Mimi baru selesai menyiapkan makan malam, Velia masuk dari arah depan. Dia terlihat lelah dan letih. "Tan, aku buatkan lemon tea, mau?" Mimi menawari Velia. Velia tersenyum. Dia duduk dan melihat apa yang Mimi siapkan di meja. "Ya, kurasa lemon tea bagus untuk membuat fresh lagi." "Sebentar, ya, Tan." Mimi meletakkan mangkuk sambal di meja lalu berbalik membuatkan lemon tea untuk Velia. Velia memperhatikan Mimi. Dia tersenyum melihat gerak gerik Mimi. Sesekali masih tampak seperti gadis remaja. Menyenangkan melihat Mimi sibuk dengan apa yang ada di depannya. Mata Velia tertuju pada kotak di depan Mimi yang ada di sebelah kanan gadis itu. Seperti bingkisan cantik. Velia berdiri dan mendekat. "Ini dari mana?" Velia memegang kotak itu, membuka tutupnya. "Eh ... Oh, itu ..." Mimi bingung. Dia ingat pesan Allan agar mengaku kalau dia yang mendapat kotak berisi makanan kaleng itu. "Makanan kaleng?" Velia mencermati kaleng-kaleng makanan di dalam kardus itu. Mimi tidak menanggapi. Di
Mimi baru selesai mandi dan berganti pakaian. Dia keluar kamar mau ke dapur ingin membuat minuman hangat. Hari hujan lumayan terasa dingin. Sampai di ruang tengah, Mimi melihat Velia ada di sana. Dia duduk membelakangi Mimi. Tampaknya dia sedang menelpon seseorang. "Untuk apa lagi kamu mengganggu aku dan Allan? Jangan memulai lagi. Semua keadaan yang sudah baik selama ini. Apa perkataanku kurang jelas?" Nada suara geram dan marah terdengar. Mimi menghentikan langkah. Dia tahu Velia sedang bicara dengan papa Allan. Pasti karena kiriman yang datang untuk Allan. "Ya, memang. Itu kesalahan. Kesalahan terbesar dalam hidupku. Begitu bodoh aku sampai tidak tahu aku hidup dengan suami orang bertahun-tahun. Memalukan. Picik. Aku benci kamu, Ferdinand Antonius." Makin galak suara Velia. "Kesalahan itu tidak akan pernah bisa aku maafkan." Mimi mundur perlahan. Dia tidak harus mendengar apa yang Velia katakan. Dia tidak boleh ikut campur. Mimi balik menuju ke kamarnya, tepat saat itu Allan k
Wajah tampan itu membuat Mimi makin dag dig dug. Apalagi berdekatan begini. Mimi menyadari, dia benar-benar sudah terpesona dengan Nehan. "Jangan lupa, besok dress code pakai warna marun. Dan jam setengah satu harus stand by di tempat." Nehan mengingatkan jadwal dia dah Mimi akan menyanyi di pernikahan. "Oh, iya, Kak. Aku ga lupa, kok." Mimi tersenyum, terasa degupan jantungnya makin kencang. Andai detak jantung bisa terdengar, Mimi pasti sudah malu karena bunyinya yang keras itu. "Mi, kurasa aku jemput kamu sajalah. Aku lewat dekat rumah kamu, jadi aku belok jemput kamu sekalian. Ya?" Nehan menawari Mimi pergi bersama. Mimi kembali ingat pesan Allan agar tidak pergi berdua dengan Nehan. Masalahnya dia memang ada urusan berdua dengan cowok itu. Lagian, Nehan baik, dia tidak akan melakukan yang tidak pantas pada Mimi. Satu lagi, mereka pergi di siang hari, bukan malam. Mimi rasa tidak apa-apa jika pergi berdua. "Ya, Kak. Baiklah." Mimi menjawab Nehan. Lebih bagus juga berangkat sam
