Velia tersenyum manis. Dia duduk di sebelah Mimi.
"Kamu kenapa?" Velia melihat Mimi tampak tegang.
"Maaf, Tan, aku tadi ga kasih kabar kalau pulang agak malam. Habis kuliah jalan sama teman. Ada film bagus diajak nonton. Tante pasti kuatir aku ga ada kabar." Mimi menjelaskan.
"Iya. Aku telpon beberapa kali kamu ga angkat. Mau memastikan saja, kamu ikut makan malam atau tidak," ujar Velia.
"Ooh ... Lain kali aku pasti kasih tahu kalau pulang lebih lambat, Tan. Maaf." Mimi masih merasa bersalah.
"Ga apa-apa." Kembali Velia tersenyum pada Mimi. "Gimana kuliah? Asyik, 'kan?" Velia mencoba mengalihkan pembicaraan agar Mimi lebih cair.
"Iya. Masih penyesuaian sih, Tan. Tapi menyenangkan. Entah kalau udah jadwal mesti kumpul tugas-tugas nanti. Belum lagi kalau ikut kegiatan lainnya. Masih pendaftaran juga," jawab Mimi. Sedikit reda rasa tegang yang tadi mengocok dadanya.
"Hmm ... Kamu mau ikut kegiatan apa?" tanya Velia. Dia menuang air di gelas, lalu meneguk beberapa kali. Ternyata dia merasa haus juga.
"Aku cuma mau ikut satu dulu, Tan. Ikut paduan suara. Aku hobi nyanyi, sih." Mimi tersenyum.
"Iya, kamu suka bersenandung. Emang suara kamu bagus. Cocok itu," sahut Velia. Suara Velia lebih rileks dan renyah.
"Makasih, Tan. Sebenarnya pingin gabung di pecinta alam juga. Cuma masih baru, takut belum bisa atur waktu. Lihat semester berikut kayak gimana." Mimi meletakkan gelas yang dari tadi dia pegang.
"Baiklah. Kamu istirahat saja sekarang. Kamu pasti sudah lelah. Aku besok harus ke kantor. Ada tamu, bisanya hari Sabtu. Mau bagaimana lagi? Padahal pingin santai di rumah." Velia berdiri.
"Biar aku yang beres-beres rumah, Tan. Aku ga ada acara, kok." Mimi mendongak, melihat pada Velia.
"Atur saja." Velia tersenyum. Velia lebih dulu meninggalkan dapur.
Beberapa menit berikut, Mimi pun ke kamarnya. Sudah hampir jam sepuluh malam. Tapi Mimi belum merasa ngantuk. Mungkin karena dia menikmati hari ini. Menyenangkan dengan dua teman barunya. Sayang, ditutup teguran tidak enak dari Allan.
"Kak Allan ... Aku mesti gimana ya, menghadapi kamu? Mau ngajak ngobrol aku takut. Tapi kita ini tinggal serumah. Masa kayak musuhan?" gumam Mimi. Setiap membayangkan Allan ada rasa gundah di ujung hatinya.
Mimi masih ingat Allan suka sekali tersenyum, bahkan lebar, saat dia terakhir bertemu sebelum pindah ke sini. Allan suka bercerita lucu membuat Mimi tertawa ngakak. Rasanya senang sekali, seperti punya kakak laki-laki yang Mimi tidak pernah miliki. Mimi punya satu kakak perempuan. Melisa namanya. Dia sudah menikah dan tinggal dengan suaminya. Ada kalanya Mimi membayangkan bagaimana rasanya punya kakak laki-laki.
"Aku cari topik ngobrol apa biar bisa cair suasana sama Kak Allan?" Sambil berbaring Mimi berpikir.
"Ah ... tanya soal kuliah aja kali." Mimi tersenyum. "Ga masalah, kan, meski beda kampus, beda fakultas. Ada poin yang sama gimana menghadapi dunia perkuliahan."
