Beranda / Romansa / Hatimu Bukan Sebongkah Batu / 20. Lugu, Polos, dan Menggemaskan

Share

20. Lugu, Polos, dan Menggemaskan

Penulis: Ayunina Sharlyn
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56
Mimi merasa makin kuat debaran di dadanya. Apa maksud Nehan mengatakan itu? Jelas, Mimi tidak salah dengar, Nehan mengatakan dia suka Mimi. Sungguhkah?

"Kamu luar biasa malam ini. Maksimal. Kita bisa jadi teman duet seterusnya, Mi." Nehan mengacungkan jempol ke arah Mimi.

"Ah, iya ... Iya, Kak ..." Mimi menarik bibirnya, tersenyum tipis.

"Mimi ... Apa yang kamu pikir? Nehan sedang menyatakan cinta? Jangan mimpi!" batin Mimi berseru.

Nehan suka penampilan Mimi malam itu. Bukan dia jatuh cinta pada Mimi.

"Kita makan?" Nehan mengajak Mimi turun dari tempat mereka duduk di ujung panggung.

Mimi mengikut saja ke mana Nehan melangkah. Dia tidak kenal siapapun di sini. Dia baru kali pertama menjadi wedding singer seperti ini. Masih kikuk dan takut salah tingkah.

Nehan mengambil makanan di meja paling dekat dengan panggung. Mimi terus saja menguntitnya. Nehan merasa gemas pada Mimi.

"Gadis ini sangat polos." Nehan memperhatikan Mimi yang mulai makan. Dia duduk memandang piring yang dia
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   21. Keluar dari Gua Pertapaan

    Sikap Allan terhadap Mimi, dengan menanyakan siapa cowok yang mengantarnya pulang, membuat Velia tidak jadi masuk ke dalam kamarnya. Dia menatap putranya yang tengah berhadapan dengan Mimi. Gadis itu terlihat kikuk dan takut-takut memandang Allan. Velia menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. "Tadi setengah lima sudah selesai, Kak. Kami mampir beli buku sebentar. Cuma itu, lalu diantar pulang." Mimi menjawab juga apa yang Allan tanyakan. Tidak kurang tidak lebih, Mimi sampaikan apa adanya. "Aku bukan maksud apa-apa, jika terjdi sesuatu denganmu, aku dan mama yang akan kena masalah dengan orang tua kamu. Paham?" Allan kembali bicara dengan nada ketus. Mata galak itu membuat Mimi cepat mengangguk lalu menunduk. Allan balik badan dan meninggalkan tempat itu. Mimi menghela napas panjang. Ada saja yang salah di mata Allan. Beberapa waktu terakhir dia sudah lunak, baikan, dan sedikit lembut. Kemudian, lagi-lagi kelakuan judes dan jutek muncul. Makhluk antik satu ini memang membingung

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   22. Senyum Allan Makin Lebar

    Mata Mimi melebar memandang Dayinta yang tampak sangat girang bisa bertemu Allan hari ini. Heran saja, Dayinta bilang jatuh cinta pada Allan? Padahal dia kenal pria itu hanya dari kisah Mimi, itupun kisah pilu hidupnya. Dan baru hari itu mereka bertemu, beberapa menit saja."Beneran kamu suka Kak Allan?" Mimi menegaskan pada Dayinta kalau memang itu yang dimaksud gadis berbadan besar itu."Ih, Mimi, dia cakep banget. Aslinya baik, kan? Perlu sentuhan lebih manis biar dia bisa baik lagi. Mi ... aku suka Kak Allan!" Dayinta merangkul Mimi sambil kembali melempar senyum manis."Day ... ngayal kamu. Kak Allan mana mikir soal cewek. Dia hari ini mau ke kampus, urus kuliahnya lagi," kata Mimi. Mereka berjalan menuju ke kelas."Ini hari pertama dia keluar dari gua pertapaannya? Ah, aku termasuk makhluk pertama yang dia lihat. Mimi ... seneng banget aku!" Dayinta sampai sedikit melompat saking senangnya."Terserah, deh. Aku kasih tahu aja, jangan lebay, daripada terluka sebelum waktunya." Mimi

