Berkutat di dapur, Mimi akhirnya selesai juga membuat puding coklat buat Allan. Siang panas begini pasti cocok makan puding dingin dengan vla susu. Mimi tersenyum membayangkan Allan akan senang menerima kejutan Mimi. Siapa tahu pemuda tampan yang dingin itu akan menyisihkan kebekuannya dan melempar senyum pada Mimi.
Mimi meletakkan puding di piring saji kecil yang manis. Dia akan tunggu sampai jam makan siang. Mimi tidak berani mengganggu Allan kecuali pada jam makan.
"Ya, ini waktunya." Mimi melihat jam dinding di dapur. Dia berdiri akan memanggi Allan di ruang kerjanya.
Baru empat langkah, Allan muncul. Dia rupanya sudah tahu ini saatnya makan siang. Kebiasaan Allan tidak begitu peduli dengan jam makan.
"Eh, Kak ... Makanan siap." Mimi memandang Allan. Berharap mood cowok itu sedang bagus.
"Oke." Allan melangkah mendekati meja. Dia membuka tudung saji dan melihat apa yang Mimi siapkan.
Mimi menunggu reaksi Allan saat melihat puding di piring. Dia akan senang.
"Ayo ... senyum ...," bisik Mimi.
"Apa ini?!" Allan menoleh pada Mimi. Suaranya ketus.
Mimi terperanjat. Allan marah? Karena apa?
"Apa gimana ya, Kak?" Mimi bingung dan mulai takut.
"Aku tidak makan puding!" Dan dengan cepat Allan menyapu piring berisi puding itu hingga jatuh terlempar ke lantai.
Praankkk!!!
Mimi seketika melonjak kaget. Allan tidak suka pudingnya? Jadi ...
Mimi merasa tangan dan kakinya sedikit gemetar. Dia sangat terkejut melihat reaksi Allan yang bertolak belakang dengan bayangannya. Bukan senyum senang, tapi tiba-tiba Allan meledak.
"Kamu membuat selera makanku hilang!!" Dengan kasar Allan meninggalkan ruang makan dan kembali ke ruang kerjanya. Dia banting pintu dengan keras.
Bbraakkk!!
Lagi Mimi melonjak kaget.
"Ya Tuhan ... Kenapa jadi begini?" bisik hati Mimi.
Pelan dia berjongkok membereskan puding yang berceceran dan berserakan di lantai. Piring manis dan mungil itu juga pecah berkeping-keping.
Mimi merasa sakit hati. Allan kasar sekali. Dia memperlakukan Mimi seenaknya. Mimi cepat membersihkan semuanya, lalu dia bergegas masuk dalam kamar. Di sana Mimi menangis di bawah bantal. Dia ingat mamanya. Tidak pernah dia diperlakukan begitu di rumahnya. Dan Allan, sekali lagi membuat Mimi merasa tidak berguna.
"Ma ... Aku mau pulang ...," ucap Mimi di tengah tangisnya. "Aku takut sama Kak Allan. Aku mau pulang ...."
Di ruang kerjanya, Allan berdiri memandang lukisan di depannya. Kali ini bukan Yashinta yang sedang akan dia lukis.
"Mimi ...," ucap Allan lirih. Ya, Mimi, gadis belia yang menginjak dewasa itu yang sedang Allan gambar. Wajah Mimi tersenyum, cantik, dengan rambut terurai sedikit diterpa angin.
Baru sketsa yang belum sempurna memang, tapi jelas gambar itu menunjukkan keceriaan. Beda dengan gambar Allan yang lain yang lebih menunjukkan sisi perih hidupnya.
Sebenarnya Allan justru kesal dengan dirinya sendiri. Dia marah begitu melihat puding coklat di atas meja. Alasannya tidak lain tidak bukan, dia punya memori dengan Yashinta. Satu kali Yashinta belajar membuat puding coklat karena ingin menyenangkan Allan. Dan hari itu saat bersama Yashinta, Allan merasa begitu gembira.