Mimi merasa makin kuat debaran di dadanya. Apa maksud Nehan mengatakan itu? Jelas, Mimi tidak salah dengar, Nehan mengatakan dia suka Mimi. Sungguhkah? "Kamu luar biasa malam ini. Maksimal. Kita bisa jadi teman duet seterusnya, Mi." Nehan mengacungkan jempol ke arah Mimi. "Ah, iya ... Iya, Kak ..." Mimi menarik bibirnya, tersenyum tipis. "Mimi ... Apa yang kamu pikir? Nehan sedang menyatakan cinta? Jangan mimpi!" batin Mimi berseru. Nehan suka penampilan Mimi malam itu. Bukan dia jatuh cinta pada Mimi. "Kita makan?" Nehan mengajak Mimi turun dari tempat mereka duduk di ujung panggung. Mimi mengikut saja ke mana Nehan melangkah. Dia tidak kenal siapapun di sini. Dia baru kali pertama menjadi wedding singer seperti ini. Masih kikuk dan takut salah tingkah. Nehan mengambil makanan di meja paling dekat dengan panggung. Mimi terus saja menguntitnya. Nehan merasa gemas pada Mimi. "Gadis ini sangat polos." Nehan memperhatikan Mimi yang mulai makan. Dia duduk memandang piring yang dia
Sikap Allan terhadap Mimi, dengan menanyakan siapa cowok yang mengantarnya pulang, membuat Velia tidak jadi masuk ke dalam kamarnya. Dia menatap putranya yang tengah berhadapan dengan Mimi. Gadis itu terlihat kikuk dan takut-takut memandang Allan. Velia menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. "Tadi setengah lima sudah selesai, Kak. Kami mampir beli buku sebentar. Cuma itu, lalu diantar pulang." Mimi menjawab juga apa yang Allan tanyakan. Tidak kurang tidak lebih, Mimi sampaikan apa adanya. "Aku bukan maksud apa-apa, jika terjdi sesuatu denganmu, aku dan mama yang akan kena masalah dengan orang tua kamu. Paham?" Allan kembali bicara dengan nada ketus. Mata galak itu membuat Mimi cepat mengangguk lalu menunduk. Allan balik badan dan meninggalkan tempat itu. Mimi menghela napas panjang. Ada saja yang salah di mata Allan. Beberapa waktu terakhir dia sudah lunak, baikan, dan sedikit lembut. Kemudian, lagi-lagi kelakuan judes dan jutek muncul. Makhluk antik satu ini memang membingung
Mata Mimi melebar memandang Dayinta yang tampak sangat girang bisa bertemu Allan hari ini. Heran saja, Dayinta bilang jatuh cinta pada Allan? Padahal dia kenal pria itu hanya dari kisah Mimi, itupun kisah pilu hidupnya. Dan baru hari itu mereka bertemu, beberapa menit saja."Beneran kamu suka Kak Allan?" Mimi menegaskan pada Dayinta kalau memang itu yang dimaksud gadis berbadan besar itu."Ih, Mimi, dia cakep banget. Aslinya baik, kan? Perlu sentuhan lebih manis biar dia bisa baik lagi. Mi ... aku suka Kak Allan!" Dayinta merangkul Mimi sambil kembali melempar senyum manis."Day ... ngayal kamu. Kak Allan mana mikir soal cewek. Dia hari ini mau ke kampus, urus kuliahnya lagi," kata Mimi. Mereka berjalan menuju ke kelas."Ini hari pertama dia keluar dari gua pertapaannya? Ah, aku termasuk makhluk pertama yang dia lihat. Mimi ... seneng banget aku!" Dayinta sampai sedikit melompat saking senangnya."Terserah, deh. Aku kasih tahu aja, jangan lebay, daripada terluka sebelum waktunya." Mimi
"Ya, Mi?" Allan meletakkan sendok garpunya,melihat ke arah Mimi. Semakin hari Allan makin suka memperhatikan Mimi. Memandang wajahnya seperti ini, meneduhkan Allan. "Aku lega banget, Kakak bisa senyum. Aku suka." Mimi mencoba mengutarakan apa yang dia rasakan dengan kemajuan yang Allan tunjukkan. Tapi hati-hati dia bicara, takut Allan tersinggung. Mata Allan tertuju pada dua bola bening di depannya. Mimi bilang apa? Suka? Suka karena Allan bisa senyum? Kenapa hati Allan tiba-tiba berdesir? "Dulu Kak Allan suka senyum. Cakep banget. Rasanya gimana gitu, bisa lihat Kak Allan senyum lagi." Mimi melanjutkan ucapannya. "Ya ...." Allan kembali menyunggingkan senyumnya. "Lama aku ga senyum lepas. Aku juga senang, seperti ada beban yang lepas. Hatiku plong dan lega, Mi." "Kakak kayak gini terus, ya ...." Lebih pelan Mimi bicara, masih ada rasa takut salah ngomong. "Oke. Banyak senyum." Allan merasa hatinya penuh. Mimi membuat hidupnya berbeda. Dia akan lakukan yang Mimi minta. Senyum dan