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   23. Bertanya Pada Hati

    "Ya, Mi?" Allan meletakkan sendok garpunya,melihat ke arah Mimi. Semakin hari Allan makin suka memperhatikan Mimi. Memandang wajahnya seperti ini, meneduhkan Allan. "Aku lega banget, Kakak bisa senyum. Aku suka." Mimi mencoba mengutarakan apa yang dia rasakan dengan kemajuan yang Allan tunjukkan. Tapi hati-hati dia bicara, takut Allan tersinggung. Mata Allan tertuju pada dua bola bening di depannya. Mimi bilang apa? Suka? Suka karena Allan bisa senyum? Kenapa hati Allan tiba-tiba berdesir? "Dulu Kak Allan suka senyum. Cakep banget. Rasanya gimana gitu, bisa lihat Kak Allan senyum lagi." Mimi melanjutkan ucapannya. "Ya ...." Allan kembali menyunggingkan senyumnya. "Lama aku ga senyum lepas. Aku juga senang, seperti ada beban yang lepas. Hatiku plong dan lega, Mi." "Kakak kayak gini terus, ya ...." Lebih pelan Mimi bicara, masih ada rasa takut salah ngomong. "Oke. Banyak senyum." Allan merasa hatinya penuh. Mimi membuat hidupnya berbeda. Dia akan lakukan yang Mimi minta. Senyum dan

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   24. Kamu Tidak Mendengar Aku

    Dayinta menetralkan napasnya. Dia pandang Ricky. Yang Ricky katakan membuat dia berpikir, apa benar Allan menyukai Mimi? Bukannya Allan masih perlu waktu menata hatinya? Dia selama ini juga menganggap Mimi seperti seorang adik. "Kalau kamu ga percaya buktikan saja. Kamu sudah dapat akses ke gua pertapaannya, kan? Datang saja ke sana." Ricky menantang Dayinta untuk membuktikan kata-katanya. "Hmm, kurasa aku akan buktikan feeling kamu bener nggak." Dayinta melihat Ricky. Lalu dia meneruskan menghabiskan makanannya. Ricky pun menuntaskan mengisi kampung tengahnya sembari sesekali melirik Dayinta. Ricky memang menaruh hati pada sahabatnya itu. Hanya dia tidak mudah bisa mendekati Dayinta. Ricky masih mencari cara jitu agar Dayinta mau menengok padanya. Sementara Allan dan Mimi sudah meluncur di jalanan. Hari terasa panas. Memang musim kemarau. Tapi hembusan angin memberi sedikit rasa sejuk untuk Allan dan Mimi. Tiba di rumah, Mimi langsung mandi. Rasanya gerah sekali. Mandi keramas bi

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   25. Mood Yang Naik Turun

    "Eh, bisa, Kak. Ya, bisa. Sebelum libur. Oke." Mimi menyudahi panggilan di telpon dari Nehan. Lagi, cowok yang berhasil mencuri hati Mimi itu mengajak Mimi mengisi acara di sebuah pernikahan, berduet lagi. Mimi selalu senang bisa bersama Nehan meski dag dig dug tak berhenti di dadanya. Dan bagus sekali momennya, sebelum libur kuliah. Karena setelah itu Mimi akan pulang ke Surabaya. Liburan, wajib berkumpul dengan keluarga. Dia sudah rindu papa dan mamanya.Mimi melangkah akan meninggalkan rumah. Di depannya Allan berdiri menatap padanya. Mimi tidak tahu apa arti pandangan Allan kali ini. Dia tidak seramah biasanya, tapi juga bukan sedang marah. Entahlah. Apa lagi yang terjadi dengan cowok itu? "Aku sudah siap, Kak." Mimi memecah keheningan di antara mereka. Tanpa bicara Allan keluar rumah, Mimi mengikutinya. Seperti biasa, Allan membonceng Mimi menuju ke kampus. Biasanya Allan akan mulai bertanya ini itu memastikan apa mereka bisa pulang bareng. Kali ini Allan tidak membuka suarany