"Ahh ... Ternyata ga ribet ya, buat puding. Bayangkan aku itu, susah, rempong, makanya paling enak beli aja." Yashinta menatap puding hasil buatannya. Senyum Yashinta mengembang cerah menatap puding di depannya.
"Aku happy banget, kamu mau belajar buat puding. Ga ingat lagi kamu ga suka masak?" Allan menepuk pipi Yashinta, merasa senang sekali melihat Yashinta bersemangat.
"Kan aku sayang kamu ...." Yashinta tersenyum lebar pada Allan. "Tinggal masukin kulkas, tunggu dingin, lalu kita nikmati sambil nonton. Seru pasti!" Yashinta memeluk pinggang Allan manja.
Kejadian itu terpampang di depan Allan lagi. Semua begitu manis dan berkesan. Setelah tahu kenyataan kepalsuan Yashinta, Allan paling tidak bisa makan puding lagi. Selalu dia ingin marah, ingat Yashinta, ingat pengkhianatan gadis itu, ingat luka yang sengaja dia tanam pada diri Allan.
"Maafkan aku, Mi." Allan berkata lirih sambil meraih kuas, dia melanjutkan menorehkan goresan pada gambar di depannya.
*****
Hari mulai gelap. Rumah itu juga gelap, belum ada lampu yang menyala. Velia merasa heran. Rumah seperti tidak berpenghuni.
"Ke mana Allan dan Mimi? Ga mungkin mereka ga di rumah." Velia masuk ke dalam dan menyalakan lampu.
Dia terus menuju ke ruang makan. Dia buka tudung saji. Makanan tersedia tapi utuh, belum tersentuh. Dan ada puding di salah satu piring di sana.
"Puding? Dari mana puding ini?" Hati Velia seketika tidak enak.
"Ke mana dua orang penghuni rumah ini?" Velia berbalik. Dia menuju ruang kerja Allan.
Dia pegang gagang pintu dan membukanya. Allan di dalam, memandang lukisan yang ada di depannya.
"Lan, kamu ga makan?" Velia mendekati Allan.
Allan menutup gambar yang dia buat dengan kain putih. Dia menoleh pada Velia.
"Ga pingin makan." Suara Allan datar, agak ketus.
Velia langsung tahu, mood Allan lagi berantakan. Dia menduga pasti karena puding yang dia lihat di meja.
"Tapi, Mimi ke mana? Dia juga ga makan." Velia memandang Allan.
"Ga makan?" Allan mengerutkan keningnya.
"Lan, ada yang terjadi?" Velia bertanya ingin memastikan dugaannya benar.
"Mimi buat puding." Allan berjalan meninggalkan ruang kerjanya.
Velia ikut keluar. "Lalu?"
"Aku lempar saja puding yang dia berikan padaku. Kesal aku, Ma." Allan menuju ke taman belakang.
Velia menghentikan langkahnya. Dia cepat balik ke kamar Mimi. Di depan kamar, Velia mengetuk pintu.
Pintu dibuka, Mimi melihat ke arah Velia. Dia buka pintu lebar, menyalakan lampu kamarnya. Velia masuk, duduk di sebelah Mimi.
"Kamu ga makan?" tanya Velia. Dia perhatikan wajah Mimi.
Mimi menggeleng. Dia menelan ludahnya. Ingat kejadian tadi siang. Mimi menangis hingga tertidur. Dan matanya sedikit sembab.
"Aku ga lapar, Tan." Mimi menjawab pelan.
"Allan marah sama kamu?" tanya Velia.
Mimi tidak menjawab. Sakit, marah, itu yang ada di hati Mimi. Kalau memang Allan tidak suka tidak seharusnya dia sampai melempar puding dan piringnya.
"Dia tidak pernah lagi mau makan puding, Mi."
"Karena Yashinta? Apa hubungannya dengan aku, Tan?" Mimi memandang Velia.