Mimi masih berpikir mencari cara biar bisa kembali berteman dengan Allan. Pelan tapi pasti, mata Mimi makin berat, lama-lama Mimi tertidur juga.
*****
Pagi menggantikan malam. Mentari menyeruak membuka hari, memberi kehangatan pada seluruh alam. Burung kembali berkicau. Bunga-bunga mulai bermekaran dan kupu-kupu mulai beterbangan mengitarinya.
Mimi, seperti janjinya pada Velia, dia membereskan rumah. Velia sudah pergi setelah sarapan. Dengan semangat Mimi beredar di seluruh rumah dari bagian depan sampai belakang. Dia ingat pesan mamanya, sebelum berangkat ke Malang.
"Jangan manja lagi. Kamu tinggal sama orang lain, jangan cuma numpang makan dan tidur. Mesti peka apa yang kamu bisa bantu dan kerjakan. Harus bisa."
Makanya Mimi berusaha keras melakukan yang dia bisa saat dia berada di rumah. Dan hari ini kesempatan dia melakukannya dengan leluasa.
Setelah membersihkan semua di dalam rumah, Mimi ke bagian belakang rumah. Dia menyiram tanaman di taman, seperti yang biasa dilakukan Velia, kadang Allan juga membantu. Lalu Mimi melihat ke seluruh taman. Segar. Tapi ada tumbuhan semacam pakis yang tumbuh di dinding, sedikit agak atas. Jika dibiarkan akan makin banyak dan itu merusak pemandangan.
"Harus pakai tangga, nih. Ga bisa kalau aku cuma naik di atas bangku." Mimi bicara sendiri.
Mimi menoleh ke sana sini, mencari jika ada tangga. Ternyata tangga disandarkan di dinding sisi luar kamar belakang yang menjadi gudang. Mimi mengangkat tangga itu. Ternyata cukup ringan. Dia pasang pada dinding di dekat tumbuhan itu tumbuh. Pelan-pelan Mimi mencoba naik.
"Pelan, Mi ... Harus hati-hati. Ga ada yang pegang tangga di bawah. Oke ...." Lagi Mimi bicara sendiri.
Allan dari pintu belakang memperhatikan. Sejak tadi dia melihat Mimi, sebentar-sebentar mengintip gadis itu. Melihat Mimi yang lincah dan penuh semangat membuat Allan sedikit terhibur. Ternyata gadis itu masih seperti dulu tingkahnya. Hanya terbungkus kemasan sedikit lebih dewasa yang tampak di luar.
Mimi membersihkan tanaman yang tumbuh di dinding. Sekalian lumut yang juga mulai tumbuh di sekitar tanaman itu. Dia meraih ke sebelah kanan.
"Ihh ... Tinggal dikit ... Uhh ... Ayo, bisa ...." Mimi melebarkan tangan, sedikit mendorong ke sebelah kanan.
Tiba-tiba tangga yang memang ringan, tidak begitu kokoh, ikut bergeser, miring, dan ...
"Aaaahhhhh!!!" Mimi berteriak dengan keras karena dia terguling bersama tangga.
Tap!!
Allan menangkap tubuh Mimi. Dengan cepat Allan memeluk Mimi, melindungi gadis itu sehingga tangga jatuh menimpa punggung pria itu. Mimi sangat kaget. Kejadiannya begitu cepat. Jantung Mimi berdegup kencang karena terkejut. Dia sampai merasa sedikit gemetar.
"Kak Allan!!" Mimi memanggil Allan. Dia juga terkejut karena Allan tiba-tiba sudah datang menolongnya.
Allan menegakkan lagi badannya dan memandang Mimi. Gadis itu setengah melotot melihat pada Allan.
"Kak Allan ga apa-apa? Mana yang sakit? Sini, aku lihat. Apa di sini?" Mimi dengan cepat mendekati Allan, berdiri di belakang Allan memijat-mijat punggung pemuda itu.
Allan berbalik dan melihat Mimi yang benar-benar cemas. Allan menarik ujung bibirnya. Dia merasa Mimi lucu sekali. Mimi jadi terdiam, menatap pada pria dingin dan kaku di depannya.
