Share

10. Nehan Mahadi

Penulis: Ayunina Sharlyn
last update Terakhir Diperbarui: 2021-03-27 20:34:36

Mimi makin sibuk tetapi makin bersemangat. Seminggu dua kali latihan paduan suara. Terasa hobinya tuntas tersalurkan di sana. Latihan vokal yang dia dapat mematangkan tekniknya dalam bernyanyi. Juga seru, dia makin punya banyak teman.

Yang lebih asyik lagi, Kak Nehan Mahadi. Mimi bisa melihatnya membuat harinya makin cerah rasanya. Nehan ramah, supel, dan ngocol. Seru banget latihan bersamanya. Tidak disangka, waktu mereka dibagi dalam kelompok kecil, Nehan menjadi mentor kelompok Mimi. 

Sekarang, Mimi mulai kenal dekat siapa Nehan. Dia dari Fakultas Teknik, sudah mulai mengerjakan skripsi. Dia asli dari Jember, salah satu kota di Jawa Timur. Lahirnya 24 Mei. Mimi mencatat semua informasi tentang Nehan. Dan apapun yang ada hubungannya dengan pria itu menarik buat Mimi.

Suaranya lagi kalau menyanyi, tenor abis. Bikin Mimi merinding saat dia menarik nada tinggi dan pakai falsetto. Teknik vokalnya benar-benar mantap dan matang. Misal dia pingin jadi penyanyi dan mendaftarkan diri ikut audisi pencarian bakat, Mimi yakin pasti lolos. 

“Oke, sampai minggu depan, ya? Kita akan coba satu lagu full. Jadi kalian berlatih di rumah, waktu pertemuan selanjutnya, kalian sudah siap.” Nehan memberi pesan terakhir sebelum latihan hari itu selesai dan mereka bubar.

“Siap, Kak!” Semua menjawab dengan semangat.

Mimi bersiap pulang. Dia lihat jam di tangannya sudah hampir jam lima sore. 

“Mi, bisa tinggal sebentar?” Nehan memanggil Mimi.

Deg! Dada Mimi berdegup. Dipanggil Nehan? Ada apa, ya?

“Iya, Kak.” Segera Mimi mendekat pada laki-laki itu.

“Mi, untuk lagu ini, pada bagian bridge, kita akan nyanyi bareng. Kamu pelajari, latihan minggu depan kita coba. Bisa?” Nehan menunjukkan bagian yang dia mau berduet dengan Mimi.

Hati Mimi berbunga. Ternyata kata-kata Nehan saat audisi dulu dipenuhi. Dia bukan sekedar iseng ngomong. Dia sudah merencanakannya. Sekarang dia beritahu Mimi soal itu.

“Iya, siap, Kak.” Mimi mengangguk mantap.

“Kamu pulang sendiri?” Nehan bertanya.

“Iya, Kak,” jawab Mimi.

“Kamu tinggal di mana?” Sambil berjalan meninggalkan ruang latihan mereka masih bicara.

“Di perumahan …” Mimi menyebutkan alamatnya tinggal.

"Oh? Aku lewat situ, sih. Mau bareng?" Nehan menawari. 

Serius? Pulang dengan kakak ganteng dan keren ini? Hati Mimi meletup. 

"Eh, bareng, Kak? Ga ngrepotin?" Mimi masih belum yakin. 

"Iya. Lumayan irit bayar ojol." Nehan menggoda Mimi. 

"Ehh ... boleh, deh. Makasih sebelumnya, Kak." Mimi mengiyakan juga. Makin degdegan rasanya. 

Mereka menuju ke parkiran. Nehan membuka mobilnya. 

"Masuklah," ucap Nehan. Dia lebih dulu masuk dan duduk di belakang kemudi.

Mimi ragu-ragu, berdua dalam mobil? Apa tidak apa-apa? 

"Ayo, ga usah malu. Teman-teman juga biasa kok, nebeng sama aku." Nehan tersenyum. 

"Iya, Kak." Mimi pun masuk dan duduk di sebelah Nehan. 

Nehan menjalankan kendaraannya. Mobil ini lumayan keren. Bukan yang paling baru dan nge-trend, tapi tergolong mobil kelas menengah. Mimi bisa mengira Nehan anak orang kaya. 

"Kamu asli Surabaya, kan?" Nehan mulai percakapan. 

"Iya, Kak." Mimi menjawab. Dia lihat Nehan sebentar, lalu kembali melihat jalanan. 