"Ya ... Tidak adil Allan bersikap begini sama kamu. Tapi tolong, Mi ... Jangan benci Allan. Aku akan minta dia bicara sama kamu. Dia harus minta maaf sudah kasar sama kamu." Velia berkata serius. Dia benar-benar kasihan pada Mimi.
"Sudah, Tan. Ga apa-apa. Aku ga apa-apa, kok. Cuma kaget aja." Mimi berusaha meredakan hatinya dan tidak mau Velia sedih juga karena kejadian ini.
"Sekarang, kita makan, yuk?" ajak Velia.
"Aku mandi dulu, Tan. Nanti aku nyusul," ujar Mimi.
"Baiklah. Aku tunggu, Mi." Velia berdiri, mengelus kepala Mimi dan melangkah keluar kamar itu.
Begitu Velia menutup pintu, Mimi kembali menangis. Dia ingat mamanya. Kalau dia sedih mama akan selalu memeluknya hingga Mimi tenang. Sekarang, dia tidak mungkin minta Velia melakukan itu. Dia juga tidak mungkin cerita pada mamanya apa yang dia alami. Mimi tidak mau mamanya jadi kuatir.
"Apa aku akan kuat menghadapi Kak Allan? Sampai kapan? Aku harus gimana?" ucap Mimi.
Selesai mandi, perlahan Mimi ke ruang makan. Di sana Velia sendiri. Tidak ada Allan.
"Duduklah. Ayo, makan. Masakan kamu lumayan. Sudah makin pintar. Pudingnya juga enak." Velia tersenyum. Dia melihat pada Mimi.
"Iya, Tan." Mimi duduk di depan Velia. Dia mengambil piring dan menakar makanan. Rasanya lapar seperti menjauh. Tapi dia tidak mungkin tidak makan.
Belum setengah Mimi menghabiskan makanannya, Velia sudah selesai. Mimi sendirian lagi karena Velia perlu menerima telpon.
Mimi cepat-cepat menghabiskan makanannya. Saat dia menyuap nasi terakhir, Allan muncul.
"Mi ...," panggil Allan.
Saat itu juga Mimi merasa jantungnya berdetak kencang.
Mimi menghentikan mulutnya mengunyah makanan. Dia memandang Allan dengan gelisah. Ingin sekali dia menangis, tapi dia malu dan takut. Mimi menunduk, kembali mengunyah makanannya dengan cepat. Dia merasa butiran bening sudah bertengger di ujung matanya. Allan maju dan duduk di kursi di depan Mimi. Jujur saja, Mimi ingin berlari meninggalkan Allan, lalu masuk ke kamarnya. Tapi dia harus bertahan, harus bisa menghadapi Allan. "Maafkan aku ..." Allan menatap Mimi yang menunduk, pura-pura sibuk dengan makanan yang sudah kosong di atas piring. Mimi mencedok sayur sekali, sedikit saja. Dia pura-pura ingin lanjut makan, padahal dia hanya tidak mau melihat Allan. "Aku ... Tidak seharusnya aku marah sama kamu. Kamu sudah menyiapkan makanan buat aku, dan ... aku ga menghargainya." Kali ini Allan bicara lembut. Suaranya yang seperti ini yang dulu selalu Mimi dengar kalau Allan bicara. Mimi tidak menjawab. Tidak tahu mau bicara apa. Kalau dia buka mulut, Mimi takut air matanya tumpah. "Ma
Mimi menatap Ricky. Menunggu temannya itu ingin mengatakan sesuatu. Wajah Ricky tampak serius, tapi malah terlihat lucu. Karena bagusnya ini cowok mewujudkan diri dengan tampang lucu dan menggemaskan. "Kamu beneran suka sama itu kakak keren dan ganteng?" Ricky lurus memandang pada mata Mimi. "Iya ... Gitu, deh ..." Mimi nyengir. "Sejauh ini, dia itu salah satu idola di fakultas dia. Secara dia anak orang tajir meski ga melintir. Tunggangan dia aja lumayan keren, kan? Dan dia ga suka main cewek. Baik sama semua tapi ga PHP." Ricky menceritakan soal Nehan. Mimi mengerutkan kening. Ini cowok tahu detil gitu, dapat info dari mana? "Kamu abis mata-matai Kak Nehan, ya?" Mimi mengacungkan telunjuknya di depan Ricky. "Nggak laa ... Ngapain? Emangnya dia mau selingkuh?" Ricky ikutan nyengir. Mimi terkikik. Lucunya Ricky akhirnya muncul lagi. Hati Mimi makin melambung. Pria yang dia sukai memang orang baik. Rasanya dia makin ingin dekat sama Nehan. Siapa yang tahu apa yang terjadi nanti.