"Kakak senyum ...," ucap Mimi lirih.
Pemandangan langka. Ini kali pertama Allan tersenyum sejak Mimi datang di rumah ini. Wajahnya terlihat berbeda tidak lagi terkesan ketus dan galak. Wajah tampan yang menyenangkan itu sempat muncul meski sesaat.
"Kamu masuk sana, biar aku bereskan." Senyum Allan menghilang. Dia mengangkat tangga yang tergeletak di dekatnya.
Allan memasang lagi tangga menempel di dinding, dia meneruskan apa yang Mimi kerjakan. Mimi masih berdiri di tempatnya memperhatikan Allan.
"Masuk! Ngapain di situ?!" sentak Allan.
Mimi melonjak kaget dan cepat-cepat masuk ke dapur. Kembali Allan tersenyum kecil melihat tingkah gadis itu. Kembali tangannya membersihkan dinding dari tanaman yang menempel di sana.
"Astaga!! Kenapa bisa gini?" Mimi mengusap dadanya. Mimi masih melihat Allan yang ada di atas tangga.
"Kalau senyum makin ganteng. Kenapa pakai pasang wajah sangar terus tiap hari?" gumam Mimi.
Mimi mengambil minuman dingin di kulkas. Dia pilih rasa jeruk kesukaannya. Dia teguk hingga setengah botol. Segar rasa tenggorokannya.
"Hmm, aku tahu gimana bisa meluluhkan hati membatu Kak Allan." Mimi tersenyum.
Dia kembali membuka kulkas. Dia mengeluarkan beberapa bahan. Lalu ke lemari penyimpanan juga. Dia akan membuat pancake. Dia pernah membuat di rumah bersama mamanya beberapa kali. Tidak rumit.
Segera Mimi memulai memasak. Tidak berapa lama bau harum sudah memenuhi dapur. Setelah jadi beberapa lembar, Mimi meletakkannya di piring kecil tiga lembar dengan toping keju dan coklat.
Mimi melihat ke belakang, Allan sudah tidak ada di sana. Mimi membawa piring itu ke rumah depan menuju kamar Allan. Di depan kamar Allan, Mimi ragu-ragu.
"Ketok ga? Ketok? Ahh ... gimana?" batin Mimi.
Tangan Mimi terangkat ke arah pintu dan ...,
Mimi tersentak. Pintu kamar Allan terbuka. Allan di balik pintu menatap pada Mimi. "Ngapain di sini?" Allan berkata dengan ketus. Mata galak muncul lagi dari dua bola mata hitam dan tegas itu. "Eh ... Ini ..." Mimi langsung gugup. Dia sampai bingung, mau bilang terima kasih, kata-kata itu seperti jauh sekali dari bibirnya. "Apa itu?" Allan melihat piring yang Mimi bawa. Harum masuk ke hidung Allan dan terbayang rasanya yang lezat. "Pancake. Buat Kak Allan ... ini ..." Mimi menyodorkan piring ke depan Allan. Melihat tatapan tajam Allan, Mimi makin ciut. "Cuma mau bilang terima kasih ... Eh, kalau ga suka ... Ga apa ..." Mimi menarik lagi tangannya. Dengan jantung berdetak tak beraturan, Mimi balik badan melangkah kembali menuju ke dapur. "Hei!" panggil Allan. Mimi seketika menghentikan langkahnya. Perlahan dia memutar tubuhnya. Allan berjalan ke arahnya. "Thank you." Allan mengambil piring di tangan Mimi. Dia membawa piring itu ke ruang belakang, ke tempat kerjanya.