"Berarti sering pulang, dong. Kan dekat, dua jam aja?" Nehan membunyikan klakson, memberi kode dia akan menyalip kendaraan di depannya. 

"Ga terlalu sering, Kak. Sejak kuliah baru dua kali pulang. Tapi sering telpon papa dan mama," jawab Mimi. 

"Ooh ..." Nehan manggut-manggut. "Aku dulu kalang kabut waktu baru kos. Di rumah semua ada yang bantu. Lha, di sini harus bisa sendiri. Rasanya mau minta satu pembantu aku bawa ke sini, haa ... haa ... Tapi, akhirnya bisa juga." 

Mimi ikut mesem mendengar cerita Nehan. 

"Berapa orang yang kos di tempat kamu?" Nehan mengira Mimi kos. 

"Aku tinggal dengan temannya Mama. Jadi bukan kos." Mimi menjelaskan. 

"Ooh ... Gitu ... Lebih enak, ya, ga ribut. Kalau di kosan, kadang ribut ampun. Ada saja yang ga bisa ikut aturan, semau sendiri. Tapi karena biasa, ya udah ga ngefek." Nehan membelokkan mobil ke arah kiri. 

"Gimana kamu ikut paduan suara? Nyaman? Ada yang sulit?" Nehan tidak habisnya bertanya ini itu. Tapi membuat Mimi nyaman. 

"Nyaman, Kak. Aku senang. Hobi bisa tersalurkan, punya banyak teman juga. Dan Kak Nehan yang jadi mentornya, asyik." Jujur, Mimi mengatakan yang dia rasa, meski sedikit malu-malu. 

Nehan tersenyum lebar. Dia memperhatikan Mimi. Gadis lugu dan apa adanya. Sepertinya seru juga bisa dekat dengan Mimi. 

"Maksudnya aku baik?" tanya Nehan. 

"Gitu, deh ... Hee ... hee ..." Mimi melebarkan bibirnya. 

"Bentar lagi, sampai. Masuk gang depan itu, kan?" Nehan melihat ke jalanan di depannya. 

"Iya, Kak. Gang kedua masuk, rumah nomor 37." Mimi menjelaskan. 

"Oke." Nehan mengikuti arahan Mimi. 

Dua menit berikut mereka tiba di depan rumah Velia. Mobil berhenti tepat di depan pagar rumah. Mimi turun dari mobil hitam keren itu. 

"Terima kasih, Kak," kata Mimi. 

"Ga diajak mampir, nih?" Nehan menyahut. Sedikit basa basi, tapi jika boleh dia akan tahu lebih jauh Mimi seperti apa. 

"Eh ... Ga bisa, maaf ... Ga enak sama Tante Velia dan Kak Allan. Maaf, ya, Kak." Mimi menjawab gugup. 

"Ga apa, Mi. Aku cuma basa basi, kok. Bye." Nehan tersenyum lalu menjalankan lagi mobilnya, menuju ke arah keluar perumahan. 

Mimi membuka pagar, berjalan ke teras rumah. Begitu dia akan buka pintu, dari dalam pintu dibuka seseorang lebih dulu. Allan, dia berdiri di sana, memandang Mimi. 

"Sore, Kak." Mimi menyapa. 

"Pulang sama siapa?" Allan bertanya dengan nada kaku, agak ketus. 

"Itu ... Kakak mentor di paduan suara." Mimi menjawab dengan sedikit takut. 

"Oh ..." Allan masih menatap Mimi membuat Mimi salah tingkah. 

"Dia lewat arah sini, jadi diajak bareng." Mimi menambahkan. 

"Hm ..." Allan berbalik, berjalan meninggalkan Mimi, masuk ke dalam kamarnya. 

"Uuhhffhh ..." Mimi menarik napas dalam. "Kenapa aku merasa seperti berbuat dosa, ya? Cuma pulang bareng. Apa aku yang terlalu takut sama Kak Allan?"

Mimi masuk ke kamarnya. Dia letakkan tas, melepas sepatu, mengambil ponselnya. Dia chat Dayinta. 

-Day, lagi apa? 

Tidak lama Dayinta membalas. 

- abis mandi. Napa? 

Mimi tersenyum. 

- aku pulang bareng kak Nehan. 

Dayinta langsung membalas. 

- cius? Kakak keren itu? Kok bisa? 

Dayinta ga sabar, dia telpon Mimi. 

"Gitu ... Jadi barengan, deh," kata Mimi menceritakan gimana bisa dia diantar pulang Nehan. 

"Mi, kamu yakin suka dia?" Dayinta bertanya tanpa ba bi bu. Dia memang ceplas ceplos.