“Aku berangkat dulu. Jangan sampai telat. Seminar kali ini penting banget.” Velia menarik kopernya. “Sini, aku bawakan.” Allan meminta koper Velia dan membawakan ke depan. Velia mengikuti sambil menenteng tasnya. Di halaman rumah mobil jemputan Velia sudah menunggu. Allan menaruh koper di bagasi, lalu melihat Velia yang sudah masuk ke dalam mobil. “Mama baik-baik.” “Tentu. Kamu juga, baik-baik sama Mimi. Mama cuma nginap semalam. Oke?” Velia tersenyum. Mobil berjalan keluar halaman, meninggalkan rumah itu. Allan balik badan dan melihat Mimi keluar rumah. Dia sudah siap akan pergi ke kampus. “Aku pergi, Kak,” pamit Mimi. “Kamu pulang sore?” Allan bertanya. “Nggak. Paling jam tiga sudah di rumah,” jawab Mimi. “Langsung pulang. Ga usah nunggu tumpangan.” Allan memandang Mimi. Mimi yang sedang merapatkan kancing tasnya mengangkat kepala melihat Allan. Apa maksud Allan berkata begitu? “Kamu baru kenal siapa kakak paduan suaramu itu. Jaga diri.” Pandangan Allan tajam pada Mimi. “
Velia cepat berbalik badan. Lebih baik dia pergi dulu ke tempat lain saja, baru dia kembali ke kamar nanti. "Velia?!" Suara itu. Velia tidak mungkin lupa suara Ferdinand. Velia mempercepat langkahnya. Tapi Ferdinand juga melangkah lebih cepat. Dia telah ada di depan wanita itu, menghadang langkah Velia. "Benar. Ini kamu. Velia, akhirnya aku bisa bertemu dengan kamu." Ferdinand memandang Velia seperti tidak percaya. Wanita ini masih saja cantik meski lama mereka tak bertemu. "Maaf, aku harus pergi." Velia berbalik lagi segera melangkahkan kakinya. Dengan cepat Ferdinand menarik tangan Velia. "Vel, please." Velia berusaha melepaskan pegangan Ferdinad tapi tidak bisa. Velia terpaksa berhenti. "Sudah empat belas tahun, Vel. Kamu menghilang. Kamu bawa Allan dan aku tidak pernah tahu kamu di mana." Ferdinad langsung mengatakan apa yang terpendam di dalam hatinya selama ini. Tangan Ferdinand melepaskan pegangan dari Velia. "Kita sudah selesai. Aku dan Allan tidak ada urusan dengan kam
Pria itu masih menatap foto di dinding. Foto Allan dan Velia, berdua, dengan senyuman lebar di bagian bibir mereka. Foto yang mengingatkan Mimi seperti apa Allan jika bebas tersenyum. "Itu Tante Velia dan Kak Allan. Yang punya rumah ini." Mimi menjawab dengan mata masih tertuju pada foto besar itu. "Mbaknya bukan yang punya rumah?" Bapak itu kembali bertanya. HP Mimi berdering. Dia lihat Nehan yang menghubungi dia. "Maaf, Pak, saya ada telpon." Mimi tidak menjawab pertanyaan bapak itu. "Iya, Mbak, ga apa-apa. Saya permisi saja. Terima kasih." Bapak itu meninggalkan rumah. Mimi mengikuti ke depan sementara dia juga menjawab telpon Nehan. "Sore, Kak. Gimana?" Mimi bicara di telpon. "Mi, aku ada undangan untuk menyanyi di pernikahan. Pengantin minta lagu khusus dan duet. Aku jadi teringat sama kamu. Bisa temani ga?" Nehan menjelaskan keperluan dia menelpon Mimi. Mimi tersenyum lebar. Duet dengan Nehan lagi? Dan ini full satu lagu, di sebuah pernikahan. Kok seru gini, ya? "Yesss .