Dayinta melambai pada Mimi yang berdiri di depan pintu kelas. Mimi tersenyum melihat sahabatnya, lalu berjelan mendekati Dayinta dan duduk di sisi cewek bertubuh bongsor itu. "Gimana? Berhasil?" sambut Dayinta. "Apanya yang berhasil?" Mimi mengeluarkan laptop dan membukanya, menyiapkan alat itu untuk kelas yang akan segera dimulai beberapa menit lagi. "Misi makanan kesukaan?" Dayinta memandang Mimi. Mimi menoleh pada Dayinta. "Belum, Day. Harus cari momen yang pas. Ga bisa asal. Kalau Kak Allan lagi bete, bukan dia mau makan, dia semprot aku, berabe urusan." Dayinta menanyakan rencana Mimi mau membuat makanan kesukaan Allan. "Ih, kayak mau nembak cowok aja pakai momen yang pas, biar spesial, tak terlupakan sepanjang hidup." Dayinta terkekeh. "Iya juga, ya ..." Mimi mengerutkan kening, menyatukan alisnya. "Emang ganteng ya, Kak Allan itu?" Dayinta jadi penasaran. "Ganteng. Jadi model atau artis juga cocok tampangnya. Tapi gitu, deh, mengerikan. Makhluk antik." Mimi men
Dag dig dug di dada Mimi makin jadi memandang wajah tampan di depannya. Sebenarnya Allan masih lebih ganteng, tapi ada raut khas wajah Nehan yang membuat dia begitu menarik. "Sampai minggu depan. Aku sudah mikir kita bisa duet bareng, nih, di satu momen nanti." Nehan kembali tersenyum. Kata-kata itu membuat Mimi makin melambung. Duet? Sama di keren ini? Wajah Mimi memerah. "Ah, iya, Kak ...," ujar Mimi sambil tersenyum malu-malu, lalu dia berjalan keluar ruangan besar itu. “Dia cantik sekali.” Bram bicara sambal melihat Mimi yang berlari kecil meninggalkan ruangan itu. “Mau, Bram?” ujar Nehan. “Kalau masih jomblo, oke. Tapi aku sudah ada cewek, Bro, harus setia,” tukas Bram menoleh pada Nehan. “Cie … setia …” Nehan menggeleng. Bram selama ini dikenal suka gonta ganti pacar. “Udah, Guys, lanjut … masih panjang antrian.” Finda nyeletuk. “Oke.” Dan terdengar nama yang lain dipanggil untuk maju memulai audisinya. Di luar ruangan, Mimi merasakan lebih lega. Perlahan degupan j
Mimi makin sibuk tetapi makin bersemangat. Seminggu dua kali latihan paduan suara. Terasa hobinya tuntas tersalurkan di sana. Latihan vokal yang dia dapat mematangkan tekniknya dalam bernyanyi. Juga seru, dia makin punya banyak teman. Yang lebih asyik lagi, Kak Nehan Mahadi. Mimi bisa melihatnya membuat harinya makin cerah rasanya. Nehan ramah, supel, dan ngocol. Seru banget latihan bersamanya. Tidak disangka, waktu mereka dibagi dalam kelompok kecil, Nehan menjadi mentor kelompok Mimi. Sekarang, Mimi mulai kenal dekat siapa Nehan. Dia dari Fakultas Teknik, sudah mulai mengerjakan skripsi. Dia asli dari Jember, salah satu kota di Jawa Timur. Lahirnya 24 Mei. Mimi mencatat semua informasi tentang Nehan. Dan apapun yang ada hubungannya dengan pria itu menarik buat Mimi. Suaranya lagi kalau menyanyi, tenor abis. Bikin Mimi merinding saat dia menarik nada tinggi dan pakai falsetto. Teknik vokalnya benar-benar mantap dan matang. Misal dia pingin jadi penyanyi dan mendaftarkan diri ikut