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   26. Bertemu Sahabat Lama

    Di depan kamar Mimi, ternyata Velia yang ada di sana, bukan Allan. Semalam ini baru Velia pulang. Pasti pekerjaan di kantor sedang padat. "Aku bawa martabak manis, kamu mau, Mi?" Ternyata Velia menawari kue. "Boleh, Tan. Asyik juga buat teman baca." Mimi tersenyum. Keduanya melangkah ke ruang makan. Mimi mengambil piring kecil, lalu Velia memberikan dua potong martabak manis dan atas piring Mimi. "Bener cukup dua aja?" tanya Velia. Sekarang dia mengambil potongan lagi untuk Allan. "Iya, Tan. Masih kenyang sebenarnya. Tapi kalau ketemu yang begini ga bisa nolak," ujar Mimi. "Okelah. Kamu lanjut sana. Aku mau kasih ini buat Allan." Velia tersenyum manis. "Ya, makasih, Tan." Mimi mengangguk. "Mi! Kamu jadi pulang Surabaya kapan?' Velia menahan langkah Mimi. "Minggu depan, Tan." Mimi menjawab. "Hm, baiklah. Aku mau siapin oleh-oleh buat mama kamu." Kembali senyum Velia melebar. Mimi mengangguk lagi lalu balik ke kamarnya. Ah, berharap bisa ngobrol dengan Allan ternyata masih mes

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   27. Hari Istimewa yang Istimewa

    Pertanyaan Yudha membuat Allan merasakan debaran di dadanya. Mimi, gadis itu juga tak kalah terkejut. Wajahnya sedikit merona. "Eeehhh, sebenarnya ...." "Tidak apa. Bagus kamu sudah move on. Hidup memang terus berjalan. Kamu pantas bahagia, Lan." Yudha tersenyum lebar. Allan dan Mimi bertatapan. Tapi tak satupun dari keduanya yang berusaha meluruskan apa yang Yudha pikirkan. "Aku akan cukup lama menjalani hukumanku. Dan kamu, aku senang, kamu akan bisa meneruskan cita-cita kita. Dalton akan siap kapan saja mendukung. Aku harap kamu segera melejit dan dikenal banyak orang." Yudha melanjutkan perkataannya. "Apakah kamu tidak bisa melukis di sini?" Allan bertanya. "Bisa, tentu saja." Yudha menjawab cepat. "Kamu masih melukis atau tidak?" Allan memandang Yudha. "Belum pernah berhasil. Aku mencoba beberapa kali, aku merasa tidak puas. Yang aku bayangkan dan yang tertuang tidak sesuai, aku tidak mampu." Yudha menggeleng keras. Setelah peristiwa kelam yang dia alami, Yudha tidak bisa

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   28. Kejutan Hari Istimewa Berlanjut

    Allan mengajak Mimi berjalan menuju taman perumahan yang tidak begitu jauh dari rumah. Hari belum terlalu malam, suasana masih asyik buat jalan berdua. Velia sangat senang melihat Allan banyak berubah. Dari yang dia perhatikan putranya sedang mendekati Mimi. Tentu saja hatinya gembira. Namun, dia tidak akan ikut campur, biar mereka melakukan dengan natural. Siapa yang tahu apa yang akan terjadi nanti? Allan melangkah dengan hati riang. Dia siapkan malam ini untuk bisa mendekati Mimi. Dia akan pakai waktu istimewa itu untuk mengungkapkan isi hatinya pada Mimi. Mimi yang ada di sisinya terlihat ceria. Di hari istimewa ini Allan memberi dia hadiah ulang tahun. Dia akan buka nanti hadiah dari Allan, saat sudah kembali ke rumah. Taman sepi. Hanya ada tiga orang tampak duduk-duduk di kursi taman. Allan mengajak Mimi duduk di sisi yang lain. Dia tidak ingin mengganggu dan terganggu dengan kehadiran orang lain. "Langit cerah, ya? Cantik, bulan hampir penuh." Mimi menatap langit di atas mere