"Iya ... Aku mulai yakin ... Suka sama Kak Nehan ... Kok kayaknya dia mendekat, ya?" Gemuruh rasanya di dada Mimi bicara tentang Nehan. 

"Kalau dia baik, lalu sayang kamu, ya kenapa nggak? Tapi bener dia ga punya pacar, Mi?" Dayinta berpikir. Nehan kan, ganteng, keren, punya potensi segitu bagus, mana mungkin ga punya cewek.

"Iya juga, ya ... Ah, aku ini kege-eran kali, Day. Merasa dia juga suka aku, makanya perhatian gitu. Ngajak duet, lalu ngajak pulang bareng," tukas Mimi. 

"Lihat aja nanti gimana. Kalau bener dia jomblo, mendekat, tancap, Mi. Kalau ternyata udah ada cewek, kamu ga akan kecewa banget. Iya, kan?" Dayinta sok menasihati Mimi. 

"Emang bisa gitu? Aku kok takut, Day," ujar Mimi. Dia duduk bersila di atas kasurnya. 

"Kamu belum pernah pacaran?" tanya Dayinta. Dari gelagat Mimi, jelas gadis ini masih polos banget. 

"Belum. Ga ada yang nembak. Pernah suka teman, dua kali. Eh, tiga kali, sama Kak Allan." Mimi memang sangat polos. 

"Kamu suka makhluk antik itu?" Dayinta agak kaget juga dengan pengajuan Mimi. 

"Hee ... hee ..." Mimi tersenyum malu-malu. "Dulu, waktu Kak Allan masih baik. Ga kayak sekarang."

"Sebelum dia jadi antik?" tukas Dayinta. 

"Hmm ... Kalau sekarang, lihat dia aja udah pingin ngacir," sahut Mimi. 

"Lalu, misi makanan kesukaan? Katanya mau coba luluhkan hatinya?" Dayinta mengingatkan rencana Mimi. 

"Eh, iya ... Aku sudah beli bahannya juga. Apa besok aja ya, aku buatin? Kan besok libur." Mimi berpikir.

"Coba saja. Setidaknya kamu di rumah jadi ga kayak asing sama dia. Kalau berhasil misi kamu," dukung Dayinta. 

"Okelah ..." Mimi memutuskan. 

*****

Hari libur lagi, Mimi bersiap akan melakukan misinya. Membuatkan puding spesial buat Allan. 

Dia ingat, Allan suka puding. Pernah mama Mimi bawakan Allan sekali duduk bisa habis lima potong. Kata Allan waktu itu, puding rasa coklat paling enak, paling dia suka. Dan hari ini Mimi akan buatkan puding coklat buat Allan. 

"Mi, Tante pergi dulu. Kamu ga usah bereskan semua kalau capek. Istirahat saja, kerjakan seperlunya. Minggu depan kita bereskan rumah sama-sama." Velia berpesan pada Mimi. Dia ikut kegiatan aksi sosial dengan teman sekantornya ke sebuah yayasan anak. 

"Iya, Tan," kata Mimi. "Tante pulang jam berapa?"

"Sepertinya sampai gelap baru bisa balik. Tempat yang dituju di pinggiran kota. Kamu minta bantuan Allan kalau perlu apa-apa." Velia mengangkat tasnya. 

"Ehh ... Iya ..." Ragu Mimi menjawab. 

"Kamu di sini Allan jauh lebih tenang. Dia tidak lagi mudah murung dan uring-uringan. Dia sudah lebih jarang mimpi buruk," ucap Velia sambil berjalan keluar rumah. 

"Mimpi buruk?" Mimi berkata pelan. 

"Ya ... Dia sering mimpi buruk tentang kejadian tragis yang dia alami. Tapi sekarang sudah makin jarang. Jika kamu bisa berteman dengannya, mungkin dia akan makin baik lagi." Velia menjelaskan situasi Allan. 

"Ohh ... Iya, Tan. Aku coba." Mimi mengangguk.

Setelah Velia pergi, Mimi menutup pintu rumah dan menuju dapur. Melewati ruang kerja Allan, Mimi berhenti. Dia menempelkan telinga di pintu, mencoba mendengar sesuatu. Sepi. Tidak ada suara apapun. 

Mimi menurunkan badannya. Dia mengintip dari cela kunci pintu. Sedikit terlihat Allan duduk menghadap kanvas. 