Berkutat di dapur, Mimi akhirnya selesai juga membuat puding coklat buat Allan. Siang panas begini pasti cocok makan puding dingin dengan vla susu. Mimi tersenyum membayangkan Allan akan senang menerima kejutan Mimi. Siapa tahu pemuda tampan yang dingin itu akan menyisihkan kebekuannya dan melempar senyum pada Mimi. Mimi meletakkan puding di piring saji kecil yang manis. Dia akan tunggu sampai jam makan siang. Mimi tidak berani mengganggu Allan kecuali pada jam makan. "Ya, ini waktunya." Mimi melihat jam dinding di dapur. Dia berdiri akan memanggi Allan di ruang kerjanya. Baru empat langkah, Allan muncul. Dia rupanya sudah tahu ini saatnya makan siang. Kebiasaan Allan tidak begitu peduli dengan jam makan. "Eh, Kak ... Makanan siap." Mimi memandang Allan. Berharap mood cowok itu sedang bagus. "Oke." Allan melangkah mendekati meja. Dia membuka tudung saji dan melihat apa yang Mimi siapkan. Mimi menunggu reaksi Allan saat melihat puding di piring. Dia akan senang. "Ayo ... se
Mimi menghentikan mulutnya mengunyah makanan. Dia memandang Allan dengan gelisah. Ingin sekali dia menangis, tapi dia malu dan takut. Mimi menunduk, kembali mengunyah makanannya dengan cepat. Dia merasa butiran bening sudah bertengger di ujung matanya. Allan maju dan duduk di kursi di depan Mimi. Jujur saja, Mimi ingin berlari meninggalkan Allan, lalu masuk ke kamarnya. Tapi dia harus bertahan, harus bisa menghadapi Allan. "Maafkan aku ..." Allan menatap Mimi yang menunduk, pura-pura sibuk dengan makanan yang sudah kosong di atas piring. Mimi mencedok sayur sekali, sedikit saja. Dia pura-pura ingin lanjut makan, padahal dia hanya tidak mau melihat Allan. "Aku ... Tidak seharusnya aku marah sama kamu. Kamu sudah menyiapkan makanan buat aku, dan ... aku ga menghargainya." Kali ini Allan bicara lembut. Suaranya yang seperti ini yang dulu selalu Mimi dengar kalau Allan bicara. Mimi tidak menjawab. Tidak tahu mau bicara apa. Kalau dia buka mulut, Mimi takut air matanya tumpah. "Ma
Mimi menatap Ricky. Menunggu temannya itu ingin mengatakan sesuatu. Wajah Ricky tampak serius, tapi malah terlihat lucu. Karena bagusnya ini cowok mewujudkan diri dengan tampang lucu dan menggemaskan. "Kamu beneran suka sama itu kakak keren dan ganteng?" Ricky lurus memandang pada mata Mimi. "Iya ... Gitu, deh ..." Mimi nyengir. "Sejauh ini, dia itu salah satu idola di fakultas dia. Secara dia anak orang tajir meski ga melintir. Tunggangan dia aja lumayan keren, kan? Dan dia ga suka main cewek. Baik sama semua tapi ga PHP." Ricky menceritakan soal Nehan. Mimi mengerutkan kening. Ini cowok tahu detil gitu, dapat info dari mana? "Kamu abis mata-matai Kak Nehan, ya?" Mimi mengacungkan telunjuknya di depan Ricky. "Nggak laa ... Ngapain? Emangnya dia mau selingkuh?" Ricky ikutan nyengir. Mimi terkikik. Lucunya Ricky akhirnya muncul lagi. Hati Mimi makin melambung. Pria yang dia sukai memang orang baik. Rasanya dia makin ingin dekat sama Nehan. Siapa yang tahu apa yang terjadi nanti.