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29

Bab terbaru

  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   120. Hari Itu

    Allan berdiri di altar menunggu Mimi akan masuk bersama Hendra. Hatinya berdetak makin kencang setiap melihat arloji di pergelangan tangannya, memastikan menit berjalan dan tidak lama lagi pengantinnya akan datang menemui dia. Velia duduk di kursi di deretan pertama. Ferdinand di sisinya. Momen yang tak pernah terpikir oleh Velia, mereka duduk bersama, menyaksikan putra mereka menikah. Kalaupun ada pikiran itu, Velia membuangnya jauh-jauh. Ferdinand suami orang lain. Dia singkirkan semua bayangan Ferdinand. Siapa yang tahu yang akan terjadi dalam hidup. Velia dan Ferdinand menjadi teman. Perlahan, Velia mampu mengubah sakit hati jadi pengalaman yang mendewasakannya. Cinta yang dalam pada Ferdinand, dia ubah menjadi rasa sayang pada seorang kakak. Lea duduk di belakang mereka bersama Astari, Devis, dan putra mereka yang lucu. Sayang, Andini tidak bisa datang pada acara pemberkatan. Dia mengatakan akan menyusul saat resepsi. "Mari hadirin sekalian, kita akan menyambut mempelai wanita

  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   119. Hari-hari Penuh Kejutan

    Hari-hari penuh kejutan seolah tiada habisnya. Itu yang Mimi rasakan. Kejutan baik dan menyenangkan, tetapi juga kejutan yang membuat hati rasa tidak karuan. Semua itu membuat up and down hari-hari yang dilalui. Megi, kejutan terakhir yang sempat membuat Mimi galau. Keinginannya untuk bersimpati membuka pintu lain yang tidak dia duga. Allan bertemu sahabat lamanya. Megi, yang Allan kenal dengan panggilan Rere. Setelah kunjungan ke rumah sakit hari itu, Allan terus berkomunikasi dengan Megi. Mimi tidak bisa melarang. Bagaimanapun mereka teman lama dan Megi sedang butuh bantuan. Allan juga selalu memberitahu Mimi apa saja yang Allan komunikasikan dengan temannya itu. Allan tidak ingin Mimi salah paham lalu hubungan mereka yang menjadi tidak baik. "Kamu yakin ga masalah Kak Allan dekat sama Megi?" Dayinta menimpali apa yang Mimi katakan padanya. "Aku harus larang? Hanya karena cemburu? Aku ga cemburu juga, sih. Hanya ada rasa ga nyaman saja." Mimi menelusuri hatinya. Dia harus percaya

  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   118. Ada Kenangan Di Antara Mereka

    Mimi, Allan, dan Velia mengantar Ferdinand, Lea, dan Astari, serta Bintang yang tampan ke bandara. Mereka akhirnya balik ke Bandung. Astari sudah cukup kuat. Begitu juga bayinya. Perusahaan juga sudah menunggu Astari kembali menata pekerjaan di sana. Melepaskan mereka pulang ternyata cukup mengharukan. Apalagi Mimi mulai terbiasa mendengar suara tangis bayi mungil itu. Mendengar Velia atau Lea menyanyi saat menggendong Bintang hingga bayi itu tidur dalam dekaoan mereka. Pasti akan lama bisa melihatnya lagi. Dari bandara, Allan meluncur menuju kantor Velia. Memang hari Sabtu, tetapi ada yang harus Velia kerjakan. Sedang Allan dan Mimi, meneruskan perjalanan kemudian ke rumah sakit. Mimi terus memikirkan Megi. Sejak tahu wanita itu kecelakaan, dia merasa iba dan ingin tahu seperti apa kondisinya. "Kamu mau menjenguk Megi? Dia yang selama ini bersikap mengesalkan sama kamu? Yakin?" Itu yang Allan katakan waktu mendengar permintaan Mimi. Mimi dengan mantap mengatakan memang ingin menje