"Melukis terus. Sudah puluhan lukisannya. Sayang, cuma ditumpuk doang. Padahal dia bisa jadi seniman hebat. Sayang banget." Mimi berdiri, melanjutkan langkah kakinya ke dapur. Dia akan berikan kejutan buat Allan hari ini. 

*

*

Apa kejutan Mimi berhasil? Lanjut yukk ...  

Bab terkait

  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   11. Kejutan Puding Mimi

    Berkutat di dapur, Mimi akhirnya selesai juga membuat puding coklat buat Allan. Siang panas begini pasti cocok makan puding dingin dengan vla susu. Mimi tersenyum membayangkan Allan akan senang menerima kejutan Mimi. Siapa tahu pemuda tampan yang dingin itu akan menyisihkan kebekuannya dan melempar senyum pada Mimi. Mimi meletakkan puding di piring saji kecil yang manis. Dia akan tunggu sampai jam makan siang. Mimi tidak berani mengganggu Allan kecuali pada jam makan. "Ya, ini waktunya." Mimi melihat jam dinding di dapur. Dia berdiri akan memanggi Allan di ruang kerjanya. Baru empat langkah, Allan muncul. Dia rupanya sudah tahu ini saatnya makan siang. Kebiasaan Allan tidak begitu peduli dengan jam makan. "Eh, Kak ... Makanan siap." Mimi memandang Allan. Berharap mood cowok itu sedang bagus. "Oke." Allan melangkah mendekati meja. Dia membuka tudung saji dan melihat apa yang Mimi siapkan. Mimi menunggu reaksi Allan saat melihat puding di piring. Dia akan senang. "Ayo ... se

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-28
  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   12. Kata Hati Allan

    Mimi menghentikan mulutnya mengunyah makanan. Dia memandang Allan dengan gelisah. Ingin sekali dia menangis, tapi dia malu dan takut. Mimi menunduk, kembali mengunyah makanannya dengan cepat. Dia merasa butiran bening sudah bertengger di ujung matanya. Allan maju dan duduk di kursi di depan Mimi. Jujur saja, Mimi ingin berlari meninggalkan Allan, lalu masuk ke kamarnya. Tapi dia harus bertahan, harus bisa menghadapi Allan. "Maafkan aku ..." Allan menatap Mimi yang menunduk, pura-pura sibuk dengan makanan yang sudah kosong di atas piring. Mimi mencedok sayur sekali, sedikit saja. Dia pura-pura ingin lanjut makan, padahal dia hanya tidak mau melihat Allan. "Aku ... Tidak seharusnya aku marah sama kamu. Kamu sudah menyiapkan makanan buat aku, dan ... aku ga menghargainya." Kali ini Allan bicara lembut. Suaranya yang seperti ini yang dulu selalu Mimi dengar kalau Allan bicara. Mimi tidak menjawab. Tidak tahu mau bicara apa. Kalau dia buka mulut, Mimi takut air matanya tumpah. "Ma

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-29
  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   13. Makin Terpaut

    Mimi menatap Ricky. Menunggu temannya itu ingin mengatakan sesuatu. Wajah Ricky tampak serius, tapi malah terlihat lucu. Karena bagusnya ini cowok mewujudkan diri dengan tampang lucu dan menggemaskan. "Kamu beneran suka sama itu kakak keren dan ganteng?" Ricky lurus memandang pada mata Mimi. "Iya ... Gitu, deh ..." Mimi nyengir. "Sejauh ini, dia itu salah satu idola di fakultas dia. Secara dia anak orang tajir meski ga melintir. Tunggangan dia aja lumayan keren, kan? Dan dia ga suka main cewek. Baik sama semua tapi ga PHP." Ricky menceritakan soal Nehan. Mimi mengerutkan kening. Ini cowok tahu detil gitu, dapat info dari mana? "Kamu abis mata-matai Kak Nehan, ya?" Mimi mengacungkan telunjuknya di depan Ricky. "Nggak laa ... Ngapain? Emangnya dia mau selingkuh?" Ricky ikutan nyengir. Mimi terkikik. Lucunya Ricky akhirnya muncul lagi. Hati Mimi makin melambung. Pria yang dia sukai memang orang baik. Rasanya dia makin ingin dekat sama Nehan. Siapa yang tahu apa yang terjadi nanti.