Dayinta menetralkan napasnya. Dia pandang Ricky. Yang Ricky katakan membuat dia berpikir, apa benar Allan menyukai Mimi? Bukannya Allan masih perlu waktu menata hatinya? Dia selama ini juga menganggap Mimi seperti seorang adik. "Kalau kamu ga percaya buktikan saja. Kamu sudah dapat akses ke gua pertapaannya, kan? Datang saja ke sana." Ricky menantang Dayinta untuk membuktikan kata-katanya. "Hmm, kurasa aku akan buktikan feeling kamu bener nggak." Dayinta melihat Ricky. Lalu dia meneruskan menghabiskan makanannya. Ricky pun menuntaskan mengisi kampung tengahnya sembari sesekali melirik Dayinta. Ricky memang menaruh hati pada sahabatnya itu. Hanya dia tidak mudah bisa mendekati Dayinta. Ricky masih mencari cara jitu agar Dayinta mau menengok padanya. Sementara Allan dan Mimi sudah meluncur di jalanan. Hari terasa panas. Memang musim kemarau. Tapi hembusan angin memberi sedikit rasa sejuk untuk Allan dan Mimi. Tiba di rumah, Mimi langsung mandi. Rasanya gerah sekali. Mandi keramas bi
Allan berdiri di altar menunggu Mimi akan masuk bersama Hendra. Hatinya berdetak makin kencang setiap melihat arloji di pergelangan tangannya, memastikan menit berjalan dan tidak lama lagi pengantinnya akan datang menemui dia. Velia duduk di kursi di deretan pertama. Ferdinand di sisinya. Momen yang tak pernah terpikir oleh Velia, mereka duduk bersama, menyaksikan putra mereka menikah. Kalaupun ada pikiran itu, Velia membuangnya jauh-jauh. Ferdinand suami orang lain. Dia singkirkan semua bayangan Ferdinand. Siapa yang tahu yang akan terjadi dalam hidup. Velia dan Ferdinand menjadi teman. Perlahan, Velia mampu mengubah sakit hati jadi pengalaman yang mendewasakannya. Cinta yang dalam pada Ferdinand, dia ubah menjadi rasa sayang pada seorang kakak. Lea duduk di belakang mereka bersama Astari, Devis, dan putra mereka yang lucu. Sayang, Andini tidak bisa datang pada acara pemberkatan. Dia mengatakan akan menyusul saat resepsi. "Mari hadirin sekalian, kita akan menyambut mempelai wanita
Hari-hari penuh kejutan seolah tiada habisnya. Itu yang Mimi rasakan. Kejutan baik dan menyenangkan, tetapi juga kejutan yang membuat hati rasa tidak karuan. Semua itu membuat up and down hari-hari yang dilalui. Megi, kejutan terakhir yang sempat membuat Mimi galau. Keinginannya untuk bersimpati membuka pintu lain yang tidak dia duga. Allan bertemu sahabat lamanya. Megi, yang Allan kenal dengan panggilan Rere. Setelah kunjungan ke rumah sakit hari itu, Allan terus berkomunikasi dengan Megi. Mimi tidak bisa melarang. Bagaimanapun mereka teman lama dan Megi sedang butuh bantuan. Allan juga selalu memberitahu Mimi apa saja yang Allan komunikasikan dengan temannya itu. Allan tidak ingin Mimi salah paham lalu hubungan mereka yang menjadi tidak baik. "Kamu yakin ga masalah Kak Allan dekat sama Megi?" Dayinta menimpali apa yang Mimi katakan padanya. "Aku harus larang? Hanya karena cemburu? Aku ga cemburu juga, sih. Hanya ada rasa ga nyaman saja." Mimi menelusuri hatinya. Dia harus percaya