  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   117. Kata Orang Senjata Makan Tuan

    Hati Mimi berdetak kencang. Pesan yang dia terima dari Megi membuat semua kegembiraannya seketika lenyap. Megi dipecat. Tentu saja dia sangat marah. Dia punya posisi dengan prospek bagus di kantor, sebagai asisten bagian pemasaran. Kalau sampai tiba-tiba itu lepas, dia harus mulai di tempat lain, tentu tidak mudah. Yang menjadi masalah adalah Mimi yang Megi anggap sebagai biang keladi! Sangat tidak masuk akal. Mimi ada di bagian lain di kantor itu. Dengan Megi juga jarang berurusan. Bagaimana bisa Mimi yang bersalah kalau Megi dipecat? Mimi berpikir, apa yang terjadi? Di mana letak kesalahannya? Dia bicara apa dengan Pak Guntur? Mimi tidak mengerti. Sepanjang malam Mimi jadi tidak tenang. Beberapa kali dia terbangun karena mimpi buruk. "Ah, Mi, kenapa kamu jadi takut kayak gini. Megi uda ga akan balik kantor. Tenang saja." Mimi menenangkan dirinya sendiri. Dia tegaskan kalau Megi hanya mengancam, karena dia kesal. Bisa jadi dia begitu kepada orang lain juga, bukan hanya Mimi. Mimi

  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   116. Janji Hati

    Tangan Allan terulur, meraih jemari Mimi dan menyematkan cincin mungil di jari manis tangan kiri gadis berbalut gaun warna salem itu. Cantik, sangat pas buat dirinya. Mimi terlihat lebih dewasa tapi tidak terkesan lebih tua dari umurnya. Dengan senyum manis, sementara jantung yang terus meletup, Mimi ganti memasangkan cincin di jari manis tangan kiri Allan. Jarinya kuat, besar, dan panjang. Tangan Mimi terlihat begitu mungil berpegangan pada tangan Allan. Tepuk tangan terdengar dari keluarga yang hadir. Senyum menghiasi wajah orang tua Mimi, Viviana dan Hendra. Velia dan Ferdinand, kali ini duduk berdampingan. Ini hari istimewa Allan. Putra mereka resmi bertunangan dengan Mimi. Ferdinand tidak mengira, dia bisa hadir dan menyaksikan hari berharga ini. "Selamat ya ... makin sayang satu sama lain. Biar angin ribut menderu, tetap kokoh cintanya!" Melisa, kakak Mimi nyeletuk, membuat yang lain tertawa, sementara Mimi makin tersipu. Doa dinaikkan untuk keduanya. Agar dengan memasuki hub

  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   115. Tangis yang Membawa Kegembiraan

    Suara tangis bayi kembali terdengar, tapi kemudian hilang. Andini berdiri dan mendekat ke ruang bersalin. Dia yakin itu bayi Astari yang sudah lahir. Tangis yang membawa kebahagiaan. Sebuah kehidupan baru yang hadir. Mengubah banyak hal dalam kehidupan sebuah keluarga. "Suaranya kencang sekali. Pasti dia anak laki-laki yang kuat." Andini tersenyum. Hatinya campur aduk dengan kejadian tiba-tiba ini. Senang, tapi masih sedikit cemas. Apakah Astari baik-baik saja? Bayinya juga, apakah benar-benar sehat? Allan memandang Andini yang masih gelisah, tetapi senyum Andini belum hilang dari bibirnya. "Sudah tahu nama anaknya Kak Tari?" Allan bertanya. Andini kembali mendekati Allan, duduk di tempatnya semula. "Ya. Kak Tari pernah bilang, Bintang. Baru itu yang aku tahu, belum tahu lengkapnya. Aku ga sabar mau lihat dia." Pintu ruangan itu terbuka. Velia keluar dari sana. Allan dan Andini memandang Velia yang berjalan ke arah mereka. "Tan, gimana?" Andini menatap Velia. Velia tersenyum. "T