Mimi baru selesai menyiapkan makan malam, Velia masuk dari arah depan. Dia terlihat lelah dan letih. "Tan, aku buatkan lemon tea, mau?" Mimi menawari Velia. Velia tersenyum. Dia duduk dan melihat apa yang Mimi siapkan di meja. "Ya, kurasa lemon tea bagus untuk membuat fresh lagi." "Sebentar, ya, Tan." Mimi meletakkan mangkuk sambal di meja lalu berbalik membuatkan lemon tea untuk Velia. Velia memperhatikan Mimi. Dia tersenyum melihat gerak gerik Mimi. Sesekali masih tampak seperti gadis remaja. Menyenangkan melihat Mimi sibuk dengan apa yang ada di depannya. Mata Velia tertuju pada kotak di depan Mimi yang ada di sebelah kanan gadis itu. Seperti bingkisan cantik. Velia berdiri dan mendekat. "Ini dari mana?" Velia memegang kotak itu, membuka tutupnya. "Eh ... Oh, itu ..." Mimi bingung. Dia ingat pesan Allan agar mengaku kalau dia yang mendapat kotak berisi makanan kaleng itu. "Makanan kaleng?" Velia mencermati kaleng-kaleng makanan di dalam kardus itu. Mimi tidak menanggapi. Di
Mimi baru selesai mandi dan berganti pakaian. Dia keluar kamar mau ke dapur ingin membuat minuman hangat. Hari hujan lumayan terasa dingin. Sampai di ruang tengah, Mimi melihat Velia ada di sana. Dia duduk membelakangi Mimi. Tampaknya dia sedang menelpon seseorang. "Untuk apa lagi kamu mengganggu aku dan Allan? Jangan memulai lagi. Semua keadaan yang sudah baik selama ini. Apa perkataanku kurang jelas?" Nada suara geram dan marah terdengar. Mimi menghentikan langkah. Dia tahu Velia sedang bicara dengan papa Allan. Pasti karena kiriman yang datang untuk Allan. "Ya, memang. Itu kesalahan. Kesalahan terbesar dalam hidupku. Begitu bodoh aku sampai tidak tahu aku hidup dengan suami orang bertahun-tahun. Memalukan. Picik. Aku benci kamu, Ferdinand Antonius." Makin galak suara Velia. "Kesalahan itu tidak akan pernah bisa aku maafkan." Mimi mundur perlahan. Dia tidak harus mendengar apa yang Velia katakan. Dia tidak boleh ikut campur. Mimi balik menuju ke kamarnya, tepat saat itu Allan k
Wajah tampan itu membuat Mimi makin dag dig dug. Apalagi berdekatan begini. Mimi menyadari, dia benar-benar sudah terpesona dengan Nehan. "Jangan lupa, besok dress code pakai warna marun. Dan jam setengah satu harus stand by di tempat." Nehan mengingatkan jadwal dia dah Mimi akan menyanyi di pernikahan. "Oh, iya, Kak. Aku ga lupa, kok." Mimi tersenyum, terasa degupan jantungnya makin kencang. Andai detak jantung bisa terdengar, Mimi pasti sudah malu karena bunyinya yang keras itu. "Mi, kurasa aku jemput kamu sajalah. Aku lewat dekat rumah kamu, jadi aku belok jemput kamu sekalian. Ya?" Nehan menawari Mimi pergi bersama. Mimi kembali ingat pesan Allan agar tidak pergi berdua dengan Nehan. Masalahnya dia memang ada urusan berdua dengan cowok itu. Lagian, Nehan baik, dia tidak akan melakukan yang tidak pantas pada Mimi. Satu lagi, mereka pergi di siang hari, bukan malam. Mimi rasa tidak apa-apa jika pergi berdua. "Ya, Kak. Baiklah." Mimi menjawab Nehan. Lebih bagus juga berangkat sam
