Hatinya campur aduk dengan kejadian tiba-tiba ini. Senang, tapi masih sedikit cemas. Apakah Astari baik-baik saja? Bayinya juga, apakah benar-benar sehat? Allan memandang Andini yang masih gelisah, tetapi senyum Andini belum hilang dari bibirnya. "Sudah tahu nama anaknya Kak Tari?" Allan bertanya. Andini kembali mendekati Allan, duduk di tempatnya semula. "Ya. Kak Tari pernah bilang, Bintang. Baru itu yang aku tahu, belum tahu lengkapnya. Aku ga sabar mau lihat dia." Pintu ruangan itu terbuka. Velia keluar dari sana. Allan dan Andini memandang Velia yang berjalan ke arah mereka. "Tan, gimana?" Andini menatap Velia. Velia tersenyum. "T

  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   114. Semua Mungkin Saja Terjadi

    Allan kembali ke ruangan. Andini dan Yudha tampak tersenyum satu sama lain. Allan mencoba mencermati wajah mereka. Tampak biasa saja. Tidak ada yang aneh. Allan juga mendengar pembicaraan mereka bukan tentang sesuatu yang khusus di antara mereka. Tidak lama kemudian, Allan dan Andini pamitan, meninggalkan Yudha. Dalam perjalanan pulang, ingin sekali Allan bertanya, tapi dia merasa tidak nyaman. Bagaimanapun, Andini pernah ada rasa padanya. Dia mengenal Andini sebagai kakak belum begitu lama. Kikuk dan canggung bertanya hal-hal semacam itu. Allan mengantar Andini ke hotel lalu dia kembali pulang. Baru selesai mandi, dering ponsel terdengar keras. Cepat-cepat dia menerima panggilan itu. Yudha yang menghubunginya. Dengan semangat Yudha menceritakan apa yang terjadi pada pertemuan terakhirnya dengan Andini. Gadis itu menerima Yudha. Mata Allan melebar, dadanya berdegup kencang. Kenapa dia yang merasa tidak karuan padahal Yudha yang mendapat jawaban cinta? "Yudha, serius? Ini beneran?" A

  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   113. Menjawab Teka-Teki

    Mimi memperhatikan dua design yang ada di tangannya. Keduanya sangat manis dan Mimi suka. Allan ternyata punya selera bagus juga dalam mode. Mimi memilih gaun dengan model slim di badan, lengan sampai di siku, dari pinggang higga selutut melebar. Allan tersenyum saat Mimi menunjuk design yang dia pilih. Benar-benar mewakili karakter Mimi. Imut, ceria, tetapi juga cerdas. Allan makin tidak sabar segera melihat Mimi memakainya. Dan itu di hari istimewa mereka. Allan sudah menyiapkan hari dia akan datang menemui orang tua Mimi di Surabaya, menggelar pertunangan di sana. "Kak, makasih banget. Aku ga mikir apapun soal pertunangan. Tapi Kak Allan, astaga, aku benar-benar terkejut," ujar Mimi sambil tersenyum senang. Mata cerah Mimi membuat Allan ikut tersenyum lebar. Keluar dari butik itu, Allan langsung membawa Mimi pulang ke salah satu hotel tak jauh dari situ. Kejutan apa lagi yang Allan siapkan? Mimi merasa sore itu Allan bertingkah begitu berbeda. "Kak Astari dan Kak Andin datang. B

  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   112. Kenyataan Mulai Terbuka

    Seketika Mimi mengangkat wajahnya mendengar pertanyaan Guntur. Dia menggigit bibirnya dan memandang sedikit takut pada pimpinannya itu. "Katakan saja yang kamu tahu. Aku tahu kamu gadis yang jujur. Aku juga berharap kamu gadis yang berani." Tatapan Guntur tertuju pada Mimi. Makin berdesir hati Mimi. Seperti yang Guntur pikirkan, memang ada masalah dengan pelaporan itu. Mimi merasa makin sulit situasinya. Ini akan menjadi kesempatan dia jadi pahlawan atau di sisi lain, dia akan menjadi musuh beberapa orang di kantor itu. Yang pasti, Mimi tidak mungkin tidak mengatakan yang dia temukan. Jika dia mengatakan yang berbeda karena ingin aman, bisa jadi dia dinilai sebagai pegawai yang buruk. "Mimi, waktu kita tidak banyak." Guntur menegaskan karena Mimi tidak segera menjawab. "Saya minta maaf, Pak, ini ..." Mimi mendekat dan menunjukkan yang dia lihat pada laporan itu. Dag dig di dadanya bukan makin surut. Dalam hati Mimi terus berdoa hari ini menjadi hari baik buatnya. Kalaupun yang ter

DMCA.com Protection Status