“Aku berangkat dulu. Jangan sampai telat. Seminar kali ini penting banget.” Velia menarik kopernya. “Sini, aku bawakan.” Allan meminta koper Velia dan membawakan ke depan. Velia mengikuti sambil menenteng tasnya. Di halaman rumah mobil jemputan Velia sudah menunggu. Allan menaruh koper di bagasi, lalu melihat Velia yang sudah masuk ke dalam mobil. “Mama baik-baik.” “Tentu. Kamu juga, baik-baik sama Mimi. Mama cuma nginap semalam. Oke?” Velia tersenyum. Mobil berjalan keluar halaman, meninggalkan rumah itu. Allan balik badan dan melihat Mimi keluar rumah. Dia sudah siap akan pergi ke kampus. “Aku pergi, Kak,” pamit Mimi. “Kamu pulang sore?” Allan bertanya. “Nggak. Paling jam tiga sudah di rumah,” jawab Mimi. “Langsung pulang. Ga usah nunggu tumpangan.” Allan memandang Mimi. Mimi yang sedang merapatkan kancing tasnya mengangkat kepala melihat Allan. Apa maksud Allan berkata begitu? “Kamu baru kenal siapa kakak paduan suaramu itu. Jaga diri.” Pandangan Allan tajam pada Mimi. “
Allan berdiri di altar menunggu Mimi akan masuk bersama Hendra. Hatinya berdetak makin kencang setiap melihat arloji di pergelangan tangannya, memastikan menit berjalan dan tidak lama lagi pengantinnya akan datang menemui dia. Velia duduk di kursi di deretan pertama. Ferdinand di sisinya. Momen yang tak pernah terpikir oleh Velia, mereka duduk bersama, menyaksikan putra mereka menikah. Kalaupun ada pikiran itu, Velia membuangnya jauh-jauh. Ferdinand suami orang lain. Dia singkirkan semua bayangan Ferdinand. Siapa yang tahu yang akan terjadi dalam hidup. Velia dan Ferdinand menjadi teman. Perlahan, Velia mampu mengubah sakit hati jadi pengalaman yang mendewasakannya. Cinta yang dalam pada Ferdinand, dia ubah menjadi rasa sayang pada seorang kakak. Lea duduk di belakang mereka bersama Astari, Devis, dan putra mereka yang lucu. Sayang, Andini tidak bisa datang pada acara pemberkatan. Dia mengatakan akan menyusul saat resepsi. "Mari hadirin sekalian, kita akan menyambut mempelai wanita
Hari-hari penuh kejutan seolah tiada habisnya. Itu yang Mimi rasakan. Kejutan baik dan menyenangkan, tetapi juga kejutan yang membuat hati rasa tidak karuan. Semua itu membuat up and down hari-hari yang dilalui. Megi, kejutan terakhir yang sempat membuat Mimi galau. Keinginannya untuk bersimpati membuka pintu lain yang tidak dia duga. Allan bertemu sahabat lamanya. Megi, yang Allan kenal dengan panggilan Rere. Setelah kunjungan ke rumah sakit hari itu, Allan terus berkomunikasi dengan Megi. Mimi tidak bisa melarang. Bagaimanapun mereka teman lama dan Megi sedang butuh bantuan. Allan juga selalu memberitahu Mimi apa saja yang Allan komunikasikan dengan temannya itu. Allan tidak ingin Mimi salah paham lalu hubungan mereka yang menjadi tidak baik. "Kamu yakin ga masalah Kak Allan dekat sama Megi?" Dayinta menimpali apa yang Mimi katakan padanya. "Aku harus larang? Hanya karena cemburu? Aku ga cemburu juga, sih. Hanya ada rasa ga nyaman saja." Mimi menelusuri hatinya. Dia harus percaya