Allan berdiri di altar menunggu Mimi akan masuk bersama Hendra. Hatinya berdetak makin kencang setiap melihat arloji di pergelangan tangannya, memastikan menit berjalan dan tidak lama lagi pengantinnya akan datang menemui dia. Velia duduk di kursi di deretan pertama. Ferdinand di sisinya. Momen yang tak pernah terpikir oleh Velia, mereka duduk bersama, menyaksikan putra mereka menikah. Kalaupun ada pikiran itu, Velia membuangnya jauh-jauh. Ferdinand suami orang lain. Dia singkirkan semua bayangan Ferdinand. Siapa yang tahu yang akan terjadi dalam hidup. Velia dan Ferdinand menjadi teman. Perlahan, Velia mampu mengubah sakit hati jadi pengalaman yang mendewasakannya. Cinta yang dalam pada Ferdinand, dia ubah menjadi rasa sayang pada seorang kakak. Lea duduk di belakang mereka bersama Astari, Devis, dan putra mereka yang lucu. Sayang, Andini tidak bisa datang pada acara pemberkatan. Dia mengatakan akan menyusul saat resepsi. "Mari hadirin sekalian, kita akan menyambut mempelai wanita
Hari-hari penuh kejutan seolah tiada habisnya. Itu yang Mimi rasakan. Kejutan baik dan menyenangkan, tetapi juga kejutan yang membuat hati rasa tidak karuan. Semua itu membuat up and down hari-hari yang dilalui. Megi, kejutan terakhir yang sempat membuat Mimi galau. Keinginannya untuk bersimpati membuka pintu lain yang tidak dia duga. Allan bertemu sahabat lamanya. Megi, yang Allan kenal dengan panggilan Rere. Setelah kunjungan ke rumah sakit hari itu, Allan terus berkomunikasi dengan Megi. Mimi tidak bisa melarang. Bagaimanapun mereka teman lama dan Megi sedang butuh bantuan. Allan juga selalu memberitahu Mimi apa saja yang Allan komunikasikan dengan temannya itu. Allan tidak ingin Mimi salah paham lalu hubungan mereka yang menjadi tidak baik. "Kamu yakin ga masalah Kak Allan dekat sama Megi?" Dayinta menimpali apa yang Mimi katakan padanya. "Aku harus larang? Hanya karena cemburu? Aku ga cemburu juga, sih. Hanya ada rasa ga nyaman saja." Mimi menelusuri hatinya. Dia harus percaya
Mimi, Allan, dan Velia mengantar Ferdinand, Lea, dan Astari, serta Bintang yang tampan ke bandara. Mereka akhirnya balik ke Bandung. Astari sudah cukup kuat. Begitu juga bayinya. Perusahaan juga sudah menunggu Astari kembali menata pekerjaan di sana. Melepaskan mereka pulang ternyata cukup mengharukan. Apalagi Mimi mulai terbiasa mendengar suara tangis bayi mungil itu. Mendengar Velia atau Lea menyanyi saat menggendong Bintang hingga bayi itu tidur dalam dekaoan mereka. Pasti akan lama bisa melihatnya lagi. Dari bandara, Allan meluncur menuju kantor Velia. Memang hari Sabtu, tetapi ada yang harus Velia kerjakan. Sedang Allan dan Mimi, meneruskan perjalanan kemudian ke rumah sakit. Mimi terus memikirkan Megi. Sejak tahu wanita itu kecelakaan, dia merasa iba dan ingin tahu seperti apa kondisinya. "Kamu mau menjenguk Megi? Dia yang selama ini bersikap mengesalkan sama kamu? Yakin?" Itu yang Allan katakan waktu mendengar permintaan Mimi. Mimi dengan mantap mengatakan memang ingin menje