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-01
  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   14. Perjumpaan Tak Terduga

    “Aku berangkat dulu. Jangan sampai telat. Seminar kali ini penting banget.” Velia menarik kopernya. “Sini, aku bawakan.” Allan meminta koper Velia dan membawakan ke depan. Velia mengikuti sambil menenteng tasnya. Di halaman rumah mobil jemputan Velia sudah menunggu. Allan menaruh koper di bagasi, lalu melihat Velia yang sudah masuk ke dalam mobil. “Mama baik-baik.” “Tentu. Kamu juga, baik-baik sama Mimi. Mama cuma nginap semalam. Oke?” Velia tersenyum. Mobil berjalan keluar halaman, meninggalkan rumah itu. Allan balik badan dan melihat Mimi keluar rumah. Dia sudah siap akan pergi ke kampus. “Aku pergi, Kak,” pamit Mimi. “Kamu pulang sore?” Allan bertanya. “Nggak. Paling jam tiga sudah di rumah,” jawab Mimi. “Langsung pulang. Ga usah nunggu tumpangan.” Allan memandang Mimi. Mimi yang sedang merapatkan kancing tasnya mengangkat kepala melihat Allan. Apa maksud Allan berkata begitu? “Kamu baru kenal siapa kakak paduan suaramu itu. Jaga diri.” Pandangan Allan tajam pada Mimi. “

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-01
  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   15. Sampai Kapan Kamu Menghindar? 

    Velia cepat berbalik badan. Lebih baik dia pergi dulu ke tempat lain saja, baru dia kembali ke kamar nanti. "Velia?!" Suara itu. Velia tidak mungkin lupa suara Ferdinand. Velia mempercepat langkahnya. Tapi Ferdinand juga melangkah lebih cepat. Dia telah ada di depan wanita itu, menghadang langkah Velia. "Benar. Ini kamu. Velia, akhirnya aku bisa bertemu dengan kamu." Ferdinand memandang Velia seperti tidak percaya. Wanita ini masih saja cantik meski lama mereka tak bertemu. "Maaf, aku harus pergi." Velia berbalik lagi segera melangkahkan kakinya. Dengan cepat Ferdinand menarik tangan Velia. "Vel, please." Velia berusaha melepaskan pegangan Ferdinad tapi tidak bisa. Velia terpaksa berhenti. "Sudah empat belas tahun, Vel. Kamu menghilang. Kamu bawa Allan dan aku tidak pernah tahu kamu di mana." Ferdinad langsung mengatakan apa yang terpendam di dalam hatinya selama ini. Tangan Ferdinand melepaskan pegangan dari Velia. "Kita sudah selesai. Aku dan Allan tidak ada urusan dengan kam

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-04
  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   16. Paket Buat Allan

    Pria itu masih menatap foto di dinding. Foto Allan dan Velia, berdua, dengan senyuman lebar di bagian bibir mereka. Foto yang mengingatkan Mimi seperti apa Allan jika bebas tersenyum. "Itu Tante Velia dan Kak Allan. Yang punya rumah ini." Mimi menjawab dengan mata masih tertuju pada foto besar itu. "Mbaknya bukan yang punya rumah?" Bapak itu kembali bertanya. HP Mimi berdering. Dia lihat Nehan yang menghubungi dia. "Maaf, Pak, saya ada telpon." Mimi tidak menjawab pertanyaan bapak itu. "Iya, Mbak, ga apa-apa. Saya permisi saja. Terima kasih." Bapak itu meninggalkan rumah. Mimi mengikuti ke depan sementara dia juga menjawab telpon Nehan. "Sore, Kak. Gimana?" Mimi bicara di telpon. "Mi, aku ada undangan untuk menyanyi di pernikahan. Pengantin minta lagu khusus dan duet. Aku jadi teringat sama kamu. Bisa temani ga?" Nehan menjelaskan keperluan dia menelpon Mimi. Mimi tersenyum lebar. Duet dengan Nehan lagi? Dan ini full satu lagu, di sebuah pernikahan. Kok seru gini, ya? "Yesss .

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-06
  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   17. Kemarahan Velia

    Mimi baru selesai menyiapkan makan malam, Velia masuk dari arah depan. Dia terlihat lelah dan letih. "Tan, aku buatkan lemon tea, mau?" Mimi menawari Velia. Velia tersenyum. Dia duduk dan melihat apa yang Mimi siapkan di meja. "Ya, kurasa lemon tea bagus untuk membuat fresh lagi." "Sebentar, ya, Tan." Mimi meletakkan mangkuk sambal di meja lalu berbalik membuatkan lemon tea untuk Velia. Velia memperhatikan Mimi. Dia tersenyum melihat gerak gerik Mimi. Sesekali masih tampak seperti gadis remaja. Menyenangkan melihat Mimi sibuk dengan apa yang ada di depannya. Mata Velia tertuju pada kotak di depan Mimi yang ada di sebelah kanan gadis itu. Seperti bingkisan cantik. Velia berdiri dan mendekat. "Ini dari mana?" Velia memegang kotak itu, membuka tutupnya. "Eh ... Oh, itu ..." Mimi bingung. Dia ingat pesan Allan agar mengaku kalau dia yang mendapat kotak berisi makanan kaleng itu. "Makanan kaleng?" Velia mencermati kaleng-kaleng makanan di dalam kardus itu. Mimi tidak menanggapi. Di