Mimi, Allan, dan Velia mengantar Ferdinand, Lea, dan Astari, serta Bintang yang tampan ke bandara. Mereka akhirnya balik ke Bandung. Astari sudah cukup kuat. Begitu juga bayinya. Perusahaan juga sudah menunggu Astari kembali menata pekerjaan di sana. Melepaskan mereka pulang ternyata cukup mengharukan. Apalagi Mimi mulai terbiasa mendengar suara tangis bayi mungil itu. Mendengar Velia atau Lea menyanyi saat menggendong Bintang hingga bayi itu tidur dalam dekaoan mereka. Pasti akan lama bisa melihatnya lagi. Dari bandara, Allan meluncur menuju kantor Velia. Memang hari Sabtu, tetapi ada yang harus Velia kerjakan. Sedang Allan dan Mimi, meneruskan perjalanan kemudian ke rumah sakit. Mimi terus memikirkan Megi. Sejak tahu wanita itu kecelakaan, dia merasa iba dan ingin tahu seperti apa kondisinya. "Kamu mau menjenguk Megi? Dia yang selama ini bersikap mengesalkan sama kamu? Yakin?" Itu yang Allan katakan waktu mendengar permintaan Mimi. Mimi dengan mantap mengatakan memang ingin menje
Hati Mimi berdetak kencang. Pesan yang dia terima dari Megi membuat semua kegembiraannya seketika lenyap. Megi dipecat. Tentu saja dia sangat marah. Dia punya posisi dengan prospek bagus di kantor, sebagai asisten bagian pemasaran. Kalau sampai tiba-tiba itu lepas, dia harus mulai di tempat lain, tentu tidak mudah. Yang menjadi masalah adalah Mimi yang Megi anggap sebagai biang keladi! Sangat tidak masuk akal. Mimi ada di bagian lain di kantor itu. Dengan Megi juga jarang berurusan. Bagaimana bisa Mimi yang bersalah kalau Megi dipecat? Mimi berpikir, apa yang terjadi? Di mana letak kesalahannya? Dia bicara apa dengan Pak Guntur? Mimi tidak mengerti. Sepanjang malam Mimi jadi tidak tenang. Beberapa kali dia terbangun karena mimpi buruk. "Ah, Mi, kenapa kamu jadi takut kayak gini. Megi uda ga akan balik kantor. Tenang saja." Mimi menenangkan dirinya sendiri. Dia tegaskan kalau Megi hanya mengancam, karena dia kesal. Bisa jadi dia begitu kepada orang lain juga, bukan hanya Mimi. Mimi
Tangan Allan terulur, meraih jemari Mimi dan menyematkan cincin mungil di jari manis tangan kiri gadis berbalut gaun warna salem itu. Cantik, sangat pas buat dirinya. Mimi terlihat lebih dewasa tapi tidak terkesan lebih tua dari umurnya. Dengan senyum manis, sementara jantung yang terus meletup, Mimi ganti memasangkan cincin di jari manis tangan kiri Allan. Jarinya kuat, besar, dan panjang. Tangan Mimi terlihat begitu mungil berpegangan pada tangan Allan. Tepuk tangan terdengar dari keluarga yang hadir. Senyum menghiasi wajah orang tua Mimi, Viviana dan Hendra. Velia dan Ferdinand, kali ini duduk berdampingan. Ini hari istimewa Allan. Putra mereka resmi bertunangan dengan Mimi. Ferdinand tidak mengira, dia bisa hadir dan menyaksikan hari berharga ini. "Selamat ya ... makin sayang satu sama lain. Biar angin ribut menderu, tetap kokoh cintanya!" Melisa, kakak Mimi nyeletuk, membuat yang lain tertawa, sementara Mimi makin tersipu. Doa dinaikkan untuk keduanya. Agar dengan memasuki hub
Suara tangis bayi kembali terdengar, tapi kemudian hilang. Andini berdiri dan mendekat ke ruang bersalin. Dia yakin itu bayi Astari yang sudah lahir. Tangis yang membawa kebahagiaan. Sebuah kehidupan baru yang hadir. Mengubah banyak hal dalam kehidupan sebuah keluarga. "Suaranya kencang sekali. Pasti dia anak laki-laki yang kuat." Andini tersenyum. Hatinya campur aduk dengan kejadian tiba-tiba ini. Senang, tapi masih sedikit cemas. Apakah Astari baik-baik saja? Bayinya juga, apakah benar-benar sehat? Allan memandang Andini yang masih gelisah, tetapi senyum Andini belum hilang dari bibirnya. "Sudah tahu nama anaknya Kak Tari?" Allan bertanya. Andini kembali mendekati Allan, duduk di tempatnya semula. "Ya. Kak Tari pernah bilang, Bintang. Baru itu yang aku tahu, belum tahu lengkapnya. Aku ga sabar mau lihat dia." Pintu ruangan itu terbuka. Velia keluar dari sana. Allan dan Andini memandang Velia yang berjalan ke arah mereka. "Tan, gimana?" Andini menatap Velia. Velia tersenyum. "T