Mimi, Allan, dan Velia mengantar Ferdinand, Lea, dan Astari, serta Bintang yang tampan ke bandara. Mereka akhirnya balik ke Bandung. Astari sudah cukup kuat. Begitu juga bayinya. Perusahaan juga sudah menunggu Astari kembali menata pekerjaan di sana. Melepaskan mereka pulang ternyata cukup mengharukan. Apalagi Mimi mulai terbiasa mendengar suara tangis bayi mungil itu. Mendengar Velia atau Lea menyanyi saat menggendong Bintang hingga bayi itu tidur dalam dekaoan mereka. Pasti akan lama bisa melihatnya lagi. Dari bandara, Allan meluncur menuju kantor Velia. Memang hari Sabtu, tetapi ada yang harus Velia kerjakan. Sedang Allan dan Mimi, meneruskan perjalanan kemudian ke rumah sakit. Mimi terus memikirkan Megi. Sejak tahu wanita itu kecelakaan, dia merasa iba dan ingin tahu seperti apa kondisinya. "Kamu mau menjenguk Megi? Dia yang selama ini bersikap mengesalkan sama kamu? Yakin?" Itu yang Allan katakan waktu mendengar permintaan Mimi. Mimi dengan mantap mengatakan memang ingin menje
Hati Mimi berdetak kencang. Pesan yang dia terima dari Megi membuat semua kegembiraannya seketika lenyap. Megi dipecat. Tentu saja dia sangat marah. Dia punya posisi dengan prospek bagus di kantor, sebagai asisten bagian pemasaran. Kalau sampai tiba-tiba itu lepas, dia harus mulai di tempat lain, tentu tidak mudah. Yang menjadi masalah adalah Mimi yang Megi anggap sebagai biang keladi! Sangat tidak masuk akal. Mimi ada di bagian lain di kantor itu. Dengan Megi juga jarang berurusan. Bagaimana bisa Mimi yang bersalah kalau Megi dipecat? Mimi berpikir, apa yang terjadi? Di mana letak kesalahannya? Dia bicara apa dengan Pak Guntur? Mimi tidak mengerti. Sepanjang malam Mimi jadi tidak tenang. Beberapa kali dia terbangun karena mimpi buruk. "Ah, Mi, kenapa kamu jadi takut kayak gini. Megi uda ga akan balik kantor. Tenang saja." Mimi menenangkan dirinya sendiri. Dia tegaskan kalau Megi hanya mengancam, karena dia kesal. Bisa jadi dia begitu kepada orang lain juga, bukan hanya Mimi. Mimi
Tangan Allan terulur, meraih jemari Mimi dan menyematkan cincin mungil di jari manis tangan kiri gadis berbalut gaun warna salem itu. Cantik, sangat pas buat dirinya. Mimi terlihat lebih dewasa tapi tidak terkesan lebih tua dari umurnya. Dengan senyum manis, sementara jantung yang terus meletup, Mimi ganti memasangkan cincin di jari manis tangan kiri Allan. Jarinya kuat, besar, dan panjang. Tangan Mimi terlihat begitu mungil berpegangan pada tangan Allan. Tepuk tangan terdengar dari keluarga yang hadir. Senyum menghiasi wajah orang tua Mimi, Viviana dan Hendra. Velia dan Ferdinand, kali ini duduk berdampingan. Ini hari istimewa Allan. Putra mereka resmi bertunangan dengan Mimi. Ferdinand tidak mengira, dia bisa hadir dan menyaksikan hari berharga ini. "Selamat ya ... makin sayang satu sama lain. Biar angin ribut menderu, tetap kokoh cintanya!" Melisa, kakak Mimi nyeletuk, membuat yang lain tertawa, sementara Mimi makin tersipu. Doa dinaikkan untuk keduanya. Agar dengan memasuki hub
Suara tangis bayi kembali terdengar, tapi kemudian hilang. Andini berdiri dan mendekat ke ruang bersalin. Dia yakin itu bayi Astari yang sudah lahir. Tangis yang membawa kebahagiaan. Sebuah kehidupan baru yang hadir. Mengubah banyak hal dalam kehidupan sebuah keluarga. "Suaranya kencang sekali. Pasti dia anak laki-laki yang kuat." Andini tersenyum. Hatinya campur aduk dengan kejadian tiba-tiba ini. Senang, tapi masih sedikit cemas. Apakah Astari baik-baik saja? Bayinya juga, apakah benar-benar sehat? Allan memandang Andini yang masih gelisah, tetapi senyum Andini belum hilang dari bibirnya. "Sudah tahu nama anaknya Kak Tari?" Allan bertanya. Andini kembali mendekati Allan, duduk di tempatnya semula. "Ya. Kak Tari pernah bilang, Bintang. Baru itu yang aku tahu, belum tahu lengkapnya. Aku ga sabar mau lihat dia." Pintu ruangan itu terbuka. Velia keluar dari sana. Allan dan Andini memandang Velia yang berjalan ke arah mereka. "Tan, gimana?" Andini menatap Velia. Velia tersenyum. "T