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-08
  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   18. Keputusan Allan

    Mimi baru selesai mandi dan berganti pakaian. Dia keluar kamar mau ke dapur ingin membuat minuman hangat. Hari hujan lumayan terasa dingin. Sampai di ruang tengah, Mimi melihat Velia ada di sana. Dia duduk membelakangi Mimi. Tampaknya dia sedang menelpon seseorang. "Untuk apa lagi kamu mengganggu aku dan Allan? Jangan memulai lagi. Semua keadaan yang sudah baik selama ini. Apa perkataanku kurang jelas?" Nada suara geram dan marah terdengar. Mimi menghentikan langkah. Dia tahu Velia sedang bicara dengan papa Allan. Pasti karena kiriman yang datang untuk Allan. "Ya, memang. Itu kesalahan. Kesalahan terbesar dalam hidupku. Begitu bodoh aku sampai tidak tahu aku hidup dengan suami orang bertahun-tahun. Memalukan. Picik. Aku benci kamu, Ferdinand Antonius." Makin galak suara Velia. "Kesalahan itu tidak akan pernah bisa aku maafkan." Mimi mundur perlahan. Dia tidak harus mendengar apa yang Velia katakan. Dia tidak boleh ikut campur. Mimi balik menuju ke kamarnya, tepat saat itu Allan k

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-10

Bab terbaru

  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   120. Hari Itu

    Allan berdiri di altar menunggu Mimi akan masuk bersama Hendra. Hatinya berdetak makin kencang setiap melihat arloji di pergelangan tangannya, memastikan menit berjalan dan tidak lama lagi pengantinnya akan datang menemui dia. Velia duduk di kursi di deretan pertama. Ferdinand di sisinya. Momen yang tak pernah terpikir oleh Velia, mereka duduk bersama, menyaksikan putra mereka menikah. Kalaupun ada pikiran itu, Velia membuangnya jauh-jauh. Ferdinand suami orang lain. Dia singkirkan semua bayangan Ferdinand. Siapa yang tahu yang akan terjadi dalam hidup. Velia dan Ferdinand menjadi teman. Perlahan, Velia mampu mengubah sakit hati jadi pengalaman yang mendewasakannya. Cinta yang dalam pada Ferdinand, dia ubah menjadi rasa sayang pada seorang kakak. Lea duduk di belakang mereka bersama Astari, Devis, dan putra mereka yang lucu. Sayang, Andini tidak bisa datang pada acara pemberkatan. Dia mengatakan akan menyusul saat resepsi. "Mari hadirin sekalian, kita akan menyambut mempelai wanita

  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   119. Hari-hari Penuh Kejutan

    Hari-hari penuh kejutan seolah tiada habisnya. Itu yang Mimi rasakan. Kejutan baik dan menyenangkan, tetapi juga kejutan yang membuat hati rasa tidak karuan. Semua itu membuat up and down hari-hari yang dilalui. Megi, kejutan terakhir yang sempat membuat Mimi galau. Keinginannya untuk bersimpati membuka pintu lain yang tidak dia duga. Allan bertemu sahabat lamanya. Megi, yang Allan kenal dengan panggilan Rere. Setelah kunjungan ke rumah sakit hari itu, Allan terus berkomunikasi dengan Megi. Mimi tidak bisa melarang. Bagaimanapun mereka teman lama dan Megi sedang butuh bantuan. Allan juga selalu memberitahu Mimi apa saja yang Allan komunikasikan dengan temannya itu. Allan tidak ingin Mimi salah paham lalu hubungan mereka yang menjadi tidak baik. "Kamu yakin ga masalah Kak Allan dekat sama Megi?" Dayinta menimpali apa yang Mimi katakan padanya. "Aku harus larang? Hanya karena cemburu? Aku ga cemburu juga, sih. Hanya ada rasa ga nyaman saja." Mimi menelusuri hatinya. Dia harus percaya

  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   118. Ada Kenangan Di Antara Mereka