Allan kembali ke ruangan. Andini dan Yudha tampak tersenyum satu sama lain. Allan mencoba mencermati wajah mereka. Tampak biasa saja. Tidak ada yang aneh. Allan juga mendengar pembicaraan mereka bukan tentang sesuatu yang khusus di antara mereka. Tidak lama kemudian, Allan dan Andini pamitan, meninggalkan Yudha. Dalam perjalanan pulang, ingin sekali Allan bertanya, tapi dia merasa tidak nyaman. Bagaimanapun, Andini pernah ada rasa padanya. Dia mengenal Andini sebagai kakak belum begitu lama. Kikuk dan canggung bertanya hal-hal semacam itu. Allan mengantar Andini ke hotel lalu dia kembali pulang. Baru selesai mandi, dering ponsel terdengar keras. Cepat-cepat dia menerima panggilan itu. Yudha yang menghubunginya. Dengan semangat Yudha menceritakan apa yang terjadi pada pertemuan terakhirnya dengan Andini. Gadis itu menerima Yudha. Mata Allan melebar, dadanya berdegup kencang. Kenapa dia yang merasa tidak karuan padahal Yudha yang mendapat jawaban cinta? "Yudha, serius? Ini beneran?" A
Mimi memperhatikan dua design yang ada di tangannya. Keduanya sangat manis dan Mimi suka. Allan ternyata punya selera bagus juga dalam mode. Mimi memilih gaun dengan model slim di badan, lengan sampai di siku, dari pinggang higga selutut melebar. Allan tersenyum saat Mimi menunjuk design yang dia pilih. Benar-benar mewakili karakter Mimi. Imut, ceria, tetapi juga cerdas. Allan makin tidak sabar segera melihat Mimi memakainya. Dan itu di hari istimewa mereka. Allan sudah menyiapkan hari dia akan datang menemui orang tua Mimi di Surabaya, menggelar pertunangan di sana. "Kak, makasih banget. Aku ga mikir apapun soal pertunangan. Tapi Kak Allan, astaga, aku benar-benar terkejut," ujar Mimi sambil tersenyum senang. Mata cerah Mimi membuat Allan ikut tersenyum lebar. Keluar dari butik itu, Allan langsung membawa Mimi pulang ke salah satu hotel tak jauh dari situ. Kejutan apa lagi yang Allan siapkan? Mimi merasa sore itu Allan bertingkah begitu berbeda. "Kak Astari dan Kak Andin datang. B
Seketika Mimi mengangkat wajahnya mendengar pertanyaan Guntur. Dia menggigit bibirnya dan memandang sedikit takut pada pimpinannya itu. "Katakan saja yang kamu tahu. Aku tahu kamu gadis yang jujur. Aku juga berharap kamu gadis yang berani." Tatapan Guntur tertuju pada Mimi. Makin berdesir hati Mimi. Seperti yang Guntur pikirkan, memang ada masalah dengan pelaporan itu. Mimi merasa makin sulit situasinya. Ini akan menjadi kesempatan dia jadi pahlawan atau di sisi lain, dia akan menjadi musuh beberapa orang di kantor itu. Yang pasti, Mimi tidak mungkin tidak mengatakan yang dia temukan. Jika dia mengatakan yang berbeda karena ingin aman, bisa jadi dia dinilai sebagai pegawai yang buruk. "Mimi, waktu kita tidak banyak." Guntur menegaskan karena Mimi tidak segera menjawab. "Saya minta maaf, Pak, ini ..." Mimi mendekat dan menunjukkan yang dia lihat pada laporan itu. Dag dig di dadanya bukan makin surut. Dalam hati Mimi terus berdoa hari ini menjadi hari baik buatnya. Kalaupun yang ter