Allan kembali ke ruangan. Andini dan Yudha tampak tersenyum satu sama lain. Allan mencoba mencermati wajah mereka. Tampak biasa saja. Tidak ada yang aneh. Allan juga mendengar pembicaraan mereka bukan tentang sesuatu yang khusus di antara mereka. Tidak lama kemudian, Allan dan Andini pamitan, meninggalkan Yudha. Dalam perjalanan pulang, ingin sekali Allan bertanya, tapi dia merasa tidak nyaman. Bagaimanapun, Andini pernah ada rasa padanya. Dia mengenal Andini sebagai kakak belum begitu lama. Kikuk dan canggung bertanya hal-hal semacam itu. Allan mengantar Andini ke hotel lalu dia kembali pulang. Baru selesai mandi, dering ponsel terdengar keras. Cepat-cepat dia menerima panggilan itu. Yudha yang menghubunginya. Dengan semangat Yudha menceritakan apa yang terjadi pada pertemuan terakhirnya dengan Andini. Gadis itu menerima Yudha. Mata Allan melebar, dadanya berdegup kencang. Kenapa dia yang merasa tidak karuan padahal Yudha yang mendapat jawaban cinta? "Yudha, serius? Ini beneran?" A
Mimi memperhatikan dua design yang ada di tangannya. Keduanya sangat manis dan Mimi suka. Allan ternyata punya selera bagus juga dalam mode. Mimi memilih gaun dengan model slim di badan, lengan sampai di siku, dari pinggang higga selutut melebar. Allan tersenyum saat Mimi menunjuk design yang dia pilih. Benar-benar mewakili karakter Mimi. Imut, ceria, tetapi juga cerdas. Allan makin tidak sabar segera melihat Mimi memakainya. Dan itu di hari istimewa mereka. Allan sudah menyiapkan hari dia akan datang menemui orang tua Mimi di Surabaya, menggelar pertunangan di sana. "Kak, makasih banget. Aku ga mikir apapun soal pertunangan. Tapi Kak Allan, astaga, aku benar-benar terkejut," ujar Mimi sambil tersenyum senang. Mata cerah Mimi membuat Allan ikut tersenyum lebar. Keluar dari butik itu, Allan langsung membawa Mimi pulang ke salah satu hotel tak jauh dari situ. Kejutan apa lagi yang Allan siapkan? Mimi merasa sore itu Allan bertingkah begitu berbeda. "Kak Astari dan Kak Andin datang. B
Seketika Mimi mengangkat wajahnya mendengar pertanyaan Guntur. Dia menggigit bibirnya dan memandang sedikit takut pada pimpinannya itu. "Katakan saja yang kamu tahu. Aku tahu kamu gadis yang jujur. Aku juga berharap kamu gadis yang berani." Tatapan Guntur tertuju pada Mimi. Makin berdesir hati Mimi. Seperti yang Guntur pikirkan, memang ada masalah dengan pelaporan itu. Mimi merasa makin sulit situasinya. Ini akan menjadi kesempatan dia jadi pahlawan atau di sisi lain, dia akan menjadi musuh beberapa orang di kantor itu. Yang pasti, Mimi tidak mungkin tidak mengatakan yang dia temukan. Jika dia mengatakan yang berbeda karena ingin aman, bisa jadi dia dinilai sebagai pegawai yang buruk. "Mimi, waktu kita tidak banyak." Guntur menegaskan karena Mimi tidak segera menjawab. "Saya minta maaf, Pak, ini ..." Mimi mendekat dan menunjukkan yang dia lihat pada laporan itu. Dag dig di dadanya bukan makin surut. Dalam hati Mimi terus berdoa hari ini menjadi hari baik buatnya. Kalaupun yang ter