  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   114. Semua Mungkin Saja Terjadi

    Allan kembali ke ruangan. Andini dan Yudha tampak tersenyum satu sama lain. Allan mencoba mencermati wajah mereka. Tampak biasa saja. Tidak ada yang aneh. Allan juga mendengar pembicaraan mereka bukan tentang sesuatu yang khusus di antara mereka. Tidak lama kemudian, Allan dan Andini pamitan, meninggalkan Yudha. Dalam perjalanan pulang, ingin sekali Allan bertanya, tapi dia merasa tidak nyaman. Bagaimanapun, Andini pernah ada rasa padanya. Dia mengenal Andini sebagai kakak belum begitu lama. Kikuk dan canggung bertanya hal-hal semacam itu. Allan mengantar Andini ke hotel lalu dia kembali pulang. Baru selesai mandi, dering ponsel terdengar keras. Cepat-cepat dia menerima panggilan itu. Yudha yang menghubunginya. Dengan semangat Yudha menceritakan apa yang terjadi pada pertemuan terakhirnya dengan Andini. Gadis itu menerima Yudha. Mata Allan melebar, dadanya berdegup kencang. Kenapa dia yang merasa tidak karuan padahal Yudha yang mendapat jawaban cinta? "Yudha, serius? Ini beneran?" A

  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   113. Menjawab Teka-Teki

    Mimi memperhatikan dua design yang ada di tangannya. Keduanya sangat manis dan Mimi suka. Allan ternyata punya selera bagus juga dalam mode. Mimi memilih gaun dengan model slim di badan, lengan sampai di siku, dari pinggang higga selutut melebar. Allan tersenyum saat Mimi menunjuk design yang dia pilih. Benar-benar mewakili karakter Mimi. Imut, ceria, tetapi juga cerdas. Allan makin tidak sabar segera melihat Mimi memakainya. Dan itu di hari istimewa mereka. Allan sudah menyiapkan hari dia akan datang menemui orang tua Mimi di Surabaya, menggelar pertunangan di sana. "Kak, makasih banget. Aku ga mikir apapun soal pertunangan. Tapi Kak Allan, astaga, aku benar-benar terkejut," ujar Mimi sambil tersenyum senang. Mata cerah Mimi membuat Allan ikut tersenyum lebar. Keluar dari butik itu, Allan langsung membawa Mimi pulang ke salah satu hotel tak jauh dari situ. Kejutan apa lagi yang Allan siapkan? Mimi merasa sore itu Allan bertingkah begitu berbeda. "Kak Astari dan Kak Andin datang. B

  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   112. Kenyataan Mulai Terbuka

    Seketika Mimi mengangkat wajahnya mendengar pertanyaan Guntur. Dia menggigit bibirnya dan memandang sedikit takut pada pimpinannya itu. "Katakan saja yang kamu tahu. Aku tahu kamu gadis yang jujur. Aku juga berharap kamu gadis yang berani." Tatapan Guntur tertuju pada Mimi. Makin berdesir hati Mimi. Seperti yang Guntur pikirkan, memang ada masalah dengan pelaporan itu. Mimi merasa makin sulit situasinya. Ini akan menjadi kesempatan dia jadi pahlawan atau di sisi lain, dia akan menjadi musuh beberapa orang di kantor itu. Yang pasti, Mimi tidak mungkin tidak mengatakan yang dia temukan. Jika dia mengatakan yang berbeda karena ingin aman, bisa jadi dia dinilai sebagai pegawai yang buruk. "Mimi, waktu kita tidak banyak." Guntur menegaskan karena Mimi tidak segera menjawab. "Saya minta maaf, Pak, ini ..." Mimi mendekat dan menunjukkan yang dia lihat pada laporan itu. Dag dig di dadanya bukan makin surut. Dalam hati Mimi terus berdoa hari ini menjadi hari baik buatnya. Kalaupun yang ter

DMCA.com Protection Status