Hati Mimi berdetak kencang. Pesan yang dia terima dari Megi membuat semua kegembiraannya seketika lenyap. Megi dipecat. Tentu saja dia sangat marah. Dia punya posisi dengan prospek bagus di kantor, sebagai asisten bagian pemasaran. Kalau sampai tiba-tiba itu lepas, dia harus mulai di tempat lain, tentu tidak mudah. Yang menjadi masalah adalah Mimi yang Megi anggap sebagai biang keladi! Sangat tidak masuk akal. Mimi ada di bagian lain di kantor itu. Dengan Megi juga jarang berurusan. Bagaimana bisa Mimi yang bersalah kalau Megi dipecat? Mimi berpikir, apa yang terjadi? Di mana letak kesalahannya? Dia bicara apa dengan Pak Guntur? Mimi tidak mengerti. Sepanjang malam Mimi jadi tidak tenang. Beberapa kali dia terbangun karena mimpi buruk. "Ah, Mi, kenapa kamu jadi takut kayak gini. Megi uda ga akan balik kantor. Tenang saja." Mimi menenangkan dirinya sendiri. Dia tegaskan kalau Megi hanya mengancam, karena dia kesal. Bisa jadi dia begitu kepada orang lain juga, bukan hanya Mimi. Mimi
Tangan Allan terulur, meraih jemari Mimi dan menyematkan cincin mungil di jari manis tangan kiri gadis berbalut gaun warna salem itu. Cantik, sangat pas buat dirinya. Mimi terlihat lebih dewasa tapi tidak terkesan lebih tua dari umurnya. Dengan senyum manis, sementara jantung yang terus meletup, Mimi ganti memasangkan cincin di jari manis tangan kiri Allan. Jarinya kuat, besar, dan panjang. Tangan Mimi terlihat begitu mungil berpegangan pada tangan Allan. Tepuk tangan terdengar dari keluarga yang hadir. Senyum menghiasi wajah orang tua Mimi, Viviana dan Hendra. Velia dan Ferdinand, kali ini duduk berdampingan. Ini hari istimewa Allan. Putra mereka resmi bertunangan dengan Mimi. Ferdinand tidak mengira, dia bisa hadir dan menyaksikan hari berharga ini. "Selamat ya ... makin sayang satu sama lain. Biar angin ribut menderu, tetap kokoh cintanya!" Melisa, kakak Mimi nyeletuk, membuat yang lain tertawa, sementara Mimi makin tersipu. Doa dinaikkan untuk keduanya. Agar dengan memasuki hub
Suara tangis bayi kembali terdengar, tapi kemudian hilang. Andini berdiri dan mendekat ke ruang bersalin. Dia yakin itu bayi Astari yang sudah lahir. Tangis yang membawa kebahagiaan. Sebuah kehidupan baru yang hadir. Mengubah banyak hal dalam kehidupan sebuah keluarga. "Suaranya kencang sekali. Pasti dia anak laki-laki yang kuat." Andini tersenyum. Hatinya campur aduk dengan kejadian tiba-tiba ini. Senang, tapi masih sedikit cemas. Apakah Astari baik-baik saja? Bayinya juga, apakah benar-benar sehat? Allan memandang Andini yang masih gelisah, tetapi senyum Andini belum hilang dari bibirnya. "Sudah tahu nama anaknya Kak Tari?" Allan bertanya. Andini kembali mendekati Allan, duduk di tempatnya semula. "Ya. Kak Tari pernah bilang, Bintang. Baru itu yang aku tahu, belum tahu lengkapnya. Aku ga sabar mau lihat dia." Pintu ruangan itu terbuka. Velia keluar dari sana. Allan dan Andini memandang Velia yang berjalan ke arah mereka. "Tan, gimana?" Andini menatap Velia. Velia tersenyum. "T