    Mimi, Allan, dan Velia mengantar Ferdinand, Lea, dan Astari, serta Bintang yang tampan ke bandara. Mereka akhirnya balik ke Bandung. Astari sudah cukup kuat. Begitu juga bayinya. Perusahaan juga sudah menunggu Astari kembali menata pekerjaan di sana. Melepaskan mereka pulang ternyata cukup mengharukan. Apalagi Mimi mulai terbiasa mendengar suara tangis bayi mungil itu. Mendengar Velia atau Lea menyanyi saat menggendong Bintang hingga bayi itu tidur dalam dekaoan mereka. Pasti akan lama bisa melihatnya lagi. Dari bandara, Allan meluncur menuju kantor Velia. Memang hari Sabtu, tetapi ada yang harus Velia kerjakan. Sedang Allan dan Mimi, meneruskan perjalanan kemudian ke rumah sakit. Mimi terus memikirkan Megi. Sejak tahu wanita itu kecelakaan, dia merasa iba dan ingin tahu seperti apa kondisinya. "Kamu mau menjenguk Megi? Dia yang selama ini bersikap mengesalkan sama kamu? Yakin?" Itu yang Allan katakan waktu mendengar permintaan Mimi. Mimi dengan mantap mengatakan memang ingin menje

  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   117. Kata Orang Senjata Makan Tuan

    Hati Mimi berdetak kencang. Pesan yang dia terima dari Megi membuat semua kegembiraannya seketika lenyap. Megi dipecat. Tentu saja dia sangat marah. Dia punya posisi dengan prospek bagus di kantor, sebagai asisten bagian pemasaran. Kalau sampai tiba-tiba itu lepas, dia harus mulai di tempat lain, tentu tidak mudah. Yang menjadi masalah adalah Mimi yang Megi anggap sebagai biang keladi! Sangat tidak masuk akal. Mimi ada di bagian lain di kantor itu. Dengan Megi juga jarang berurusan. Bagaimana bisa Mimi yang bersalah kalau Megi dipecat? Mimi berpikir, apa yang terjadi? Di mana letak kesalahannya? Dia bicara apa dengan Pak Guntur? Mimi tidak mengerti. Sepanjang malam Mimi jadi tidak tenang. Beberapa kali dia terbangun karena mimpi buruk. "Ah, Mi, kenapa kamu jadi takut kayak gini. Megi uda ga akan balik kantor. Tenang saja." Mimi menenangkan dirinya sendiri. Dia tegaskan kalau Megi hanya mengancam, karena dia kesal. Bisa jadi dia begitu kepada orang lain juga, bukan hanya Mimi. Mimi

  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   116. Janji Hati

    Tangan Allan terulur, meraih jemari Mimi dan menyematkan cincin mungil di jari manis tangan kiri gadis berbalut gaun warna salem itu. Cantik, sangat pas buat dirinya. Mimi terlihat lebih dewasa tapi tidak terkesan lebih tua dari umurnya. Dengan senyum manis, sementara jantung yang terus meletup, Mimi ganti memasangkan cincin di jari manis tangan kiri Allan. Jarinya kuat, besar, dan panjang. Tangan Mimi terlihat begitu mungil berpegangan pada tangan Allan. Tepuk tangan terdengar dari keluarga yang hadir. Senyum menghiasi wajah orang tua Mimi, Viviana dan Hendra. Velia dan Ferdinand, kali ini duduk berdampingan. Ini hari istimewa Allan. Putra mereka resmi bertunangan dengan Mimi. Ferdinand tidak mengira, dia bisa hadir dan menyaksikan hari berharga ini. "Selamat ya ... makin sayang satu sama lain. Biar angin ribut menderu, tetap kokoh cintanya!" Melisa, kakak Mimi nyeletuk, membuat yang lain tertawa, sementara Mimi makin tersipu. Doa dinaikkan untuk keduanya. Agar dengan memasuki hub

  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   115. Tangis yang Membawa Kegembiraan

    Suara tangis bayi kembali terdengar, tapi kemudian hilang. Andini berdiri dan mendekat ke ruang bersalin. Dia yakin itu bayi Astari yang sudah lahir. Tangis yang membawa kebahagiaan. Sebuah kehidupan baru yang hadir. Mengubah banyak hal dalam kehidupan sebuah keluarga. "Suaranya kencang sekali. Pasti dia anak laki-laki yang kuat." Andini tersenyum. Hatinya campur aduk dengan kejadian tiba-tiba ini. Senang, tapi masih sedikit cemas. Apakah Astari baik-baik saja? Bayinya juga, apakah benar-benar sehat? Allan memandang Andini yang masih gelisah, tetapi senyum Andini belum hilang dari bibirnya. "Sudah tahu nama anaknya Kak Tari?" Allan bertanya. Andini kembali mendekati Allan, duduk di tempatnya semula. "Ya. Kak Tari pernah bilang, Bintang. Baru itu yang aku tahu, belum tahu lengkapnya. Aku ga sabar mau lihat dia." Pintu ruangan itu terbuka. Velia keluar dari sana. Allan dan Andini memandang Velia yang berjalan ke arah mereka. "Tan, gimana?" Andini menatap Velia. Velia tersenyum. "T