Allan kembali ke ruangan. Andini dan Yudha tampak tersenyum satu sama lain. Allan mencoba mencermati wajah mereka. Tampak biasa saja. Tidak ada yang aneh. Allan juga mendengar pembicaraan mereka bukan tentang sesuatu yang khusus di antara mereka. Tidak lama kemudian, Allan dan Andini pamitan, meninggalkan Yudha. Dalam perjalanan pulang, ingin sekali Allan bertanya, tapi dia merasa tidak nyaman. Bagaimanapun, Andini pernah ada rasa padanya. Dia mengenal Andini sebagai kakak belum begitu lama. Kikuk dan canggung bertanya hal-hal semacam itu. Allan mengantar Andini ke hotel lalu dia kembali pulang. Baru selesai mandi, dering ponsel terdengar keras. Cepat-cepat dia menerima panggilan itu. Yudha yang menghubunginya. Dengan semangat Yudha menceritakan apa yang terjadi pada pertemuan terakhirnya dengan Andini. Gadis itu menerima Yudha. Mata Allan melebar, dadanya berdegup kencang. Kenapa dia yang merasa tidak karuan padahal Yudha yang mendapat jawaban cinta? "Yudha, serius? Ini beneran?" A
Mimi memperhatikan dua design yang ada di tangannya. Keduanya sangat manis dan Mimi suka. Allan ternyata punya selera bagus juga dalam mode. Mimi memilih gaun dengan model slim di badan, lengan sampai di siku, dari pinggang higga selutut melebar. Allan tersenyum saat Mimi menunjuk design yang dia pilih. Benar-benar mewakili karakter Mimi. Imut, ceria, tetapi juga cerdas. Allan makin tidak sabar segera melihat Mimi memakainya. Dan itu di hari istimewa mereka. Allan sudah menyiapkan hari dia akan datang menemui orang tua Mimi di Surabaya, menggelar pertunangan di sana. "Kak, makasih banget. Aku ga mikir apapun soal pertunangan. Tapi Kak Allan, astaga, aku benar-benar terkejut," ujar Mimi sambil tersenyum senang. Mata cerah Mimi membuat Allan ikut tersenyum lebar. Keluar dari butik itu, Allan langsung membawa Mimi pulang ke salah satu hotel tak jauh dari situ. Kejutan apa lagi yang Allan siapkan? Mimi merasa sore itu Allan bertingkah begitu berbeda. "Kak Astari dan Kak Andin datang. B
Seketika Mimi mengangkat wajahnya mendengar pertanyaan Guntur. Dia menggigit bibirnya dan memandang sedikit takut pada pimpinannya itu. "Katakan saja yang kamu tahu. Aku tahu kamu gadis yang jujur. Aku juga berharap kamu gadis yang berani." Tatapan Guntur tertuju pada Mimi. Makin berdesir hati Mimi. Seperti yang Guntur pikirkan, memang ada masalah dengan pelaporan itu. Mimi merasa makin sulit situasinya. Ini akan menjadi kesempatan dia jadi pahlawan atau di sisi lain, dia akan menjadi musuh beberapa orang di kantor itu. Yang pasti, Mimi tidak mungkin tidak mengatakan yang dia temukan. Jika dia mengatakan yang berbeda karena ingin aman, bisa jadi dia dinilai sebagai pegawai yang buruk. "Mimi, waktu kita tidak banyak." Guntur menegaskan karena Mimi tidak segera menjawab. "Saya minta maaf, Pak, ini ..." Mimi mendekat dan menunjukkan yang dia lihat pada laporan itu. Dag dig di dadanya bukan makin surut. Dalam hati Mimi terus berdoa hari ini menjadi hari baik buatnya. Kalaupun yang ter