  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   114. Semua Mungkin Saja Terjadi

    Allan kembali ke ruangan. Andini dan Yudha tampak tersenyum satu sama lain. Allan mencoba mencermati wajah mereka. Tampak biasa saja. Tidak ada yang aneh. Allan juga mendengar pembicaraan mereka bukan tentang sesuatu yang khusus di antara mereka. Tidak lama kemudian, Allan dan Andini pamitan, meninggalkan Yudha. Dalam perjalanan pulang, ingin sekali Allan bertanya, tapi dia merasa tidak nyaman. Bagaimanapun, Andini pernah ada rasa padanya. Dia mengenal Andini sebagai kakak belum begitu lama. Kikuk dan canggung bertanya hal-hal semacam itu. Allan mengantar Andini ke hotel lalu dia kembali pulang. Baru selesai mandi, dering ponsel terdengar keras. Cepat-cepat dia menerima panggilan itu. Yudha yang menghubunginya. Dengan semangat Yudha menceritakan apa yang terjadi pada pertemuan terakhirnya dengan Andini. Gadis itu menerima Yudha. Mata Allan melebar, dadanya berdegup kencang. Kenapa dia yang merasa tidak karuan padahal Yudha yang mendapat jawaban cinta? "Yudha, serius? Ini beneran?" A

  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   113. Menjawab Teka-Teki

    Mimi memperhatikan dua design yang ada di tangannya. Keduanya sangat manis dan Mimi suka. Allan ternyata punya selera bagus juga dalam mode. Mimi memilih gaun dengan model slim di badan, lengan sampai di siku, dari pinggang higga selutut melebar. Allan tersenyum saat Mimi menunjuk design yang dia pilih. Benar-benar mewakili karakter Mimi. Imut, ceria, tetapi juga cerdas. Allan makin tidak sabar segera melihat Mimi memakainya. Dan itu di hari istimewa mereka. Allan sudah menyiapkan hari dia akan datang menemui orang tua Mimi di Surabaya, menggelar pertunangan di sana. "Kak, makasih banget. Aku ga mikir apapun soal pertunangan. Tapi Kak Allan, astaga, aku benar-benar terkejut," ujar Mimi sambil tersenyum senang. Mata cerah Mimi membuat Allan ikut tersenyum lebar. Keluar dari butik itu, Allan langsung membawa Mimi pulang ke salah satu hotel tak jauh dari situ. Kejutan apa lagi yang Allan siapkan? Mimi merasa sore itu Allan bertingkah begitu berbeda. "Kak Astari dan Kak Andin datang. B

  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   112. Kenyataan Mulai Terbuka

    Seketika Mimi mengangkat wajahnya mendengar pertanyaan Guntur. Dia menggigit bibirnya dan memandang sedikit takut pada pimpinannya itu. "Katakan saja yang kamu tahu. Aku tahu kamu gadis yang jujur. Aku juga berharap kamu gadis yang berani." Tatapan Guntur tertuju pada Mimi. Makin berdesir hati Mimi. Seperti yang Guntur pikirkan, memang ada masalah dengan pelaporan itu. Mimi merasa makin sulit situasinya. Ini akan menjadi kesempatan dia jadi pahlawan atau di sisi lain, dia akan menjadi musuh beberapa orang di kantor itu. Yang pasti, Mimi tidak mungkin tidak mengatakan yang dia temukan. Jika dia mengatakan yang berbeda karena ingin aman, bisa jadi dia dinilai sebagai pegawai yang buruk. "Mimi, waktu kita tidak banyak." Guntur menegaskan karena Mimi tidak segera menjawab. "Saya minta maaf, Pak, ini ..." Mimi mendekat dan menunjukkan yang dia lihat pada laporan itu. Dag dig di dadanya bukan makin surut. Dalam hati Mimi terus berdoa hari ini menjadi hari baik buatnya. Kalaupun yang ter

DMCA.com Protection Status